Nahdatul Ulama disingkat NU, yang merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. Organisasi
ini merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia dewasa ini.
NU mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka
yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama
Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih berada di
pesantren.
Sebagai latar belakang terbentuknya organisasi NU ini adalah: gerakan
pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya
gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin al-Afghani untuk
mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan
nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.
Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)
Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran
politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil
gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam
sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum
yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam.
Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan
yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20
Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul
Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam
Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret
pemikiran). Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab
Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah yang menjadi cikal bakal
lahirnya NU.
Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad
Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah,
yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia.
Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn
Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka
dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu
sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham
menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah
tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim As’ari
(1871-1947) Kiai dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang
merupakan ulama Jawa paling disegani-menyetujui permintaan mereka untuk
membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
- Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
- Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
- Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
- Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
- Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
- Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
Dari keenam usaha tersebut, hanya satu butir saja yaitu usaha pertanian,
perdagangan dan industri yang tidak berhubungan langsung dengan
kehidupan kaum ulama secara khusus.
Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo pada tahun 1984, melalui sebuah
keputusan yang disebut “Khittah Nahdatul Ulama”, menegaskan kembali
usaha-usaha tersebut dalam empat butir. Pertama, peningkatan
silaturrahmi antar ulama. Kedua, peningkatan kegiatan di bidang
keilmuan/pengkajian/pendidikan. Ketiga, peningkatan penyiaran Islam,
pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. Keempat,
peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang
terarah, mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan-urusan pertanian,
perniagaan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’.
Dengan demikian pengaruh ulama sangat besar dalam NU, dan telah mendapat
konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya NU
adalah Jam’iyyah Diniyyahyang membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Selanjutnya akan dijelaskan sekilas tentang lambang NU, lambang NU ini
dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang sebuah bintang besar di atas
bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang kecil, masing-masing dua
disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan empat
khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat
Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga
bermakna sembailan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama
Islam di jawa. Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul
kemanusiaan, yaitu bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya
manusia akan kembali dan manusia akan dibangkitkan pada hari
pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan
melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya seluruh muslim di
dunia disatukan.
Kalangan
pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi
pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun
1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana
pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya
didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul
Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan
tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan
martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan
yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain,
sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan
pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab
wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah
Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap
bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum
modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman,
menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota
Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga
tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres
Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab
serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite
Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan
tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud
mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah
peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional
dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais
Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari
merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar