Sabtu, 12 Juli 2014

Istilah Ulama dan Kiai

Oleh: Gus Mus Boleh jadi pengaruh dan penyerapan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia tak kalah banyak daripada sumbangan bahasa asing lain, terutama bahasa Inggris. Kita melihat banyak sekali kosa kata kita yang merupakan serapan dari -atau "rakitan" dengan bahan baku- bahasa Arab.

Contoh paling mencolok adalah istilah-istilah yang digunakan untuk lembaga-lembaga legislatif kita.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya, berasal dari kata Arab majlis, musyawarah, dan raa’iyah. Dewan Perwakilan Rakyat dari diiwaan, wakiil, dan ra’iyah. Dewan Perwakilan Daerah pun demikian. Kata daerah diambil dari daairah.

Bahasa Arab juga banyak menyerap bahasa asing, namun galibnya terbatas pada istilah-istilah baru yang tak ada di Arab. Misalnya, kata sijarah dari cigarette, telefuun dari telephone, telefeziyuun dari television, dan dimukrathiyah dari demokrasi. Kata-kata seperti itu mereka sebut mu’arrab, yang diarabkan.
Berbeda dari kata-kata mu’arrab yang umumnya terbatas pada istilah-istilah baru yang memang tidak ada dalam kamus Arab. Kata-kata Arab yang diindonesiakan sering mengalami pergesaran dari makna aslinya atau sengaja diberi muatan makna lain karena tidak tahu atau karena kepentingan tertentu.

Ada beberapa istilah yang diambil dari bahasa Arab itu yang kemudian rancu atau dirancukan orang dengan istilah asli dari sononya. Istilah ulama yang sudah mengindonesia dirancukan dengan ’ulamaa yang masih asli Arab. Di Arab, kata ’ulamaa adalah bentuk jamak dari ’aalim/aliim, berasal dari ’alima-ya’lamu yang berarti mengetahui. ’Ilmu = pengetahuan dan ’aalim/’aliim = orang yang berpengetahuan. Jadi, ’ulamaa adalah orang-orang yang berpengetahuan.

Karena itu, dalam bahasa Arab, orang-orang semacam Isaac Newton hingga Habibie kita yang ahli pesawat terbang termasuk golongan ’ulamaa. Jadi, bukan hanya tokoh-tokoh yang seperti para sahabat dan para mujtahid yang bukan saja ahli dalam ilmu ke-Ilahi-an, tapi juga dalam amaliah. Meskipun, lazimnya istilah ’ulamaa memang dimaksudkan untuk yang terakhir ini (dan yang sejenis itu pada zaman ini, tampaknya, stock-nya sudah habis).

Setelah ditaklukkan (ini istilah Rendra) ke dalam bahasa Indonesia menjadi ulama, bentuknya berubah tak lagi jamak, tapi mufrad, satu. Jadi, sebagai orang Indonesia, Anda bisa dan sah, misalnya, mengatakan "Seorang ulama besar" atau "Wahai para ulama!". Ulama dalam bahasa Indonesia memang berarti seorang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kita tahu, tidak semua amaliah orang yang ahli dalam sesuatu bidang pengetahuan bersangkut-paut dengan pengetahuannya. Ada ahli hukum yang tidak menghargai hukum, ada dokter hewan yang tidak pernah menyentuh hewan, ada ahli jiwa yang sakit jiwa, dan sebagainya.

Demikian pula dengan ulama, ahli agama Islam, juga ada -kalau tidak banyak- yang amaliahnya tidak atau kurang Islami. Apalagi, kita tahu sendiri, pengetahuan agama di kita masih belum terlalu beranjak dari simbol-simbol belaka (Majelis Ulama Indonesia saja masih lebih sibuk ngurusi label halal dan logo kaset musik daripada ikut ngurusi koruptor serta tindakan arogansi, misalnya. Padahal, korupsi jauh lebih menjijikkan daripada minyak babi dan arogansi. Atau, takabur jauh lebih gawat akibatnya daripada logo kaset).

Yang berbeda dari istilah ulama adalah istilah kiai. Istilah kiai adalah istilah budaya (Jawa), bukan terjemahan dari ulama. Orang Jawa mempunyai kebiasaan menyebut kiai kepada apa atau siapa saja yang mereka hormati, bahkan mereka keramatkan. Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten adalah benda. Kiai Slamet adalah hewan. Para pendiri NU yang umumnya dari Jawa menamakan jam’iyah mereka dengan Nahdlatul Ulama. Saya kira, itu karena mereka tidak menemukan padanan kata kiai, lalu mengambil yang agak mirip. Karena pada waktu itu peran kiai -yang relatif cukup menguasai ajaran Nabi Muhammad SAW- memang sejauh mungkin meniru peran para sahabat, tabi’iin, dan para mujtahid, terutama di dalam ri’aayatul ummah, mengawani umat; melihat umat dengan kacamata kasih saying. Menolong mereka yang perlu ditolong, mengajar mereka yang tidak tahu, mengingatkan mereka yang lupa, dan seterusnya. Dan, itu mereka lakukan tanpa pamrih, kecuali rida Allah.

Jadi, kiai -yang kemudian disinonimkan dengan ulama- adalah istilah yang diberikan masyarakat atau menurut istilah Arief Budiman: produk masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah itu semakin meruwetkan ketika kemudian masyarakat tidak lagi bisa "memonopoli" dalam "memproduksi" kiai. Kata Arief Budiman, pemerintah juga bisa memproduksi kiai/ulama. Pers juga bisa. Dan, saya menambahkan, ada kiai/ulama produk partai dan produk sendiri. Yang terakhir itu cukup dengan modal -selain aksesori seperti kopiah, serban, dan tasbih- punya sedikit kemampuan akting, punya hafalan beberapa ayat dan satu-dua hadis, sukyur sedikit-sedikit bisa ndukun.

sumber: http://www.gusmus.net/gusmus/page.php? mod=dinamis&sub=2&id=49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar