Jumat, 17 Januari 2014

Kesalahan Afrokhi Dalam Mengartikan Ibadah


Kesalahan Afrokhi Dalam Mengartikan Ibadah


Dalam perjalanan sejarah orang-orang Wahhabi, mereka tidak akan pernah lelah dalam memperjuangkan dan membuktikan faham yang mereka ikuti. Dengan berbagai cara mereka menjadikan orang seperti Afrokhi yang kabarnya tidak bisa membaca kitab kuning sebagai kambing hitam (penulis fiktif) untuk memperjuangkan dan menyebarkan faham Wahhabi dalam hal ibadah dan bid’ah. Kaum Wahhabi memiliki konsep yang berbeda dengan mayoritas kaum muslimin yang tidak pernah berhenti membid’ahkan yang beragam amaliah yang mengakar kuat sejak lahirnya agama Islam. Oleh karena itu, dalam pembahasan berikut ini kami akan menguraikan secara komprehensif arti ibadah yang kaitannya dengan bid’ah.

Definisi Ibadah
Para ulama mendefinisikan ibadah dengan suatu ketaatan yang disertai ketundukan, puncak kekhusyukan dan kerendahan diri atau dengan kata lain puncak khudlu’ dan tadzallul (ketundukan dan merendah diri). Dapat kita pahami menjadi satu kesatuan konklusi bahwa ibadah adalah puncak dari ketundukan, ketaatan dan kerendahan diri yang hanya layak diberikan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, amaliah yang dilakukan oleh umat Islam terlebih warga Nahdliyyin seperti, tabarruk, tawassul, dan lain-lain tidak dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Penjelasan Arti Ibadah
Dalam menilai suatu ibadah kita tidak diperkenankan terlalu gegabah untuk menuduh syirik kepada seseorang, karena suatu ibadah dikategorikan syirik atau tidaknya dilihat dari keyakinan pelakunya. Jika ia meyakini bahwa ibadah yang ia lakukan dapat memberikan kemanfaatan ataupun marabahaya maka ibadah tersebut termasuk syirik. Namun, jika orang tersebut berkeyakinan bahwa semua yang memberikan manfaat atau marabahaya hanyalah Allah maka ibadah yang ia lakukan jelas tidak bisa dihukumi syirik begitu saja.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
يَدْعُو لَمَن ضَرُّهُ أَقْرَبُ مِن نَّفْعِهِ لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
“Ia berdoa untuk dzat yang marabahayanya lebih dekat dari kemanfaatanya. “(QS. al-Hajj:13).
 الدعاء هو العبادة
“Doa adalah ibadah.” (HR Turmudzi).
Mayoritas ulama’ mengartikan lafazh doa sesuai dengan al-Qur’an dan hadits yaitu puncak ketundukan bukan murni nida’ (panggilan) atau sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab doa adalah puncak dari macam-macamnya Ibadah, seperti shalat yang merupakan paling utamanya bentuk ibadah sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT setelah iman. Karena doa termuat dalam cakupan shalat.

Al-Imam al-Bukhari juga meriwayatkan di dalam kitab al Adab al Mufrod dari Ibnu Umar, Dari al- Haitsam bin Hanasy berkata, “Kami bersama Ibn Umar tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.

Dengan melihat penjelasan di atas marilah kita bandingkan dengan pernyataan Afrokhi. Masihkah Afrokhi ragu akan kebenaran? Beranikah Afrokhi mensyirikkan Ibnu Umar? Sudah jelas bahwa semuanya hanyalah kecerobohan dalam menjelaskan arti suatu ibadah.

Kesalahan Mengartikan Ibadah
Sangat disayangkan jika Afrokhi yang mengikuti aliran Wahhabi mengartikan ibadah dengan arti yang keliru, sehingga orang lain yang di luar alirannya ia katakan sebagai pelaku syirik. Sepertinya ia tidak tahu makna ibadah dan syirik yang sesungguhnya. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataannya di Buku Putih Kyai NU halaman 37 sebagai berikut:
“Barang siapa berdoa kepada orang meninggal dari para Nabi, Wali, atau lainnya, beristighosah kepadanya, atau bertaqorub kepadanya dengan sembelihan nadzar, atau shalat untuknya atau sujud padanya, maka ia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah SWT.

Dari pernyataan Afrokhi di atas jelas sekali bahwa ia salah kaprah dalam mengartikan makna doa dan ibadah. Afrokhi tidak tahu bahwa memanggil orang yang meninggal, bertawassul, bertabarruk, istighotsah dengan para Nabi dan para wali tidak bisa di katakan beribadah kepada mereka, sehingga pelakunya dihukumi syirik.

Menurut Afrokhi doa adalah ibadah. Oleh karena itu, doa harus murni kepada Allah saja, tidak boleh melalui perantara dan tidak boleh mengikut sertakan tujuan lain. Sehingga hal-hal kecil seperti misalnya bertawassul, istighosah menurutnya telah menyimpang dari tujuan selain Allah SWT. Padahal tidaklah demikian, amaliah tawassul dll pada dasarnya memohon kepada Allah dengan melalui perantara seorang Nabi atau seorang wali agar permohonan kita dapat di terima.

Berikut ini kami akan menguraikan sebagian kecil kesalahan dan pemahaman Afrokhi mengenai syirik di dalam beribadah:

Pertama, Afrokhi menyampaikan di dalam surat Yunus ayat 106:
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudlarat kepadamu selain Allah SWT, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Yunus: 106)

Pada ayat di atas pembaca dapat melihat sendiri bahwa ayat tersebut seharusnya berbunyi:
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّ
“(Janganlah kamu menyembah/menyeru/memanggil / memohon pada selain Allah yaitu hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan manfaat ataupun madlarat padamu) “.

Maksud ayat tersebut adalah mencegah dari penyembahan kepada selain Allah SWT atau menyeru, memanggil dan memohon kepada selain Allah dengan meyakini bahwa selain Allah SWT mampu mendatangkan manfaat ataupun predikamen. sedangkan orang yang tabarruk dan tawassul sama sekali tidak memohon kepada orang yang dimintai barokah dan meyakini bahwa perantara tersebut mampu mendatangkan manfaat ataupun predikamen. Lantas, dimanakah letak keidentikan hal-hal yang menurut Afrokhi dicegah di dalam surat Yunus ayat 106  ini terhadap orang-orang yang ber-tawassul atau ber-tabarruk?

Kedua, Afrokhi juga menyampaikan surat al-A’rof ayat 188 :

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Aku tidak, berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudlaratan kecuali yang dikehendaki Allah SWT. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudlaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf: 188).

Pembaca dapat lihat sendiri mengenai arti ayat-ayat di atas yang substansinya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dan semua makhluk tidak akan pernah mampu mendatangkan manfaat dan marabahaya. Karena hal tersebut hanya berada di bawah kekuasaan Allah SWT semata. Dan kami sudah berulangkali menegaskan bahwa keyakinan orang-orang yang yang ber-tabarruk dan ber-tawassul yang sudah menjadi tradisi warga NU adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT yang mendatangkan manfaat dan marabahaya.

Ketiga, dalil-dalil Afrokhi untuk mengkafirkan dan mensyirikkan.
Berikut ini kami cantumkan sebagian kecil dalil yang dipakai oleh Afrokhi untuk menisbatkan syirik terhadap amaliah-amaliah umat Islam terlebih bagi warga Nahdliyyin
- QS. An-Nahl 36
- QS. al-Anbiya 25
- QS. Hud 2
- QS. al-Isra 23
- QS. al-Mukminun 14
- QS. Luqman 30
Afrokhi Abdul Ghoni dengan buku batilnya yg berjudul “Buku Putih Kyai NU” telah   menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Dengan beraninya ia mengatasnamakan sebagai kyai NU padahal ia mengusung konsep-konsep sesat wahhabi yang bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah Wal-Jama`ah. Untuk membuktikan bahwa dia bukanlah seorang NU silahkan lihat scan berikut ini :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar