Seorang muslim ditekankan agar khusu' dalam shalatnya dan berbagai usaha terkadang dilakukan. Terkadang untuk mencapai kekhusu'an ada yang melakukannya dengan memejamkannya.
Memejamkan mata didalam shalat, hukumnya makruh. Terkecuali ada kepentingan dalam memejamkan matanya seperti agar dapat lebih khusyu’, tidak terganggu dengan pandangan matanya, khawatir melihat hal-hal yang haram. Dalam kondisi semacam itu maka tidak lagi makruh bahkan lebih baik ketimbang matanya terbuka.
Didalam kitab Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwitiyyah (27/105) dijelaskan :
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ - الْحَنَفِيَّةُ, وَالْمَالِكِيَّةُ, وَالْحَنَابِلَةُ, وَبَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ - إِلَى كَرَاهَةِ تَغْمِيضِ الْعَيْنَيْنِ فِي الصَّلاَةِ؛ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلاَ يُغْمِضُ عَيْنَيْهِ. وَاحْتَجَّ لَهُ - أَيْضًا - بِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُودِ، وَمَظِنَّةُ النَّوْمِ, وَعَلَّل فِي الْبَدَائِعِ: بِأَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَرْمِيَ بِبَصَرِهِ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ, وَفِي التَّغْمِيضِ تَرْكُهَا, وَالْكَرَاهَةُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ تَنْزِيهِيَّةٌ.
وَاسْتَثْنَوْا مِنْ ذَلِكَ التَّغْمِيضَ لِكَمَال الْخُشُوعِ، بِأَنْ خَافَ فَوْتَ الْخُشُوعِ بِسَبَبِ رُؤْيَةِ مَا يُفَرِّقُ الْخَاطِرَ فَلاَ يُكْرَهُ حِينَئِذٍ، بَل قَال بَعْضُهُمْ: إِنَّهُ الأْوْلَى, قَال ابْنُ عَابِدِينَ: وَلَيْسَ بِبَعِيدٍ. قَال الْمَالِكِيَّةُ: وَمَحَل كَرَاهَةِ التَّغْمِيضِ مَا لَمْ يَخَفِ النَّظَرَ لِمُحَرَّمٍ، أَوْ يَكُونُ فَتْحُ بَصَرِهِ يُشَوِّشُهُ، وَإِلاَّ فَلاَ يُكْرَهُ التَّغْمِيضُ حِينَئِذٍ.
وَاخْتَارَ النَّوَوِيُّ: أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ - أَيْ تَغْمِيضُ الْعَيْنَيْنِ - إِنْ لَمْ يَخَفْ مِنْهُ ضَرَرًا عَلَى نَفْسِهِ، أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ خَافَ مِنْهُ ضَرَرًا كُرِهَ. اهــ
"Mayoritas Ulama Fiqh (Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iiyyah) menilai makruhnya shalat dengan memejamkan kedua mata berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam “Bila salah seorang diantara kalian berdiri menjalankan shalat, maka janganlah memejamkan kedua matanya” (HR. at-Thabrany dalam Mu’jam al-Kabiir XI/34)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاةِ فَلا يَغْمِضْ عَيْنَيْهِ
”Apabila kalian melakukan shalat makan janganlah memejamkan kedua mata kalian.”
Alasan kemakruhan diatas karena disinyalir memejamkan mata saat ibadah merupakan perbuatan orang-orang Yahudi, dapat kebablasan ketiduran dan disebutkan dalam al-Badaa-I’ (juga kebanyakankitab fiqih lainnya) bahwa yang sunah adalah mengarahkan pandangan pada tempat sujudnya dan dengan terpejam berarti meninggalkannya. Kemakruhannya menurut kalangan Hanafiyyah tergolong makruh tanzih.
Dikecualikan dari ketentuan diatas memejamkan mata untuk menggapai sempurnanya kekhusyuan, dalam arti mengkhawatirkan hilangnya kekhusyuan saat matanya terbuka sebab melihat hal-hal yang dapat mencerai beraikan konsentrasi maka yang demikian tidak lagi makruh hukumnya bahkan sebagian ulama fiqh mengisyaratkan memejamkan mata dalam kondisi semacam ini justru lebih baik, Ibn ‘Abidiin berkata “Hal demikian tidaklah jauh (dari kebenaran)”
Kalangan Malikiyyah berpendapat : Kemakruhan memejamkan mata tersebut bila tidak dikhawatirkan saat matanya terbuka akan melihat hal-hal yang haram atau mengacaukan kekhusyuannya bila demikian maka memejamkan mata baginya tidak lagi dimakruhkan. Imam an-Nawaawy cenderung memilih “Memejamkan mata saat shalat tidaklah makruh bila tidak dikhawatirkan berdampak dharar (bahaya dalam dirinya atau orang lainnya, bila dikhawatirkan maka makruh."
Didalam Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Az-Zuhaili (2/135) diterangkan :
11ً - تغميض العينين إلا لخوف وقوع بصره على ما يشغله عن صلاته، روى ابن عدي في حديث بسند ضعيف: «إذا قام أحدكم في الصلاة فلا يغمض عينيه» لأن السنة النظر إلى موضع سجوده وفي التغميض تركها، والكراهة تنزيهية بالاتفاق.
"No. 11. Dari kemakruhan-kemakruhan saat shalat
Memejamkan mata kecuali saat dikhawatirkan mengarahnya pandangan pada hal yang dapat membuatnya terlena dari shalatnya. Diriwayatkan dari Ibn ‘Ady dalam hadits dengan sanad dho’if “Bila salah seorang diantara kalian berdiri menjalankan shalat, maka janganlah memejamkan kedua matanya” karena sunahnya memandang tempat sujud dan memejamkan mata berarti meninggalkan kesunahannya, kemakruhannya tergolong makruh tanzih dengan kesepakatan ulama."
Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah (KTB)
Related Articles
- Hukum Menjadi Makmum pada Imam yang Rusak Bacaannya
- Ini Pandangan Habib Umar bin Hafidz tentang Khilafah
- Hukum Mimisan (Epistaksis) Saat Shalat
- Dalil Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman
- Hukum Pacaran Dalam Islam
- Hukum Memakai Baju yang ada Kaligrafi al-Qur'anhu
Memejamkan Mata Ketika Shalat
Apakah hukumnya memejamkan mata saat sholat? Karena saat memejamkan mata rasanya lebih khusyuk?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Terdapat sebuah hadis dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاةِ فَلا يَغْمِضْ عَيْنَيْهِ
”Apabila kalian melakukan shalat maka janganlah memejamkan kedua mata kalian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh at-Thabrani (w. 360 H) dalam Mu’jam as-Shagir no. 24. dari jalur Mus’ab bin Said, dari Musa bin A’yun, dari Laits bin Abi Salim.
Hadis ini dinilai dhaif oleh para ulama pakar hadis, karena dua alasan,
1. Laits bin Abi Salim dinilai dhaif karena mukhtalat (hafalannya kacau), dan dia perawi mudallis (suka menutupi)
2. Mus’ab bin Said, dinilai sangat lemah oleh para ulama. Ibnu Adi mengatakan tentang perawi ini,
يحدث عن الثقات بالمناكير ويصحف عليهم ، والضعف على حديثه بيِّن
”Beliau membawakan hadis-hadis munkar atas nama perawi terpercaya dan menyalahi ucapan mereka. Status dhaif hadisnya sangat jelas.”
(al-Fatawa al-Haditsiyah, al-Huwaini, 1/45 – 46).
Kesimpulannya, hadis di atas adalah hadis dhaif dan Imam ad-Dzahabi (w. 748 H) menilainya munkar. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil.
Memejamkan Mata Ketika Shalat Hukumnya Makruh
Hanya saja para ulama menegaskan, memejamkan mata ketika shalat hukumnya makruh. Kecuali ketika hal ini dibutuhkan, karena pemandangan di sekitarnya sangat mengganggu konsentrasi shalatnya.
Mengenai alasan dihukumi makruh, ada beberapa keterangan dari para ulama, diantaranya,
a. Memejamkan mata ketika shalat, bukan termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnul Qoyim (w. 751 H) mengatakan,
ولم يكن من هديه صلى الله عليه و سلم تغميض عينيه في الصلاة
”Bukan termasuk sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memejamkan mata ketika shalat.” (Zadul Ma’ad, 1/283)
b. Memejamkan mata ketika shalat, termasuk kebiasaan shalat orang yahudi. Dalam ar-Raudhul Murbi’ – kitab fikih madzhab hambali – pada penjelasan hal-hal yang makruh ketika shalat, dinyatakan,
ويكره أيضا تغميض عينيه لأنه فعل اليهود
”Makruh memejamkan mata ketika shalat, karena ini termasuk perbuatan orang yahudi.” (ar-Raudhul Murbi’, 1/95).
c. Karena memejamkan mata bisa menyebabkan orang tertidur, sebagaimana keterangan dalam Manar as-Sabil (1/66).
Untuk itu, sebagian ulama membolehkan memejamkan mata ketika ada kebutuhan. Misalnya, dengan memejamkan mata, dia menjadi tidak terganggu dengan pemandangan di sekitarnya. Ibnul Qoyim mengatakan,
والصواب أن يقال : إن كان تفتيح العينين لا يخل بالخشوع فهو أفضل ، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يشوش عليه قلبه ، فهنالك لا يكره التغميض قطعًا ، والقول باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة
Kesimpulan yang benar, jika membuka mata (ketika shalat) tidak mengganggu kekhusyuan, maka ini yang lebih afdhal. Tetapi jika membuka mata bisa mengganggu kekhusyuan, karena di arah kiblat ada gambar ornamen hiasan, atau pemandangan lainnya yang mengganggu konsentrasi hatinya, maka dalam kondisi ini tidak makruh memejamkan mata. Dan pendapat yang menyatakan dianjurkan memejamkan mata karena banyak gangguan sekitar, ini lebih mendekati prinsip ajaran syariat dari pada pendapat yang memakruhkannya. (Zadul Ma’ad, 1/283).
Allahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar