Senin, 07 April 2014

Memahami Hakikat Pembagian Tauhid Trisaudi: Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Shifat

Memahami Hakikat Pembagian Tauhid Trisaudi: Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Shifat



Salah satu perkara aqidah yang gencar di dakwahkan oleh sebagian kalangan saat ini adalah pembagian tauhid kepada tiga; Rububiyah, Uluhiyah dan Asma` wa shifat. Pembagian tauhid tiga ini dilakukan oleh seorang insan yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah sekitar abad ke-7 Hijriah sehingga perlu diketahui bahwasanya pembagian ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, para salafush-shalih bahkan para ‘Ulama khalaf yang menjadi rujukan dan panutan ummat Islam sekalipun.
Pembagian tauhid menjadi tiga ini bisa dikatakan sebagai Tauhid Trisaudi (Trinitas Salafi Yahudi) karena memang biasanya digembor-gemborkan oleh kelompok baru, kelompok minoritas yang keluar dari jama’ah muslimin yang sering dikenal dengan nama Salafi yang merupakan salah satu sekte dalam Islam bentukan Yahudi. Bahkan, demi menyebarkan tauhid ini mereka tidak segan-segan melakukan Fitnah dan Kebohongan Terhadap Ulama Imam Madzhab Atas Tauhid Trisaudi. Untuk itulah, sebagai umat Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) mesti paham dan tahu tentang Tauhid Trisaudi (Trinitas Salafi Yahudi) agar tidak terjerumus ke dalam aqidah tersebut.
Memulai tulisan ini, alangkah baiknya bila kita sedikit menelisik tentang maksud dari tauhid tiga ini yang meliputi tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma` wa al-shifat.
1. Tauhid ar-Rububiyyah
Yaitu tauhid yang dimiliki oleh orang Muslim dan orang musyrik. Dalam tauhid ini mengandung tauhid al-Khaliqiyyah (mengi’tiqad Allah Swt sebagai Pencipta), menyatakan Allah Swt penguasa langit dan bumi, dan hanya Allah Swt-lah yang mengurus keduanya.
Sekelompok insan ini mendasarkan tauhid ar-Rububiyah ini kepada firman Allah Swt dalam surat al-Mu`minun ayat 84-85 :
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Katakanlah : “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” (QS. al-Mukminun : 84-85)
dan juga firman Allah Swt dalam surat al-Ankabut ayat 61 :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. al-Ankabut : 61)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sekelompok insan ini berkomentar bahwa kaum kafir juga mengakui Allah Swt walaupun tauhidnya tidak sah karena mereka juga ikut menyembah berhala disamping pengakuan mereka kepada adanya Allah Swt.
2. Tauhid al-Uluhiyyah
Yaitu tauhid dalam penyembahan bahwa hanya Allah Swt semata yang disembah dan tiada menyekutukan-Nya dengan apapun.
3. Tauhid al-Asma` wa as-Shifat
Yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt sebagaimana telah di tetapkan oleh al-Qur`an dan Rasul-Nya berdasarkan maknanya yang zhahir (walaupun membawaki kepada tajsim).
Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya, Minhaj al-Sunnah menomentari tentang tauhidnya mayoritas kaum Muslimin dan ‘Ulama Mutakallimin dari golongan al-Asya`irah dan lainnya :
وأخرجوا من التوحيد ما هو منه كتوحيد الإلهية وإثبات حقائق أسماء الله وصفاته ولم يعرفوا من التوحيد إلا توحيد الربوبية وهو الإقرار بأن الله خالق كل شيء وربه وهذا التوحيد كان يقر به المشركون الذين قال الله عنهم ولئن سألتهم من خلق السموات والأرض ليقولن الله (سورة لقمان).وقال تعالى قل من رب السموات السبع ورب العرش العظيم سيقولون الله الآيات ((سورة المؤمنون) وقال عنهم ومايؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون (سورة يوسف). قال طائفة من السلف يقول لهم من خلق السماوات والأرض فيقولون الله وهم مع هذا يعبدون غيره وإنما التوحيد الذي أمر الله به العباد هو توحيد الألوهية المتضمن لتوحيد الربوبية بأن يعبد الله وحده لا يشركون به شيئا
“Mereka telah mengeluarkan bagian dari tauhid seperti tauhid Ilahiyah dan menyatakan adanya hakikat nama-nama Allah dan sifat-Nya. Mereka tiada mengetahui tauhid kecuali hanya tauhid Rububiyyah saja yaitu pengakuan bahwa Allah Swt adalah Pencipta segala sesuatu. Tauhid ini juga diakui oleh kaum kafir dimana Allah Swt berfirman tentang mereka : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah” (QS. al-Ankabut : 61). Allah Swt juga berfirman “Katakanlah: “Siapakah Yang Mempunyai langit yang tujuh dan Yang Mempunyai ‘Arsy yang besar? Mereka akan menjawab : “Kepunyaan Allah Swt“. (QS. al-Mukminun : 86-87) dan juga firman Allah Swt : “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah Swt melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah Swt (QS. Yusuf : 106). Sekelompok ‘Ulama salaf berkata : “Allah Swt bertanya kepada mereka : “Siapa yang menciptakan langit dan bumi”. Mereka menjawab : “Allah Swt”, namun dalam keadaan demikian mereka juga masih menyembah selain Allah Swt dan tauhid yang Allah Swt perintahkan kepada hamba-Nya hanyalah tauhid Uluhiyyah yang juga mengandung tauhid Rububiyah dengan cara hanya menyembah Allah Swt dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Ibnu Taimiyah juga berkata dalam kitab Risalah Ahl al-Shuffah :
توحيد الربوبية وحده لا ينفى الكفر ولا يكفى
“Tauhid Rububiyyah semata tidaklah menghilangkan kekufuran dan tidaklah memadai”.
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (pencetus gerakan al-Wahhabiyyah) dalam kitabnya, Kasyf al-Syubhat, menyatakan :
وتحققت أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إنما قاتلهم ليكون الدعاء كله لله والنذر كله لله والذبح كله لله والاستغاثة كلها لله وجميع أنواع العبادة كلها لله وعرفت أن إقرارهم بتوحيد الربوبية لم يدخلهم في الإسلام وأن قصدهم الملائكة والأولياء يريدون شفاعتهم والتقرب إلى الله بذلك هو الذي أحل دماءهم وأموالهم عرفت حينئذٍ التوحيد الذي دعت إليه الرسل وأبى عن الإقرار به المشركون
“Setelah kamu pastikan bahwa Rasulullah Saw memerangi kaum musyrik supaya berdoa hanya kepada Allah Swt, bernazar hanya kepada Allah Swt, menyembelih hanya kepada Allah Swt, meminta tolong hanya kepada Allah Swt dan sekalian ibadah hanya kepada Allah Swt dan telah kamu ketahui bahwa pengakuan mereka dengan tauhid Rububiyyah tidaklah memasukkan mereka dalam agama Islam dan tujuan mereka kepada para Malaikat dan para Auliya` adalah untuk meminta syafa’at mereka dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan cara demikian merupakan hal yang menghalalkan darah dan harta mereka. Dapatlah kamu ketahui ketika itu tauhid yang diajak oleh para Rasul dan enggan diakui oleh kaum musyrik”.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut, jelaslah kedua insan ini hendak mengatakan bahwa tauhid yang diajak oleh para Rasul adalah tauhid Uluhiyyah sedangkan tauhid Rububiyyah telah ada pada kaum kafir. Begitu juga dengan para ‘Ulama al-Asyar’irah yang hanya bertauhid dengan tauhid Rububiyyah saja, tidak bertauhid Uluhiyyah.
Kesalahan Pembagian Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah
Salah satu hal yang menjadikan pembagian tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah ini adalah pembagian yang tidak masuk akal adalah pemisahan makna ilah dan rabb. Padahal pada dasarnya, kedua lafadz tersebut adalah lafadz yang maknanya saling melazimi karena ilah yang haq adalah rabb yang haq. Begitu juga sebaliknya, ilah yang bathil juga merupakan rabb yang bathil.
Hal ini terbukti dari beberapa ayat al-Qur`an dan hadits Rasul Saw yang sama sekali tidak membedakan pemakaian lafazh ilah dan rabb. Allah Swt berfirman yang menceritakan perjanjian manusia tentang ke-Tuhanan Allah Swt di alam ruh :
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”. (QS. al-A’raf : 172)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya pemakaian kata rabb untuk pengakuan ke-Tuhanan Allah Swt sama saja halnya dengan pemakaian kata ilah. Seandainya tidak sama, tentu saja lafazh perjanjiannya tidak akan memakai kata rabb dan akan dituntut untuk mengakui ke-Tuhanan Allah swt dengan pemakaian kata ilah.
Dalil lainnya yang menunjuki bahwa makna lafadz rabb dan ilah saling melazimi (tidak bisa terpisah) adalah pertanyaan Malaikat Munkar ‘as dan Nakir ‘as di dalam kubur dengan lafadz “من ربك “ bukan dengan lafadz “ من الهك“ . Kalau memang makna dari lafadz Rabb dan Ilah berbeda, tentunya kedua Malaikat ‘as ini akan menanyakan “ من الهك “ atau akan menanyakan keduanya.
Oleh karena itu antara Uluhiyyah dan Rububiyyah tidak bisa dipisahkan maknanya sehingga pembagian tauhid ini tidak sah karena siapa saja yang telah mengakui Rububiyyah bagi satu zat, berarti ia juga telah mengakui Uluhiyyahnya zat tersebut.
Benarkan Kaum Kafir Ber-tauhid Rububiyyah?
Sekelompok insan pembagi tauhid tiga ini menyatakan bahwa kaum musyrik memiliki tauhid Rububiyyah. Ini merupakan hal yang sangat aneh karena kaum yang menyekutukan Allah Swt didakwa sebagai kaum yang ber-tauhid padahal dalil-dalil telah menunjukkan bahwa kaum kafir sama sekali tidak memiliki tauhid Rububiyyah.
Salah satu dalil yang sangat jelas untuk menunjuki bahwa para kafir itu tetap mensyirikkan tauhid Rububiyyah adalah pertanyaan Malaikat Munkar ‘as dan Nakir ‘as dalam kuburan dengan lafadz “ من ربك ؟ “, “Siapa Rabb-mu?”, jawaban kaum kafir adalah “ لا ادرى “, “Saya tidak tahu”, sedangkan kaum mukmin akan menjawab “ Allah Swt”, sehingga dapatlah dipahami bahwa kekufuran kaum musyrik dalam Rububiyyah sama dengan kekufurannya terhadap Uluhiyyah.
Para Rasul sebagaimana mereka menentang kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah Swt, mereka juga menentang keyakinan kaum musyrikin yang menetapkan sifat Rububiyyah kepada selain Allah Swt, seperti keyakinan kaum kafir akan terpenuhinya syafa’at (permintaan pertolongan) mereka di sisi Allah Swt dengan cara menyekutukan Allah Swt dengan tuhan-tuhan mereka ataupun seperti terpenuhinya kehendak tuhan-tuhan mereka dalam memberi manfaat dan kemudharatan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa sifat Rububiyyah yang ditetapkan oleh kaum kafir kepada Allah Swt adalah penetapan yang tidak sah sehingga kaum kafir tidak layak digolongkan dalam kelompok manusia yang bertauhid Rububiyyah.
Beberapa ayat al-Qur`an yang menunjuki bahwa para Rasul juga menentang penetapan sifat Rububiyyah Allah Swt oleh kaum musyrikin antara lain :
1. Dalam surat al-Anbiya, Allah Swt menghikayahkan perkataan Nabi Ibrahim ‘as :
قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنّ
“Nabi Ibrahim ‘as berkata : “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya”. (QS. al-Anbiya: 56)
2. Dalam surat al-An’am ayat 80, Allah Swt juga menghikayahkan perkataan Nabi Ibrahim ‘as kepada kaumnya :
أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبِّي شَيْئًا
“Apakah kamu hendak membantah tentang Allah Swt padahal sesungguhnya Allah Swt telah memberi petunjuk kepadaku.” Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah Swt kecuali di kala Tuhanku (Rabbi) menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu… “. (QS. al-An’am : 80)
Kedua kandungan ayat ini ini adalah bukti nyata seruan Nabi Ibrahim ‘as kepada kaum musyrik untuk tidak menjadikan tuhan mereka sebagai sekutu bagi Allah Swt dengan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka bisa memberi mudharat dan manfaat.
3. Dalam surat Yusuf ayat 39, Allah Swt menceritakan dakwah Nabi Yusuf ‘as ketika berada dalam penjara :
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan (Arbab, kata plural dari Rabb) yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”. (QS. Yusuf : 39)
4. Dalam surat an-Nazi’at ayat 24, Allah Swt menghikayahkan perkataan Fir’aun :
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (Q.S. an-Nazi’at : 24)
Apakah masih dapat di katakan bahwa “kedua sahabat Nabi yusuf yang menyembah patung dan fir’aun itu mengakui dengan uluhiyyah Allah SWT ? sehingga bisa kita dakwakan bahwa kaum tauhid Raububiyah juga ada pada kaum kafir!
5. Dalam surat asy-Syu’ara` ayat, Allah menghikayahkan percakapan Nabi Musa dengan Fir’aun. Fir’aun berkata :
وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ
“dan apa itu tuhan kamu?” (Q.S. As-Syu’ara 23)
Maka Nabi Musa AS menjawab :
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
“Tuhan langit dan bumi dan sesuatu antara keduanya”( Q.S. Asy-Syu’ara 24 )
Nabi Musa juga menjawab:
رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ
“tuhan kamu dan tuhan segala bapak kamu yang terdahulu”(Q.S. Asy-Syu’ara 26)
6. Nabi Harun as menyeru kepada kaumnya yang menyembah patung anak lembu :
وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ
“Dan sesungguhnya tuhan kamu itu Maha pengasih (bukan anak sapi ini) (Q.S. Thaha 90)
7. Allah ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad SAW :
قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ
“Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu…”(Q.S. al-An’am 64)
8. Surat Ali Imran 80 :
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا
dan Dia tidak menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan.(Q.S. Al Imran 80)
9. Dan lain-lain
Seluruh ayat diatas juga menunjukan bahwa para Rasul juga menyeru kepada kaumnya untuk tidak menyekutukan Allah pada rububiyyah dan untuk tidak menetapkan sesuatu dari kekhususan rububiyyah kepada selain Allah. Hal ini menunjukan bahwa kaum musyrikin juga menyekutukan Allah dengan sesembahan mereka pada sifat-sifat keistimewaan Allah. Mereka memiliki beberapa Rabb (tuhan), maka bagaimana bisa di katakan bahwa kaum musyrik memiliki tauhid rububiyah, meyakini bahwa hanya ada satu rabbi.
Dan adapun ayat-ayat yang mereka jadikan sebagai hujjah untuk melegitimasikan pernyataan mereka bahwa orang musyrik mengakui tauhid rububiyyah maka ayat-ayat tersebut sama sekali tidak bisa menjadi hujjah untuk dakwaan mereka karena :
Karena ayat-ayat tersebut khusus diturunkan kepada musyrikin arab pada masa Rasulullah SAW. Sedangkan dakwaan mereka umum untuk semua kaum musyrik.
Berdasarkan kenyataan dilapangan dan dalam sejarah bahwa beberapa kelompok manusia mengingkari adanya Allah SWT seperti kelompok Atheis, golongan yang lain mengingkari ke-esaan Allah SWT seperti kaum tsanawiyyah yang mengatakan tuhan ada 2, tuhan kebaikan dan tuhan keburukan, dan ada juga kaum shabiah (para penyembah bintang) mereka menetapkan tadbir (pengaturan alam) kepada bintang-bintang sehingga bintang tersebut berhak untuk di sembah serta mengadukan berbagai keperluan padanya, mereka meyakini bahwa bintang mengatur segala kejadian dibumi seperti kebahagiaan seseorang, sengsara, sehat, sakit, dll.
Maka apakah bisa kita membenarkan bahwa mereka semua termasuk orang –orang yang bertauhid rububiyyah?
Begitu juga di dalam Al-quran telah tertera bahwa Namrud dan Fir’aun mendakwakan adanya sifat rububiyyah pada diri mereka, Namrud mengatakan:
أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ
“ saya yang menghidupkan dan yang mematikan” (Q.S. al-Baqarah 258)
وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ
”dan apa tuhan sekalian alam” (Q.S. Syu’ara` 23)
sedangkan Fir’au mengatakan :
يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan (rabb) bagimu selain aku” (Q.S. al-Qashash 38)
dan ia juga berkata :
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“aku tuhan (rabb) kamu yang lebih tinggi (Q.S. an-naza’at 24)
Mereka semua sama sekali tidak mengenal rububiyyah apalagi mengakui dengan tauhid rububiyyah kepada Allah, bahkan sebaliknya mereka mendakwakan diri mereka sebagai Rabb yang memberi manfaat dan mudharat.
Allah SWT berkata tentang keadaan kaum musyrikin Arab:
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي
“mereka kufur dengan Allah, katakanlah Allah itu Rabbi (Q.S.Ar-Ra’du 30)
Maka dimana tauhid rububiyyah mereka?
Dari ayat-ayat yang telah kami uraikan diatas menunjukkan bahwa orang-orang musyrik menjadikan sembahan mereka sebagai sekutu bagi Allah, mereka menetapkan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa memberi pertolongan (syafa’at) mereka menetapkan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa berkehendak apapun terhadap manusia yang hidup dibumi ini, maka iktiqad mereka yang seperti ini adalah syirik pada Rububiyyah.
Selain itu, ketika jiwa manusia hanya akan tunduk dengan menyembah kepada zat yang telah ia akui sebagai pencipta dan pengatur alam, maka penyembahan kaum musyrik kepada selain Allah menunjuki bahwa keyakinan ke esaan pencipta dan pengatur alam dalam hati mereka bukan hanya kepada Allah semata, dengan kata lain tauhid Rububiyah sama sekali tidak ada dalam jiwa mereka. Karena manusia yang mengakui adanya sebagian sifat Rububiyah pada satu zat kemudian menyekutukannya maka manusia tersebut tidaklah dapat di katakan memiliki tauhid Rububiyah.
Kesimpulannya, dakwaan Ibnu Taimiyah dan pengikutnya bahwa sekalian kaum musyrik dari sekalian umat juga mengakui tauhid Rububiyah kepada Allah dan sesungguhnya mereka itu kafir hanya karena tidak memiliki tauhid uluhiyyah (menyembah selain Allah) dan bahwa para Rasul-rasul tidak mengajak umatnya kepada tauhid Raububiyah karena tauhid tersebut telah ada pada diri mereka tetapi yang di ajak oleh Rasul hanyalah untuk mengakui tauhid uluhiyah, merupakan dakwaan yang sesat serta menyalahi al-quran sendiri sebagaimana telah kita uraikan ayat-ayat al-quran yang menunjukkan bahwa kaum musyrik menyekutukan Allah dengan sesembahan mereka sebagian sifat-sifat kekhususan Allah SWT.
Pada hakikatnya pembagian tauhid kepada rububiyah dan uluhiyah adalah bertujuan untuk menggolongkan kaum muslimin yang melakukan ziarah, bertawasol ke kuburan para anbiya dan syuhada sebagai orang-orang musyrik yang hanya memiliki tauhid rububiyah dan tidak memilikii tauhid uluhiyah seperti layaknya kaum musyrik yang menurut mereka juga mengimani Allah tetapi menyembah selain Allah.
Pengertian Ibadah
Kaum yang meyakini pembagian tauhid kepada tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma was sifhat) manakala melihat bahwa kaum musyrik bertaqarub kepada tuhan mereka dengan menyembelih, bernazar, berdoa, meminta pertolongan, bersujud dan ta’dhim kepada mereka, maka mereka menyangka bahwa diri melakukan perbuatan tersebutlah yang di nama kan ibadah. Maka menurut keyakinan mereka perbuatan-perbuatan tersebut bila terjadi untuk Allah maka di namakanlah tauhid dan jika terjadi kepada selain Allah maka di namakan sebagai syirik.
Maka atas dasar pemahaman tersebut, bila ada umat muslim yang melakukan nazar, meminta pertolongan, dan berdoa kepada selain Allah akan mereka hukumi sebagai kaum musyrik dan mereka anggap sebagai kaum yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah. Atas dasar pemahaman inilah mereka menganggap ziarah kubur, bertawasol, istighastah dan tabaruk sebagai amalan yang mengandung kesyirikan.
Ini adalah pemahaman yang bathil yang terjadi karena tidak membedakan makna beribadat secara lughawi dan syar’i. Oleh karena maka kami merasa perlu juga menerangkan makna hakikat dari ibadat.
Makna ibadat secara etimologi dan terminologi
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab menyatakan :
اصل العبودية الخضوع والتذلل
asal ubudiyah adalah tunduk dan merendahkan diri .
Sedangkan pengertian ‘ibadah secara syar’I adalah :
الاتيان باقصى غاية الخضوع قلبا باعتقاد ربوبية المخضوع له
melakukan sesuatu dengan setinggi tunduk dalam hati dengan di sertai keyakinan adanya sifat rububiyah pada zat tersebut (makhdhu’ lah).
Maka bila tanpa di sertai keyakinan bahwa adanya sifat keistimewaan rububiyah pada satu zat, tunduk kepada zat tersebut walaupun dengan cara sujud tidaklah di namakan ‘ibadah pada syara’.
Adapun sebab kekufuran kaum musyrik dengan sebab sujud, berdoa, bernazar kepada patung-patung tuhan mereka tak lain karena adanya keyakinan sifat rububiyah atau salah satu sifat khushusiyatnya pada patung-patung tersebut. Bukanlah sebab kufur mereka hanya dengan semata sujud atau meminta kepada patung-patung tersebut.
Bahkan sujud kepada zat lain tanpa keyakinan adanya sifat ketuhanan atau salah satu sifat ke istimewaannya padanya tidaklah di namakan ibadat sehingga bila di lakukan kepada selain Allah akan berarti ia melakukuan perbuatan kufur. Buktinya Allah ta’ala dalam al-quran menceritakan adanya sujud umat terdahulu kepada selain Allah yang merupakan perintahNya. Sedangkan Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada kekufuran. Contohnya sujud para malaikat kepada Nabi Adam as (surat al-Baqarah ayat 34) dan juga sujud saudara Nabi Yusud kepada beliau (surat Yusuf ayat 100).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 100, menerangkan bahwa sujud sebagai penghormatan kepada tokoh yang di hormati di bolehkan dalam syariat umat terdahulu semenjak syariat Nabi Adam hingga syariat Nabi Isa as, kemudian di haramkan pada syariat Nabi Muhammad dan sujud hanya di bolehkan kepada Allah semata. Dalam satu hadits riwayat ketika pergi ke negri Syam, beliau melihat penduduk Syam sujud kepada pendeta mereka, maka ketika Mu`az pulang menghadap Rasulullah, langsung sujud kepada Rasulullah SAW, Rasulullah bertanya “apa ini Mu’az? Mu’az menjawab “saya melihat mereka sujud bagi pendeta mereka, sedangkan engkau lebih berhak untu di sujud bagi mu ya Rasulullah. Nabi menjawab “kalau seandainya saya memerintahkan untuk sujud bagi seseorang maka sungguh akan saya perintahan wanita untuk sujud kepada suaminya. dalam hadits yang lain di sebutkan bahwa ketika Salman bertemu dengan Rasulullah di jalan kota Madinah, saat itu Salman baru saja memeluk Islam, Salman langsung sujud bagi Nabi. Nabi menjawab “jangan kamu sujud bagi ku ya Salman, dan sujudkan bagi zat yang maha hidup yang tidak akan pernah mati”
Dari kisah dalam hadits ini tersirat bahwa, semata-mata sujud tanpa ada keyakinan adanya sifat rububiyah padanya tidaklah menjadikan seseorang kufur, karena Rasulullah ketika melihat para shahabat sujud kepada beliau tidak mengatakan bahwa hal tersebut kufur tetapi hanya mengajarkan mereka.
Masalah ketauhidan tidak berbeda dalam semua syariat yang di bawa oleh para Rasul, semenjak dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Maka semua hal yang bisa menjadikan kufur adalah sama dalam semua syariat para Nabi. Selain itu Allah tidak pernah memerintahkan dan meridhai kufur. Sedangkan semata-mata sujud kepada selain Allah pernah Allah perintahkan pada umat terdahulu, seperti sujud para malaikat kepada Nabi Adam, sujud saudara Nabi Yusuf kepada Nabi Yusuf. Maka dapat di simpulkan bahwa semata-mata sujud tidaklah menjadikan seseorang syirik dan kufur selama tidak ada keyakinan adanya sifat ketuhanan pada zat tersebut.
Adapun kaum musyrikin, mereka menjadi kufur dengan sebab sujud kepada patung-patung sesembahan mereka karena ada keyakinan bahwa patung-patung tersebut memiliki sifat keistimewaan tuhan seperti mampu memberi manfaat dan mudharat secara tersendiri.
Dalam syariat kita umat Nabi Muhammad, para ulama memang menghukumi kufur dengan sebab sujud kepada berhala dan matahari. Hal ini di karenakan sujud kepada berhala merupakan tanda-tanda keingkarannya terhadap agama, sama halnya sebaliknya, seseorang akan di hukumi sebagai mukmin bila telah mengucap dua kalimat syahadat karena mengucap dau kalimat syahadat menjadi tanda keimanan seseorang.
Kaum musyrikin menjadi kufur dengan sebab sujud kepada berhala-berhala dan sesembahan mereka karena mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu memberi manfa`at dan mudharat secara tersendiri. Mereka meng`ibaratkan Allah itu sebagai tuhan yang besar (Rabb Akbar) dan ketuhanan sesembahan mereka berada dibawah ketuhanan Allah. Dengan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka menurut mereka kehendak dari sesembahan tersebut wajib terpenuhi. Ini adalah syirik, karena syirik ialah meyakini ada beberapa zat yang memiliki sifat ketuhanan. Keyakinan demikian tidak ada pada umat Islam yang melakukan ziarah, tawasol dan tabaruk dll.
Dalam al-quran, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik memiliki keyakinan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka.
Firman Allah yang mencela keyakinan kaum musyrik dalam surat an-Nisa 43 :
أَمْ لَهُمْ آلِهَةٌ تَمْنَعُهُمْ مِنْ دُونِنَا لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَ أَنْفُسِهِمْ وَلَا هُمْ مِنَّا يُصْحَبُونَ
Atau adakah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu?
istifham yang terdapat pada ayat adalah istifham inkari taubikhi yang bermakusd untuk mencela mereka atas apa yang mereka yakini .
Allah SAW menghikayahkan perkataan kaum Nabi Hud kepada Nabi Hud AS :
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu (Q.S. Hud 54)
Dalam surat asy-Syu’ara 97-98 Allah menceritakan percakapan kaum kafir kepada tuhan mereka yang mereka yakini ada sifat ketuhanan pada mereka :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.”. (Q.S. Asy-Syu’ara 97-98)
Maka dapat di pahami bahwa ibadah bukan semata-mata berbuat atau berkata yang dengannya patut untuk beribadah, akan tetapi ibadah ialah melakukan setiap perbuatan dan perkataan dengan niat menyembah untuk orang yang kita i`tiqatkan ada padanya ada sifat-sifat ketuhanan ataupun khususiyatnya.
Adapun jika perbuatan atau perkataan tersebut tanpa di sertai dari niat menyembah (ibadah) atau keyakinan ada padanya ada suatu khususiat ketuhanan, maka bukanlah ibadah. Sujud para malaikat bagi Nabi Adam `alaihi sallam manakala sunyi dari niat ibadah bagi Nabi Adam maka bukanlah syirik, tetapi taat bagi Allah, karena disertai dengan niat menjunjung tinggi perintah Allah ta`ala .
Demikian juga sujud saudara Nabi Yusuf bagi beliau manakala sunyi dari niat ibadah tetapi hanya dengan niat menghormatinya maka ia bukanlah syirik, dan bukanlah menyembah bagi yusuf, walaupun sujud untuk menghormati itu haram menurut syariat kita umat Nabi Muhammad SAW.
Demikian lagi menta`dhimkan baitullah dengan cara bertawaf disekelilingnya dan mencium hajar aswad, maka karena sunyi dari niat menyembah bagi baitullah atau hajar Aswad bukanlah syirik, akan tetapi ia adalah taat bagi allah, karena menyertai dengan menjunjung tinggi perintahnya maha suci dan maha besarnya Allah.
Kesimpulannya, kaum muslimin Ahlus sunnah wal Jamaah ketika berziarah kubur, bertwasol, istighastah dan bertabaruk kepada para anbiya, syuhada tidaklah menjadikan mereka syirik karena kaum muslimin melakukan hal demikian tidak di sertai dengan keyakinan bahwa para nabiya dan ulama tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang di yakini oleh kaum musyrik kepada tuhan sembahan mereka. Maka tuduhan bahwa kaum muslimin yang melakukan ziarah dan tawasol kepada orang yang telah meninggal merupakan orang-orang yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah merupakan tuhudan yang sesat dan bathil. ..
Bersambung …(Tauhid Asma’ wa Shifat)
Oleh: LBM MUDI Mesra (Lajnah Bahtsul Masail Mahadal Ulum Diniyah Islamiah) Aceh

Memahami Hakikat Pembagian Tauhid Trisaudi: Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Shifat was last modified: April 6th, 2014 by Pejuang Ahlussunnah in Ngaji Yuk! - Kajian Ceramah Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar