SALAH satu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke
Medinah yang kemudian membuat perubahan besar dalam penguasaan ekonomi
adalah konsep bahwa bekerja adalah Ibadah. Melalui konsep inilah kaum
Muhajirin yang berhijrah mengikuti Rasulullah SAW tanpa membawa harta
-pun segera menjadi asset bagi umat dan bukannya liability – karena
mereka dapat mengoptimalkan kemampuannya baik dalam kegiatan produksi
maupun kegiatan perdagangan.
Digambarkan dalam sejarah bahwa setelah Hijrahnya Rasulullah SAW dan
para pengikutnya, bumi-bumi yang semula gersang-pun kemudian terolah
menjadi kebun-kebun yang subur dan taman-taman yang indah.
Karena konsep
bekerja adalah ibadah pula, maka hal-hal positif yang terkait dengan
peribadatan seperti keadilan, kejujuran, kesetaraan, kehati-hatian,
kebersahajaan, infaq dlsb. dapat termanifestasikan dalam kehidupan umat
sehari-hari ketika mereka bekerja.
Awalnya tentu tidak mudah karena ketika kaum Muhajirin mulai aktif
berdagang di Madinah misalnya, mereka berdagang di pasar yang sudah ada
waktu itu yaitu pasar yang di kelola oleh yahudi. Pengelolaan pasar oleh
yahudi yang di Al-Qur’an digambarkan bahwa mereka menganggap halal
untuk mengambil harta orang lain ini (orang-orang umi , QS 3:75), tentu
saja bermasalah.
Oleh karena penguasaan pasar oleh kaum yahudi tersebut pula maka
umat Islam semula tidak bisa sepenuhnya mengimplementasikan nilai-nilai
Islam di pasar – maka kemudian Rasulullah SAW-pun memandang penting
untuk segera mendirikan pasar bagi kaum muslimin di awal-awal
terbentuknya masyarakat yang akan hidup dengan nilai-nilai Islam yang
menyeluruh di Madinah.
Di suatu tempat yang berjarak hanya beberapa rumah arah barat laut
dari Masjid Nabi – yang telah didirikan terlebih dahulu, Rasulullah
mendirikan pasar dangan sabdanya “Ini pasarmu, tidak boleh dipersempit
(dengan mendirikan bangunan dlsb. didalamnya) dan tidak boleh ada pajak
didalamnya”. (HR. Ibn Majah).
Pasar di area terbuka ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan
lebar sekirat 100 meter (luas sekitar 5 ha), jadi cukup luas untuk
mengakomodasi kebutuhan penduduk kota yang kemudian berkembang pesat –
paska Hijrah. Lokasinya juga dipilih sedemikian rupa sehingga penduduk
yang datang dari berbagai wilayah – mudah mencapai pasar tersebut. Pasar
Madinah inilah yang kemudian menjadi urat nadi perekonomian negara
Islam yang pertama, yang berpusat di Madinah.
Lokasinya yang tidak jauh dari Masjid Nabi tetapi juga tidak terlalu
dekat (selang beberapa rumah) juga memiliki nilai strategis sendiri.
Nilai-nilai yang terbawa dari ketaatan beribadah di masjid dapat
mewarnai aktifitas perdagangan di pasar, namun hal-hal yang buruk dari
pasar seperti keramaiannya tidak mempengaruhi aktifitas dan kekhusukan
umat yang beribadah di masjid.
Bahkan cara-cara pengelolaan pasar-pun memiliki kemiripan dengan
pengelolaan Masjid. Hal ini disampaikan oleh Umar Ibn Khattab yang
menjadi Muhtasib – pengawas pasar – setelah Rasulullah SAW dengan
perkataaannya bahwa “Pasar itu menganut ketentuan masjid, barang siapa
datang terlebih dahulu di satu tempat duduk, maka tempat itu untuknya
sampai dia berdiri dari situ dan pulang kerumahnya atau selesai jual
belinya”.
Nilai pesan yang terkandung didalam perkataan Umar ini sejalan dengan
hadits Nabi SAW tersebut diatas yang intinya adalah akses ke pasar
harus sama bagi seluruh umat; tidak boleh meng-kapling-kapling pasar.
Hal ini diimplemantasikan Umar dengan melarang orang membangun bangunan
di pasar, menandai tempatnya, atau mempersempit jalan masuk ke pasar.
Bahkan dengan tongkatnya Umar menyeru “enyahlah dari jalan” kepada
orang-orang yang menghalangi orang lain masuk ke pasar.
Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sunah Rasulullah SAW
mendirikan pasar – yang kemudian juga terus ditegakkan oleh para
Khalifah tersebut diatas ?.
Yang jelas situasi pasar-pasar yang ada dewasa ini tidak jauh berbeda
dengan kondisi pasar di Madinah yang dikelola yahudi sebelum
didirikannya pasar bagi kaum muslimin oleh Rasulullah SAW tersebut
diatas. Segala macam kecurangan a la yahudi terjadi di pasar kini, dan
yang paling menyolok adalah akses pasar yang tidak mudah dijangkau oleh
mayoritas umat.
Di Jabodetabek misalnya, Anda bisa membuat baju-baju yang indah dan
makanan-makanan yang enak. Tetapi tidak berarti Anda dengan mudah bisa
menjualnya ke pasar. Untuk menyewa tempat di mall atau food court pada
umumnya sangat mahal – sehingga hanya bisa dijangkau segelintir orang
saja – yang justru sudah kaya.
Bila Anda berusaha jualan di tempat-tempat terbuka, di
pinggir-pinggir jalan – maka bila tidak digusur oleh tramtib atau Satpol
PP – Anda akan menjadi buan-bulanan para preman, tukang amen, pengemis
dlsb. Walhasil, kesejahteraan umat secara luas – sulit sekali diangkat
karena antara lain terbatasnya akses ke pasar ini.
Maka selain perjuangan-perjuangan lainnya seperti perjuangan melawan
riba, ketidak adilan ekonomi dan sejenisnya , kini saatnya para pejuang
ekonomi Islam juga harus mulai memperjuangkan pasar bagi kaum muslimin
ini.
Tentu juga tidak mudah, dan juga tidak langsung sempurna seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Para Khalifah tersebut diatas,
tetapi langkah menuju kesana harus ada yang memulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar