Syari’at Islam dewasa ini sudah mulai menjadi asing di kalangan umat islam sendiri. Diantara kebanyakan syari’at yang belum diketahui dan di anggap asing oleh umat Islam sendiri terkait hal-hal yang berhubungan dengan Ibadah shalat adalah meninggikan tempat posisi Imam lebih tinggi daripada makmum ketika shalat berjamaah.
Buktinya, masih banyak mesjid mesjid yang ada di sekitar kita yang sengaja menembok posisi tempat imam lebih tinggi daripada makmum walaupun hanya beberapa cm saja (di luar batas hukum ‘Urfi). Tapi jika kita kaji, ternyata Rasulullah saw melarang umat Islam untuk membuat tempat imam lebih tinggi daripada makmum, sebagaimana dijelaskan oleh para Ahli hadits dan Fuqaha dalam kitab-kitab karangannnya, diantaranya Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As-Syaukani membahas masalah ini dengan jelas dalam kitabnya “Nailul Authar Syarah Muntaqal Akhbar” Bab “Wuquufu Imam a’la min ma’mum wa bil ‘aksi (Berdirinya Imam lebih tinggi daripada makmum atau sebaliknya)”.
عَنْ هَمَّامٍ أَنَّ حُذَيْفَةَ أَمَّ النَّاسَ بِالْمَدَائِنِ عَلَى دُكَّانٍ ، فَأَخَذَ أَبُو مَسْعُودٍ بِقَمِيصِهِ فَجَبَذَهُ ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : بَلَى قَدْ ذَكَرْتُ حِينَ مَدَدْتَنِي . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد .
Dari Hammam bahwasanya Hudzaifah sedang mengimami masyarakat Mada`in di atas bangku panjang, maka Abu Mas’ud menarik bajunya, dan ketika selesai melaksanakan shalat, Abu Mas’ud berkata; Tidakkah kamu tahu bahwa mereka dilarang untuk melaksanakan hal demikian? Dia menjawab; Ya, aku ingat ketika kamu menarik bajuku. (HR. Abu Daud)
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ؟ أَنْ يَقُومَ الْإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍ وَالنَّاسُ خَلْفَهُ ، يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ .
Dari Ibnu Mas’ud Ia berkata: Rasulullah saw pernah melarang seorang Imam berdiri diatas sesuatu sedangkan orang-orang (bermakmum) dibelakangnya. Yaitu lebih rendah darinya (Imam). (HR. Ad-Daruquthni)
Kedua hadits diatas dijadikan dalil tentang di bencinya meninggikan tempat duduk Imam (ketika shalat). Maka Imam As-Syaukani berkesimpulan dengan dalil-dalil tersebut adalah dilarangnya imam berada di tempat yang lebih tinggi dari pada makmum, baik itu di masjid ataupun lainnya, yang sejajar dengan tingginya masjid, di bawahnya atau di atasnya.
[Nailul Authar 1, hal. 745].
Namun pada suatu kesempatan Rasulullah saw pernah berdiri lebih tinggi daripada makmum ketika shalat, tetapi Rasulullah melakukan hal itu hanya untuk mengajarkan orang-orang bagaimana cara shalat Rasulullah saw, sebagaimana termaktub dalam hadits riwayat “Mutafaq ‘Alaih”, dalam Shahih Bukhari Hadits No. 866 dalam Kitab Jum’at, Bab “Khutbah diatas Mimbar” dan Shahih Muslim Hadits No.847 dalam Kitab Mesjid dan Tempat-tempat Shalat, Bab “Bolehnya Melangkah satu kali atau dua kali”.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ : أَنَّ النَّبِيّ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي أَوَّلِ يَوْمٍ وُضِعَ ، فَكَبَّرَ وَهُوَ عَلَيْهِ ، ثُمَّ رَكَعَ ثُمَّ نَزَلَ الْقَهْقَرَى ، فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ مَعَهُ ، ثُمَّ عَادَ حَتَّى فَرَغَ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ إنَّمَا فَعَلْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي ، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي . مُتَّفَق عَلَيْهِ .
Dari Sahl bin Sa’ad: Bahwasannya Nabi saw pernah duduk diatas mimbar pada awal hari pembuatannya, kemudian Beliau bertakbir (shalat) dalam posisi di atas mimbar lalu ruku’ dalam posisi masih di atas mimbar. Kemudian Beliau turun dengan mundur ke belakang, lalu sujud di dasar mimbar, kemudian Beliau mengulangi lagi (hingga shalat selesai). Setelah selesai, beliau menghadap kepada orang banyak lalu bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku berbuat seperti tadi agar kalian mengikuti dan agar kalian dapat mengambil pelajaran tentang tata cara shalatku (mengajaarkan kalian cara Shalatku ini).” (Mutafaq ‘alaih)
Hadits tersebut secara tersurat menjelaskan tentang bolehnya imam berdiri lebih tinggi daripada makmum ketika shalat dengan maksud hanya untuk mengajarkan cara shalat yang benar sesuai Rasulullah saw. Adapun meninggikan posisi imam selain dari alasan hal itu, maka tidak diperbolehkan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nailul Authar:
وَأَمَّا صَلَاته عَلَى الْمِنْبَر . فَقِيلَ : إنَّهُ إنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِغَرَضِ التَّعْلِيم كَمَا يَدُلّ عَلَيْهِ . قَوْله : « وَلِتَعْلَمُوا صَلَاتِي » . وَغَايَة مَا فِيهِ جَوَاز وُقُوف الْإِمَام عَلَى مَحَلّ أَرْفَع مِنْ الْمُؤْتَمِّينَ إذَا أَرَادَ تَعْلِيمهمْ .
Dan adapun shalatnya Nabi diatas mimbar. Maka dikatakan: Sesungguhnya Beliau mengerjakan hal itu hanya untuk tujuan mengajar, sebagaimana beliau menunjukan atasnya. Ungkapan :”Agar mereka mengetahui cara shalatku”. Dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah bolehnya imam berdiri lebih tinggi daripada makmum apabila tujuannya untuk mengajarkan mereka.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
وَأَخْتَارُ لِلْاِمَامِ الَّذِيْ يَعْلَمُ مِنْ خَلْفِهِ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى الشَّيْءِ الْمُرْتَفِعِ لِيَرَاهُ مِنْ وَرَاءِهِ فَيَقْتَدُوْنَ برِكُوُعِهِ وَسُجُوْدِهِ . وَإِنْ كَانَ الْإِمَامُ قَدْ عَلِمَ النَّاسَ مَرَّةً أَحْبَبْتُ أَنْ يُصَلِّىَ مُسْتَوِيًا مَعَ الْمَأْمُوْمِيْنَ، وَلَوْ كَانَ أَرْفَعَ مِنْهُمْ أَوْ أَخْفَضُ لَم تُفْسَدْ صَلَاتُهُ
Saya memilih agar imam mengajari para makmum mengenai cara mengerjakan shalat di tempat yang agak tinggi, agar ia dapat dilihat oleh makmum yang ada di belakangnya, kemudian mereka mengikuti ruku’ dan sujudnya. Apabila imam telah mengajarkan manusia, maka saya menyukai jika ia mengerjakan shalat pada tempat yang rata bersama para makmum. Namun apabila tempat imam lebih tinggi atau lebih rendah dari makmum, maka hal itu tidak membatalkan shalat imam dan makmum.
[Al-Umm 1, 251; Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 243].
Tetapi Ibnu Daqiqil ‘Ied berkomentar dengan tegas, sebagaimana di kutip juga oleh Ibnu Hajar dalam dalam kitab Fathul Bari:
قَالَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ الِارْتِفَاعِ مِنْ غَيْرِ قَصْدِ التَّعْلِيْمِ لَمْ يَسْتَقِمْ .
Ibnu Daqiqil ‘Id berkata: barang siapa yang hendak menjadikan dalil dengan hadits tersebut atas bolehnya meninggikan tempat imam bukan dengan tujuan mengajarkan (shalat) maka tidak diperkenankan (tidak bisa di terima).
Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika shalat memakai alas sajadah atau tikar? apakah itu sama meninggikan tempat imam daripada makmum?. Sebagian Ulama menjawab bahwa shalat memakai alas tikar atau semisalnya (sajadah) tidak menjadi persoalan karena hal itu masih ada dalam batas hukum ‘urfi (kewajaran), bahkan Rasulullah saw pun pernah shalat dengan beralaskan tikar, seperti dikutip imam Ahmad dalam hadits riwayatnya:
فال أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَالِطُنَا حَتَّى يَقُولَ لِأَخٍ لِي صَغِيرٍ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ طَائِرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ قَالَ وَنُضِحَ بِسَاطٌ لَنَا قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ وَصَفَّنَا خَلْفَهُ. (رواه أحمد))
Anas bin Malik berkata: Adalah Rasulullah saw bergaul dengan kami lalu berkata kepada adikku: Ya Abu Umair apa yang dilakukan oleh Nughoir (burung yang suka bermain dengannya) ia (Anas) berkata: lalu dicucilah tikar kami dan beliau shalat di atasnya dan mengatur shaf kami di belakangnya. (HR Ahmad)
Adapun meninggikan tempat imam dengan sengaja sehingga keluar dari hukum ‘urfi, maka hal itu jelas di larang.
Lalu bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? tempat makmum lebih tinggi daripada imam?, maka jawabannya adalah tidak apa-apa tempat makmum lebih tinggi daripada imam selama tidak ada dalil yang melarangnya. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan :
وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّىَ الْمَأْمُوْمُ مِنْ فَوْقِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ يَسْمَعُ صَوْتَهُ أَوْ يَرَى بَعْضَ مَنْ خَلْفَهُ
Tidak mengapa makmum mengerjakan shalat di atas masjid (lantai satu dan seterusnya) dan imam shalat di dalam masjid, apabila ia dapat mendengar suaranya atau melihat sebagian orang yang ada di belakang imam. (Al-Umm 1, 251; Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 243).
Maka jelaslah dari untaian dan penjelasan hadits-hadits Rasulullah saw tersebut, maka meninggikan posisi imam lebih tinggi dari pada makmumnya adalah tidak diperkenankan, kecuali sebatas hanya untuk mengajarkan shalat saja.
Fiqih Hadits:
• Tempat Imam tidak boleh lebih tinggi dari makmum
• Tempat imam boleh lebih tinggi dari makmum jika dengan maksud ta’lim (memberikan pengajaran)
• Imam boleh memakai tikar atau sajadah
• Tempat makmum boleh lebih tinggi dari imam, selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar