Selasa, 04 Maret 2014

Bolehkah Makan Nasi Berkat?



 

Pada umumnya, orang yang menyelenggarakan hajat tahlilan itu menyediakan makanan untuk diberikan kepada orang-orang yang diundang dan dimintai bantuan bacaan tahlil itu dengan niat sebagai sedekah. Dalam rangkaian acara tahlil, pahala sedekah makanan itu biasanya juga dinikatkan untuk arwah yang dituju. Oleh karena itu, acara tahlil yang khusus untuk pengiriman do’a semacam itu sering dinamakan sedekah, perubahan ucapan dari kata shadaqah

Sedekah makan itu biasanya baru disuguhkan atau dibagikan setelah selesainya doa dalam tahlil, baik untuk dimakan di tempat atau di bawa pulang. Dengan perkataan lain, sedekah itu diberikan setelah “diberkahi” dengan do’a. Makanan yang sudah diberkahi doa tersebut kemudian disebut “berkat”. Berkat berasal dari bahasa Arab “barkatun”- bentuk jamaknya adalah barakat- yang artinya kebaikan yang bertambah-tambah terus.

Penamaan tersebut berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW:

اجتمعوا على طعام واذكروا الله يبارك لكم فيه
“Berkumpullah pada jamuan makan kamu, dan sebutlah asma Allah ketika hendak makan, niscaya Allah memberkati kamu pada makanan itu.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim – Kitab Nadhrah an-Nur, II/16)

قَالَ: أَثِيبُوا أَخَاكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، فَأَيَّ شَيْءٍ نُثِيبُهُ؟ قَالَ: ” ادْعُوا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا أُكِلَ طَعَامُهُ، وَشُرِبَ شَرَابُهُ، ثُمَّ دُعِيَ لَهُ بِالْبَرَكَةِ فَذَلِكَ ثَوَابُهُ مِنْهُمْ
 “Rasulullah bersabda : “balaslah oleh kalian (kebaikan) saudara kalian”, para sahabat berkata : “wahai Rasulullah : “dengan sesuatu apakah untuk membalasnya ?”, Rasulullah menjawab : “berdo’alah kalian untuknya dengan keberkahan, sebab sesungguhnya seseorang ketika makananya dimakan dan minumannya di minum, kemudian dido’akan untuknya dengan keberkahan, maka itu merupakan balasan untuknya dari kalian”. [HR. al-Baihaqi & Abu Daud]

Hadits ini mengisyaratkan agar apabila kita memakan atau minum dari apa yang diberikan oleh orang lain supaya mendo’akan agar Allah memberikan dengan keberkahan. Selain diperintahkan untuk memberikan makanan untuk faqir miskin, juga dianjurkan agar makanan kita dimakan oleh orang yang bertakwa baik dengan jalan diantarkan maupun dengan mengundang mereka makan bersama-sama.

Nabi shallallau ‘alayhi wa sallam bersabda :

أَطْعِمُوا طَعَامَكُمُ الْأَتْقِيَاءَ، وَأَوْلُوا مَعْرُوفَكُمُ الْمُؤْمِنِينَ
 “berikanlah makananmu kepada orang-orang yang bertakwa, dan berbuat baiklah kepada orang-orang yang beriman”. [HR. Imam Ibnu Abid Dunya - Kitab al-Fath al-Kabir, Juz I/ hal. 192]

Orang-orang yang diundang untuk baca tahlil adalah orang-orang yang bertakwa di lingkungan shohibul hajah sedangkan pelaksanaan tahlil dipimpin oleh orang yang dihormati sebagai pemimpin keagamaan di masyarakat setempat

Tahlilan 

Tidak Ada Kesyirikan Dalam Tahlilan

Tahlilan dianggap syirik oleh Mahrus Ali, seorang kakek tua yang mengaku-ngaku sebagai Mantan Kyai NU, dengan alasan karena didalamnya terdapat Shalawat Nariyah dan qasidah yang dianggap bid’ah dan  penuh dengan kesyirikan. Karena adanya shalawat bid’ ah dan penuh kesyirikan ini maka  menurut  Mahrus Ali dengan sendirinya tahlilan ini  juga bid’ah dan penuh kekufuran

Mengenai  tuduhan syirik terhadap tahlil akibat adanya shalawat Nariyah ini, akan kami (Tim Sarkub) beberkan dalam  artikel terpisah untuk menjawab tuduhan shalawat Nariyah.

Sedangkan  bacaan lainya yang dianggap syirik oleh Mahrus Ali dalam tahlilan sehingga tahlilnya pun ikut syirik pula adalah adanya  shalawat bid’ah lainya.

Diantara shalawat lain dalam tahlil yang dianggap bid’ah oleh Mahrus Ali adalah:

اَللَّهُمَ صَلِّ اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ نُوْرِ الْهُدَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

” Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia, yang menjadi sinar petunjuk, penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu”

 اَللَّهُمَ صَلِّ عَلَى  اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَمْشِ الضُّحَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

” Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia, yang menyinari waktu dhuha (pagi ),penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu”

 اَللَّهُمَ صَلِّ اَفْضَلَ الصَّلاَةِ عَلَى اَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ  بَدْرِ الضُّجَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَخْلُوْقَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

” Wahai Tuhanku, tambahkanlah kesejahteraan yang paling utama kepada makhluk-Mu yang paling bahagia,yang menjadi penerang seolah-olah bulan purnama di waktu pagi, yang menyinari waktu dhuha (pagi ),penghulu, dan pemimpin kami, yaitu Muahammad berikut kepada keluarga penghulu kami Muhammad sebanyak bilangan yang Engkau ketahui dan sebanyak tinta kalimat – kalimat-Mu, dikala orang – orang yang ingat berdzikir dan dikala orang – orang lupa tidak berdzikir kepada-Mu” 

Mahrus Ali Wahabi

Kata Mahrus Ali, ”Kalimat tersebut tidak pernah dilafalkan / diucapkan oleh para shahabat dan tidak pernah diajarkan oleh Rasululloh SAW. Dan tidak dikenal di kalangan tabi’in. Entah siapa yang mengarang shalawat tersebut . Setiap pengarang kebid’ahan, tidak mau menampakkan namanya. Mungkin khawatir ternoda atau namanya merosot dan takut dikritisi . Saya telah mencari shalawat tersebut di dalam Ensiklopedi Fatwa Lajnah Da’imah lil Buhuts al- ‘Ilmiyah wal Ifta’ al Su’udiyah, kumpulan fatwa ulama al- Azhar, al- Utsaimin. Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah dan didlam buku – buku tafsir dan hadits, tenyata saya tidak menjumpainya. Jadi ulama sedunia, tiada yang mengarang shalawat seperti itu. Untuk kalimat:

كَلَّمَا ذَكَرَ كَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْن

Insya Allah bias dijumpai dalam kitab Dalailul Khairat yang menurut seluruh ulama Saudi, kitab tersebut merusak akidah. Jadi besar kemungkinan  shalawat tersebut pengarangnya dari Indonesia, entah dari Jawa atau Banjarmasin.

Sekali lagi bila alasan melarang, membid’ahkan, mensyirikkan dan mengkufurkan shalawat, tidak perlu kami ulangi lagi. jawabanya sama dengan permasalahan shalawat. Dan bagi kami penganut Ahlussunnah Wal Jamaah sudah berketetapan hati, bahwa semua bentuk shalawat itu adalah salah satu cara berdo’a kepada Alloh dengan tawassul. Dan cara seperti itu dibenarkan bahkan diperintahkan oleh agama berdasarkan kitabullah dan Sunnah Rasululloh SAW.

Untuk menuduh kesyirikan tahlil, H. Mahrus Ali menyatakan,” Di penghujung majlis tahlilan bisaanya ditutup dengan dua kasidah syirik sebagai berikut:

هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتُهُ       لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ اْلاَهْوَالِ الْمُقْتَحَم

“ Dia ( Muhammad ) kekasih yang syafaatnya selalu diharap pada setiap bahaya yang menimpa”

Menurut Mahrus Ali,” Kesyirikan di sini menyatakan bahwa Muhammad SAW merupakan satu figure yang syafaatnya diharapkan untuk melenyapkan segala bahaya dan penderitaan di dunia maupun di akhirat bukan disandarkan kepada Alloh.

Hal senada juga dikemukakan H. Mahrus Ali  dalam bukunya,”  Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat Dan Dzikir Syirik “ .Dia mengatakan  yang diantaranya dibaca dalam tahlil sebagaimana disebut diatas dan juga bait – bait lainya dalam kasidah burdah itu berlumuran syirik. Ia dengan mengutip pendapat Ibnu al- ‘ Utsaimin mengatakan, “ Kalimat tersebut sangat kufur, melampaui batas dalam memuji Rasulullah SAW . Bagaimana pantas seorang penyair menyekutukan Alloh dengan sesuatu. Rasulullah SAW mulia  bukan karena namanya Muhammad, tapi karena beliau adlah hamba dan utusan-Nya”

Syaikh al- ‘Utsaimin melanjutkan perkataanya,” Sang penyair justru berlindung kepada Rasulullah SAW di akhirat, bukan kepada Alloh Ta’ala. Penyair itu merasa akan binasa bila tidak mendapat pertolongan Muhammad, sementara lupa kepada Alloh SWT yang di tangan-Nya segala bahaya, manfaat, pemberian dan penolakan. Dialah Alloh SWT yang akan menyelamatkan para kekasihnya dan orang – orang yang taat. Sang penyair menjadikan Rasulullah SAW sebagai penguasa dunia akhirat, dan menganggapnya sebagai bagian dari kedermawanan beliau. Dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengetahui perkara ghoib dan mengetahui tulisan di Lauh Mahfuzh. Ini adalah kekufuran yang nyata dan keterlaluan dalam memuji. Kita mohon kepada Alloh SWT agar diselamatkan darinya.

Kritikan H. Mahrus Ali bertentangan dengan aqidah umat Islam di seluruh dunia yang meyakini adanya syafaat Nabi Muhammad SAW.  Pernyataan ini berarti secara jelas dia tidak mengakui adanya keagungan Rasululloh SAW yang diberi keistimewaan oleh Alloh untuk memberi syafaat kepada umatnya. Dan pernyataan ini juga bertetangan dengan sabda Rasululloh SAW yang menyatakan bahwa beliau mendpoatkan maqam mahmud , yaitu diberi izin khusus oleh Alloh untuk memberikan syafaat kepada umatnya.

Banyak sekali hadits – hadits Rasululloh SAW tentang syafaat ini. Diantaranya adalah:

“ Abu Hurairah RA berkata,”  Kami bersama Rasulullah SAW dlam suatu undangan, maka dihidangkan kepada beliau daging paha kambing  yang memang kesukaan beliau, dan ketika menggigitnya beliau bersabda,” Sayalah yang paling terkemuka dri semua orang pada hari kiamat. Tahukah kamu mengapa itu ? Alloh mengumpulkan orang – orang yang dahulu dan yang terakhir dalam suatu lapangan, hingga dpat terlihat semua dan terdengar semua dan matahari lebih dekat pada mereka, hingga manusia telah risau yang tidak terderita rasanya. Maka orang-orang mulai berkata,” Tidkkah kamu fikirkan penderitaan kami ini, tidakkah diusahakan siapakah yang memberikan syafa’atnya kepda Tuhan. Maka berkata sebagian ,” Ayah kami Adam. Maka pergilah mereka kepada Adam dan berkata:”  Wahai Adam, engkau ayah manusia, Alloh telah menjadikan kau dengan tangan-Nya, dan dan meniupkan kepadamu dari ruh dan menyuruh Malaikat bersujud dan menempatkan kau dalam surg. Tidakkah engkau suka memberikan syafaatmu kepada Tuhan untuk kami, tidakkah engkau lihat bagaimana penderitaan kami ini ?” Jawab Adam:” Tuhanku kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini dan Ia telah melarang saya dri pohon, mendadak saya langgar, diriku , diriku, diriku, lebih baik kamu pergi kepda selain aku, pergilah kepada Nuh. Maka pergilah rombongan itu kepada Nabi Nuh dan berkata,” Wahai Nuh, engkau utusan Alloh yang pertama ke bumi dan Alloh menamakan engku hamba syukur , tidakkan perhatikan  keadaan kami ini, tidakkah engkau memberikan syafaatmu kepada kami ini ?” Jawab Nuh,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan do’ – do’a yang diberikan Alloh untukku telah saya pergunakan membinasakan kaumku, diriku , diriku, diriku, pergilah kepada Ibrahim. Maka mereka pergi kepada Ibrahim, dan berkata,”  Wahai Ibrahim, engkau adalah Nabiyulloh dan Khalilulloh  dari penduduk bumi, berikan pembelan syafaatmu  untuk kami menghadap Tuhan, tidakkah engkau lihat kedaan kami ini ? “ Jawab Ibrahim,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan saya telah tiga kali berdusta, diriku , diriku, diriku, pergilah kamu kepda Musa. Maka mereka pergi kepada Musa dan berkata,” Wahai Musa, engkau adalah utusan Alloh, dan Alloh telah mengutamakan engkau dengan risalah dan bicara-Nya, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan, tidakkah engkau lihat kedaan kami ini ? “ Jawab Musa,” Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, dan saya telah membunuh jiwa yang tidak diperintahkan kepada saya,  diriku , diriku, diriku, pergilah kamu kepada Isa Maka mereka pergi kepada Isa dan berkata,” Wahai Isa, engkau adalah utusan Alloh dan Kalimatullah yang telah diturunkan kepada Maryam dank au telah dapat berbicara sejak di buaian, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan” Jawab Isa “Tuhan kini telah murka yang belum pernah murka semacam ini, pergilah kamu kepada Muhammad SAW, maka mereka dating kepadaku, dan berkata,” Hai Muhammad, engkau adalah utusan Alloh dan penutup dari para Nabi,  dan telah diampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan dating, tolonglah berikan syafaatmu untuk kami kepada Tuhan, tidakkah engkau perhatikan keadaan kami ini”. Maka saya pergi ke bawah Arasy lalu bersujud, dan Alloh mengilhamkan kepada saya berbagai pujian yang kemudian diperintahkan kepadaku:

يَا مُحَمَّدُ اِرْفَعْ رَأْسَكَ ,سَلْ تُعْطَهْ ,وَاشْفَعْ تُشْفَعْ,فَأَرْفَعُ رَأْسِى فَأَقُوْلُ: أُمَّتِى يَارَبِّ, أُمَّتِى يَارَبِّ, أُمَّتِى يَارَبِّ,فَيُقَالُ: يَا مُحَمَّدُ ! أَدْخِلْ مِنْ أُمَّتِكَ مَنْ لاَحِسَابَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْبَابِ اْلأَيْمَنِ  مِنْ اَبْوَابِ الْجَنَّةِ, وَهُمْ شُرَكَاءُ النَّاسِ  فِيْمَا سِوَى ذَلِكَ مِن اْلأََبْوَابِ, ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ اِنَّ مَا بَيْنَ الْمِصْرَعَيْنِ مِنْ مَصَارِعِ الْجَنَّةِ كَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَهَجَرَ, أَوْ كَمَا بَيْنَ مَكَّةَ وَ بَصْرَى.متفق عليه

“ Wahai Muhammad, angkatlah mukamu dan mintalah akan diterima, dan berilah syafaat, maka saya bangun dan berkata,” Ummatku, hai Tuhan, Ummatku, hai Tuhan, Ummatku, hai Tuhan”, maka diperintahkan:” Wahai Muhmmad, masukkan dari umatmu yng tiada dihisab ke surga dari sebelah kanan, dan lain pintu bersama lain – lain orang (ummat ) . kemudian Nabi bersabda,” Demi  Alloh yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya antara dua ambang pintu surga itu bagaikan jarak antara Makka dan Hajar, atau antara Makkah dan Bashrah” ( H.R.Bukhari – Muslim )

Memahami hadits ini, tentu kita semua bertanya, mengapa umat manusia pada saat itu berlindung kepada para Nabi, kemudian nabi – nabi itu tidak ada yang sanggup menolong mereka, sehingga kemudian mereka meminta pertolongan kepada  Rasululloh SAW ? Mengapa mereka tidak meminta pertolongan secara langsung kepada Alloh saja ?  Dalam hadits – hadits  sebenarnya telah dijelaskan bahwa umat manusia dan para nabi tidak ada yang berani memohon perlindungan kepada  Alloh secara langsung, karena pada saat itu Alloh menampakkan kemurkaan-Nya yang begitu hebat yang belum pernah ditampakkan sebelum dan sesudahnya.

Dalam hadits – hadits shahih disebutkan bahwa  para nabi itu ketika dimintai pertolongan, mereka memberikan jawaban:

اِنَّ رَبّى قَدْ غَضَبَ الْيَوْمَ لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ  مِثْلَهُ  وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ .رواه البخارى (4343)

 “Sesungguhnya Tuhanku kini telah murka dengan kemrahan yang belum pernah terjadi sebelum dan sesudhnya” ( Shahih Bukhari ,4343 )

Kemurkaan Alloh pada hari kiamat yang membikin gentar dan takut seluruh makhluk termasuk para nabi tersebut, oleh Bushiri  diekspresikan dalam keindahan bait al- Burdah berikut ini:

اِذَا الْكَرِيْمُ تَجَلَّى بِاسْمِ مُنْتَقِمِ

“ Pada saat Alloh menampakkan kemurkaan-Nya”

Dan inilah yang disebut dengan al- syafa’at al – uzhma ( pertolongan agung ) yang hanya dimiliki oleh Rasululloh SAW.  Sementara nabi – nabi yang lain tidak ada yang memilikinya. Dengan syafa’at yang agung ini, seluruh umat manusia baik yang beriman maupun yang kafir, kelak  akan memuji jasa Rasululloh SAW karena telah mengeluarkan mereka dari ketakutan dan kesusahan besar pada saat  itu. Dan ini yang disebut oleh umat manusia dengan al – maqam al- mahmud. Dalam al-Qur’an ditegaskan:

“ Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji “ ( Q.S.al Isra’ : 79 )

Sebenarnya persoalan al- syafa’at al – uzhma dan al – maqam al- mahmud tersebut telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, termasuk kelompok Wahhabi, Al- ‘Utsaimin sendiri menyebutkan al- syafa’at al – uzhma dan al – maqam al- mahmud tersebut dalam kitabnya  Syarh al ‘ Aqidah al-Wasithiyah ( hal. 525 – 528 )  dengan mengutip hadits Bukhari –Muslim. Akan tetapi persoalanya menjadi lain, ketika Al- ‘Utsaimin melihat al- syafa’at al – uzhma  ini  diekspresikan dalam keindahan sebuah syair oleh al-Bushiri, yang shufi sunni dalam Burdah-nya. Karena terbawa kebenciannya terhadap ajaran tashawwuf dan paradigmanya yang sempit dalam soal tawassul dan bid’ah. Al- ‘Utsaimin berupaya mencari celah untuk dapat mengkafirkan penulis al- Burdah dan para penggemarnya dari kalangan pecinta tashawwuf, walaupun dengan bait – bait Burdah secara tidak proporsional.

Sehubungan dengan syafaat ini Rasululloh SAW bersabda lagi:

وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكَلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ  مُسْتَجَابَةٌ يَدْعُو بِهَا, وَأُرِيْدُ اَنْ أَخْتَبِئَ  دَعْوَتِى شَفَاعَةٌ ِلأُمَّتِى فِى اْلأَخِرَةِ .متفق عليه

“ Abu Hurairah RA berkata,” Rasululloh SAW bersabda,” Setiap nabi mempunyai sebuah do’a yang dikabulkan, yang dengannya ia berdo’a. Saya ( Nabi SAW) bermaksud menyimpan do’akuy itu yakni untuk memberikan syafaat kepda ummatku di akhirat” ( H.R.Bukhari – Muslim )

Imam Muslim menambahkan sabda beliau SAW itu dengan:

فَهِىَ نَافِلَةٌ اِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللّهِ شَيْئًا

“ Syafaat itu akan diperoleh insya Alloh Ta’ala bagi siapa yang mati dari umatku yang tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan Alloh”

عَنْ  عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنَ النَّارِ بِشَفَاعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ يُسَمُّوْنَ الْجَهَنَّمِيِيْنَ.رواه البخارى ابوداود وابن ماجه

Dari ‘Imran bin Hushain RA,berkata,” Rasululloh SAW bersabda,” Ada satu kaum keluar dari neraka dengan syafaat Muhammad SAW lalu mereka itu sama memasuki surga dan mereka diberi nama Jahannamiyin ( bekas ahli Jahannam)” ( H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Ibnu Majah )

Atas dasar hadits – hadits Rasululloh SAW ini nyatalah bahwa pernyataan Mahrus Ali adalah kebohongan besar dan sangat menyimpang dari ajaran aqidah Islamiyah, terutama Kitabullah dan Sunnah Rasululloh SAW.dimana kita umat manusia pada hari kiamat sewaktu dalam keadaan ketakutan dan kesusahan  sangat membutuhkan syafaat dari baginda Rasululloh SAW. Hanya Mahrus Ali dan para pengikutnya saja yang tidak membutuhkan syafaat Rasululloh SAW karena sudah mendapatkan tiket khusus untuk masuk surga. Dan dari sini jelas pula kedudukan do’a atau bacaan shalawat al-Burdah yang dibaca dalam acara tahlilan tidak termasuk bacaan yang dilarang, apalagi mengandung unsur kesyirikan dan kekufuran.


yah… kebanyakan mereka lupa dg tangisan rosululloh saw ini, ketika beliau saw dimintai syafaat ketika dipadang masyar, setelah manusia berkumpul dan memohon syafaat kpd beliau saw, maka beliau saw memuji dan mengagung-agungkan asma ALLAH swt kemudian meminta ijin untuk memberi syafaat kepada umatnya, dan ALLAH swt mengijinkan, namun hanya sebagian dari umatnya yg mendapat syafaat sedang sebagian yg lain di masukan kedalam neraka. maka menagislah Rosululloh saw dan merintih,”umatku…umatku…umatku…., ya ALLAH bukankah mereka adalah umatku….???”, maka ALLAHpun menjawab : “ya muhammad benar mereka adalah umatmu, tapi engkau tidak tahu apa yg mereka lakukan sepeninggamu . semoga hadist ini menjadi pertimbangan bagi para saudaraku kaum mslimin semua. ”apa yang dimaksud engkau tidak tahu apa yg mereka lakukan sepeninggalmu……..?????????????? sehingga mereka masuk neraka”

Benarkah Suguhan Makanan Kematian Haram?


Wahabi Berdusta Atas Nama Ulama Madzhab Imam Syafi’i

Pada tanggal 23 Juli 2011, penulis mengisi acara Daurah pemantapan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Mu’tashim Billah Mufid. Dalam acara tersebut, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, di mana dalam selebaran Manhaj Salaf, media siluman kaum Wahabi, selamatan atau suguhan makanan kematian dianggap haram secara mutlak. Selebaran tersebut berjudul Imam Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan.

 Setelah saya memeriksa selebaran tersebut, ternyata isinya penuh dengan kebohongan dan pemalsuan terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i.  Ulama menyatakan makruh, selebaran tersebut merubahnya menjadi haram.

Saya menjadi heran, bukankah selama ini kaum Wahabi sangat keras menyuarakan penolakan terhadap hadits dha’if dan palsu, akan tetapi mengapa mereka sendiri justru kreatif memalsu pernyataan para ulama? Di antara kebohongan dan pemalsuan selebaran tersebut adalah pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Imam Syafi’i dan madzhab Syafi’i mengharamkan “kenduri arwah” yang lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati.

Kemudian selebaran tersebut mengutip pernyataan ulama dalam kitab I’anah al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah dan Mughni al-Muhtaj. Anehnya, semua kutipan dari ketiga kitab tersebut menyatakan bahwa selamatan kematian selama tujuh hari atau lainnya itu dihukumi makruh. Akan tetapi penulis selebaran tersebut menegaskan bahwa tradisi selamatan kematian tersebut dihukumi haram. Sepertinya penulis selebaran tidak mengerti perbedaan antara hukum makruh dan hukum haram.Selebaran tersebut banyak melakukan pemelintiran dan distorsi terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i dalam kitab-kitab fiqih mu’tabaroh.  Oleh karena itu, catatan ini akan mengupas secara ringkas tentang hukum suguhan kematian menurut para ulama.

Suguhan makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah, diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.

Pertama, pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:

مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146)

“Apa yang dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).

Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati.

Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Meski demikian, apabila makanan yang disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:

اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ

“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).

Kedua, pendapat yang menyatakan boleh atau mubah. Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:

عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).

“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم

“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).

Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.

Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:

يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.

“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).

Ketiga, pendapat yang mengatakan sunnah. Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ

“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”

Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).

Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.

Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.

Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat. Di antara mereka tidak ada pendapat yang menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. 


Wallahu a’lam.

(Oleh: Muhammad Idrus Ramli)


Simak di: http://www.sarkub.com/2011/benarkah-suguhan-makanan-kematian-haram/#ixzz2v11OWB86

Simak di: http://www.sarkub.com/2013/tidak-ada-kesyirikan-dalam-tahlilan/#ixzz2v10IEnTP

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar