Sabtu, 03 Mei 2014

INTERAKSI NABI MUHAMMAD SAW. DENGAN YAHUDI DAN KRISTEN

Tulisan ini menunjukkan sejumlah informasi sejarah tentang sikap Nabi Muhammad yang humanis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, menghargai keragaman, menjamin kebebasan memeluk agama, dan memberikan keleluasaan untuk beribadah bagi penganut agama lain. Tulisan ini juga sekaligus membantah kesimpulan sejumlah orientalis, diantaranya adalah Robert Spencer, yang menyatakan bahwa Muhammad adalah pendiri agama paling tidak toleran di dunia. Tulisan ini berangkat dari kajian terhadap sīrah nabawīyah yang diperoleh dari kitab-kitab hadits dan sejarah (tārīkh), baik dari pihak Sunni maupun Wahabi.
Pendahuluan
Belakangan ini marak terjadi di negeri Indonesia yang kita cintai tindakan-tindakan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama merusak dan membakar rumah ibadah agama tertentu bahkan rumah ibadah yang dibangun oleh umat Islam sendiri dari kalangan minoritas, seperti yang menimpa pada masjid yang dibangunoleh kelompok Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan masjid Syiah di Madura.
Sedangkan yang berkenaan dengan rumah ibadah umat beragama selain Islam, seperti kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah di Yasmin Bogor dan Filadela di Bekasi. Salah seorang tokoh FPI bahkan menjadikan peristiwa pembakaran masjid pada masa Nabi Muhammad yang dikenal dengan peristiwa masjid adh-Ḍirār sebagai legitimasi sejumlah tindakan anarkis terhadap sejumlah rumah Ibadah di berbagai tempat.
Realitas tersebut semakin memperburuk citra umat Islam baik di negeri sendiri maupun di luar negeri, yang memberikan kesan umat Islam sangat jauh dari label Islam yang ramah, toleran, menghargai keragaman, humanis, memuliakan manusia, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Citra yang semakin memperburuk pandangan orang lain (the others) terhadap Islam, apalagi setelah peristiwa pengeboman 9/11 di Amerika Serikat, yang mengakibatkan menguatnya kembali Islamophobia di berbagai belahan dunia dan akibatnya justru merugikan umat Islam sendiri. Robert Spencer bahkan menulis sebuah buku yang menjelaskan keburukan-keburukan Islam khususnya Muhammad yang ia sebut sebagai “warlord”. Buku ini dinilai sebagai bestseller oleh New York Times. (Selengkapnya baca Robert Spencer, The Truth about Muhammad: the Founder of the Most Intolerant Religion in the World, Washington DC: Regnery Publishing Inc., 2007).
Artikel ini akan melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya yang memberikan bantahan atas beberapa tuduhan negatif yang dialamatkan kepada Islam dan Nabi Muhammad. Beberapa sarjana Barat yang dinilai memberikan penjelasan yang obyektif berkenaan dengan Islam dan Nabi Muhammad dalam karya-karya mereka diantaranya adalah Louis Massignon (1962), Marshall G.S. Hodgson (1968), H.A.R. Gibb (1971), Henri Corbin (1978), Wilfred Cantwell Smith (2000), Annemarie Schimmel (2003), W. Montgomery Watt (2006), dan John L. Esposito. (Selengkapnya lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization Chicago: The University of Chicago Press, 1974 halaman 101-230, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Mohammedanism Oxford: Oxford University Press, 1962, Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History Princeton: Princeton University Press, 1977, Annemarie Schimmel, Islam: an Introduction New York: State University of  New York Press, 1992 dan And Muhammad is His Messenger: the Veneration of the Prophet in Islamic Piety North Carolina: University of North Carolina Press, 1985, W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman Oxford: Oxford University Press,1974, John L. Esposito, Islam the Straight Path Oxford: Oxford University Press, 2010).
Tulisan ini utamanya memaparkan ucapan dan tindakan beliau yang mengandung prinsip-prinsip toleransi antar umat beragama dan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa persoalan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perilaku Nabi yang berkenaan dengan manusia dan kemanusiaan? Bagaimana tindakan Nabi Muhammad yang mencerminkan kebebasan dan toleransi beragama? Bagaimana konteks yang menjadi latar belakang terjadinya pembakaran masjid pada masa Nabi? Informasi yang digunakan dalam artikel ini diperoleh dari sejarah hidup Nabi Muhammad atau yang biasa dikenal dengan istilah sīrah nabawīyah yang terdapat di dalam kitab-kitab hadits, sejarah (tārīkh), dan kitab-kitab khusus sīrah nabawīyah
Islamophobia dan Muhammadophobia
Setidaknya, ada tiga kesimpulan besar berkenaan dengan sikap Barat terhadap Nabi Muhammad:
1.      Muhammad hampir selalu dicitrakan negatif oleh Barat, meski tidak dapat dipungkiri ada beberapa yang mencoba memberikan gambaran yang obyektif tentang Muhammad. Baru pada abad ke-20 ada beberapa sarjana yang memberikan citra positif tentang Muhammad.
2.      Pandangan negatif terhadap Muhammad tersebut banyak disebabkan karena unsur politis (Kristen takut kehilangan kekuasaan dan pengaruh) dan reaksi kejiwaan (schizophrenic) yang mengalami islamophile (penyakit anti Islam).
3.      Sikap ambigu Barat terhadap Islam dalam beberapa kasus. Mereka memuji dan menghujat Muhammad disaat yang bersamaan. Mereka merasa lebih nyaman tinggal di wilayah muslim daripadadi Eropa Kristen, dan disaat yang sama mereka secara sistematis membunuh dan mengusir kaum muslim dari negerinya. (Selengkapnya lihat bagian Muhammad The Enemy pada buku Karen Armstrong, Muhammad: a Biography of The Prophet New York: HarperOne, 1993 dan Muhammad: Prophet for Our Time New York: Harper Collins, 2006).
Pada tahun 850, seorang biarawan bernama Perfectus menganggap Muhammad sebagai dukun klenik, orang sesat dan anti kristus. Pernyataan yang disampaikan di Cordoba ini merupakan insiden yang tidak lazim, saat hubungan umat Kristen-Muslim pada umumnya baik-baik saja. Bahkan saat kehidupan penganut tiga agama monoteis yang bersejarah; Yahudi-Kristen-Islam dapat hidup bersama dalam harmoni yang relatif damai.
Pada abad ke-19 ini pula muncul provokasi yang disebarkan oleh Eulogio dan Paul Avaro saat keduanya menyikapi eksekusi terhadap 50 martir yang menghujat Islam seperti Perfectus dengan menyatakan bahwa kebangkitan Islam merupakan persiapan kedatangan “sang anti kristus” yang kekuatannya akan membesar di Hari-hari Terakhir. Pada masa ketakutan ini, Muhammad digambarkan sebagai seorang penipu ulung, tukang obat yang menobatkan dirinya sendiri sebagai Nabi untuk menipu dunia. Dia memaksa orang-orang untuk mengikuti agamanya melalui jalan peperangan. Islam bukan wahyu yang mandiri, melainkan dianggap sebagai sebuah kegagalan atau penyimpangan dari Kristen.
Memasuki abad ke-11, Eropa mulai bangkit dan perang Salib I terjadi. Keberhasilan Barat pada masa ini menciptakan semangat perang total melawan Islam. Mulanya tak seorang pun di Eropa memiliki kebencian khusus pada agama kaum muslim atau nabinya, karena mereka lebih memusatkan perhatian pada mimpi mereka akan kejayaan dan perluasan Eropa Kristen. Meskipun demikian, kaum muslim dianggap sebagai musuh dan dilukiskan sebagai pemuja idola, membungkuk dalam-dalam di hadapan trinitas dewa-dewa Apollo, Trevagant, dan Mahomet (Muhammad).
Mendekati tahun 1120, bersamaan dengan tersebarnya mitos Charlamagna, raja-raja Arthur dan Robin Hood di Barat, mulailah dibuat mitos dan cerita fiktif Mahound (Muhammad) sebagai musuh dan bayangan dari kerajaan Kristen. Muhammad diceritakan sebagai seorang pesulap yang menciptakan mukjizat-mukjizat palsu untuk menarik perhatian bangsa Arab yang percaya, dan untuk menghancurkan gereja di Afrika dan Timur Tengah. Muhammad diceritakan sebagai penderita epilepsi, kehidupan seksnya penuh birahi, tidak ada yang murni (genuine) dalam pernyataan-pernyataan Muhammad, dia adalah penipu ulung dan tidak mandiri. Sehingga menurut Kristen, Islam merupakan pecahan Kristen, bidʻah dari segala bidʻah.
Baru pada abad ke-18 orang-orang berusaha mempromosikan suatu pengertian akurat mengenai Islam seperti; pada tahun 1708 Simon Ockley yang tidak menampilkan Islam sebagai agama pedang dan memandang Jihad dari pandangan Muslim. George Sale menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1734. Francois Voltaire membela Muhammad sebagai pemikir politik yang hebat dan pencetus agama yang rasional, pemerintahan muslim selalu lebih toleran daripada tradisi Kristen, tulisnya pada tahun 1751.
Johann Jakob Reiske (1774) melihat sebuah kualitas ketuhanan dalam kehidupan Muhammad dan penciptaan Islam. Selama abad ini pula, Muhammad ditampilkan sebagai penentu hukum yang bijaksana dan rasional. Henri menggambarkan sang Nabi sebagai pelopor Abad Akal Sehat. Boulainvilliers berpendapat bahwa Islam adalah tradisi alamiah, Muhammad adalah pahlawan militer yang hebat. Dan pada akhir abad ini Edward Gibbon memuja monoteisme agung Islam dan memperlihatkan bahwa Muslim patut mendapatkan tempat dalam sejarah peradaban dunia.
Meskipun terlihat sedemikian obyektifnya, penulis-penulis di atas masih menyisipkan kisah-kisah serampangan mengenai Muhammad, yang menunjukkan bahwa bayangan tradisional tentang muslim belum mati. Pada abad ke-19, ditandai dengan tumbuhnya semangat kolonial, yang memberi Eropa kepercayaan yang tak sehat bahwa mereka merasa superior disbanding ras lainnya. Islam dipandang sebagai sebuah pemujaan yang merupakan musuh peradaban, dan secara sistematis sangat membela kesewenang-wenangan, kelaliman dan perbudakan.
Barulah pada abad ke-20 muncul kaum terpelajar yang mencoba memperluas pemahaman Barat tentang Islam dan menggunakan studi mereka untuk menantang prasangka di masa mereka. Louis Massignon, H.A.R. Gibb, Henri Corbin, Annemarie Schimmel, Marshall G.S. Hodgson dan Wilfred Cantwell Smith adalah beberapa nama yang bisa disebut di sini. Smith misalnya, mengatakan bahwa segmen Muslim dalam masyarakat kemanusiaan dapat berkembang karena Islam kuat dan vital, murni, kreatif dan berarti.
Nabi Muhammad Menjunjung Tinggi Manusia dan Nilai-nilai Kemanusiaan
Spencer menyatakan dalam bukunya, bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara ajaran Muhammad dan kekerasan Islam dengan sejumlah pernyataan dan perlakuan yang diulang-ulang oleh Osama bin Ladin, Ayman al-Zawāhirī, Abū Muṣʻab al-Zarqawī, Abū Ḥamzah, Abu Bakar Baʻasyir, dan jihadis-jihadis lainnya. Padahal, menurut data sejarah, sebagai seorang manusia yang diutus untuk seluruh umat manusia, bahkan alam semesta, Nabi Muhammad sangat menghormati manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, bahkan meskipun manusia sudah meninggal. (Robert Spencer, The Truth about Muhammad, halaman 13).
Terdapat sejumlah riwayat hadis yang menceritakan penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi. Salah satu diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn al-Jaʻd (230 H), Ibn Abī Syaibah (235 H), Aḥmad bin Ḥanbal (241 H), al-Bukhārī (256 H), Muslim (261 H), an-Nasā’ī (303 H), Abū Yaʻlā al-Mūṣilī (307 H), Ibn al-Mundzir (318 H), ath-Ṭabarānī (360 H), dan al-Baihaqī (458 H) dari Ibn Abī Laylā (83 H) bahwa Qays bin Saʻd (59 H) dan Sahl bin Ḥunaif (38 H) keduanya berdiri ketika ada jenazah non Muslim lewat di hadapan mereka. Keduanya kemudian ditegur atas sikap mereka, kemudian keduanya menjawab dengan menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berdiri ketika jenazah lewat di depannya, kemudian Rasulullah diinformasikan bahwa jenazah tersebut adalah Yahudi. Nabi menjawab: “Alaisat nafsan?” (bukankah ia juga manusia?).
Lihat rujukannya dari Alī bin al-Jaʻd al-Jauharī dalam Musnad Ibn al-Jaʻd halaman 28, Beirut: Maktabah al-Falāḥ, 1985, Muḥaqqiq: Abdul Mahdī bin Abdul Qādir bin Abdul Hādī, Abūbakr Abdullāh bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin Abī Syaibah dalam al-Muṣhannaf juz 4 halaman 583-586, Riyad: Maktabah al-Rushd Nāshirūn, 2004, Muḥaqqiq: Ḥamad bin Abdullāh al-Jumuʻah dan Muḥammad bin Ibrāhīm al-Laḥīdān, Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal dalam al-Musnad juz 17 halaman 144, Cairo: Dār al-Ḥadīth, 1995, Muḥaqqiq: Ḥamzah Aḥmad al-Zayn, Abū Abdullāh Muḥammad bin Ismāʻīl al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Ḥadīts Rasūlillāh Saw. wa Sunanih wa Ayyāmih juz 1 halaman 404, Cairo: Al-Maṭbaʻah al-Salafīyah, 1400 H, Muḥaqqiq: Muḥammad Fu’ād Abdul Bāqī, Abū al-Ḥusain Muslim bin al-Ḥajjāj dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ halaman 372, Riyad: Bayt al-Afkār al-Dawlīyah, 1998, Abū Abdurraḥmān Aḥmad bin Syuʻaib bin Alī an-Nasā’ī dalam Sunan an-Nasā’ī halaman 308, Riyad: Maktabahal-Maʻārif li al-Nashr wa al-Tawzīʻ, 1417 H, Muḥaqqiq: Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Aḥmad bin Alī Abū Yaʻlā al-Mūṣilī dalam Musnad Abī Yaʻlā al-Mūṣilī juz 3 halaman 26, Dimashq: Dār al-Thaqāfahal-ʻArabīyah, 1992, Muḥaqqiq: Ḥusayn Salīm Asad, Muḥammad bin Ibrāhīm bin al-Mundzir dalam al-Ausaṭh fī as-Sunan wa al-Ijmāʻ wa al-Ikhtilāf halaman 977, Riyad: Dār Ṭaybah, t.th. Muḥaqqiq: Ṣaghīr Aḥmad Muḥammad Ḥanīf, Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad ath-Ṭhabarānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr juz 6 halaman 90-91, Cairo: Maktabah Ibn Taymiyah, 1983, Muḥaqqiq: Ḥamdī ʻAbd al-Majīd al-Salafī dan Abūbakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin Alī al-Baihaqī dalam as-Sunan al-Kubrā juz 4 halaman 42, Beirut: Dār al-Kutubal-ʻIlmīyah, 2003, Muḥaqqiq: Muḥammad Abdul Qādir ʻAṭā.
Teladan yang dilakukan Nabi Muhammad ini dicontoh oleh kedua sahabat tersebut (Qays bin Saʻd dan Sahl bin Ḥunaif). Bahkan jenazah yang lewat di hadapan keduanya adalah jenazah seorang penganut agama Majusi, agama yang disebut bukan agama samawi atau tidak termasuk ahl al-kitāb. Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sangat menghormati manusia, bahkan setelah manusia itu mati, tetap ia hormati. Bukankah Allah memuliakan manusia, sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Isrā’ ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Ayat ini berlaku umum yang mencakup penghormatan kepada seluruh manusia sebagai anak cucu Adam, tidak memandang agama, suku, warna kulit dan lain sebagainya. Berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjungnya, inilah kiranya ketika Nabi Muhammad mengutus Muʻādz bin Jabal ke Yaman, sebuah daerah yang pada saat itu masyarakatnya banyak yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad memberikan pesan penting kepada Muʻādz untuk tidak berbuat dzalim kepada siapapun yang secara implisit terkandung dalam peringatan Nabi untuk menjauhi doa orang yang didzalimi (larangan untuk berbuat dzalim kepada oranglain), karena tidak ada pengahalang di antaranya dan Allah. (Ibn Abī Shaybah dalam al-Muṣhannaf  juz 7 halaman 58).
Pesan ini tidak hanya diperuntukkan untuk Muʻādz bin Jabal seorang, akan tetapi untuk seluruh umat Islam. Pesan ini juga berlaku bagi setiap orang yang didzalimi tanpa memandang status sosial atau agamanya. Riwayat Aḥmad bin Ḥanbal dari Abū Hurairah bahkan menegaskan larangan untuk berbuat dzalim meskipunkepada seorang pendosa. Hadits lain dari Anas bin Mālik menyebutkan: “Wain kana kafiran” (meskipun terhadap orang kafir sekalipun). (Aḥmad bin Ḥanbal dalam al-Musnad juz 10 halaman 495).
Pelajaran penting dari pesan Nabi kepada Muʻādz bin Jabal salah satunya mungkin adalah tidak menggunakan kekuasaan untuk berbuat dzalim, semena-mena, menginjak-injak harkat dan martabat orang lain.
Superioritas Muslim di Masa Nabi Muhammad
Selain larangan untuk tidak mendzalimi orang lain, Nabi Muhammad pun menunjukkan perilaku yang memberikan pelajaran bagi mayoritas untuk tidak menindas minoritas. Salah satu informasi yang mendukung pernyataan tersebut adalah hadits riwayat Aḥmad bin Ḥanbal, al-Bukhārī, Muslim dan al-Bazzār (292 H) dari Abdurraḥmān (53 H) bin Abū Bakr ash-Ṣhiddīq (13 H) yang menceritakan bahwa ketika Nabi bersama 130 orang sahabat, termasuk dirinya sedang dalam keadaan lapar dan sangat membutuhkan makanan. Beberapa saat kemudian ada orang musyrik lewat di hadapan mereka membawa seekor kambing. Nabi menghampirinya dan mengadakan dialog lalu bertransaksi jual beli dengan harga yang diinginkan oleh orang musyrik tersebut. Nabi pun menyetujuinya dan membeli kambingnya. (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 2 halaman 240).
Padahal seandainya Nabi mau, ia bisa membayarnya dengan harga di bawah yang diinginkan, atau memintanya, atau bahkan merampasnya karena pada saat itu Nabi sedang bersama 130 sahabatnya. Tapi itu semua tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Hal ini setidaknya menunjukkan teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad bahwa pihak mayoritas tidak boleh bertindak semaunya, apalagi sampai berbuat dzalim kepada orang lain.
Riwayat hadis yang lain menegaskan pelajaran tersebut bahwa jangan karena mayoritas kemudian menjadi dasar untuk berbuat sesuka hati meskipun dalam posisi benar, diantaranya adalah hadis riwayat Ibn Ḥibbān (354 H), al-Ḥākim (405 H) dan al-Baihaqī dari ʻAbdullāh bin Salām (43 H) yang menceritakan tentang masuk Islamnya Zaid bin Saʻnah yang sebelumnya beragama Yahudi. Suatu ketika Zaid bin Saʻnah ingin menguji kenabian Nabi Muhammad, karena menurutnya ia telahmengetahui tanda-tanda kenabian dalam diri Nabi Muhammad saat pertama kali melihat beliau. Hanya ada dua tanda yang belum ia saksikan dari diri Nabi Muhammad, yaitu sikap bijak yang harus dimiliki oleh seorang nabi. Zaid bin Saʻnah pun melakukan investigasi ke dalam dengan mengikuti kegiatan Nabi Muhammad.
Suatu saat ada seorang laki-laki Badui menemui Nabi Muhammad yang baru saja keluar dari kamarnya bersama Alī bin Abī Ṭhālib (40 H). Orang itu melaporkan tentang masuk Islamnya seluruh penduduk sebuah kampung karena iming-iming yang ia tawarkan, yaitu jika penduduk kampung itu memeluk agama Islam, maka akan mendapatkan rizki yang berlimpah. Sayangnya, saat itu penduduk kampung tersebut sedang ditimpa musibah kelaparan. Jika Nabi tidak menolongnya, maka kemungkinan mereka akan keluar dari Islam karena harapan yang mendorong mereka tidak mereka dapatkan.
Mendengar laporan tersebut, Nabi Muhammad menengok kepada Umar bin Khaṭṭāb (23 H) yang saat itu berada di sebelah Nabi, namun Umar menyampaikan: “Kita tidak punya apa-apa ya Rasulullah.”
Melihat situasi itu, Zaid bin Saʻnah menawarkan bantuan pinjaman kepada Nabi yang harus dibayar pada waktu yang ditentukan, dan Nabi pun menyetujuinya. Dua atau tiga hari menjelang waktu yang ditentukan, Zaid bin Saʻnah datang menemui Nabi untuk menagih, padahal belum jatuh tempo. Saat itu Nabi baru saja selesai melaksanakan shalat jenazah bersama sahabat-sahabat besar diantaranya ada Abū Bakr ash-Ṣhiddīq, Umar bin Khaṭṭāb, Utsmān bin Affān (35 H) dan Alī bin Abī Ṭhālib. Zaid bin Saʻnah dengan wajah kasar langsung menghampiri dan mencengkeram pakaian Nabi seraya berkata: “Hei Muhammad! Lunasi hutangmu! Tak kusangka, keturunan Muṭṭhalib adalah orang yang suka menunda membayar hutang!”
Melihat perkataan dan perbuatan Zaid bin Saʻnah yang kasar kepada Nabi, Umar pun naik pitam. Namun Nabi Muhammad mencegahnya dengan halus dan penuh kasih sayang, bahkan meminta Umar untuk melunasi hutang kepada Zaid bin Saʻnah. Tidak hanya itu, Nabi bahkan memerintahkan Umar untuk member tambahan.
Setelah Umar membayarnya, Zaid bin Saʻnah pun masuk Islam karena telah melihat seluruh tanda-tanda kenabian teruatama sikap bijak seorang nabi yang baru saja ia buktikan ada pada diri Nabi Muhammad. Zaid bin Saʻnah bahkan saat itu juga menyedekahkan setengah dari harta yang ia miliki untuk kepentingan umat Islam. (‘Alāuddīn Alī bin Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 1 halaman 521, Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2007, Muḥaqqiq: Syuʻaib al-Arnā’ūṭ).
Informasi ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad bahkan tidak melakukan perbuatan yang semestinya bisa dan boleh saja dilakukan oleh seseorang yang berada di pihak mayoritas, apalagi dalam posisi benar. Nabi Muhammad lebih memilih tindakan persuasif dan menyentuh sisi kemanusiaan, padahal saat itu setidaknya Nabi menerima lima bentuk perbuatan tidak menyenangkan dari Zaid bin Saʻnah; didatangi dengan wajah dan suara yang keras, dipanggil dengan namanya saja (yā Muḥammad), tanpa kunyah atau laqab, ditagih sebelum waktu jatuh tempo, dicengkeram bajunya, dihina keluarganya. Itu semua diterima Nabi di hadapan para sahabatnya.
Nabi Muhammad Menjamin Kebebasan Beragama
Nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk sekelompok orang tertentu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta. Oleh karenanya ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah hal-hal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus menjaga harkat dan martabat manusia. Salah satu nilai-nilai kemanusiaan lain yang dijaga adalah jaminan kebebasan beragama.
Abū Dāwūd (275 H) dan Ibn Ḥibbān meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari sahabat Abdullāh bin Abbās (68 H), juga ath-Ṭhaḥawī (321 H) dan al-Baihaqī (458 H) dari Saʻīd bin Jubair (96 H) bahwa ada seorang perempuan yang tidak memiliki anak, kemudian ia bersumpah jika di kemudian hari ia dikaruniai seorang anak, maka ia akan menjadikan anaknya menganut agama Yahudi. Setelah beberapa waktu kemudian para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad berkenaan dengan anak-anak dan saudara mereka yang masih beragama Yahudi, Nabi pun terdiam, kemudian turunlah QS. al-Baqarah ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…”
Lalu Nabi Muhammad menjawab: “Biarkan keluarga kalian memilih. Jika mereka memilih kalian, maka mereka termasuk kalian (Islam). Jika mereka memilih tetap, maka mereka bagian dari mereka (Yahudi).” (Abū Dāwūd Sulaimān bin al-Asyʻats as-Sijistānī dalam Sunan Abī Dāwūd juz 3 halaman 92, Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 1997, ‘Alāuddīn Alī bin Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 1 halaman 353, Abū Jaʻfar Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah ath-Ṭhaḥawī dalam Syarḥ Musykil al-Ātsār juz 11 halaman 59-60, Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1994, Muḥaqqiq: Syuʻaib al-Arnā’ūṭ dan al-Baihaqī dalam as-Sunan al-Kubrā juz 9 halaman 84).
Ibn Jarīr ath-Ṭhabarī (310 H) menyebutkan riwayat lain dari Ismāʻīl bin Abdurraḥmān bin Abī Karīmah as-Suddī (127 H) yang menceritakan bahwa tersebutlah seorang penduduk Madinah yang bernama Abū al-Ḥuṣain yang memiliki dua orang anak. Pada saat pedagang dari Syam datang ke Madinah, kedua anak Abū al-Ḥuṣain diajak untuk memeluk agama Nasrani oleh para pedagang tersebut. Keduanya pun mengikuti ajakan mereka. Abū al-Ḥuṣain kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad atas kejadian tersebut dan meminta Nabi untuk mengambil kedua anaknya untuk kembali kepadanya (tidak memeluk agama Nasrani). Nabi pun kemudian menjawab: “La ikraha fiddin.” (Abū Jaʻfar Muḥammad bin Jarīr ath-Ṭhabarī dalam Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta’wīl Āy al-Qur’ān juz 4 halaman 549-550, Cairo: Dār Hijr, 2001, Muḥaqqiq: Abdullāh bin ʻAbdul Muḥsin at-Turkī).
Hadits yang menjadi sabab an-nuzūl ayat 256 dari surat al-Baqarah ini menegaskan tentang jaminan kebebasan beragama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad atas perintah al-Quran. Islam melalui al-Quran dan Nabi Muhammad memberikan garansi atas pilihan seseorang memeluk agama tertentu tanpa paksaan.
Perlakuan Nabi Muhammad yang tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam dapat terlihat dari peristiwa yang terjadi pada Māriyah al-Qibṭīyah (16 H) pada tahun ke-7 H. Saat itu Nabi Muhammad menerima hadiah dua perempuan bersaudara dari al-Muqauqis Juraij bin Mīnā seorang penguasa al-Iskandarīyah. Perempuan itu bernama Māriyah dan Sīrīn, keduanya putri Syamʻūn al-Qibṭīyah. Ketika Nabi Muhammad bertemu dengan keduanya, beliau “menawarkan” kepada keduanya untuk masuk Islam. Keduanya pun menerima tawaran tersebut tanpa paksaan. (Imādudīn Abū al-Fidā’ Ismāʻil bin Umar bin Katsīr ad-Dimasyqī dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 8 halaman 227-229, Cairo: Dār Hijr, 1997, Muḥaqqiq: Abdullāh bin Abdul Muḥsin at-Turkī dan Muḥammad bin Saʻd bin Manīʻ az-Zuhrī dalam Kitāb ath-Ṭhabaqāt al-Kabīr juz 10 halaman 201, Cairo: Maktabah al-Khānijī, 2001, Muḥaqqiq: Alī Muḥammad Umar).
Demikian pula halnya yang terjadi kepada Raiḥānah binti Zaid al-Quraẓīyah (10 H) seorang budak perempuan Nabi. Raiḥānah ditawarkan oleh Nabi untuk memeluk Islam, namun ia menolak dan menyatakan ingin tetap dalam agama Yahudi yang selama ini ia anut. Nabi pun tidak memaksanya dan menyerahkannya serta menceritakan penolakan Raiḥānah untuk masuk Islam kepada Asad bin Saʻyah. Asad bin Saʻyah kemudian menemui Raiḥānah dan memberitahu bahwa Nabi memilihnya. Asad bin Saʻyah juga memintanya untuk masuk Islam, dan Raiḥānah pun akhirnya memutuskan untuk masuk Islam setelah mendengar penjelasan Asad bin Saʻyah. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 8 halaman 233-234).
Sejumlah peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin agama yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mengajak orang lain memeluk agama yang dibawanya. Bahkan Nabi Muhammad memberikan kebebasan memeluk agama sebagaimana peristiwa yang terjadi para perempuan Yahudi Banī Naḍhīr dan kedua putra Abū al-Ḥuṣain. Tidak hanya menjamin kebebasan memeluk agama, Nabi Muhammad pun menjamin kebebasan beragama atau melaksanakan ibadah masing-masing pemeluk agama. Jaminan tersebut tertuang dalam perjanjian seluruh penduduk Yatsrib (Madīnah) yang kemudian dikenal dengan nama Madīnah Charter atau Piagam Madinah. (Abdul Malik ibn Hisyām dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1 halaman 501-504 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 4 halaman 555-558).
Nabi Muhammad Mengakui dan Menghormati Eksistensi Agama Lain
Jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi pemeluk agama selain Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, boleh jadi karena didasari pada pengakuan dan penghormatannya akan eksistensi agama selain Islam. Bahkan Nabi Muhammad marah dan menegur sahabatnya yang bertengkar dengan orang Yahudi. Sahabat Nabi tersebut mengunggulkan Nabi Muhammad atas Nabi Musa sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwūd dan Ibn Ḥibbān, dari Abū Hurairah (57 H) bahwa Nabi melarang sahabatnya untuk menganggap dirinya (Nabi Muhammad) lebih baik dari Nabi Musa karena kelak nanti di hari Kiamat ia adalah orang yang pertama kali dibangkitkan padahal ternyata Nabi Musa telah berada di ‘Arsy. Nabi pun menyatakan bahwa tidak seorang pun lebih unggul dari Yūnus bin Mattā (Nabi Yunus). (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 2 halaman 179 dan 480, Muslim bin al-Ḥajjāj dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 7 halaman 100-101, Abū Dāwūd dalam Sunan Abī Dāwūd juz 5 halaman 36-37 dan Ibn Balabān al-Fārisī dalam Ṣhaḥīḥ Ibn Ḥibbān juz 16 halaman 301).
Pernyataan Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam hadis riwaya tal-Bukhārī dan Muslim tersebut setidaknya menunjukkan beberapa hal:
1.      Nabi Muhammad mengakui eksistensi orang Yahudi yang menyebutkan nama Musa dalam konfrontasinya dengan sahabat Nabi.
2.      Nabi Muhammad acapkali melarang sahabatnya untuk mengunggulkan dirinya dibandingkan dengan nabi-nabi yang lain.
Tidak hanya persoalan pengakuan dan penghormatan kepada eksistensi agama selain Islam, Nabi Muhammad pun menganggap pemeluk agama lain dapat masuk surga. Informasi sejarah yang menunjukkan hal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim dan al-Ḥākim adalah pernyataan Nabi tentang Waraqah bin Naufal, seorang yang dikenal dan diakui sebagai pemeluk agama Nasrani bahkan pendeta (rāhib). Nabi menemuinya setelah menerima wahyu untuk pertama kalinya, dan Waraqah menjanjikan pertolongannya jika ia masih hidup pada saat Nabi menyampaikan wahyu. Nabi melarang siapapun untuk menghinaWaraqah, karena menurut Nabi telah disediakan satu atau dua surga baginya. (Al-Bukhārī dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 1 halaman 14-15, Muslim bin al-Ḥajjāj dalam al-Jāmiʻ ash-Ṣhaḥīḥ juz 1 halaman 97-98, Abū Abdullāh al-Ḥākim an-Nīsābūrī dalam al-Mustadrak ʻalā ash-Ṣhaḥīḥain juz 2 halaman 715-716, Cairo: Dār al-Ḥaramayn li al-Ṭibāʻah wa al-Nashr wa al-Tawzīʻ, 1997, Muṣaḥḥiḥ: Abū Abdurraḥmān Muqbil ibn Hādī al-Wādiʻī).
Selain menjamin kebebasan memeluk agama, menjamin kebebasan melaksanakan ajaran agama dan tidak membatasi klaim keselamatan (surga) hanya milik umat Islam, Nabi Muhammad bahkan pernah mengizinkan umat agama lain untuk melaksanakan ibadah mereka di dalam masjid. Ibn Iṣḥāq, al-Baihaqī dan Ibn Katsīr (774 H) menceritakan bahwa pernah ada kunjungan sejumlah 60 tokoh agama Kristen dari Najrān ke Madinah yang dipimpin oleh 3 orang di antara mereka, yaitu al-ʻĀqib ʻAbd al-Masīḥ, pemimpin utama, al-Aiham orang yang dianggap sebagai “sang penolong”, dan Abū Ḥāritsah bin ʻAlqamah, seorang uskup yang berasal dari tanah Arab dan mengenal Nabi Muhammad sehingga Abū Ḥāritsah lah yang menjadi salah satu juru bicara dari rombongan Najrān tersebut. (Ibn Hisyām dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1 halaman 573-578 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah halaman 270-271).
Setibanya di Madinah, mereka langsung menuju masjid menjelang masuk waktu shalat Ashar. Ketika waktu Ashar tiba, dengan mengenakan pakaian yang bagus dan indah, rombongan tokoh-tokoh Kristen Najrān itu pun masuk ke dalam masjid dan melaksanakan ibadah (kebaktian) menghadap ke arah timur. Melihat ini Nabi berkata kepada para sahabatnya: “daʻūhum” (biarkan mereka). (Ibn Hisyām dalam as-Sīrah an-Nabawīyah juz 1 halaman 573-578, al-Baihaqī dalam Dalā’il an-Nubūwah juz 5 halaman 382-383 dan Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 7 halaman 269-272).
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-9 H, saat Nabi Muhammad bersama umat Islam berada pada puncak kejayaan Islam. Nabi bisa saja mencegah atau melarang rombongan tokoh-tokoh Kristen Najrān tersebut untuk beribadah di dalam masjid, karena:
1.      Saat itu waktu shalat Ashar telah tiba, selayaknya Nabi dan parasahabatnya lah yang berhak menggunakan masjid untuk beribadah.
2.      Rombongan tersebut adalah non Muslim, dan masjid adalah tempat ibadah bagi umat Islam, bukan untuk selainnya.
Tapi sekali lagi Nabi Muhammad tidak melakukan pencegahan maupun pelarangan yang mungkin dapat dilakukannya.
Peristiwa Pembakaran Masjid al-Ḍirār
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan sedikit memaparkan tentang peristiwa Masjid adh-Ḍhirār. Informasi tentang pembakaran Masjid adh-Ḍhirār ini penting karena belakangan ini peristiwa tersebut menjadi legitimasi pembakaran dan perusakan rumah ibadah baik yang didirikan oleh sekelompok jamaah umat Islam yang minoritas seperti yang menimpa pada masjid jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten dan masjid jamaah Syiah di Madura, apalagi rumah ibadah pemeluk agama lain seperti gereja yang didirikan oleh umat Kristiani.
Penamaan Masjid adh-Ḍhirār yang berarti bahaya berasal dari wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad sepulang dari Tābūk, yaitu surat at-Taubah ayat 107-110. Masjid ini dibangun oleh 12 orang munfik Madinah, yaitu Khidhām bin Khālid, Tsaʻlabah bin Ḥāṭib, Muʻattib bin Qushair, Abū Ḥabībah bin al-Azʻar, ‘Abbād bin Ḥunaif, Jāriyah bin ʻĀmir, Mujammiʻ bin Jāriyah, Zaid bin Jāriyah, Nabtal bin al-Ḥārits, Baḥzaj Banī Ḍubayʻah, Bijād bin Utsmān dan Wadīʻah ibn Tsābit. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 7 halaman 190).
Masjid ini dibangun di sebelah rumah Khidhām bin Khālid dan dekat dengan Masjid Qubā’. Tujuan pembangunan Masjid adh-Ḍhirār ini adalah untuk membahayakan Nabi Muhammad, menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam dan mereka yang membangun masjid ini menghendaki Nabi Muhammad shalat di masjid mereka agar mendapat legitimasi dari Nabi, tapi Nabi menolaknya karena saat itu akan berangkat ke Tābūk dan menjanjikan sepulang dari Tābūk. Untungnya, di tengah perjalanan Nabi Muhammad pulang dari Tābūk menuju Madinah, turunlah ayat 107-110 yang menjelaskan tentang pembangunan masjid ini, bahaya yang terkandung di dalamnya, dan upaya Abū ‘Āmir yang hendak berbuat jahat kepada Nabi Muhammad. (Ibn Katsīr dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah juz 7 halaman 188).
Abū ʻĀmir adalah seorang penganut agama Kristen dari suku Khazraj yang pernah menolak diajak memeluk agama Islam oleh Nabi Muhammad. Sesaat setelah umat Islam memenangkan perang Badr, muncul kebencian Abū ʻĀmir kepada umat Islam. Ia pun pergi ke Mekkah dan mengajak penduduk Mekkah untuk memerangi Nabi Muhammad sehingga terjadilah perang Uḥud. Ia pula yang menyiapkan sejumlah liang jebakan, dan Nabi Muhammad jatuh ke dalam salah satunya sehingga Nabi terluka di wajahnya, dan gigi beliau patah. (Ibn Katsīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAdẓīm juz 7 halaman 180, Cairo: Maktabah Awlād al-Shaykh li al-Turāth, 2000, Muḥaqqiq: Muṣṭafā as-Sayyid Muḥammad).
Berdasarkan wahyu yang Nabi peroleh dari Allah tentang Masjid adh-Ḍhirār tersebut dalam surat at-Taubah, Nabi kemudian memerintahkan dua sahabatnya, yaitu Mālik bin ad-Dukhshum dan Maʻn bin ʻAdī untuk membakar masjid tersebut. Keduanya pun segera membakar dan merobohkannya. (Ibn Katsīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAdẓīm juz 7 halaman 189-190).
Setelah mencermati informasi yang berkenaan dengan pembakaran Masjid adh-Ḍhirār sebagaimana telah dipaparkan, maka jelas konteks yang menjadi latar belakang pembakaran Masjid adh-Ḍhirār adalah perbuatan jahat yang sengaja disusun oleh sekelompok orang munfik untuk memecah belah umat Islam. Sedangkan pembakaran rumah ibadah yang belakangan ini menimpa jamaah Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia karena penolakan yang didasari oleh berbedaan pendapat semata. Jamaah Ahmadiyah maupun Syiah tidak melakukan hal yang sama dengan Abū ‘Āmir dan kelompoknya. Kedua kelompok tidak bisa dianggap sebagai sekumpulan orang-orang munafik yang ingin memecah belah umat Islam, mereka hanya berbeda pendapat dengan mainstream pemikiran keagamaan umat Islam Indonesia yang Sunnī, dan oleh karenanya mereka menjadi kelompok minoritas.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang menghormati manusia tanpa memandang agama yang dianutnya, Nabi Muhammad bahkan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan pada saat menjadi mayoritas dan dalam posisi yang benar, Nabi Muhammad tidak menggunakan keunggulannya sebagai pihak mayoritas dan yang benar untuk melakukan hal-hal yang merugikan pihak lain.
2.      Nabi Muhammad memberikan kebebasan memeluk agama, tidak memaksa seorang pun untuk masuk agama Islam, menjamin kebebasan melakukanibadah, memiliki pandangan yang berbeda berkenaan dengan klaim keselamatan, bahkan Nabi Muhammad mengizinkan umat beragama lain untuk beribadah di dalam masjid.
3.      Peristiwa pembakaran masjid yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, tidak bisa dijadikan sebagai alat legitimasi bagi perusakan atau pembakaran rumah ibadah agama mana pun.
Berpijak pada ketiga hal tersebut, seyogyanya, dengan meneladani Nabi Muhammad, umat Islam di manapun khususnya di Indonesia sebagai mayoritas dapat menampilkan wajah Islam yang ramah, toleran, pluralis (menghargai keragaman), dan humanis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan sebaliknya, mencederai agama Islam dengan bertindak anarkis, tidak toleran, menganggap diri paling benar. Apalagi umat Islam di Indonesia hidup bersama umat beragama lainnya, sehingga dengan meneladani tindakan dan ucapan Nabi Muhammad, dapat terwujud kehidupan yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain.
Diedit ulang dari judul asli “The Prophet Muhammad's Relationship with Jews and Christiansmore” oleh Rifqi Muhammad Fathi (rifqimuhammad@uinjkt.ac.id), Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Download tulisan aslinya di sini: Muhammad dan Yahudi-Nasrani
Sumber :
 http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2014/05/interaksi-nabi-muhammad-saw-dengan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar