Rabu, 08 Januari 2014

Penantian warga madinah kepada Nabi

Unta Rasulullah Berhenti di Depan Rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid
PARA pembesar Quraisy gusar. Rasulullah yang mereka kepung kini lepas dari jangkauan mereka. Beliau lolos dari persekongkolan pembunuhan. Mereka geram bukan main. Tiap-tiap tempat diawasi dengan ketat. Mereka kirimkan para pencari jejak untuk mengikuti jejak-jejak beliau.

Di langit Makkah, matahari musim panas memancarkan sinarnya. Orang-orang di jazirah Arab lebih senang berada di rumah ketimbang menembus hawa yang terik menyengat. Akan tetapi, para pemimpin Quraisy tak peduli. Di bawah komando Abu Jahal, mereka terus menggasak setiap jejak. Namun gagal. Jangankan Nabi saw., jejak Abu Bakar yang menemani beliau pun tak terlacak.

Lolosnya Nabi saw. dari kepungan musuh bermula dari musim haji tahun kesebelas sejak turunnya wahyu. Sekelompok orang dari Yatsrib datang menemui Rasulullah di Mina dekat Aqabah. Mereka membenarkan beliau. Mereka agaknya tahu bahwa inilah sosok Nabi yang ditunggu-tunggu seperti gambaran para pemuka Yahudi di Yatsrib. Itulah Baiat Aqabah Pertama.

Berita itu kemudian mereka bawa pulang dan disampaikan kepada penduduk Yatsrib. Mush’ab ibn Umair lantas ditunjuk untuk mengajarkan dan mendakwahkan Islam di sana dan berhasil. Tahun berikutnya mereka kembali naik haji dengan jumlah orang cukup banyak. Dalam pertemuan itu mereka mengajak beliau untuk pindah dan bersedia membantu berdakwah. Terjadilah Baiat Aqabah Kedua.

Pada detik-detik terakhir pertemuan itu terdengarlah teriakan dari salah seorang musyrik Makkah, “Saudara-saudara! Tahukah kalian apa yang sedang dilakukan Muhammad bersama sejumlah orang? Mereka telah berkumpul untuk memerangi kalian!”

Mendengar hal tersebut, penduduk Yatsrib tersinggung. Kata mereka, “Demi Allah, Zat yang mengutusmu dengan benar wahai Rasulullah, jika kau mau, besok akan kami ayunkan pedang ke leher mereka yang berada di Mina ini!”

Nabi dengan tenang lalu menjawab, “Kita tak diperintahkan begini. Kembalilah kalian!”

Nabi tak ingin periode awal dakwah ini diwarnai tindak kasar kepada siapa pun. Saat itu belumlah tiba waktunya untuk mengangkat senjata. Inilah tahun-tahun yang terasa lamban dan penuh resah. Tahun-tahun ketika mereka bersabar menghadapi berbagai tipu daya elit Quraisy.

Akan tetapi semua itu berubah tatkala perintah Nabi untuk hijrah berkumandang.

***

Lama sudah orang-orang di tanah Yatstrib menunggu. Matahari kala itu betul-betul terik.  Karena letih menunggu, orang-orang banyak yang kembali ke rumahnya. Namun tiba-tiba, seorang Yahudi berteriak dari loteng rumahnya. “Bani Qailah! Bani Qailah! Itu kakekmu datang!”

Sontak semua orang-orang berhamburan keluar dan berteriak-teriak, “Rasulullah datang! Rasulullah datang!”

Para tetua di Yatsrib berkata, “Belum pernah Yatsrib mengalami peristiwa seperti hari ini. Belum pernah terjadi momentum sedahsyat ini. Semua hati bergembira. Seluruh wajah berbinar cerah. Sungguh sebuah perjumpaan yang menggentarkan dan mengharukan.”

Rombongan Nabi bergerak dari kejauhan. Ada sekitar tujuh puluh orang yang ada di situ. Semua menaiki tunggangan, membawa bendera. Mereka berhenti di luar Yatsrib, berteduh di bawah pohon kurma. Di situ telah menunggu kerumunan orang banyak. Tapi yang mana Rasulullah?

Ada dua orang pria yang berteduh di bawah sebatang pohon kurma.

“Di antara dua pria itu yang mana Rasulullah?”

“Tidak tahu.”

Tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawabannya. Seorang dari pria itu bangkit lalu melindungi temannya dari terik matahari dengan menggunakan selendangnya. Tahulah kami orang yang duduk itu Rasulullah.

Beberapa orang Yatstrib datang mendekat memberikan salam kepada Rasulullah, “Selamat datang Rasulullah, salam sejahtera untukmu.”

Quba

Setelah penyambutan tadi, menjelang siang Rasulullah beranjak pergi. Diikuti beberapa rombongan. Beliau bergerak ke arah Quba. Kami semua berjalan mengikuti. Nabi kemudian membangun masjid di Quba.

Setelah empat hari Nabi di Quba, dan kami bolak-balik mengunjungi Nabi. Sekitar Jum‟at siang, Nabi menaiki untanya bersama Abu Bakar. Orang-orang berebut memegang dan saling tarik tali kekang unta yang ditungganginya. Mereka bersama-sama mengawal keberangkatan Nabi.

Hari itu hari Jum‟at dan telah menjelang siang. Maka shalatlah Nabi di jantung lembah Ranuna‟. Nabi kemudian berpidato/khutbah.

“Saudara-saudara, majulah ke depan biar kalian semua mendengar. Demi Allah, kalian semua pasti mati dan tidak akan meninggalkan ternak kalian tanpa penggembala. Kalian akan ditanya oleh Allah. Dia akan bertanya kepada kalian, bukankah sudah datang kepada kalian utusan-Ku penyampai risalah? Bukankah sudah Kuberi kalian harta dan Kubuat berlimpah? Tapi, kenapa kalian tak mau maju?‟

”Menoleh ke kiri dan ke kanan, kalian tak melihat apa-apa. Memandang ke depan dan belakang, kalian juga tak melihat apa-apa selain Jahannam. Maka, barangsiapa mampu menjaga dirinya dari neraka meski hanya dengan separuh biji kurma, lakukanlah! Siapa yang tidak mampu, hendaklah berkata-kata baik. Sebab dengan berkata-kata baik kebaikan dibalas sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Keselamatan semoga atas kalian dan Rasulullah, juga rahmat Allah dan berkah-Nya.”

Kemudian beliau berpidato lagi.

“Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya aku memuji dan meminta tolong. Kami berlindung kepada Allah dari diri yang jahat dan amal yang bejat. Siapa diberi hidayah oleh Allah, tak ada yang bisa menyesatkannya. Dan, siapa yang disesatkan oleh Allah, tak ada yang bisa memberinya hidayah. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah yang Esa dan tiada bersekutu. Sesungguhnya, ucapan terbaik adalah Kitabullah yang Mahabaik dan Mahatinggi. Sungguh beruntung orang yang hatinya dihiasi iman oleh Allah, dirangkul ke dalam Islam setelah kekafiran, dan memilih kitab Allah di atas segenap ucapan manusia. Dialah ucapan terbaik dan terindah.

”Cintailah apa yang dicintai oleh Allah, cintailah Allah sepenuh hati. Jangan bosan terhadap kalam Allah dan membacanya, jangan biarkan hati mengeras karena berpaling darinya. Dialah yang dipilih Allah dari seluruh ciptaan-Nya. Dialah yang ditetapkan-Nya sebagai yang terbaik dari semua jenis amal dan ibadah, yang paling sempurna dari segala macam ucapan dan ketetapan manusia tentang halal-haram.

“Sembahlah Allah dan jangan sekutukan dengan apa pun. Bertakwalah kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Berkatalah jujur dan benar kepada Allah, niscaya Dia akan membaikkan perkataan mulut kalian. Jalinlah cinta di antara kalian dengan semangat dan ruh Allah. Sesungguhnya Allah akan murka jika janji-Nya dilanggar. Wassalamualaikum!”

Semua yang mendengar pidato tadi tertunduk khidmat. Para wanita mulai menitikkan air mata. Semua menjelma wajah asing seolah tak dikenal sebelumnya. Wajah-wajah bening yang memijarkan sinar cahaya!

Memasuki Madinah

Terdengar teriak kebahagiaan di sepanjang jalan, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Telah datang Sang Utusan.. Telah datang Sang Utusan…!”

Untuk menyemarakkan penyambutan, beberapa gadis imigran dari Abisinia menyanyikan salawat Badar yang semenjak saat itu menjadi fenomenal,

Telah terbit bulan purnama Dari celah bukit ke tengah-tengah kita

Kita wajib bersyukur senantiasa

Selama penyeru Allah masih ada

Bocah-bocah putra Bani Najjar memukul rebana sambil bersya‟ir dengan suara lantang dan ceria.

Kami tetangga dekat Bani Najjar

Aduhai, dengan Muhammad kini berjajar

Tali-tali kekang diturunkan, pria-pria maju ke depan, tak henti menawari Nabi singgah di rumah mereka.

“Biarkan, unta ini ada yang menuntun. Aku akan tinggal di mana Allah menempatkanku.” Begitu tutur Baginda Nabi kepada orang-orang di sana.

Unta itu akhirnya terdiam di suatu area penjemuran kurma, tepat di depan rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Nabi tidak langsung turun, unta itu kemudian berjalan lagi sementara tali kekang tetap dilepas oleh Nabi. Tiba-tiba unta itu menoleh ke belakang dan kembali ke tempat tadi. Di sana unta itu duduk dan menjatuhkan lehernya. Nabi lalu turun, Abu Ayyub tergopoh-gopoh menyambut. Tak terlukis betapa girang Abu Ayyub mendapat kehormatan seperti ini.

Bendera Nabi telah berpindah ke Madinah. Di Makkah beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan memberi nasihat kepada umat, namun mereka tuli dan tak mau beriman. Orang-orang itu mengira mereka akan dapat menaklukkan Nabi di medan perang. Beginilah orang-orang sombong yang hanya mampu menimbang kebenaran tanpa berdasarkan kenyataan sehingga menelan kerugian nantinya.

Memasuki Madinah, panji-panji Nabi berkibar tinggi dan megah. Di perbukitan, semalam sebelum mencapai pusat kota, Nabi berpapasan dengan sejumlah lelaki Bani Sham yang dipimpin Buraidah Ibn al-Kashib. Mereka menyatakan beriman lalu bergabung dengan Nabi. Mendekati Yatsrib, seraya memuliakan Nabi, Buraidah berkata, “Wahai Nabi Allah, jangan kaumasuki Madinah tanpa kibaran bendera!”

Segera Buraidah melepas serban lalu mengikatkannya pada tombak. Ia lalu berjalan di depan Rasulullah. Ia angkat bendera itu tinggi-tinggi. Bendera pertama yang menandai lahirnya sebuah negara baru dan menjadi simbol perubahan bagi peradaban manusia kelak. Itulah penanda berubahnya Yatsrib menjadi Madinah-Nabi al-Munawarah atau secara bahasa kota tegaknya aturan Nabi yang bercahaya. [Iman Adipurnama/Dicuplik dan dirangkaikan dari buku-buku: Ketika Nabi di Kota dan Perang Muhammad buah karya dari Dr. Nizar Abazhah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar