A. MAKNA Ikhtilâth
Makna ikhtilath secara bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu yang lain (Lihat: Lisanul ‘Arab 9/161-162).
Adapun maknanya secara syar’i yaitu percampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hubungan mahram pada tempat. (Lihat: Al Mufashshal Fî Ahkâmil Mar’ah: 3/421 dan Al Mar’atul Muslimah Baina Ijtihâdil Fuqohâ’ wa Mumârasât Al Muslimin hal. 111)
Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1) Firman Allah subhânahu wa ta’âlâ dalam surah Al Ahzâb ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.”
Berkata Imam Al Qurthubi dalam menafsirakan ayat ini: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam namun secara makna masuk pula selain dari istri-istri beliau Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam.” (Lihat Tafsirul Qurthubi: 4/179)
Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini: “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila ada keperluan.”
2) Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra’ ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
“Dan janganlah kalian mendekati zina.”
Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al Qur’an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat, tabarruj dan lain-lain.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).
3) Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian (untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.”
Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di masjid, ini berarti boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di masjid akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha’ sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka mereka membolehkannya dan yang rajih adalah hukumnya boleh. (Lihat: Al Mufashshal Fii Ahkâmil Mar’ah: 3/424)
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/83): “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke masjid untuk menghadiri sholat jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Di antaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian yang menyolok dan termasuk di dalamnya tidak bercampur atau ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya.”
4) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ : جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.
“Saya meminta izin kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda: Jihad kalian adalah berhaji.”
Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6/75-76): “Hadits ini menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampurbauran antara laki-laki dan perempuan.”
5) Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا.
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal.”
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim: “Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu dengan yang lainnya.”
Berkata Ash Shan’ani dalam Subulus Salam: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shaf perempuan berada di belakang shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath di antara mereka.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (3/189): “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka.”
6) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, beliau berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenal sebagian yang lain.”
Hadits ini menjelaskan disunnahkannya bagi perempuan keluar dari masjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
أَنَّ النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.
“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri maka para lelaki juga berdiri.”
Berkata Asy Syaukani dalam Nailul Authar (2/315): “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/560): “Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath.“
7) Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Imam Bukhari, beliau berkata:
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliau pun memulai dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca: menasihati) mereka.”
Berkata Al Hafizh dalam Al Fath (2/466): “Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan” menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.“
Berkata Imam An Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim (2/535): “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri sholat jama’ah di mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.”
8) Firman Allah : “ Dan apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi) maka mintalah dari belakang tabir (hijab). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab : 53)
9) Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Hati-hatilah kalian untuk masuk ke tempat para wanita “ Maka salah seorang laki-laki dari kalangan anshar : “Bagaimana pendapatmu (Ya Rasulullah) tentang Al-Hamwu ?” Rasulullah menjawab : “ Al-Hamwu adalah kematian.” (Mutafaqqun ‘alaihi).
Al-Hamwu adalah kerabat suami, seperti saudara laki-lakinya (ipar), putra dari pamannya (saudara misan). Kekhawatiran terhadap Al-Hamwu ini justru lebih besar dibanding dengan kekhawatiran terhadap yang lain. Fitnahnya pun labih besar pula karena sangat mungkin baginya untuk berhubungan dengan pihak wanita (istri) dan berkhalwat dengannya tanpa adanya pengingkaran (kecurigaan), karena dianggap dari keluarga. Berbeda kalau laki-laki itu orang asing bukan keluarga si suami.
Maka makna dari hadits di atas adalah berhati-berhatilah (jauhilah) untuk bercampur baur (ikhtilat) dan bersepi-sepi (khalwat) dengan para wanita dengan tanpa adanya mahram si wanita.
10) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah salah seorang diantara kalian (laki-laki) bersepi-sepi (berkhalwat) dengan wanita malainkan harus disertai mahramnya.” (Mutafaqqun’alaihi).
Perbebaan khalwat dan ikhtilat
Khalwat dan ikhtilat memang ada kemiripan meski sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda.
1. Khalwat
Khalwat itu berasal dari kata yang maknanya menyepi, menyendiri, mengasingkan diri bersama dengan seseorang tanpa kersertaan orang lain. Secara istilah, khalwat sering digunakan untuk hubungan antara dua orang dimana mereka menyepi dari pengetahuan atau campur tangan pihak lain, kecuali hanya mereka berdua.
Orang yang berdoa pada malam hari menitikkan air mata sambil mengadu kepada Allah di saat orang-orang sedang asyik tidur, juga disebut berkhalwat. Yaitu merasakan kebersamaan dengan Allah SWT tanpa kesertaan orang lain. Seolah di dunia ini hanya ada dirinya saja dengan Allah SWT.
Dalam hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, ketika mereka asyik dengan urusan mereka berdua saja, atau berbicara hanya empat mata berdua, tanpa menghendaki ada keikut-sertaan orang lain disebut berkhalwat.
Berkhalwatnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah hal yang diaramkan di dalam syariat Islam. Dan Rasulullah SAW telah bersabda untuk memastikan keharamannya
Jangan sekali-kali seorang lak-laki menyendiri dengan wanita kecuali ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. .
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.
Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya.
Secara tegas Islam mengharamkan terjadinya khalwat, yaitu menyepinya dua orang yang berlainan jenis dan bukan mahram dari penglihatan, pendengaran dan kesertaan orang lain. Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa bila hal itu terjadi, maka yang ketiga adalah syetan.
2. Ikhtilat
Sedangkan makna ikhtilat secara bahasa berasal dari kata ikhtalatha-yakhtalithu-ikhtilathan, maknanya bercampur dan berbaur. Maksudnya bercampurnya laki-laki dan wanita dalam suatu aktifitas bersama, tanpa ada batas yang memisahkan antara keduanya.
Berbeda dengan khlawat yang bersifat menyendiri, ikhtilat terjadi secara kolektif dan bersama. Di mana orang-orang laki-laki dan wanita dalam jumlah yang lebih dari dua orang berbaur dalam suatu keadaan tanpa dipisahkan dengan jarak.
Yang dijadikan titik perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah masalah pemisahan antara kedua jenis kelamin ini. Sebagian ulama memandang bahwa pemisahan itu harus dengan dinding, baik yang terbuat dari tembok ataupun dari kain tabir penghalang yang tidak tembus pandang. Namun sebagian ulama lain mengatakan bahwa pemisahan cukup dengan posisi dan jarak saja, tanpa harus dengan tabir penutup.
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Quran maupun As-Sunah
a. Dalil Al-Quran :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu , dan Allah tidak malu yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka MINTALAH DARI BELAKANG TABIR. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah
Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para istri nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.
b. Dalil As-Sunnah
Selain itu juga ada dalil dari sunnah nabawiyah yang intinya juga mewajibkan wanita dan laki-laki dipisahkan dengan kain tabir penutup.
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: pakailah tabir . Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata, Dia itu buta! Maka jawab Nabi, Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?
Sebagian dari masyarakat kita ada yang menerapkan kewajiban pemakaian kain tabir pemisah antara ruangan laki-laki dan perempuan. Ada yang berusaha menerapkannya dalam semua aktifitas, namun ada juga yang sepotong-sepotong. Misalnya, banyak yang bersikeras untuk menerapkannya dalam pesta walimah , namun di luar itu tidak menerapkan.
Ada juga kalangan aktifis yang sangat menekankan pemakaian tabir pemisah antara sesama aktifis, tetapi ketika beinteraksi dengan yang bukan aktifis, mereka tidak menerapkannya lagi. Seolah memasang tabir pemisah itu hanya wajib di kalangan aktifis dakwah saja, sedangkan kepada yang bukan aktifis, hukumnya tidak wajib lagi.
Di sisi lain, ada sebagian ulama yang berkesimpulan bahwa ikhtilat itu bisa dihindari cukup dengan memberi jarak antara tampat laki-laki dan perempuan, namun tidak wajib untuk memasang tabir penutup.
Wallahu a’lam bish-shawabWassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
akar khilafah Ikhtilat
Ikhtilat merupakan suatu bentuk pergaulan/hubungan secara bebas yang melibatkan lelaki dan perempuan yang ajnabi samada di tempat sunyi atau di tempat terbuka. Ia merupakan suatu ciri pergaulan masyarakat jahiliyyah dan juga berasaskan kepada nilai2 dan system hidup jahiliyyah. Bentuk pergaulan seperti ini telah ditolak oleh Islam sejak kedatangan Rasulullah SAW yang membawa system dan nilai hidup yg dipandu oleh Al-Quran dan Sunnah.
wallahu'alam
belajar tuk bagaimana caranya agar kita bisa melaksanakan ikhtilat sesuai dengan pengertian yang sudah ada.....!
berarti klo kuliah termasuk ikhtilat,,pengajian rutin juga donk?kan akhwat dan ikhwan bareng satu tempat??
ea justru itu yg jadi pertanyaan, apakah ikhtilat itu halal bagi kita...?
iya tuh gmn? berarti secara g langsung selain dosa kecil kita yang kita buat sehari-hari hal ini pun termasuk penambahan dosa yang g kita rasa juga dong tiap hari
Mari kita bedah :
Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik
pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan.(TQS an-Nûr
[24]: 30-31)
Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk
mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi
seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.(TQS an-Nûr [24]: 31)
Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar
(perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari
semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya.(HR Muslim).
Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat
(berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.(HR Bukhari).
Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya
kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya.
Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus
komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam
masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan
bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita,
sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria.
Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama
antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan
muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling
mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau
keluar bersama untuk berdarmawisata.
Solusinya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi—
sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut—serta dengan
menjauhkan pria dan wanita dari interaksi yang mengarah pada
hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.
wallahu'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar