Senin, 03 Agustus 2015

Mengapa dalaiilul khairat banyak lafadz sayyidina dan lafadz maulana

Pertanyaan :
Assallamu 'alaikum
Kenapa dalaiilul khairat banyak lafadz sayyidina dan lafadz maulananya??? kata wahabi katanya sesat yi!
Wa'alaikum Sallam.

Jawaban
Asy-Syaikh Muhammad al-Fasi pengarang kitab : Syarah Dalail al-Khairat berkata di dalam kitab Sadah ad-Durain

الصَّحِيْحُ جَوَازُ الْإِتْيَانِ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَالْمَوْلَى وَنَـحْوِهِـمَا مِـمَّا يَقْتَضِي التَّشْرِيْفَ وَالتَّوْقِيْرَ وَالتَّعْظِيْمَ فِي الصَّلَاةِ عَلَى سَيِّدِنَا مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيْثَارُ ذَلِكَ عَلَى تَرْكِهِ

Fatwa yang shohih iyalah boleh menambahkan Sayyidina dan Maulana dan lain-lain perkataan yang menyatakan menghormati, memuliakan serta membesarkan Nabi dalam mengucapkan sholawat untuk penghulu kita Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam. Mengucapkan lebih baik daripada meninggalkannya. Semoga bermanfaat.
Karna dalam Dala'il khairat raja sholawat, kebanyak pujian atas Nabi Saw itu dgn penghormatan lafadz Sayyidina dan Maulana.
 Yang Benar Saja… Masa kata “Sayyidina” ketika bershalawat atas Nabi dibilang bid’ah sesat…!! (Waspadai Ajaran Wahabi...!!!)

Menambah kata "Sayyid" sebelum menyebut nama Nabi Muhammad adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at. Karena pada kenyataannya Rasulullah adalah seorang Sayyid, bahkan beliau adalah Sayyid al-‘Alamin, penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Salah seorang ulama bahasa terkemuka, ar-Raghib al-Ashbahani dalam kitab Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan bahwa di antara makna “Sayyid” adalah seorang pemimpin, seorang yang membawahi perkumpulan satu kaum yang dihormati dan dimuliakan (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 254).

(Kitab MATOLI'UL MASARROT BI JALA-I DALA-ILIL KHOIROT) ini kitab syarah dala'il khoirot.
karya : AL-IMAM MUHAMMAD BIN AHMAD BIN ALI BIN YUSUF AL-FASY
Kajian: SHOLAWAT NABI MUHAMMAD (SIROH)

Penerbit: HAROMAIN SURABAYA INDONESIA
Diskripsi: 17 x 24 cm. hard cover karton. kertas kuning. teks arab gundul (non harokat). 434 halaman. berat 7 ons
Dalam al-Qur’an, Allah menyebut Nabi Yahya dengan kata “Sayyid”:

وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (ءال عمران: 39)

“... menjadi pemimpin dan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (QS. Ali ‘Imran: 39)

Nabi Muhammad jauh lebih mulia dari pada Nabi Yahya, karena beliau adalah pimpinan seluruh para nabi dan rasul. Dengan demikian mengatakan “Sayyid” bagi Nabi Muhammad tidak hanya boleh, tapi sudah selayaknya, karena beliau lebih berhak untuk itu. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang “Sayyid”. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)

“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)

Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ


Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)


Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”.

Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.

Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.

Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:

الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).

larangan baca sayyidina dlm salat adl hadits maudlu (lihat fatawa syar'iyyah wa buhutsun islamiyyah lisy syaikh hasanain muhammad makhluf, muftid diyar almishriyyah wa grand syekh al azhar) serta tidak tercantum dlm 320 judul hadits yg telah saya cari. Dlm fikih muhammadiyah pun menyebutkan sayyidina saat salatBolehkah Menambahkan kata “Sayyidina” dalam Shalat?

 Ada sebagian anggapan bahwa menambahkan kata “Sayyidina” dalam shalat tidak diperbolehkan karena hanya boleh diucapkan diluar shalat. Benarkah mengucapkan kata Sayidina dalam shalat (tasyahud awal/akhir) tidak boleh? Yang boleh dan benar adalah diucapkan hanya diluar shalat?

Menyertakan kalimat “SAYYIDINA” dalam sighat shalawat atas Nabi ketika shalat tidak membatalkan shalat. Bahkan sebaliknya, mayoritas ulama seperti Ibn Dhahirah, Ibn Hajar, al-Kurdi, az-Zayadi, al-Halibiy dan lainnya menyatakan bahwa menyertakannya dalam sighat shalawat lebih utama daripada meniadakannya. Adapun hadits Rasulullah SAW dalam tatacara bershalawat berikut :

عَنْ أَبِي سَعِيدْ اَلْخُدْرِي قَالَ : قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا السَّلاَمُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَليِّ عَلَيْكَ ؟ قَالَ ( قُوْلُوا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَباَرِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ )

Dari Abi Sa’id alkhudri berkata :” kami berkata kepada Rasulullah :” wahai Rasulullah, ini adalah salam untukmu, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ?”, maka Rasulullah berkata :” ucapkanlah :

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا باَرَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمْ

, jika kita melihat hadits di atas, kita ketahui bahwa Rasulullah memerintahkan bacaan shalawat dengan tanpa menyertakan kalimat “SAYYIDINA”. Hal ini akan memberikan kesan bahwa para ulama’ yang berpendapat lebih utama bershalawat dengan menyertakan kalimat “SAYYIDINA” itu tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Mereka berpendapat demikian mendasarkan pada“sulukul adab khoirun min imtitsalil amri” (adab kepada Rasulullah (dengan memanggil yang lebih mulia) adalah lebih utama daripada melaksanakan perintah beliau).

Namun sebagian ulama’ lainnya seperti alhabib Abdullah bin Alawi Al-Haddad mendasarkan pada “imtitsalul amri khoirun min sulukil adab” (melaksanakan perintah Rasulullah lebih utama daripada memperhatikan adab), sehingga mereka menyatakan bershalawat dengan tanpa menyertakan kalimat “SAYYIDINA” itu lebih utama daripada dengan menyertakannya. [1]

Adapun riwayat hadits yang dijadikan hujjah larangan mengucapkan kalimat “SAYYID” kepada Rasulullah oleh sebagian golongan adalah tidak benar dan batil. Hadits yang mereka maksudkan adalah :

{ لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ }

“ janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku”

Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebagai paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “  سَادَ – يَسُوْدُ  “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي  “ . Oleh karena itu, pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW. [2]

[1] حواشي الشرواني – (ج 2 / ص 86)

قوله: (على محمد) والافضل الاتيان بلفظ السيادة كما قاله ابن ظهيرة وصرح به جمع وبه أفتى الشارح لان فيه الاتيان بما أمرنا به وزيادة الاخبار بالواقع الذي هو أدب فهو أفضل من تركه وإن تردد في أفضليته الاسنوي.وأما حديث: لا تسيدوني في الصلاة فباطل لا أصل له كما قاله بعض متأخري الحفاظ وقول الطوسي: إنها مبطلة غلط شرح م ر اه سم عبارة شرح بافضل: ولا بأس بزيادة سيدنا قبل محمد اه. وقال المغني: ظاهر كلامهم اعتماد عدم استحبابها اه. وتقدم عن شيخنا أن المعتمد طلب زيادة السيادة وعبارة الكردي واعتمد النهاية استحباب ذلك وكذلك اعتمده الزيادي والحلبي وغيرهم وفي الايعاب الاولى سلوك الادب أي فيأتي بسيدنا وهو متجه اه. قال ع ش: قوله م ر:لان فيه الاتيان الخ يؤخذ من هذا من سن الاتيان بلفظ السيادة في الاذان وهو ظاهر لان المقصود تعظيمه (ص) بوصف السيادة حيث ذكر اهـ

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  – (ج 2 / ص 400)

قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ : وَاشْتُهِرَ زِيَادَةُ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ ، وَفِي كَوْنِهَا أَفْضَلَ نَظَرٌ وَفِي حِفْظِي أَنَّ الشَّيْخَ عِزَّ الدِّينِ بَنَاهُ عَلَى أَنَّ الْأَفْضَلَ سُلُوكُ الْأَدَبِ أَمْ امْتِثَالُ الْأَمْرِ ؟ فَعَلَى الْأَوَّلِ يُسْتَحَبُّ دُونَ الثَّانِي . ا هـ . وَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ الثَّانِي ،

إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 201)

(قوله: وهو اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إلخ) قال في شرح البهجة الكبير ما نصه: وفي الاذكار وغيره: الافضل أن يقول: اللهم صل على سيدنا محمد عبدك ورسولك النبي الامي وعلى آل محمد وأزواجه وذريته كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم.وبارك على محمد النبي الامي وعلى آل محمد وأزواجه وذريته كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم. في العالمين إنك حميد مجيد. اه ع ش.

فتح المعين – (ج 1 / ص 200)

(ويسن أكملها في تشهد) أخير، وهو: اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم، وبارك على محمد وعلى آل محمد، كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم، إنك حميد مجيد. والسلام تقدم في التشهد فليس هنا إفراد الصلاة عنه، ولا بأس بزيادة سيدنا قبل محمد.

[2] أسنى المطالب  – (ج 2 / ص 466)

قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ وَاشْتُهِرَ زِيَادَةُ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ وَفِي كَوْنِهِ أَفْضَلَ نَظَرٌ وَفِي حِفْظِي أَنَّ الشَّيْخَ عِزَّ الدِّينِ بَنَاهُ عَلَى أَنَّ الْأَفْضَلَ سُلُوكُ الْأَدَبِ أَمْ امْتِثَالُ الْأَمْرِ فَعَلَى الْأَوَّلِ يُسْتَحَبُّ دُونَ الثَّانِي انْتَهَى . قَوْلُهُ : فَعَلَى الْأَوَّلِ يُسْتَحَبُّ دُونَ الثَّانِي ) قَالَ ابْنُ ظَهِيرَةَ الْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الْجَلَالُ الْمَحَلِّيُّ جَازِمًا بِهِ قَالَ ؛ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ ، وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ .ا هـ .وَحَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ وَقَوْلُهُ الْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ أَشَارَ إلَى تَصْحِيحِهِ

Semoga bermanfaat

 Jangankan membaca sayyidina dan maulananya saja, wahabi fatwa si afroqi abdul ghani kediri wahabi dan si mahrus ali yang mengaku mantan kyai nu, si firanda pentahqik hadits dalam buku putih wahabi dalail adalah sesat. Giliran disamperin ketempatnya mirip bekicot, tapi kalau terselung berani berkoar.   Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat

Sholawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi'iyah.


Adapun lafaz sholawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

(HR. Bukhori dan Ahmad 3)

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnah menambah perkataan sayyidina pada lafadz sholawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan : Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padaNya ada sopan santun.

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnah menambah perkataan sayyidina dalam sholawat dalam sholat antara lain Ibnu Hajar al-Haitami, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.

Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi beliau mengatakan : Berkata pengarang kitab al-Dar , disunnahkan membaca perkataan sayyidina.
 Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.

Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :


1. Kata-kata sayyidina atau tuan atau yang mulia seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan: Pengucapan sayyidina merupakan sikap sopan santun.

Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW :

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :

Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik.

Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.

2. Hadits Abu Sa’id berkata :

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر

Rasulullah SAW bersabda : Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.
(HR. Turmidzi)
 Ini ucapan wahabi
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :


1. Sabda Rasulullah SAW :

لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ

Janganlah kalian mengucapkan kalimat sayyid kepadaku dalam sholat.

Jawaban kita atas ucapan wahabi
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي “

Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan : Adapun hadits Janganlah kalian mengucapkan kalimat sayyid kepadaku dalam sholat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafidz muata'akhirin.

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil sayyid kepada Rasulullah SAW.
 Ini ucapan bathil wahabi
Sabda Rasulullah SAW,


لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه

Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan RasulNya.
(HR. Bukhari). Ini hadits umat muslim untuk hujah dgn nasrani, dipakai wahabi untuk menyerang kita, karna menuhankan otak ilmu otodidak

Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

Jawaban kita untuk ucapan bathil wahabi : Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Nabi Isa As sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut Hamba Allah dan RasulNya adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya, ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain.

Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan : Sabda Rasulullah SAW sebagaimana sanjungan Nashrani, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, Aku hamba-Nya dan seterusnya maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu.

Dengan demikian, hadits ini oleh wahabi tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam sholat maupun luar sholat
 Kalau mau punya akhlak/sopan santun berbudi luhur kajilah ilmu tasawwuf yang di katakan umat muhammad bin abdul wahab sesat, padahal tanpa mereka sadari mereka tersesat...ibarat tukang bakso pasti teriak bakso gak akan teriak buah dingin, nah sesat teriak sesat itulah mereka su'ul adab tanpa punya sopan santun Kata wahabi,      imam syafii dan imam nawawi pun menolak dalam penyebutan sayyidina.. Terbukti dlm kitabnya tdk mnggunkn sayyidina. Kalau disuruh bawakan kitab sebagai dalil,  mana bawakan kitab apa, dan mana bukti akurat penolakan lafadz sayyidina dan berdosa?? Ngaji gak kitabnya dan aslikah kitab nya yang belum dibajak/dipalsukan/ditahkik kaum wahabi umat pemahaman ente si albani tukang jam yang merubah2/memalsukan               Wahabi rata-rata mreka hanya mengikut murni textUal hadis


 سلوك الادب خير من امتثال الأوامر


menjaga adab lebih baik dari pada mentaati perintah.
sama orang tua saja tidak boleh menyebut namanya langsung apalagi sama baginda rosul sa

مراعة الاداب خير من امتثال الاوامر



Ini ucapan wahabi yang salah mengaji

Hadits dari Anas bin Malik berkata :

أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل


Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata : Ya Muhammad Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami! Rasulullah menjawab : Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan RasulNya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.
(HR. Ahmad)

Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku

Ini jawaban kita kepada kaum wahabi
Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa a.s. sebagai tuhan.

Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan RasulNya. (HR. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat imam Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat imam Muslim.
 Orang nu jangan mau dikerjain okeh orang wahabrot utk mencari dalil. Suruh saja dia mencari dalil yang melarang baca sayyidina. Dalil yg dipakai biasanya adalah

 لا تسيدوني في الصلاة atau لا تسودوني في الصلاة 

Yaitu larangan baca sayyidina dalam salat. Padahal di atas sdh saya posted bhw dari 320 judul hadits tidak ada hadits tab, sampai akhirnya saya temukan fatwa bhw hadits tsb adalah hadits palsu dlm kitab fatawa syar'iyyah wa buhutsun islamiyyah. 
Jadi wahabrot bukan hanya salah mengaji 
Menambahkan sayyidina didlam sholat itu sunnah (fathul Mu'in)  
Ini ucapan kaum wahabi
 
Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :

صلوا كما رأيتموني أصلي

Sholatlah sebagaimana kamu melihat aku sholat

Jawaban kita untuk membenarkan kesalah pahamannya :
Menambah dzikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.

Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur

Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan dzikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan wa barakatuhu dan wahdahu la syarika lahu dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud yang kualiatas hadits tersebut adalah shohih.

Mengenai hadits Sholatlah sebagaimana kamu melihat aku sholat di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah

حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam.
(H.R. Bukahri dan Imam Syafi’i)

Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing.

Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka Sholatlah sebagaimana melihatku sholat.

Lafal Siyadah Dalam Adzan & Iqomah

الله أكبر الله أكبر
الله أكبر الله أكبر
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
حي على الصلاة
حي على الصلاة
حي على الفلاح
حي على الفلاح
الله أكبر الله أكبر
لا إله إلا الله

Demikian bunyi adzan yang dikumandangkan oleh kaum sufi di Mesir dan di beberapa negara lain, tidak sama dengan adzan-adzan yang sering kita dengarkan… Tepatnya pada tambahan lafaz Sayyidana; cukup menarik perhatian setiap pendengar baru… Ada apa dengan tambahan itu? sejak kapan tambahan itu ada? dan mengapa tidak selalu ada di setiap adzan dan setiap tempat? bid’ahkah? sunnahkah? mubah? atau malah wajib ????

Iqomahnya pun tak lepas juga dari lafaz siyadah itu…

الله أكبر الله أكبر
أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله
حي على الصلاة
حي على الفلاح
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة
الله أكبر الله أكبر
لا إله إلا الله

Menurut jumhur ulama’ dan fuqaha’, tambahan siyadah itu boleh-boleh saja sebab adab lebih didahulukan daripada imtitsal, artinya; mendahulukan etika itu lebih penting dari sekedar menjalankan perintah. Suatu ketika Rasulullah Saw. memerintahkan Saidina Abu Bakr Ra. untuk menjadi imam solat, beliau pun melaksanakan perintah Rasul dan menjadi imam solat, namun di tengah-tengah solat, Rasulullah memasuki masjid untuk ikut solat menjadi ma’mum di belakang Saidina Abu Bakr, Saidina Abu Bakr setelah merasakan kedatangan Baginda Rasul, beliau segera mundur untuk menyerahkan posisi imam kepada Rasul, akhirnya baliaulah yang menjadi ma’mum di belakang Rasul. Selepas solat, Rasulullah bertanya kepada Saidina Abu Bakr: “Mengapa kau mundur sementara Aku sendiri yang menyuruhmu menjadi imam?” beliau menjawab: “Tidak pantas Abu Bakr menjadi imam dan Rasulullah menjadi ma’mum” !! Dari riwayat ini jelas sekali bahwa Saidina Abu Bakr Ra. mendahulukan etikanya kepada Rasul daripada sekedar menjalankan perintah Rasul.

Suatu ketika juga Rasulullah Saw. memasuki sebuah masjid, sejumlah sahabat yang ada dalam masjid berdiri (sebagai penghormatan) menyambut kedatangan Baginda, orang-orang munafik saat itu berkata: “Ngapain mereka berdiri menyambut Muhammad sebagaimana orang-orang ajam menyambut raja-raja mereka?”, Rasulullah pun bersabda kepada para sahabat: “Lain kali jangan berdiri kalau Aku datang !!”, di waktu yang lain Beliau datang menjumpai para sahabat yang sedang kumpul duduk di masjid, di antara para sahabat itu ada Saidina Hassan bin Tsabit Ra., para sahabat itupun berdiri menyambut sebagaimana biasa, Beliau lalu bersabda: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdiri kala Aku datang?”, Saidina Hassan menjawab:

قيامي للعزيز علي فرض # وترك الفرض ما هو مستقيم

عجبت لمن له عقل وفهم # يرى هذا الجمال ولا يقوم


Di sini jelas sekali Saidina Hassan mengedepankan etika daripada menjalankan perintah. Oleh karena itu apabila Rasul memerintahkan kita untuk berselawat dengan Allahumma shalli ala Muhammad maka adab kita adalah berselawat dengan Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad. Begitu juga bila Rasul memerintahkan kita adzan dengan lafaz Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah maka etika kita adalah adzan dengan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah.

Kemudian tambahan siyadah itu bukanlah tambahan yang merubah esensi, misalnya si Ahmad bertanya kepada kawannya: siapa namamu? kawannya menjawab: nama saya Muhammad Ali, lalu si Ahmad memanggilnya dengan panggilan Ustadz Muhammad Ali, tambahan ustadz itu bukanlah tambahan atas nama si Muhammad namun sebagai adab dari si Ahmad. Begitu juga bila kita mengucap Allahumma shalli ala Sayyidina Muhhamad atau Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah bukanlah tambahan tapi hanya sebagai etika yang harus diutamakan.

Kata mereka; adzan adalah lafaz-lafaz yang sudah terbatas dan tidak boleh dirubah dengan ditambah atau dikurangi, sebab bila dirubah maka bukan adzan lagi namanya, karena Rasul telah mengajarkan adzan seperti itu (tidak kurang tidak lebih). Jawaban kita adalah: apabila memang tidak boleh ditambah atau dikurangi lalu mengapa Saidina Bilal menambah al-Shalatu khairun min al-naum pada adzan subuh? bukankah itu tambahan dari beliau dan bukan dari Rasul? Dan bukankah Saidina Abdullah bin Abbas pernah memerintahkan mu’adzin untuk menggantikan Hayya ala al-shalah dengan Shallu fi buyutikum (solatlah di rumahmu) dengan sebab turunnya hujan? Dan bukankah dulu di anatara lafaz-lafaz adzan ada Hayya ala khairil-amal kemudian dirubah oleh Saidina Umar? Apabila adzan tidak boleh ditambah atau dikurangi (secara mutlak) lalu mengapa Saidina Bilal menambah? mengapa Saidina Ibnu Abbas mengurangi bahkan mengganti dengan lafaz yang lain? mengapa Saidina Umar merubah? Apabila adzan dan iqomah sudah tetap dan baku jumlah kalimatnya, tidaklah mungkin kita menemukan perbedaan dalam mazhab-mazhab fiqh yang mu’tabar. Misalnya dalam mazhab Hanbali takbir di awal adzan sebanyak empat kali, sedangkan dalam mazhab Maliki takbir dua kali saja, dalam mazhab lain adzan boleh diterjemahkan ke bahasa lain, boleh diganti lafaznya, boleh ditambah dan boleh dikurangi bila dipandang perlu… Pertanyaanya: mengapa lafaz siyadah saja yang terlarang ?!?!?!

Dengan demikian maka lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidaklah bersifat tauqifi ta’abbudi karena para sahabat telah berkali-kali merubahnya dengan maksud-maksud dan sebab-sebab yang dipandang perlu. Tentunya apabila adzan dan iqomah diberi tambahan lafaz siyadah sebelum menyebut nama Rasul merupakan suatu hal yang sangat mulia dan terpuji. Lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidak seperti Qur’an yang turun dari langit dan tidak boleh diganggu gugat, melainkan adzan dan iqomah merupakan hasil mimpi seorang sahabat yang kemudian pelaksanaannya disetujui oleh Baginda Rasul Saw.

Adzan dan iqomah disamping mengajak keapda solat, ia juga merupakan pengumuman dan persaksian dari sang mu’adzin, ia bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, akan lebih baik dan lebih etis lagi apabila ia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah tuan dan penghulu kita semua; dengan ucapan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah. Karena adzan merupakan persaksian si mu’adzin itu (secara pribadi) maka Rasulullah bersabda: “Bila mendengar adzan, ikutilah kata-kata mu’adzin itu” maksudnya: ikutlah bersaksi !!

Fungsi mu’adzin ketika adzan adalah mengumumkan kepada orang-orang bahwa waktu solat telah tiba, ia juga menyeru untuk solat berjamaah, ia juga mengumumkan persaksiannya bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah… Apakah semua itu menghalanginya untuk beretika kepada Rasulullah? Apa sih salahnya memuliakan Rasulullah disamping tujuan-tujuan di atas? apalagi adzan dikumandangkan dengan suara keras dan tinggi dan didengarkan oleh banyak orang baik muslim maupun non-muslim, bukankah etika amat diperlukan?

Kata mereka: memuliakan Rasulullah dengan lafaz siyadah adalah berlebihan !! karena yang sayyid itu hanyalah Allah !! dan Rasulullah menjadi sayyid hanya di akhirat saja dan tidak di dunia !! Sungguh mereka amat benci kepada Rasulullah !! Bukankah Saidina Abu Tsabit pernah memanggil Rasulullah dengan panggilan “Ya Sayyidi”? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “al-Hasan wal-Husain Sayyida syababi ahlil-jannah”? Bukankah Allah sendiri berfirman bahwa Nabi Yahya adalah “Sayyidan wa hashuran wa nabiyyan minal-shalihin”? Bukankah orang kafir juga sayyid sebagaimana firman-Nya “Wa alfaya sayyidaha”? Bukankah Rasulullah juga menyatakan bahwa Saidina Sa’d bin Mu’adz adalah sayyid “Qumu lisayyidikum”? Bukankah Saidina Umar juga menyatakan bahwa Saidina Abu Bakr adalah sayyid dan Saidina Bilal juga sayyid “A’taqa sayyiduna sayyidana”? Mengapa keberatan dengan siyadah Rasulullah Saw. sementara beliau adalah makhluk Allah yang teragung, tertinggi, tersuci dan termulia ?!? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “Ana sayyidu waladi Adam wala fakhr”? Adapun hadits “La tusayyiduni” adalah hadits maudhu’ dan kontra dengan kaidah bahasa arab, karena yang benar adalah La tusawwiduni bukan La tusayyiduni !!

Fatwa Dr. Ali Jum’ah (mufti Mesir) dalam masalah ini sebagai berikut :

أما حكم تسويده صلى الله عليه وسلم في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات فاختلف الفقهاء في حكم هذه المسألة وقد نقل في كتب المذاهب الفقهية المعتمدة ندب الإتيان بلفظ سيدنا قبل إسمه الشريف حتى في العبادات كالصلاة والأذان


Beliau juga menambahkan :

ذهب إلى استحباب تقديم لفظة سيدنا قبل إسمه الشريف في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات كثيرٌ من فقهاء المذاهب الفقهية، كالعز بن عبد السلام والرملي والقليوبي والشرقاوي من الشافعية، والحصفكي وابن عابدين من الحنفية، وغيرهم كالشوكاني


al-Arif billah al-Muhaddits al-Hafiz al-Sayyid al-Syarif al-Faqih al-Shufi al-Syaikh Ahamd bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani Ra. (meninggal tahun 1960 M.) pernah menulis kitab berjudul Tasyniful-adzan bi adillati istihbab al-siyadah inda ismihi alaih al-shalatu wal-salam fil-shalati wal-iqamati wal-adzan, kitab ini khusus membahas tentang bolehnya mengucapkan lafaz siyadah ketika penyebutan nama Rasulullah Saw. baik dalam solat, adzan maupun iqomah. Kitab ini penuh dengan dalil-dalil yang kuat dan telah dimuraja’ah dan diakui kebenarannya oleh mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah al-Syafi’i serta ulama’-ulama’ yang lain.

Apabila siyadah dalam adzan dan iqomah dianggap bid’ah, maka bid’ah tersebut adalah hasanah. Bila ditanya: mengapa para sahabat dulu tidak mengucap Sayyidana dalam adzan dan iqomah? Syekh Ahmad al-Ghumari Ra. menjawab bahwa etika berubah-ubah setiap zaman, mungkin etika zaman dulu tidak menuntut kesitu, namun keadaan zaman sekarang sangat menuntut itu, apalagi melihat banyaknya artis-artis dan pejabat-pejabat yang disanjung-sanjung dan mendapat banyak penghormatan yang berlebihan, sangatlah hina bila menyebut nama sang penghulu alam hanya dengan sebutan “Muhammad” !! Kalaupun zaman dulu tidak ada sahabat yang mengucapkan Sayyidana dalam adzan dan iqomah, tidak berarti hal tersebut dilarang oleh syari’at, bila saat itu ada sahabat yang mengucapkannya Baginda pasti membenarkannya, karena beliau tidak pernah melarang sebelumnya, dan pernah memerintahkan sesudahnya; sebagaimana riwayat Bani Amir yang mengatakan kepada Rasulullah: “Anta waliyyuna wa anta sayyiduna” Rasul lalu bersabda: “Qulu qaulakum”. Asal hukum setiap sesuatu adalah mubah, kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan, lafaz siyadah kepada Rasul dalam adzan maupun iqomah sangat mustahab, baik dilakukan oleh orang-orang dahulu ataupun tidak dilakukan.

Sekali lagi, etika lebih penting dari segalanya, tanpa etika hancurlah semuanya. Allah berfirman: “Janganlah menyebut nama Rasul seperti menyebut nama sesamamu” Allah juga berfirman: “Janganlah berpendapat di atas pendapat Rasul dan janganlah meninggikan suaramu di atas suara Rasul sebagaimana tinggi dan kerasnya suara sebagianmu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. Etika menyebut nama orang tua dan guru tidaklah lebih penting dari etika menyebut nama sang penghulu dan pemberi syafa’at di hari jitu !!
 
Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ?

Jawabannya adalah sebagai berikut :
A. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?

B. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam sholat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunnah melakukannya?

Karena mafhum mukhalafah-nya adalah Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku sholat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya. Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunnah. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah dzikir dalam sholat seperti perkataan sayyidina dalam tasyahud.
 Pertanyaan yg sama.. Kenapa kalimat adhan/shahadat tdk ada sayyidina.. Kan itu penghormatan juga..? 
Kata “Sayyidina” dalam shalawat ketika Tahiyat
Apa hukumnya menambahkan kata “sayyidina” dalam salawat pas tahiyat saat shalat?

Jawaban:
Bismillah.
Tambahan ‘sayyidina’ pada shalawat
Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih Tuhan semesta alam, yang akan menempati maqam mahmud, nabi yang menebarkan rahmah, rasul hidayah, junjungan kita, penghulu kita. Kita sepakat, Beliaulah sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.

Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ

“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim 2278)

Oleh Karena itu, kita wajib mengimani bahwa beliau adalah sayyiduna (pemimpin kita), sebagai ujud kita memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hakikat Gelar Sayyid
Kemudian, gelar ‘sayyid’ tidak hanya dikhususkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:

إِنَّ ابنِي هَذَا سَيِّدٌ

“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin).” (HR. Bukhari 2704)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُم

“Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR. Bukhari 3073 & Muslim 1768)

Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid. Umar bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:

أَبُو بَكرٍ سَيِّدُنَا وَأَعتَقَ سَيِّدَنَا : يعني بلال بن رباح

“Abu Bakr sayyiduna, dan telah memerdekakan sayyidana, maksud beliau adalah Bilal bin Rabah.” (HR. Bukhari 3754)

jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling mulia dengan ‘sayyiduna’.

Kita nukilkan juga hadis yang katanya di shohihkan oleh Ulama' wahabi yaitu Al bani dan utsaimin berikut ini:

Hadis Abdullah bin Syikkhir
Sahabat Abdullah bin Syikkhir mengatakan,

انطَلَقتُ فِي وَفدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقُلنَا : أَنتَ سَيِّدُنَا . فَقَالَ : السَّيِّدُ اللَّهُ . قُلنَا : وَأَفضَلُنَا فَضلًا ، وَأَعظَمُنَا طَوْلًا ( أَي شَرَفًا وَغِنًى ) . فَقَالَ : قُولُوا بِقَولِكُم أَو بَعضِ قَولِكُم ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيطَانُ

Saya pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Bani Amir. Kami sanjung beliau dengan mengatakan: “Anda adalah sayyiduna (pemimpin kami).” Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Assayidu Allah (Sang Pemimpin adalah Allah).” Lalu aku sampaikan: “Anda adalah yang paling mulia dan paling utama di antara kami.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “Sampaikan perkataan kalian, dan jangan sampai setan membuat kalian menyimpang.” (HR. Abu Daud, 4806 dan dishahihkan Al-Albani)

Hadis ini tidaklah menunjukkan larangan menggunakan gelar ‘sayyidina’ untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena konteks ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabat Abdullah bin Syikkhir adalah kekhawatiran beliau ketika pujian Abdullah bisa berlebihan, sehingga mengangkat beliau sebagaimana layaknya Allah.

Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan kata ‘sayyid’ untuk Allah.
Dalam rangka mengingatkan mereka bahwa ‘as-sayid’ yang mutlak (pemimpin seluruh alam dan seisinya) secara mutlak hanyalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sehingga kalian mengkultuskanku sebagai layaknya Tuhan.
seperti yang dilakukan kaum bani isra'il kepada nabi Isa dan bunda maryam.
Sementara nabi mengisyaratkan bahwa beliau sebagai pemimpin umat. dan kata tersebut menunjukkan sifat tawadhuk, rendah diri dan ahlakul kariman nabi muhammad SAW.

Ibnu Utsaimin mengatakan:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menyebut beliau dengan sayyid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka untuk mengucapkan hal itu, sebagaimana yang beliau sabdakan: ‘Sampaikan perkataan kalian’ namun beliau melarang agar jangan sampai setan menyimpangkan mereka, sahingga mereka melebihkan gelar ‘pemimpin’ yang sifatnya khusus menjadi gelar ‘pemimpin’ yang berlaku mutlak. Karena kata ‘sayyiduna’ [pemimpin kami] adalah gelar kepemimpinan khusus yang dikaitkan dengan kata lainnya. Sementara ‘as-sayyid’ [Sang Pemimpin] adalah gelaran yang mutlak (dan itu hanya milik Allah).” (Al-Qoulul Mufid, 2/258).

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan:
Kaum muslimin sepakat bolehnya memberikan gelar ‘pemimpin’ untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikannya sebagai tanda untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

As-Syarqowi mengatakan:

فلفظ ( سيّدنا ) علم عليه صلى الله عليه وسلم

Lafadz ‘sayyiduna’ adalah tanda untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 11:346

Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat

Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد

 (H.R. Bukhari [2]  dan Ahmad [3])

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”[4]

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[5] Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
 “Berkata pengarang  kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[6]

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.[7]
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :
1.      Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
 “Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”[8]

Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
“Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.[10]

Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.

2.      Hadits Abu Sa’id, berkata :

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر

Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R. Turmidzi)[11]

Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :
1.      Sabda Rasulullah SAW :
 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita :
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي “ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
”Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.[13]

Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.

2. Sabda Rasulullah SAW,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)[14]

Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”

Jawab kita :
Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,  ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat

3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :
أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]

 Jawab kita :
Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,
“ Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
(H.R. Bukhari)[17]
Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :      
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya :  Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan  pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]

Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]
          
Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud[20] yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]

Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri22[22] dan  Syafi’i)[23]

Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”.                             Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a.  Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b.   Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya  tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat seperti  perkataan sayyidina dalam tasyahud.

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.
Jawab kita :
            Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24] Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan  Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita." (H.R. Muslim[25] dan Bukhari[26])

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud[27]

[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 188
[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[6] Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181
[7] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079
[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37
[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148
[12] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445
[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz. XXIII, Hal. 441
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153, No. Hadits : 12573
[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[18] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937
[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah  Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad,  Mesir, Juz. II, Hal. 86
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 316,  No. Hadits : 421
[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 684
[27] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal. 133-134
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar