Jawaban:
Pada dasarnya shalat di area kuburan tidak dihukumi haram apalagi syirik. Mayoritas ulama salaf membolehkan shalat di kuburan. Mereka antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, radhiyallâhu ‘anhum. Berikut ini rincian pandangan para ulama al-madzâhib al-arba’ah:
Madzhab Hanafi
Menurut madzhab Hanafi, shalat di kuburan hukumnya makruh tanzih. Makruh tanzih tersebut akan hilang, dan status hukumnya menjadi boleh apabila mengerjakan shalat di tempat yang disiapkan untuk shalat dan di dalamnya tidak terdapat makam seseorang, tidak ada najis dan kiblatnya tidak menghadap ke makam tersebut. Demikian pernyataan al-Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hâsyiyah Radd al-Muhtâr [1/254].
Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, shalat di kuburan hukumnya boleh (tidak makruh), meskipun persis di atas kuburan dan tanpa alas, baik kuburan tersebut masih difungsikan atau pun sudah tidak dipakai, baik pernah digali atau tidak, dan meskipun kuburan orang musyrik. Tentu saja kebolehan tersebut apabila aman dari terkena najis. Dalam konteks ini, al-Imam al-Dardir berkata dalam al-Syarh al-Shaghir [1/267]:
وَجَازَتِ الصَّلاَةُ بِمَقْبَرَةٍ أَيْ فِيْهَا وَلَوْ عَلىَ مَقْبَرَةٍ عَامِرَةٍ أَوْ دَارِسَةٍ وَلَوْ لِكَافِرِيْنَ … إِنْ أُمِنَتِ النَّجَاسَةُ. (الشرح الصغير 1/267).
“Dan boleh mengerjakan shalat di area kuburan meskipun di atasnya, baik kuburan yang masih berfungsi maupun sudah lenyap, meskipun kuburan orang-orang kafir … apabila aman dari najis.” (Al-Syarh al-Shaghir 1/267).
Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i, shalat di atas kuburan yang tidak pernah digali hukumnya sah tanpa ada perselisihan di kalangan ulama Syafi’iyah dan berstatus makruh tanzih. Sedangkan apabila kuburan tersebut sering digali, maka hukumnya tidak sah, apabila tidak memakai alas (semisal sejadah), karena tanah yang diinjaknya telah bercampur dengan najis orang yang sudah meninggal. Demikian keterangan dari Mukhtashar al-Muzani (hal. 19), kitab al-Muhadzdzab dan al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/164]. An-Nawawi berkata:
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّ الْمَقْبَرَةَ مَنْبُوْشَةٌ لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ فِيْهَا بِلاَ خِلاَفٍ إِذَا لَمْ يُبْسَطْ تَحْتَهُ شَيْءٌ وَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ نَبْشِهَا صَحَّتْ بِلاَ خِلاَفٍ وَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيْهٍ. (الإمام النووي، المجموع 3/164).
“Adapun hukum permasalahan tersebut, apabila kuburan itu nyata tidak pernah digai, maka shalat di kuburan tersebut tidak sah tanpa ada perselisihan, apabila di bawahnya dihamparkan alas. Apabila kuburan tersebut nyata tidak pernah digali, maka shalat di kuburan tersebut sah tanpa ada perselisihan dan dihukumi makruh tanzih.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ 3/164).
Madzhab Hanbali
Menurut madzhab Hanbali, shalat di kuburan yang hanya berisi satu atau dua makam (mayat), hukumnya boleh dan sah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni [1/718] dan Ibnu Muflih dalam al-Mubdi’ [1/394]. Sedangkan shalat di kuburan yang berisi tiga makam atau lebih, ada dua riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam satu riwayat, shalat di tempat tersebut hukumnya tidak sah sama sekali. Dalam riwayat yang lain, hukumnya sah selama tempat tersebut tidak najis. Hal ini bisa dilihat dalam kitab al-Mughni [2/471] karya Ibnu Qudamah al-Hanbali.
Di sisi lain, kemakruhan shalat di kuburan, diriwayatkan pula dari kalangan salaf seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’ dan an-Nakha’i. Sementara pandangan yang tidak memakruhkan diriwayatkan dari Abu Hurairah, Watsilah bin al-Asqa’ dan Hasan al-Bashri, sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam Ibnu al-Mundzir dalam kitabnya, al-Ausath (2/183).
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama membolehkan shalat di kuburan berdasarkan dalil-dalil yang cukup banyak, antara lain berikut ini:
Pertama, beberapa sahabat Nabi saw pernah menunaikan shalat di tempat jemuran korma, yang pada kemudian hari di atas tempat tersebut didirikan Masjid Rasulullah saw. Sebagian mayatnya dibongkar dan dipindah pada masa Rasulullah saw. Dan sisanya dibongkar pada masa Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud [454], Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (3/388) dengan sanad yang para perawinya tsiqah (dipercaya). Seandainya shalat di kuburan hukumnya haram atau syirik, tentu Nabi saw akan membersihkan masjidnya dari mayat-mayat orang Musyrik.
Kedua, Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha mengerjakan shalat dalam kamarnya yang menyimpan tiga makam, yaitu makam Rasulullah saw, sahabat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ibnu Syabbah meriwayatkan dalam Tarikh al-Madinah:
عَنْ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَدْخُلُوْنَ حُجَرَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّوْنَ فِيْهَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ بَعْدَ وَفَاةِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ الْمَسْجِدُ يَضِيْقُ بِأَهْلِهِ.
“Imam Malik berkata: “Orang-orang memasuki kamar-kamar istri-istri Nabi shallallhu ‘alaihi wasallam, mengerjakan shalat di dalamnya, setelah wafatnya Nabi saw, dan Masjid sesak dengan yang menghadirinya.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu an-Najjar (152) dan dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam ar-Radd ‘ala al-Akhna’i (121) dan mendiamkannya.
Ketiga, beberapa nabi ‘alaihimus-salam, telah dimakamkan di dalam Masjid al-Khaif.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِيْ مَسْجِدِ الْخَيْفِ قَبْرُ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا. رَوَاهُ البَزَّارُ فِيْ مُسْنَدِهِ (كشف الأستار 1177، وَالطَّبَرَانِيُّ فِيْ الُمُعْجَمِ الْكَبِيْرِ 12/316.
“Dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, berkata, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di Masjid al-Khaif, telah dimakamkan tujuh puluh nabi.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya [Kasyf al-Astar, 1177], dan al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (12/316 [13525]). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Mukhtashar Zawaid al-Bazzar [813]: “Sanad hadits tersebut shahih”. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid (3/297): “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan para perawinya dipercaya.”
Syaikh al-Albani, ulama Wahabi dari Yordania, berupaya mendha’ifkan hadits tersebut dalam kitabnya Tahdzir al-Sajid (hal. 101-102), secara tidak ilmiah, dan telah dibantah oleh para ulama ahli hadits seperti Syaikh Mahmud Said Mamduh al-Syafi’i dalam Kasyf al-Sutur (hal. 117). Hadits di atas sangat jelas, tentang bolehnya shalat di kuburan. Seandainya shalat di kuburan itu haram atau syirik, tentu Rasulullah saw akan memberikan peringatan agar tidak shalat di Masjid al-Khaif.
Keempat, terdapat banyak riwayat yang menegaskan, bahwa banyak para nabi yang dimakamkan di Masjidil Haram. Hal ini seperti diriwayatkan oleh al-Azraqi dalam Akhbar Makkah (1/68, 2/318), Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (1/199), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir-nya (1/318), Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [9129, 9130] dan lain-lain. Sebagian riwayat hadits ini bernilai shahih, hasan dan dha’if.
Kelima, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَرَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُصَلِّي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ الْقَبْرَ الْقَبْرَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ
“Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihat Anas bin Malik melaksanakan shalat di samping kuburan, lalu Umar berkata: “Itu kuburan, itu kuburan”. Umar tidak menyuruh Anas untuk mengulangi shalatnya.” (HR. al-Bukhari)
Hadits tersebut, menunjukkan bahwa larangan shalat di kuburan tidak menuntut batalnya shalat yang dilakukan. Terbukti Anas bin Malik terus menyelesaikan shalatnya, dan Umar tidak pula menyuruhnya mengulangi shalatnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1/523-524) dan al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari.
Selanjutnya, apabila shalat di kuburan itu sah dan boleh, lalu bagaimana dengan hadits shahih berikut ini?
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata: Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabinya sebagai tempat sujud.” (HR. al-Bukhari [435] dan Muslim [531]).
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud hadits tersebut adalah, yang dilaknat oleh Allah tersebut adalah bersujud kepada kuburan dengan tujuan mengagungkan (ta’zhim) dan menyembahnya, bukan sekedar shalat di samping atau di atasnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/17), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1/626), Ibnu Abdil Barr dalam al-Tamhid (5/45) dan lain-lain. Lebih jelasnya, bisa dibaca dalam I’lam al-Raki’ wa al-Sajid karya Syaikh al-Ghumari, Kasyf al-Sutur karya Syaikh Mahmud Sa’id dan lain-lain. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar