Rabu, 15 Januari 2014

Ulama Ahli Hadits: Imam Bukhari RA

Mengenang Ulama Ahli Hadits: Imam Bukhari RA
Di suatu malam, seorang ibu bermimpi, ia bertemu dengan seseorang yang berkata: “ Hai ibu, sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa.”] Ternyata, pada pagi harinya, sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Anak tersebut adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Bardizbah , yang kelak menjadi seorang perawi hadits terkenal, Imam Bukhari yang buta saat masih anak-anak.

Imam Bukhari lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).

Keunggulan dan kejeniusan Imam Bukhari sudah tampak sejak masih kecil. Allah menganugrahkan kepadanya hati yang bersih dan otak yang cerdas, pikiran yang tajam, dan daya hafalan yang sangat kuat, khususnya dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadis.

Rasyid ibn Ismail, kakak Imam Bukhari, menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendikiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia pun dicela karena tidak mencatat. Namun, suatu hari, Bukhari meminta teman-temannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Tahun 210 H, Bukhari berangkat ke Baitullah untuk menunaikan haji dan menetap di Mekkah serta sesekali ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya, dan menyusun dasar-dasar kitab Al Jami’ AsSahih. Ia juga menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi Muhammad saw.

Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As Sagir, Al Awsat , dan Al Kabir , lahir dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh- tokoh dan kepandaiannya memberikan kritik. Karya-karyanya itu tidak lepas dari pengembaraannya ke banyak negeri: Syam, Mesir, Baghdad, Kuffah, dan Jazirah Arab.

Berkat kejeniusannya itu, Imam Bukhari berhasil merawi hadits lebih dari 80.000 perawi, dan menghafalnya rinci dengan sumbernya.

Imam Muslim bin Al Hajjaj, pengarang kitab As Sahih Muslim menceritakan: ” Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km) , sampai- sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli berkata: ”Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”

Sebagai intelektual yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat, sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al- Jami’ash-Shahih , yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari.

Ada kisah unik tentang penyusunan kitab tersebut. Suatu malam, imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Rasulullah, seolah-olah Nabi berdiri di hadapannya. Dalam penyusunan kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata: ” Saya susun kitab Al-Jami ’ash Shahih ini di Masjidil Haram, dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih .” Setelah itu, ia menulis mukadimah dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai.

Proses penyusunan kitab itu dilakukan di kedua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan modern sehingga hadits-haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan. Dengan bersungguh-sungguh Imam Bukhari meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan kesahihan hadits yang diriwayatkan. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits. ” Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadis-hadis yang shahih,” katanya suatu waktu.

Suatu ketika, penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand) . Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkhand, ia singgah dulu karena terdapat beberapa familinya di desa tersebut. Di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang13 hari. Sebelum ia wafat, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat.

Lahul Faatihah!……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar