Minggu, 20 Juli 2014

Hukum menggunakan pil anti haid saat Haji dan puasa


Penggunaan pil anti haid agar bisa melaksanakan Haji dan puasa - Fatwa MUI

PIL ANTI HAID

Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 12 Januari 1979 telah mengambil keputusan :

1.  Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah.

2.  Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan seblum penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanit yang sukar menqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.

3.  Penggunaan  Pil  Anti  Haid  selain  dari  dua  hal  tersebut  di  atas, hukumnya  tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.

Jakarta, 12 Januari 1979

KOMISI FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

                                     Ketua                                  

                                     ttd                                     

                      K.H. M. Syukri Ghozali                   

Sekretaris

ttd

H. Musytari Yusuf, LA



PERTANYAAN:

Ayi Yuniar:
1. Demi ingin berpuasa sebulan penuh seorang muslimah mngkonsums
i obat anti haid
Bagaimana menurut islam yang demkian itu?

2. Gabriel mencoba meminumkan obat tersebut kepada istrinya agar ia dapat menggarap sawah sebulan penuh.
Bagamanakah Islam menyikapinya?


JAWABAN:

Masaji Antoro:
Dalam dua pertanyaan di atas menurut kalangan Syafi'iyyah diperbolehkan asalkan tidak menimbulkan bahaya pada dirinya.
Berikut uraiannya, sekaligus pendapat-pendapat kalangan madzhab selain syafiiyyah tentang wanita yang minum obat pencegah datangnya haid.
وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ
"Dalam Fatawa Al Qammaath (Syeikh Muhammd ibn al Husein al Qammaath) di simpulkan diperbolehkannya menggunakan obat untuk mencegah datangnya haid." (Ghayatut Talkhis: 196)

Sumber kitab:
Ghooyah at-Talkhiish al-Murood 247 / halaman 196, maktabah syamilah (Fiqh Syafi’iyyah)

اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا
أَمَّا أَنْ تَصُوْمَ الْحَيْضُ بِسَبَبِ دَوَاءٍ فِيْ غَيْرِ مَوْعِدِهِ فَإِنَّ الظَّاهِرَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُسَمَّى حَيْضًا وَلَا تَنْقَضِيْ بِهَ عِدَّتُهَا وَهَذَا بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتَعْمَلَتْ دَوَاءً يَنْقَطِعُ بِهِ الْحَيْضُ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِ الْمُعْتَادِ فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ طُهْرًا وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَمْنَعَ حَيْضَهَا أَوْ تَسْتَعْجِلُ إِنْزَالَهُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ صِحَّتَهَا لِأَنَّ الْمُحَافَظَةَ عَلَى الصِّحَّةِ وَاجِبَةٌ
"Kalangan Malikiyyah berpendapat :
Haid adalah darah yang yang keluar dari alat kelamin wanita pada usia yang ia bisa hamil menurut kebiasaan umum.
Bila wanita menjalani puasa akibat obat yang mencegah haid hadir dalam masanya, menurut pendapat yang zhahir masa-masa tidak dikatakan haid dan tidak menghabiskan masa iddahnya, berbeda saat ia menjalani haid dan meminum obat untuk menghentikan haidnya diselain waktu kebiasaannya, maka ia dinyatakan suci namun iddahnya dapat terputus karena sesungguhnya tidak boleh bagi seorang wanita mencegah atau mempercepat keluarnya darah haid bila membahayakan kesehatannya karena menjaga kesehatan wajib hukumnya." (al-Fiqhu 'ala Madzahibil 'Arba'ah, 1/103)

Sumber kitab:
Al Fiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/103, maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin)
Sumber link:
http://islamport.com/w/fqh/Web/2793/102.htm(1/103)

أَحْكَامٌ عَامَّةٌ
أَوَّلًا - إِنْزَالُ وَرَفْعُ الْحَيْضِ بِالدَّوَاءِ
صَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ إِنْ أُمِنَ الضَّرَرُ ، وَذَلِكَ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ . لأِنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ، وَكَرِهَهُ مَالِكٌ مَخَافَةَ أَنْ تُدْخِل عَلَى نَفْسِهَا ضَرَرًا بِذَلِكَ فِي جِسْمِهَا . كَمَا صَرَّحُوا بِأَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْرَبَ دَوَاءً مُبَاحًا لِحُصُوْل الْحَيْضِ ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا غَرَضٌ مُحَرَّمٌ شَرْعًا كَفِطْرِ رَمَضَانَ فَلاَ يَجُوْزُ .
ثُمَّ إِنَّ الْمَرْأَةَ مَتَى شَرِبَتْ دَوَاءً وَارْتَفَعَ حَيْضُهَا فَإِنَّهُ يُحْكَمُ لَهَا بِالطَّهَارَةِ ، وَأَمَّا إِنْ شَرِبَتْ دَوَاءً وَنَزَل الْحَيْضُ قَبْل وَقْتِهِ فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّ النَّازِل غَيْرُ حَيْضٍ وَأَنَّهَا طَاهِرٌ . فَلاَ تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ ، وَلاَ تَحِل لِلأزْوَاجِ ، وَتُصَلِّيْ وَتَصُوْمُ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ غَيْرَ حَيْضٍ ، وَتَقْضِي الصَّوْمَ دُوْنَ الصَّلاَةِ احْتِيَاطًا لاِحْتِمَال أَنَّهُ حَيْضٌ .
وَقَدْ صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهُ إِذَا شَرِبَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً فَنَزَل الدَّمُ فِي أَيَّامِ الْحَيْضِ فَإِنَّهُ حَيْضٌ وَتَنْقَضِيْ بِهِ الْعِدَّةُ
(1) حاشية ابن عابدين 1 / 202 ، حاشية الدسوقي 1 / 167 ، 168 ، مواهب الجليل 1 / 366 ، كشاف القناع 1 / 218

Hukum umum
Keluar dan hilangnya haid akibat obat
Kalangan Hanabilah menjelaskan :
Diperkenankan bagi wanita meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya, itupun bila seijin suami karena suami punya hak anak atas dirinya, Imam malik memakruhkannya bila menimbulkan bahaya dalam raganya seperti diperkenankan baginya meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk mendapatkan masa haidnya hanya saja bila bertujuan yang diharamkan syara’ seperti agar tidak berpuasa dibulan ramadhan maka tidak diperkenankan.
Wanita yang meminum obat kemudian hilang haidnya maka dihukumi wanita suci, namun wanita yang meminum obat agar mendapatkan haidnya sebelum masanya tiba maka darah yang keluar menurut kalangan malikiyyah bukanlah darah haid dan dia tetap dikatakan suci dan tidak habis iddahnya dan tidak halal untuk dinikahi, baginya tetap wajib sholat dan puasa karena kemungkinannya bukan darah haid, boleh mengqadha puasanya bukan shalatnya karena kemungkinan yang keluar darah haid.
Kalangan Hanafiyyah menjelaskan : Wanita yang meminum obat kemudian keluar darah haid pada masa-masanya, yang keluar adalah darah haid dan menghabiskan masa iddahnya." (Haasyiyah Ibn ‘Aabidiin I/202, Haasyiyah ad-Daasuqi I/167-168, Mawaahib al-jaliil I/366, Kasysyaaf alQanaa’ I/218)
[al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 18/327]

Sumber kitab:
Al Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah XVIII/327 , maktabah syamilah (Fiqh Muqaarin)
Sumber link:
http://islamport.com/d/2/fqh/1/35/820.html (19/357)

Catatan:
Berikut ta’bir Kitab Kasysyaaful Qanaa’ selengkapnya:
( وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا ) كَالْعَزْلِ وَ ( قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ ) أَيْ : لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ ( وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا ) أَيْ : إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ ( مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ ، وَقُطِعَ بِهِ فِي الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ .
( ومثله ) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض ( شربه كافورا ) قال في المنتهى ولرجل شرب دواء مباح يمنع الجماع
"[Diperbolehkan meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl
[Qadhi Ibnu Muflih berkata: tidak diperbolehkan kecuali dengan sejin suami] sebab suami memiliki hak atas mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk mendapatkan keturunan yang dikehendakinya
[Sebagaimana hal itu] yakni sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan persetubuhan." (Kasysyaful Qana', 1/218)

Sumber kitab:
Kasysyaaful Qanaa’ karya Syeikh Manshuur ibn Yunuus al Bahuuti juz II halaman 96, maktabah syamilah (Fiqh Hanabilah)
Sumber link:
http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=16&ID=444
  Wallaahu A’lamu bishshawaa
PERTANYAAN :


Ummi Kultsum
Assalamu'alaikum..ust yai.kang mbk maaf ummi mau nanya nih,apa hukum'y stem cells..?? pengobatan dgn plasenta,sebelumnya terima kasih


JAWABAN :


>> Nur Hasyim S. Anam

Bahtsul Masaail PP Nurul Hudaa Malang
------------------------------------------------------------------------------
--
Bagian Tubuh Manusia Sebagai Bahan Obat


Hormon progesteron yang menjadi bahan utama obat penunda haid (menstruasi) agar tercipta kesucian semu, ternyata bahan dasarnya adalah hormon yang diproduksi placenta (ari-ari/duluran bayi). Perusahan farmasi di negeri RRC juga memproduksi obat anti asma dengan bahan tersebut.

Bagaimana hukum memproduksi obat-obatan dengan mengambil bahan dari bagian tubuh manusia yang telah terlepas dari badan manusia?

Jawaban

Bahan produksi obat dengan mengambil bahan dari bagian tubuh manusia yang terlepas dari bagian tubuhnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih:


Haram hukumnya, karena bagian tubuh manusia tidak boleh dimanfaatkan selaras dengan prinsip penghormatan kepada karomah insaniyyah.


Menurut para ahli fikih dari madzhab Hambali diperbolehkan, karena bisa diambil manfaat oleh sesama manusia, seperti kulit badan manusia karena kondisi darurat.
Khusus penggunaan plasenta (almasyimah) setelah terlepas dari rahim dan bayinya, boleh dimanfaatkan karena bukan lagi berstatus sebagai bagian manusia dan tanpa dimanfaatkanpun pasti hancur (mustahlak).

Dasar Pengambilan:


Kitab Al Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab juz 9 halaman 45:

وَلاَ يَجُوزُ انْ يَقْطَعَ مِنْ مَعْصُومِ غِيْرِهِ بِلاَ خِلاَفٍ وَلَيْسَ الغَيْرُ انْ يَقْطَعَ مِنْ أعْضَاءِهِ شَيْئًا لِيَدْفَعَهُ إِلَى المُضْطَرِّ بِلاَ خِلاَفٍ صَرَحَ بِهِ إِمَامُ الحَرَمَيْنِ وَالأَصْحَابُ.

Dan tidak boleh memotong anggota badan yang dihormati dari orang lain, tanpa ada perbedaan pendapat. Dan tidak boleh orang lain memotong sesuatu dari anggota-anggota badannya untuk diberikan kepada orang yang sangat memerlukannya, tanpa ada perbedaan pendapat. Imam Haromain dan pendukung madzhab Syafi'i menjelaskannya.


Kitab Nihayatul Muhtaj Syaroh Al-Minhaj juz 8 halaman 163:

(وَيَحْرُمُ قَطْعُهُ) اى البَعْضِ مِنْ نَفْسِهِ (لِغَيْرِهِ) وَلَو مُضْطَرًّا مَالَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الغَيْرُ نَبِيًّا فَيَجِيْبُ لَهُ ذَلِكَ.

(Dan haram memotongnya) yaitu sebagian dari dirinya (untuk orang lain) meskipun orang lain tersebut sangat memerlukannya, selain orang lain tersebut bukan nabi. Jika nabi, wajib memotongnya untuk beliau


Hasyiyah Asy Seikh Sulaiman Al-Jamal Syarah Al-Minhaj juz 2 halaman 190:

وَعِبَارَةُ البَرْمَوِيِّ: أمَّا المَشِيْمَةُ المُسَمّاَةُ بِالخَلاَصِ فَكَالجُزْءِ لأَنَّهَا تُقْطَعُ مِنَ الوَلَدِ فَهِيَ جُزْءٌ مِنْهُ وَأَمَّاالمَشِيْمَةُ الَّتِى فِيْهَا الوَلَدُ فَلَيْسَتْ جُزْاءً مِنَ الأُمِّ وَلاَ مِنَ الوَلَدِ.

Dan ibarat dari Al-Barmawi adalah sebagai berikut: Adapun ari-ari yang dinamakan tembuni maka adalah seperti badan, karena dia dipotong dari anak yang lahir, maka dia adalah bagian dari anak. Dan ari-ari yang janin berada di dalamnya (tempat janin dalam kandungan). Maka dia bukan bagian dari ibu dan bukan pula bagian dari anak

===========

KEPUTUSAN MUSYAWARAH MASAIL DINIYYAH
PONDOK PESANTREN “MUS” SARANG REMBANG
TAHUN 1997 M./ 1418 H.

29. Hormon Progesteron yang menjadi bahan utama obat penunda haid atau menstruasi agar tercipta kesucian semu, ternyata bahan dasarnya ada
lah hormon yang diproduksi plasenta (ari – ari / dulur bayi –jawa) perusahaan farmasi dinegeri RRC juga memproduksi obat asma dengan plasenta tersebut.

Pertanyaan :
a. Bagaimana hukum memproduksi obat-obatan dengan mengambil bahan-bahan dari plasenta atau dari bahan tubuh manusia yang terlepas ?.
b. Dan bagaimana pula hukum mengkonsumsinya ?.

Jawaban a :
Hukum memproduksi obat-obatan tersebut tidak boleh (HARAM).

Referensi : 1. Mughni Muhtaj Juz IV Hal. 307.
2. Hasyiyah Sulaiman Al Jamal Juz II Hal. 190.
3. Al Bujairomi Alal Khothib Juz IV Hal. 272.
4. Tausyih Hal. 38.

1-وفى مغنى المحتاج للشيخ العلامة محمد الخطيب الشربينى ما نصه :
{تنبيه} حيث جوزنا أكل ميتة الأدمي المحترم لا يجوز طبخها ولا شيها لما فيه من هتك حرمته ويتخير فىغيره بين أكله نيئا ومطبوخا ومشويا .

2-وفى البجيرمى على الخطيب للشيخ سليمان البجيرمى ما نصه :
{قوله لا يجوز طبخها} قيده الأذرعى بالمحترم والأوجه الأخذ بإطلاقهم ومحل امتناع طبخه وشيه حيث أمكن أكله نيئا وإلا جاز .اهـ م د

3-وفى حاشية الشيخ سليمان الجمل للشيخ سليمان الجمل ما نصه :
وعبارة البرماوى أما المشيمة المسماة بالخلاص فكالجزء لأنها تقطع من الولد فهي جزء منه ، وأما المشيمة التى فيها الولد فليست جزءا من الأم ولا من الولد .

4-وفى التوشيح للشيخ محمد نووى بن عمر الجاوى ما نصه :
{وخرج بقوله لا لحرمتها ميتة الآدمي} فإنها وإن حرم تناولها مطلقا أى كثر أو قل فى حال الإختيار لكنه لا لنجاستها بل لاحترامها ولو حربيا لأن الحرمة الذاتية ثابتة له .

Jawaban b :
Hukum menkonsumsinya tidak boleh (HARAM).

Referensi : sama dengan jawaban bag. A

____________________________________________________

KESIMPULAN :

>> Ibnu Toha

diharamkannya plasenta tsb bukan mengacu pada masalah najis atau tidak, tapi karena masih berupa anggota anak adam yg dimulyakan, yg haram dimakan termasuk dibuat obat.

>> Abdurrahman As-syafi'i

pemanfaatan tidak hanya dgn dimakan diminum atau sbgnya tapi apa saja, meski dioles,meski dibuat jimat..
Itu sama saja memanfaatkan.
Toh dalam pembuatanya pakai juz'iyah manusia juga..


Link Asal >>
www.facebook.com/groups/piss.ktb/435056386517175/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar