Perang Tabuk bagian 3
Persiap Kembali ke Madinah
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Peperangan tidak terjadi. Tidak
diketahui alasan yang pasti mengapa peperangan itu tidak terjadi,
walaupun ada yang menyebutkan salah satu alasan itu di antaranya;
pasukan Romawi lebih senang tinggal di dalam wilayah Syam untuk
berlindung di benteng-bentengnya ketika sampai kepada mereka berita
tentang kekuatan pasukan muslimin.
Apa pun alasannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tetap di Tabuk selama beberapa hari, dan mengirim beberapa pasukan
kecil ke sekitar daerah Tabuk. Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini menambah kekuatan wibawa Islam di wilayah utara jazirah ‘Arab dan membuka jalan ke arah penaklukan daerah Syam sesudah itu.
Walaupun tidak terjadi pertempuran, ada sahabat yang meninggal dunia.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
menceritakan, pada suatu malam yang sunyi dia terjaga dari tidurnya dan
melihat ada selarik api di bagian agak jauh dari pasukan. Beliau
berusaha mendekati cahaya api tersebut. Ternyata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr dan ‘Umar sedang mengurus jenazah ‘Abdullah Dzul Bijadain (kain hitam yang tebal) Al-Muzani.
Rupanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama kedua sahabatnya itu sudah menggali kuburan untuk jenazahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
masuk ke dalam liang kubur itu, sementara Abu Bakr dan ‘Umar
mendekatkan jenazah itu kepada beliau yang berkata, “Kemarikan jenazah
saudara kamu itu.”
Setelah meletakkannya di dalam kubur
tersebut, beliau berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku meridhainya, maka
ridhailah dia.” Mendengar doa itu, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata dalam hati, “Duhai, kiranya akulah yang dikuburkan itu.”
Makar Kaum Munafik
Perang Tabuk dinamakan juga ghazwatul ‘usrah
(Perang Kesulitan), karena menyatunya berbagai kesulitan terhadap kaum
muslimin, baik dalam hal kendaraan, perbekalan, air, cuaca, jalan,
maupun gangguan orang-orang munafik. Akan tetapi, sahabat-sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam begitu tabah memikul semua kesulitan tersebut di jalan Allah. Semoga Allah meridhai mereka.
Bagaimanapun, kaum munafik tidak pernah
membiarkan satu peluang pun untuk menjatuhkan Islam dan kaum muslimin.
Terlebih lagi, di dalam peperangan ini. Sejak awal persiapan, mereka
sudah mulai berusaha meruntuhkan semangat kaum muslimin agar tidak
berangkat berjihad di panas yang terik ini.
Dalam masa-masa perang Tabuk inilah
turun surat At-Taubah membeberkan watak asli kaum munafikin. Allah l
benar-benar membuka aib mereka dan menampakkan kejahatan hati mereka
kepada kaum mukminin dengan lengkap dan jelas. Allah l menerangkan
alasan yang mereka buat-buat agar tetap tinggal di Madinah, tidak ikut
berperang.
Allah l berfirman:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Kalau yang kamu serukan kepada mereka
itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa
jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat
jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah:
“Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Semoga
Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak
pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam
uzurnya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin
kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan
Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah: 42-44)
Ibnu Katsir t dalam tafsirnya menerangkan, “Allah Subhanahuwata’ala mencela orang-orang yang tertinggal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam perang Tabuk sesudah meminta izin dan menampakkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang mempunyai uzur, padahal tidak demikian.”
Allah Subhanahuwata’ala berfirman: لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا (Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh), kata Ibnu ‘Abbas c, “(Artinya) ghanimah yang dekat (mudah diperoleh); وَسَفَرًا قَاصِدًا (dan perjalanan yang tidak berapa jauh),
yang dekat juga; pasti mereka mengikutimu untuk mendapatkannya, tetapi
perjalanan ke Syam amat jauh terasa oleh mereka. Apabila kamu kembali
kepada mereka, tentu mereka akan bersumpah, “Seandainya kami tidak
mempunyai uzur, pasti kami berangkat bersamamu.”
Itulah sebagian alasan mereka yang dibuat-buat.
Ada pula di antara mereka yang ikut serta sampai di Tabuk, ternyata berusaha menyebarkan keraguan dalam hati kaum muslimin.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
kehilangan untanya, seorang munafik mengatakan, “Kalau memang Muhammad
mengaku nabi dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa
dia tidak mengetahui di mana untanya berada?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pun berkata, sementara ‘Umarah, salah seorang sahabat ada di dekat
beliau, “Ada orang yang mengatakan, ‘Kalau memang Muhammad mengaku nabi
dan menyampaikan kepada kamu berita dari langit, mengapa dia tidak
mengetahui di mana untanya berada?’ Demi Allah, saya memang tidak
mengetahui apa-apa kecuali yang diberitahukan oleh Allah. Dan Allah
telah menerangkan kepada saya di mana unta tersebut. Unta itu di lembah
anu, di jalan anu, dan talinya tersangkut sebatang pohon.”
Tak lama, beberapa sahabat berangkat hendak mencarinya.
‘Umarah pun kembali ke tendanya dan berkata, “Demi Allah, sungguh ajaib yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tadi, tentang perkataan seseorang yang diberitakan oleh Allah kepada
beliau.” Mendengar ucapan ‘Umarah ini, salah seorang yang ada di situ,
tapi tidak mendengar langsung perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
berkata, “Demi Allah yang diucapkan oleh Rasulullah itu adalah
perkataan yang diucapkan Zaid bin Lushaid, sebelum engkau datang.”
‘Umarah menjadi marah, dia pun mencekik
leher Zaid dan mengusirnya dari tenda itu dan melarangnya menyertai
dirinya lagi, “Di tendaku ada kejadian begini, dalam keadaan aku tidak
tahu? Keluarlah kau dari tendaku, hai musuh Allah. Jangan menyertaiku
lagi.”
Ucapan berbahaya ini masih ringan. Kaum munafik tidak berhenti sampai di situ. Mereka pun berencana membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai bertolak menuju Madinah. Dalam perjalanan, beberapa gelintir munafik mengadakan tipu daya untuk membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara mendorong beliau jatuh dari puncak tebing di jalan tersebut. Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa di antara kamu mau melalui dasar lembah, itu lebih luas bagi kamu.”
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melalui jalan yang mendaki, sedangkan pasukan muslimin melewati dasar
lembah, kecuali beberapa orang yang ingin membunuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tadi. Karena itu, ketika mereka mendengar ucapan beliau, mereka segera bersiap-siap dan menutupi muka mereka.
Alangkah keji rencana mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memanggil Hudzaifah Ibnul Yaman dan ‘Ammar bin Yasir agar berjalan
bersama beliau. Lalu beliau memerintahkan ‘Ammar memegang tali kekang
unta, sedangkan Hudzaifah menuntunnya.
Pada waktu mereka dalam keadaan
demikian, tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka. Rupanya,
orang-orang munafik tadi sedang berusaha menyusul beliau.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
marah dan memerintahkan agar Hudzaifah menjauhkan mereka. Karena
melihat kemarahan di wajah Rasulullah, Hudzaifah segera berbalik sambil
membawa sebatang tongkat yang berkeluk kepalanya. Kemudian, dia
menghadang kendaraan mereka dan memukulnya dengan tongkat.
Hudzaifah pun melihat orang-orang
munafik itu dalam keadaan menutup wajah mereka. Hudzaifah mengira mereka
menutupi wajah itu sekadar kebiasaan musafir, padahal tidak. Mereka
ingin menyembunyikan identitas yang sesungguhnya.
Demikianlah keadaan kaum munafik, mereka
menutupi diri, bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dapat
menyembunyikan diri dari Allah, karena Allah beserta mereka. Allah sudah
memperhitungkan semua tindak-tanduk mereka dan telah menyiapkan balasan
yang setimpal buat mereka di dunia dan akhirat.
Rasa takut muncul dalam hati mereka
ketika melihat Hudzaifah berdiri di jalan yang akan mereka lalui. Mereka
mengira tipu daya mereka sudah diketahui oleh Hudzaifah. Akhirnya,
mereka segera bergabung dengan pasukan, sementara Hudzaifah berbalik
menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah mendekat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Pukullah kendaraan ini, hai Hudzaifah! Dan berjalanlah, hai ‘Ammar!”
Rombongan mempercepat jalan mereka hingga tiba di puncak bukit, lalu keluar dari jalan itu menunggu pasukan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Hudzaifah, “Tahukah engkau siapa rombongan pengendara tadi?”
Kata Hudzaifah, “Saya mengenal kendaraan si Fulan dan si Fulan. Waktu itu malam sangat gelap dan mereka menutupi wajah mereka.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi, “Tahukah engkau apa yang mereka inginkan?”
Keduanya berkata, “Tidak. Demi Allah, wahai Rasulullah.”
Kata beliau, “Sesungguhnya mereka
berencana hendak ikut berjalan bersamaku, dan kalau sudah tiba di jalan
yang berbukit, mereka akan mendorongku sampai jatuh.”
Serempak mereka berkata, “Kalau begitu, mengapa Anda tidak memerintahkan mereka dipanggil, agar kami penggal leher mereka?”
Beliau pun berkata, “Saya tidak suka
orang akan mengatakan bahwa Muhammad (n) membunuh sahabatnya.” Kemudian
beliau menyebut nama-nama mereka dan berkata, “Rahasiakanlah oleh kamu
berdua!”[1]
Sejak saat itu pula Hudzaifah dikenal
sebagai pemegang rahasia nama-nama kaum munafik lengkap dengan ciri-ciri
mereka. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat mengetahui seseorang adalah munafik, apabila Hudzaifah tidak mau menyolatkan jenazahnya.
Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan
melelahkan itu, terdengar pula sebuah ucapan dari salah seorang
prajurit, “Kita belum pernah melihat qurra` (tamu, ahli baca Quran) kita seperti mereka ini,” yang dimaksudkannya adalah pribadi Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para sahabat, “paling gendut perutnya, tidak (pernah kita lihat)
yang paling dusta ucapannya, dan tidak (pernah kita lihat) yang paling
takut ketika bertemu (musuh).”[2]
Ketika dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka ditanya, mereka mengatakan, “Kami hanya bergurau.”
Namun, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menjawab dengan membacakan firman Allah Subhanahuwata’ala:
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (At-Taubah: 65)
Dengan tegas pula Allah
Subhanahuwata’ala menyatakan bahwa berolok-olok dengan Allah,
ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya adalah kekafiran:
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
Para ulama menjadikan ayat ini sebagai
dalil bahwa menampakkan kata-kata kekafiran, baik dengan sungguh-sungguh
maupun bergurau (main-main) hukumnya kafir. Bahkan, tidak ada
perselisihan di antara para imam, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Jauzi
t.
Demikianlah keadaan kaum munafik. Di
zaman itu mereka menyembunyikan jati dirinya agar tidak turun ayat
membeberkan kejahatan mereka. Di zaman ini, mereka dengan
terang-terangan menampakkan kejahatan tersebut. Mereka terang-terangan
menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya sebagai bahan ejekan,
cemoohan dan hinaan. Mereka berusaha menampilkan citra kekafiran, apa
pun bentuknya, adalah baik, sedangkan seruan kembali kepada Islam adalah
keburukan, radikal, ekstrem, jumud, statis, kemunduran, dan segudang
ejekan lainnya. Mereka lebih bangga dengan semua yang serba-Barat.
Kemajuan adalah apa yang datang dari Barat.
Hanya kepada Allah kita memohon, semoga Allah tidak memperbanyak jumlah mereka.
(insya Allah bersambung)
[1] HR. Ahmad (5/453), pentahqiq Zadul Ma’ad mengatakan rawi-rawinya tsiqat (terpercaya) dan ada penguatnya dalam Shahih Muslim (2779) (11). Wallahu a’lam.
[2]
Artinya, mereka adalah orang-orang yang sangat gendut perutnya karena
kebanyakan makan, tidak ada pekerjaan lain kecuali makan, selalu
berbicara dusta, dan sangat takut jika bertemu musuh serta pasti
melarikan diri. (Syarah Riyadhis Shalihin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, 1/124).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar