وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk
orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan
keduanya.”
[HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]
[HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]
SEPUTAR PEMILIHAN PEMIMPIN DAN UANG SUAPNYA
PERTANYAAN :
> Ikhwanul Khalem
Assalaamu'alaikum.... InsyaAlloh besok pemilihan/pencoblosan pilkada utk daerah bekasi. Yg saya maw tanyakan adalah,..
1. gmn hukumnya mnerima uang dr calon2 trsbut???
2. minta sarannya yg hrz sy plh yg calon model gmn cz smw calon mengobral janji.
3. ikut berdosakah sy kl suatu saat calon yg trpilih itu dzholim cz sy wktu tu sy ikut memilihnya.
Kurang lebih demikian dan maturnuwun untuk jawaban dan sarannya.
JAWABAN :
> AsSyam Alfarigi
Waaikumsalam...!
1.berdasarkan ajaran nabi Muhammad SAW,adalah haram hukumnya bagi yg menyogok dan yg disogok!
2.berdasarkan ajaran Beliau jg mengajarkan sholat istiqoroh, mintalah petunjuk kpd yg Maha tahu yaitu Allah Robbulalamin dlm menentukan pilihan2 tsbt.
3.krn kita tlah memasrah diri kpd Nya dlm menentukan piiihan tsbt,maka soal pertanggun jawabannya ketika yg terpilih berbuat dzolim,ia sendirilah yg menanggung dosanya sendiri.wasalam...! Wallaahu A'lam Bis showaab
> Ghufron Bkl
1. Bila pemberian tsb unt menarik simpati maka boleh menerimay tpi jka tjuany unt d pilih dan terdpat perjanjian yg mengikat mka trmsuk sogok mka harom menerimanya.
> Mbah Jenggot II
1. Sepakat dengan kg gufron. pada dasarnya, memilih seorang pemimpin itu dengan tujuan agar mengamalkan kebenaran, menegakkan batasan-batasan agama, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bukan memilih karena diberi uang. (Keterangan: Berdasarkan hadits di bawah, hukum haram ini tidak terbatas pada apabila si penerima hadiah tersebut adalah seorang tokoh. Akan tetapi hukum haram ini bersifat umum, baik si penerima rakyat biasa, tokoh masyarakat maupun partai politik). Dasar pengambilan;
- Shahîh al-Bukhârî; Shahîh Muslim;
- Fath al-Bârî Syarh al-Bukhârî, juz XIII, hal. 214 dan 218;
- Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz III, hal. 330.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَاهُ ، إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَى لَهُ ، وَإِلاَّ لمَ ْيَفِ لَهُ ، وَرَجُلٌ بَايَعَ رَجُلاً بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ ، فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا ، فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا ، وَلَمْ يُعْطَ بِهَا اهـ رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada hari kiamat, Allah tidak akan membersihkan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air melebihi kebutuhan dalam perjalanan dan tidak memberikannya kepada musafir (yang membutuhkannya). Kedua, laki-laki yang membai'at seorang pemimpin hanya karena dunia. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai'atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu asar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal barang itu belum pernah ditawar sekian oleh orang lain." (HR. al-Bukhri dan Muslim).
قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيُّ الشَّافِعِيُّ فِيْ فَتْحِ الْبَارِيْ : وَاْلأَصْلُ فِيْ مُبَايَعَةِ اْلإِمَامِ أَنْ يُبَايِعَهُ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ بِالْحَقِّ وَيُقِيْمَ الْحُدُوْدَ وَيَأْمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ، فَمَنْ جَعَلَ مُبَايَعَتَهُ لِمَالٍ يُعْطَاهُ دُوْنَ مُلاَحَظَةِ الْمَقْصُوْدِ فِي اْلأَصْلِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا وَدَخَلَ فِيْ الْوَعِيْدِ الْمَذْكُوْرِ وَحَاقَ بِهِ إِنْ لَمْ يَتَجَاوَزِ اللهُ عَنْهُ ، وَفِيْهِ أَنَّ كُلَّ عَمَلٍ لاَ يُقْصَدُ بِهِ وَجْهُ اللهِ وَأُرِيْدَ بِهِ عَرَضُ الدٌّنْيَا فَهُوَ فَاسِدٌ وَصَاحِبُهُ آثِمٌ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ اهـ فتح الباري شرح صحيح البخاري.
Al-Hafizh Ibn Hajat al-'Asqalani al-Syafi'i berkata dalam Fath al-Bari: "Pada dasarnya orang membai'at pemimpin itu bertujuan agar ia melakukan kebenaran, menegakkan batasan-batasan Allah, melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, barang siapa yang menjadikan pembai'atannya kepada pemimpin karena harta yang diterimanya tanpa melihat tujuan utama, maka dia telah mengalami kerugian yang nyata dan masuk dalam ancaman hadits di atas, serta ia akan celaka apabila Allah tidak mengampunya. Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang tidak bertujuan mencari ridha Allah, tetapi bertujuan mencari kesenangan dunia, maka amal itu rusak dan pelakunya berdosa. Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq-Nya."
قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ بْنُ عُمَرَ نَوَوِي الْجَاوِيُ: وَأَخْذُ الرِّشْوَةِ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَهُوَ مَا يُعْطِيْهِ الشَّخْصُ لِحَاكِمٍ أَوْ غَيْرِهِ لِيَحْكُمَ لَهُ أَوْ يَحْمِلَهُ عَلىَ مَا يُرِيْدُ كَذَا فِي الْمِصْبَاحِ وَقَالَ صَاحِبُ التَّعْرِيْفَاتِ وَهُوَ مَا يُعْطَى لإِبْطَالِ حَقٍّ أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ اهـ مرقاة صعود التصديق ص 74.
Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi (Syaikh Nawawi Banten) berkata: "Termasuk perbuatan maksiat adalah menerima suap/risywah. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang hakim atau lainnya, agar keputusannya memihak si pemberi atau mengikuti kemauan pemberi, sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mishbab. Pengarang kitab al-Ta'rifat berkata: "Suap adalah sesuatu yang diberikan karena bertujuan membatalkan kebenaran atau membenarkan kesalahan." (Mirqat Shu'ud al-Tashidiq, hal. 74).
> Awan As-Safaritiyy Asy-syaikheriyy
Wa alaikum salam....
§jika pemberian itu hanya sekedar untuk menarik simpati maka di perbolehkan,dan bagi si penerima makruh mengambil uang trsbt.krena d dalamya serupa dng penyuapan(ar risywah).
§jika tujuanya agar d pilih dan terdapat perjanjian yg mengikat maka hukumya trmasuk suap (risywah) yaitu haram.dan bagi si penerima haram menerimanya. [ ihya' ulumuddin 2/155-156 ].
Link Diskusi > http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/367910139898467/
HADIS TENTANG SUAP MENYUAP
A. Hadist
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : لعن رسول الله صلي الله
عليه وسلم الراشي و المرتشي في الحكم. رواه الخمسة, و حسنه الترمذي وصححه ابن
حبان.
Artinya :”Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu
berkata, Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap dalam perkara
peradilan.”(HR. Ahmad dan
Al-Arba’ah serta dihasankan oleh At-Tarmizi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
B. Mufradat :
Ar-Rasyi : orang yang memberikan uang suap
Murtasyi : orang yang menerima uang suap
C. sanad hadist:
Hadist ini diriwayatkan oleh imam yang
lima dan hasan oleh tirmidzi dan di shahihkan oleh ibnu hibban, dalam kitab
pemutusan perkara dan hukum-hukum pengadilan, bab larangan suap menyuap.
D. Syarah Hadist
Hadist ini menjelaskan bahwa
Rasulullah SAW melaknat penyuap dan orang yang disuap (dalam Kitab
An-Nihayah tertera ar-Rasyi artinya orang yang memberikan uang suap agar
si hakim menolongnya untuk suatu perbuatan batil dan murtasyi artinya
orang yang menerima uang suap tersebut) dalam perkara peradilan”. Dalam
kitab an-Nihayah terdapat tambahan ar-raisyi artinya perantara antara
yang menyuap dan yang menerima suap. Walau si perentara melakukannya dengan
suka rela, ia tetap mendapat laknat sebagaimana yang tercantum dalam hadis dan
jika ia melakukan hal itu dengan mengambil upah maka laknatnya lebih besar lagi.
Uang
suap hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama, baik terhadap seorang hakim
maupun terhadap seorang petugas pengumpul zakat dan lain-lain. Allah Ta’ala
berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Qs. Al-Baqarah [Sapi Betina] [ Surat Ke 2 : 286 Ayat]
Qs. Al-Baqarah [Sapi Betina] [ Surat Ke 2 : 286 Ayat]
Harta
yang diterima seorang hakim ada empat macam : uang suap, hadiah, upah dan
rezeki yang lain. Dinamakan “uang suap” apabila uang yang diberikan kepada
hakim dimaksudkan agar hakim memutuskan hukum dengan cara yang tidak hak. Maka,
uang ini hukumnya haram baik bagi orang yang memberi maupun yang menerimanya.
Jika uang suap diberikan kepada hakim agar pemberi suap tersebut mendapatkan
haknya kembali, maka hakim mendapat dosa jika menerima uang suap itu, sementara
si pemberi suap tidak, karena yang ia ambil adalah haknya sendiri. Ada juga
yang berpendapat bahwa si pemberi suap juga berdosa karena ia telah
menjerumuskan si hakim dalam perbuatan dosa.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil)
sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap
sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut
juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi
Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha
memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri
berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air. Jadi,
ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain)
kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau
menangguhkannya dengan cara yang bathil. Dengan cara bathil inilah sebuah
ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah
mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Kalau
dicermati, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan
seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, tetapi juga diharamkan
melakukan hal-hal yang bisa membuat suap-menyuap itu berjalan. Maka yang
diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta suap-menyuap,
melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu: penerima suap, pemberi suap, dan
mediator suap-menyuap.
Sebab
tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap,
kalau tidak ada yang menyuapnya. Maka orang yang
melakukan suap-menyuap pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. Sebab
karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta
suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu, ada pihak yang
menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
E. Pendapat Paraulama Tentang Hukum Risywah
Para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap
permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughniy, ia
berkata,
فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun
suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram
–tidak diragukan lagi-.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan,
”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri, yaitu orang yang diberikan tanggung
jawab atas suatu urusan untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini
adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini
adalah suap yang dilarang Nabi saw.”
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata:
قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan
berkata dalam Syarhus Sunan, “Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang
hakim dan para pekerja yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya
sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy
dalam Subulussalam
والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan
suap-menyuap itu haram sesuai Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para
pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
[QS. Al-Baqarah: 188].”
Imam al Qurthubi mengatakan bahwa barangsiapa yang
mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka
sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk
memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan
kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.
Hukum Suap Menyuap (ar-Risywah)
Kegiatan suap-menyuap kendati telah
diketahui keharamannya namun tetap saja gencar dilakukan orang-orang,
entah itu untuk meraih pekerjaan, pemenangan hukum hingga untuk
memasukan anak ke lembaga pendidikan-pun tak lepas dari praktik
suap-menyuap. Untuk memasukkan anak ke sekolah yang bonafit, tidak cukup
hanya bermodal nilai UN yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang
banyak untuk menyumpal mulut para panitia. Sungguh pemandangan yang
sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang
melakukannya adalah orang-orang yang mengaku muslim, padahal jelas-jelas
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan bagi seorang
muslim sangat mengecam keras para pelaku suap-menyuap itu.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil)
sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung
suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah (الرِّشْوة), Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berasal dari الرِشاء yang berarti Tali yang menyampaikan timba ke air.
Jadi, ar-Risywah adalah
pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim
atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya
dengan cara yang bathil.
Dengan cara bathil inilah sebuah
ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika
Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Dalil al-Quran tentang Keharamannya
Allah Ta’ala berfirman,
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
“Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188]
Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna
ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang
lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa
yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan
syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil.
Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang
hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya
salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan
hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)
Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.
Allah Ta’ala juga berfirman,
من قتل نفساً بغير نفسٍ أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً
“Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya” [QS. al-Maidah: 32]
Praktik suap-menyuap jika kita pahami
lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya merupakan pembunuhan
terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah membunuh seluruh
manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan kepada
para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga
menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.
Dan firman-Nya,
يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” [QS. al-Baqarah: 172]
Ayat tersebut merupakan dalil umum
yang memerintahkan orang-orang yang mengaku beriman untuk mencari rezki
yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah sebaliknya mencari
yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan cara yang
haram pula. Dan suap-menyuap -tidak diragukan lagi- adalah cara yang
bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh
Allah Ta’ala.
Dalil as-Sunnah tentang Keharamannya
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580]
Juga hadits,
وعن ثوبان رضي الله عنه قال لعن رسول الله الراشي والمرتشي والرائش: يعني الذي يمشي بينهما
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk
orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan
keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]
Sementara dalam Sunan at-Tirmidzi,
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي في الحكم
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah
hukum”. [HR. at-Tirmidzi no hadits 1351]
Setelah mengetahui dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah yang menegaskan tentang keharaman praktik suap-menyuap (ar-Risywah)
maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaku, penerima dan orang-orang yang
terlibat dalam praktik suap tersebut tidak akan mendapatkan keuntungan
melainkan kecelakaan yang akan Allah berikan kepadanya, jika tidak di
dunia tapi pasti di akhirat.
Akan tetapi, setelah jelasnya hukum
akan perkara ini, masih saja ada orang-orang yang coba memalingkan dan
mengkaburkan hukum keharaman suap-menyuap ini dengan berdalih bahwa yang
diberikannya itu adalah hadiah atas bantuannya, atau uang lelah, dan
ungkapan lainnya.
Dengan alasan-alasan seperti itu juga
telah terbantahkan oleh hadits yang banyak yang telah diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya,
ومن شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية فقد أتى باباً عظيماً من الربا
“Siapa saja yang menolong saudaranya
kemudian dia dihadiahkan sesuatu maka ia telah masuk ke dalam pintu
besar dari Riba.” [HR. Ahmad dalam Musnadnya]
Tidak cukup dengan hadits tersebut,
bahkan penyusun kitab Shahih Bukhari, Abu Ismail al-Bukhari membuat bab
khusus باب من لم يقبل الهدية لعلة (Bab Siapa saja yang tidak menerima
hadiah karena pekerjaan). Dalam bab tersebut, Imam Bukhari menukil
perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu,
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية، واليوم رشوة
“Pada zaman Rasulullah pemberian itu dinamakan Hadiah, maka zaman sekarang ini dinamakan risywah (suap)”. [Shahih Bukhari]
Suap-menyuap bukanlah hal baru dalam
Islam, karenanya banyak hadits dan atsar para sahabat radhiyallahu
‘anhum yang mencela bahkan mengutuk praktik suap-menyuap tersebut.
Bahkan para ulama juga memberikan perhatian yang besar terhadap
permasalahan ini, diantaranya adalah Ibnu Qudamah dalam kitabnya
al-Mughniy, ia berkata,
فأما الرشوة في الحكم ورشوة العامل فحرام بلا خلاف
“Adapun suap-menyuap dalam masalah hukum dan pekerjaan (apa saja) maka hukumnya haram –tidak diragukan lagi-.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian
hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu
urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan, ini adalah
haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini
adalah suap yang dilarang Nabi saw.” [Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161]
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar berkata,
قال الشوكاني في نيل الأوطار: قال ابن رسلان في شرح السنن: ويدخل في إطلاق الرشوة الرشوة للحاكم والعامل على أخذ الصدقات، وهي حرام بالإجماع
“Ibnu Ruslan berkata dalam Syarhus Sunan,
“Termasuk kemutlaqan suap-menyuap bagi seorang hakim dan para pekerja
yang mengambil shadaqah, itu menerangkan keharamannya sesuai Ijma’.
ash-Shan’aniy dalam Subulussalam (2/24)
والرشوة حرام بالإجماع سواء كانت للقاضي أو للعامل على الصدقة أو لغيرهما، وقد قال الله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
“Dan suap-menyuap itu haram sesuai
Ijma’, baik bagi seorang qadhi/hakim, bagi para pekerja yang menangani
shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 188].”
Kesimpulan
Sebagai seorang muslim yang mengaku
tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka
sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah) yang telah
meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya
kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan
pintas untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil
menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi
bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik
suap-menyuap tersebut.
وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين
“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada
mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang
yang dijauhkan (dari rahmat Allah).” [QS. Al-Qashash: 42]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya
telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di
dunia hingga akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar