Rabu, 09 April 2014

Suap menyuap dan perantara suap

وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.”
[HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]


SEPUTAR PEMILIHAN PEMIMPIN DAN UANG SUAPNYA
PERTANYAAN :
> Ikhwanul Khalem
Assalaamu'alaikum.... InsyaAlloh besok pemilihan/pencoblosan pilkada utk daerah bekasi. Yg saya maw tanyakan adalah,..
1. gmn hukumnya mnerima uang dr calon2 trsbut???
2. minta sarannya yg hrz sy plh yg calon model gmn cz smw calon mengobral janji.
3. ikut berdosakah sy kl suatu saat calon yg trpilih itu dzholim cz sy wktu tu sy ikut memilihnya.
Kurang lebih demikian dan maturnuwun untuk jawaban dan sarannya.
JAWABAN :
> AsSyam Alfarigi
Waaikumsalam...!
1.berdasarkan ajaran nabi Muhammad SAW,adalah haram hukumnya bagi yg menyogok dan yg disogok!
2.berdasarkan ajaran Beliau jg mengajarkan sholat istiqoroh, mintalah petunjuk kpd yg Maha tahu yaitu Allah Robbulalamin dlm menentukan pilihan2 tsbt.
3.krn kita tlah memasrah diri kpd Nya dlm menentukan piiihan tsbt,maka soal pertanggun jawabannya ketika yg terpilih berbuat dzolim,ia sendirilah yg menanggung dosanya sendiri.wasalam...! Wallaahu A'lam Bis showaab
> Ghufron Bkl
1. Bila pemberian tsb unt menarik simpati maka boleh menerimay tpi jka tjuany unt d pilih dan terdpat perjanjian yg mengikat mka trmsuk sogok mka harom menerimanya.
> Mbah Jenggot II
1. Sepakat dengan kg gufron. pada dasarnya, memilih seorang pemimpin itu dengan tujuan agar mengamalkan kebenaran, menegakkan batasan-batasan agama, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bukan memilih karena diberi uang. (Keterangan: Berdasarkan hadits di bawah, hukum haram ini tidak terbatas pada apabila si penerima hadiah tersebut adalah seorang tokoh. Akan tetapi hukum haram ini bersifat umum, baik si penerima rakyat biasa, tokoh masyarakat maupun partai politik). Dasar pengambilan;
- Shahîh al-Bukhârî; Shahîh Muslim;
- Fath al-Bârî Syarh al-Bukhârî, juz XIII, hal. 214 dan 218;
- Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz III, hal. 330.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ ، إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَى لَهُ ، وَإِلاَّ لمَ ْيَفِ لَهُ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ ، فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا ، فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا ، وَلَمْ يُعْطَ بِهَا اهـ رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada hari kiamat, Allah tidak akan membersihkan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air melebihi kebutuhan dalam perjalanan dan tidak memberikannya kepada musafir (yang membutuhkannya). Kedua, laki-laki yang membai'at seorang pemimpin hanya karena dunia. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai'atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu asar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal barang itu belum pernah ditawar sekian oleh orang lain." (HR. al-Bukhri dan Muslim).
قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيُّ الشَّافِعِيُّ فِيْ فَتْحِ الْبَارِيْ : وَاْلأَصْلُ فِيْ مُبَايَعَةِ اْلإِمَامِ أَنْ يُبَايِعَهُ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ بِالْحَقِّ وَيُقِيْمَ الْحُدُوْدَ وَيَأْمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ، فَمَنْ جَعَلَ مُبَايَعَتَهُ لِمَالٍ يُعْطَاهُ دُوْنَ مُلاَحَظَةِ الْمَقْصُوْدِ فِي اْلأَصْلِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا وَدَخَلَ فِيْ الْوَعِيْدِ الْمَذْكُوْرِ وَحَاقَ بِهِ إِنْ لَمْ يَتَجَاوَزِ اللهُ عَنْهُ ، وَفِيْهِ أَنَّ كُلَّ عَمَلٍ لاَ يُقْصَدُ بِهِ وَجْهُ اللهِ وَأُرِيْدَ بِهِ عَرَضُ الدٌّنْيَا فَهُوَ فَاسِدٌ وَصَاحِبُهُ آثِمٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ اهـ فتح الباري شرح صحيح البخاري.
Al-Hafizh Ibn Hajat al-'Asqalani al-Syafi'i berkata dalam Fath al-Bari: "Pada dasarnya orang membai'at pemimpin itu bertujuan agar ia melakukan kebenaran, menegakkan batasan-batasan Allah, melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, barang siapa yang menjadikan pembai'atannya kepada pemimpin karena harta yang diterimanya tanpa melihat tujuan utama, maka dia telah mengalami kerugian yang nyata dan masuk dalam ancaman hadits di atas, serta ia akan celaka apabila Allah tidak mengampunya. Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang tidak bertujuan mencari ridha Allah, tetapi bertujuan mencari kesenangan dunia, maka amal itu rusak dan pelakunya berdosa. Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq-Nya."
قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ بْنُ عُمَرَ نَوَوِي الْجَاوِيُ: وَأَخْذُ الرِّشْوَةِ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَهُوَ مَا يُعْطِيْهِ الشَّخْصُ لِحَاكِمٍ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ أَوْ يَحْمِلَهُ عَلىَ مَا يُرِيْدُ كَذَا فِي الْمِصْبَاحِ وَقَالَ صَاحِبُ التَّعْرِيْفَاتِ وَهُوَ مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ اهـ مرقاة صعود التصديق ص 74.
Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Syaikh Nawawi Banten) berkata: "Termasuk perbuatan maksiat adalah menerima suap/risywah. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang hakim atau lainnya, agar keputusannya memihak si pemberi atau mengikuti kemauan pemberi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mishbab. Pengarang kitab al-Ta'rifat berkata: "Suap adalah sesuatu yang diberikan karena bertujuan membatalkan kebenaran atau membenarkan kesalahan." (Mirqat Shu'ud al-Tashidiq, hal. 74).
> Awan As-Safaritiyy Asy-syaikheriyy
Wa alaikum salam....
§jika pemberian itu hanya sekedar untuk menarik simpati maka di perbolehkan,dan bagi si penerima makruh mengambil uang trsbt.krena d dalamya serupa dng penyuapan(ar risywah).
§jika tujuanya agar d pilih dan terdapat perjanjian yg mengikat maka hukumya trmasuk suap (risywah) yaitu haram.dan bagi si penerima haram menerimanya. [ ihya' ulumuddin 2/155-156 ].
Link Diskusi > http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/367910139898467/

HADIS TENTANG SUAP MENYUAP

A. Hadist
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : لعن رسول الله صلي الله عليه وسلم الراشي و المرتشي في الحكم. رواه الخمسة, و حسنه الترمذي وصححه ابن حبان.
Artinya :”Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu berkata, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap dalam perkara peradilan.”(HR. Ahmad dan Al-Arba’ah serta dihasankan oleh At-Tarmizi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

B. Mufradat :
Ar-Rasyi : orang yang memberikan uang suap
Murtasyi : orang yang menerima uang suap
C. sanad hadist:
Hadist ini diriwayatkan oleh imam yang lima dan hasan oleh tirmidzi dan di shahihkan oleh ibnu hibban, dalam kitab pemutusan perkara dan hukum-hukum pengadilan, bab larangan suap menyuap.
D. Syarah Hadist
Hadist ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap (dalam Kitab An-Nihayah tertera ar-Rasyi artinya orang yang memberikan uang suap agar si hakim menolongnya untuk suatu perbuatan batil dan murtasyi artinya orang yang menerima uang suap tersebut) dalam perkara peradilan”. Dalam kitab an-Nihayah terdapat tambahan ar-raisyi artinya perantara antara yang menyuap dan yang menerima suap. Walau si perentara melakukannya dengan suka rela, ia tetap mendapat laknat sebagaimana yang tercantum dalam hadis dan jika ia melakukan hal itu dengan mengambil upah maka laknatnya lebih besar lagi.
            Uang suap hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama, baik terhadap seorang hakim maupun terhadap seorang petugas pengumpul zakat dan lain-lain. Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu  dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Qs. Al-Baqarah [Sapi Betina] [ Surat Ke 2 : 286 Ayat]
 
                Harta yang diterima seorang hakim ada empat macam : uang suap, hadiah, upah dan rezeki yang lain. Dinamakan “uang suap” apabila uang yang diberikan kepada hakim dimaksudkan agar hakim memutuskan hukum dengan cara yang tidak hak. Maka, uang ini hukumnya haram baik bagi orang yang memberi maupun yang menerimanya. Jika uang suap diberikan kepada hakim agar pemberi suap tersebut mendapatkan haknya kembali, maka hakim mendapat dosa jika menerima uang suap itu, sementara si pemberi suap tidak, karena yang ia ambil adalah haknya sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa si pemberi suap juga berdosa karena ia telah menjerumuskan si hakim dalam perbuatan dosa.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air. Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil. Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
            Kalau dicermati, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat suap-menyuap itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta suap-menyuap, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu: penerima suap, pemberi suap, dan mediator suap-menyuap.
            Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, kalau tidak ada yang menyuapnya. Maka orang yang melakukan suap-menyuap pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. Sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu, ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
E. Pendapat Paraulama Tentang Hukum Risywah
Para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata,

فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف

“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.
            Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, yaitu orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.”
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata: 

قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع

“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy dalam Subulussalam

والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون

“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”
Imam al Qurthubi mengatakan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan      putusan hakim.

Hukum Suap Menyuap (ar-Risywah)

Kegiatan suap-menyuap kendati telah diketahui keharamannya namun tetap saja gencar dilakukan orang-orang, entah itu untuk meraih pekerjaan, pemenangan hukum hingga untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan-pun tak lepas dari praktik suap-menyuap. Untuk memasukkan anak ke sekolah yang bonafit, tidak cukup hanya bermodal nilai UN yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang banyak untuk menyumpal mulut para panitia. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku muslim, padahal jelas-jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan bagi seorang muslim sangat mengecam keras para pelaku suap-menyuap itu.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air.
Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Dalil al-Quran tentang Keharamannya
Allah Ta’ala berfirman,

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188]
Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)
Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.
Allah Ta’ala juga berfirman,

من قتل نفساً بغير نفسٍ أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” [QS. al-Maidah: 32]
Praktik suap-menyuap jika kita pahami lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah membunuh seluruh manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan kepada para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.
Dan firman-Nya,

يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” [QS. al-Baqarah: 172]
Ayat tersebut merupakan dalil umum yang memerintahkan orang-orang yang mengaku beriman untuk mencari rezki yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah sebaliknya mencari yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan cara yang haram pula. Dan suap-menyuap -tidak diragukan lagi- adalah cara yang bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh Allah Ta’ala.
Dalil as-Sunnah tentang Keharamannya
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]
Juga hadits,

وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]
Sementara dalam Sunan at-Tirmidzi,
Dari Abu Hurairah, ia berkata,

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum”. [HR. at-Tirmidzi no hadits 1351]
Setelah mengetahui dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah) maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di dunia tapi pasti di akhirat.
Akan tetapi, setelah jelasnya hukum akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan ungkapan lainnya.
Dengan alasan-alasan seperti itu juga telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya,

ومن شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية فقد أتى باباً عظيماً من الربا

“Siapa saja yang menolong saudaranya kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]

Tidak cukup dengan hadits tersebut, bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab khusus باب من لم يقبل الهدية لعلة (Bab Siapa saja yang tidak menerima hadiah karena pekerjaan). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu,

كانت الهدية في زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة

“Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]

Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut. Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia berkata,

فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف

“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161]
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata,

قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع

“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy dalam Subulussalam (2/24)

والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون

“Dan suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”
Kesimpulan
Sebagai seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah) yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik suap-menyuap tersebut.

وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين

“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).” [QS. Al-Qashash: 42]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar