Rabu, 22 Januari 2020

Penyusun Kitab Al Munawair KH. Ahmad Warson Munawwir


Tau kah siapa orang tua sederhana ini?
Ya orang tua yg berpakaian layaknya orang NU ndeso ketika tahlilan ini..
Yg pakai baju Koko kluwus dan sarung nglinting itu...

Tahu siapa Beliau...?

Beliau adalah Penyusun kamus Arab-Indonesia terbesar, yaitu kamus "Al-Munawwir" yang sangat tebal (lebih dari 1.600 halaman) dan memuat kosa kata lebih dari 15.000 entri.

Beliau KH. Ahmad Warson Munawwir.
Hak Kamus Al-Munawwir pernah ditawar oleh salah satu penerbit senilai Rp.5 milyar (ingat, ini Rp.5 milyar jaman dulu), namun Beliau tak berkenan.
*****
Teruntuk beliau...
Alfatihah!!

Download Kitab :  https://ia800303.us.archive.org/…/Kamus-Arab-Indonesia-AlMu…

Semoga bermanfaat.

Syeh Abdul Qodir menghidupkan orang mati dalam kubur


SYEKH ABDUL QODIR MENGHIDUPKAN ORANG YANG SUDAH MATI DALAM KUBUR

Dalam kitab Asrorut Tholibin diriwayatkan Syekh Abdul Qodir pada waktu melewati suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang umat Islam sedang hangat bersilat lidah, berdebat dengan seorang umat Nasrani.
Setelah beliau mengadakan penelitian dan pemeriksaan yang seksama apa yang menjadi sebab sehingga terjadi perdebatan yang sengit itu, kata seorang Muslim: "Sebenarnya kami sedang membanggakan Nabi kami masing-masing, siapa di antara Nabi kami yang paling baik, dan saya berkata padanya Nabi Muhammad-lah Nabi yang paling utama". Kata orang Nasrani: "Nabi Isa-lah yamg paling sempurna".
Syekh bertanya kepada orang Nasrani: "Apa yang menjadi dasar dan apa pula dalilnya kamu mengatakan bahwa Nabi Isa-lah lebih sempurna dari Nabi lainnya".
Lalu orang Nasrani itu menjawab: "Nabi Isa mempunyai keistimewaan, beliu menghidupkan kembali orang yang sudah mati".
Syekh melanjutkan lagi pertanyaannya: "Apakah kamu tahu aku ini bukan Nabi, aku hanya sekedar pengikut dan penganut agama Nabi Muhammad SAW?".
Kata orang Nasrani: "Ya benar, saya tahu".
Lebih jauh Syekh berkata lagi: "Kalau kiranya aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu bersedia untuk percaya dan beriman kepada agama Nabi Muhammad SAW ?".
"Baik, saya mau beriman kepada agama Islam", jawab orang Nasrani itu.
"Kalau begitu, mari kita mencari kuburan".
Setelah mereka menemukan sebuah kuburan dan kebetulan kuburan itu sudah tua, sudah berusia lima ratus tahun, lalu Syekh mengulangi lagi pertanyaannya: "Nabi Isa kalau akan menghidupkan orang yang sudah mati bagaimana caranya ?".
Orang Nasrani menjawab: "Beliau cukup mengucapkan QUM BIIDZNILLAH (Bangun kamu dengan Izin Alloh)".
"Nah sekarang kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik !", kata Syekh, lalu beliau menghadap pada kuburan tadi sambil mengucapkan: "QUM BIIDZNII (Bangun kamu dengan izinku)".
Mendengar ucapan itu orang Nasrani tercengang keheranan, belum habis herannya, kuburan terbelah dua, keluar mayat dari dalamnya. Mayat itu keluar sambil bernyanyi. Konon pada waktu hidupnya mayat itu seorang penyanyi.
Menyaksikan peristiwa aneh tersebut, ketika itu juga, orang Nasrani berubah keyakinannya dan beriman masuk agama Islam.
***

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

Alloohummansyur 'alaihi rohmataw waridlwaanaa wa amiddanaa bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Rabu, 08 Januari 2020

Kisah Khalifah Umar Lindungi Kaum Nasrani saat Pembebasan Yerusalem


Hingga kini, Yerusalem masih diyakini masing-masing pemeluk agama samawi, yakni Islam, Yahudi, dan Nasrani sebagai kota suci. Sejarah mencatat, kota ini sudah terbentuk ratusan tahun, bahkan ribuan tahun silam. Bagaimana tidak, Yerusalem sudah menjadi tempat lahir dan tinggalnya para nabi, seperti Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, dan Nabi Isa, bahkan Nabi Muhammad pun pernah singgah saat menjalani Isra’ dan Mi’raj, tepatnya sebelum naik ke Sidratul Muntaha (Nurcholis Madjid, Fatsoen, Nurcholis Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2002, hal. 57).

Tak heran jika kota ini mendapat banyak julukan yang populer di masa para penguasanya, antara lain Jerusalem, al-Quds, Yerushaláyim, dan Aelia, yang menurut Abul Fida’, nama terakhir ini berarti ‘baiturrabb’ atau ‘rumah tuhan’ (Tarikh Abul Fida, 49)

Yang terakhir ini memang jarang terdengar, tetapi faktanya nama inilah yang disebutkan Umar bin Khattab dalam surat perjanjian dengan kaum Nasrani. Sebab, pada masa Khalifah Umar bin Khathab-lah Yerusalem, sebuah kota yang dalam bahasa Ibrani berarti ‘damai’, menjadi wilayah kekuasaan Islam. Sementara pada masa Nabi Muhammad, begitu pula zaman khalifah pertama Abu Bakar, Yerusalem belum terbebaskan (Tim Sunrise Pictures, (Ed.) Astutiningsih, Seratus Keajaian Dunia, Jakarta: Cikal Aksara-AgroMedia, 2010, hal. 18).

Ada yang menarik untuk dicermati dalam peristiwa pembebasan kota Yerusalem oleh Khalifah Umar bin Khathab. Dikisahkan, pada tahun 637 M, pasukan Islam sudah mendekati wilayah Yerusalem, yang saat itu di bawah tanggung jawab Uskup Sophronius selaku perwakilan Bizantium sekaligus kepala Gereja Kristen Yerusalem. Tatkala pasukan muslim pimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash sudah mengepung kota itu, Sophronius tetap tidak bersedia menyerahkan Yerusalem kepada kaum Muslimin. Pasalnya, sang uskup ingin langsung menyerahkannya kepada Khalifah Umar bin Khattab. (Tim Penusun, Al-Muslimun, Penerbit Yayasan Al-Muslimun, 1994, hal. 42).
Mendengar kabar itu, Umar pun bergegas ke Yerusalem dengan berkendara seekor keledai, ditemani seorang pengawalnya. Setiba di Yerusalem, Umar disambut Sophronius yang benar-benar merasa kagum atas kesederhanaan dan kesahajaan sosok pemimpin yang satu itu. Kagum karena seorang penguasa bangsa yang kuat kala itu hanya bersandangkan busana lusuh ala kadarnya yang banyak jahitan dan tidak jauh berbeda dengan busana ajudannya. Sungguh jauh dengan penampilan para pemimpin dunia sekarang (Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Zaman-Serambi, 2009, hal. 95).

Oleh Uskup Sophronius, Umar sempat diajak mengelilingi Yerusalem, bahkan mengunjungi Gereja Makam Suci, yang menurut keyakinan Kristen, Nabi Isa pun dimakamkan di sana. Ketika waktu shalat tiba, Sophronius mempersilakan Umar untuk shalat di dalam gereja, namun Umar menolaknya, “Jika mendirikan shalat dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid.” Mereka mengambil alih gereja untuk dibangun masjid, dengan alasan Umar pun pernah shalat di situ, yang akibatnya kaum Nasrani jadi tersisih dan terzalimi (Kisah Hidup Umar bin Khattab, hal. 96; Rahasia di Balik Penggalian Al Aqsha, Jakarta: Ramala Books, 2007, hal. 54).

Akhirnya, Umar memilih shalat di luar gereja, yang di kemudian hari, tepat di tempat Umar shalat itu dibangunlah masjid bernama Masjid Umar bin Khattab yang posisinya bersebarangan dengan Gereja Makam Suci kaum Nasrani. Untuk menunjukkan tingginya toleransi, maka shalat berjamaah pun tidak dilakukan di masjid itu, yang berarti agar kumandang azan tidak mengganggu jamaah gereja. Sungguh sebuah model kerukunan yang mengagumkan bagi pemeluk agama samawi di mana pun. (Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Penerbit Zaman-Serambi, 2009, hal. 96).
Pembebasan Yerusalem pada masa pemerintahan Umar bin Khattab di tahun 637 M benar-benar peristiwa yang sangat penting dalam sejarah kerukunan dan perdamaian. Selama 462 tahun ke depan wilayah ini terus menjadi daerah kekuasaan Islam dengan jaminan keamanan memeluk agama dan perlindungan terhadap kelompok minoritas berdasarkan pakta yang dibuat Umar ketika membebaskan kota tersebut. Bahkan pada tahun 2012, ketika konflik Palestina kian memuncak, banyak umat Islam, Yahudi, dan Kristen menuntut diberlakukannya kembali pakta tersebut dan membuat poin-poin perdamaian yang merujuk pada pakta itu sebagai solusi konflik antara umat bergama di sana.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani berlangsung harmonis. Hubungan itu tertuang dalam perjanjian Aelia, yaitu perjanjian antara orang-orang muslim dengan Kristen pasca-perang Yarmuk yang dimenangkan oleh tentara Umar. Ketika itu, Shapharnius selaku pemimpin Kristen kelahiran Damaskus, menyepakati untuk menyerahkan kunci-kunci kota Al-Quds kepada Umar bin Khattab, dengan syarat Umar harus memberikan jaminan untuk menghormati ritual dan tradisi umat Nasrani. Umar pun menyepakati persyaratan itu, sehingga ketika memasuki kota Al-Quds tak ada setetes darah pun yang tercecer. Dan setelah pembebasan pun, tak ada satu pun perlakuan buruk Khalifah Umar kepada kaum Nasrani. (Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lilalamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010, hal. 355).
Abdul Husein Sya’ban sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi, menyebut perjanjian Umar bin Khattab itu dengan Uhdah Umariyyah (Perjanjian Umariyah), yang isinya mengatur hak dan kewajiban antara umat muslim Yerusalem dengan penduduk non-Muslim. Perjanjian ini ditandatangani langsung oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa perwakilan kaum muslimin.
Teks perjanjian tersebut berbunyi sebagaimana di bawah (Muhammad Mas’ad Yaqut, Nabiyurr Rahmah: ar-Risalah wal-Insan, Kairo: az-Zahra lil-I’lam al-Arabiy, 2007, hal. 72):
Dengan nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amir al-Mu`minin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorang pun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka.

Atas penduduk Aelia (Yerusalem) diwajibkan membayar jizyah sebagaimana jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain (di Syria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut dari Aelia (Yerusalem). Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) ada yang keluar (meninggalkan Aelia) maka ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan jika ada yang mau tinggal, maka ia pun akan dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, maka keamanan mereka dijamin berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi). Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat (Syria) sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang pembebasan Syrya oleh tentara Muslim), maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan tetap tinggal, dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia; dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki ia boleh kembali kepada keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apa pun yang boleh diambil dari mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka. Atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para Khalifah dan perlindungan semua kaum beriman, jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.

Menjadi saksi atas perjanjian ini Khalid Ibn al-Walid, Amr Ibn al-Ashsh, Abdurrahman Ibn Auf, dan Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas (Hijriah). (Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, Jakarta: Zaman-Serambi, 2009, hal. 95. Meski dalam redaksi Arabnya tertulis Elia, sebagaimana dalam Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, tetapi dalam menerjemahkan perjanjian tersebut, penerjemah menggunakan istilah Yerusalem. Lihat pula: Muin Hasib Farajullah, Tarikh Al-Quds Al-Arabiyyah, Yerusalem: Daru Saad As-Shabah, 1997).
Melalui perjanjian itu, Umar bin Khattab membebaskan para penduduk Yerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, termasuk kaum Yahudi. Ini merupakan fakta penting dalam sejarah kerukunan umat beragama yang pernah ditampilkan oleh seorang Khalifah Umar yang sebelum masuk Islam terkenal sebagai sosok yang keras. Memang dalam perjanjian itu disebutkan, kaum Yahudi tidak diperbolehkan tinggal di Yerusalem, namun hal itu bukan berasal dari permintaan Umar, melainkan permintaan Uskup Sophronius. Pasalnya, kaum Nasrani tidak menyukai kaum Yahudi (Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, hal. 182).

Dalam sebuah riwayat, Umar bertanya, “Mengapa orang Yahudi tidak boleh? Harus boleh!” Uskup Sophronius menjawab, “Kalau begitu jangan dicampur sama orang Kristen, karena orang Kristen tidak menyukai orang Yahudi.” Dengan sangat terpaksa, Umar mengkapling Yerusalem menjadi empat kapling atau khai (dan sekarang masih ada), yang terdiri dari (1) kapling Kristen Armenia, (2) kapling Ortodoks, yang keduanya tidak dipersatukan, (3) kapling Yahudi, dan paling besar (3) kapling kaum muslimin. Sejak itu Yerusalem menjadi kota multiagama. Namun, menurut Nurcholis Madjid, setelah Yerusalem menjadi kota Kristen, para pemimpin Kristen sama sekali tidak memperbolehkan pemeluk Yahudi tinggal di kota tersebut (Nurcholish Madjid dan Asrori S. Karni, Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2000, hal. 115).
M. Tatam Wijaya, Tim Peneliti Pusat Studi Indonesia-Arab UIN Jakarta (2015)

Sumber: NU Online

Semoga bermanfaat.

Minggu, 05 Januari 2020

Penulisan alif pd kalimat Miatun مِائَة (seratus)



Penulisan alif pd kalimat مِائَة (seratus)

Ada pertanyaan, knp مِائَة dituliskan alif (ا) di depan mim (م), padahal seharusnya penulisannya adalah مِيئَة dg ditambah ي krn di belakangnya berbaris kasrah?
jawabannya adalah penambahan alif pada kalimat مِائَة untuk membedakannya dengan kalimat مِنْهُ . karena pada awalnya penulisan bahasa Arab belum dibubuhi titik dan harkat atau tanda baca lainnya sehingga bentuk penulisan keduanya sama antara kalimat مِائَة (mi'atun) dg kalimat منه (minhu). 


Untuk lebih lengkap silahkan digeser pada gambar di atas.. dalam penulisan bahasa Arab (khath) ada beberapa penulisan yg bertentangan dengan pengucapannya, salah satunya adalah
 

#Hurufnya ditulis namun tidak diucapkan, seperti :
a}. penulisan و (waw) pada kalimat عَمْرِِو krn untuk membedakannya dg kalimat عُمَرَ .
b}. Penulisan ا (alif) pada kalimat مِائَة krn untuk membedakannya dg kalimat مِنْهُ .
c}. Penulisan و (waw) pada kalimat اُولِي (uli) krn untuk membedakannya dg kalimat اِلَی (ila). makanya bacaan U pada kalimat اُولِي الالباب tidak dibaca mad dalam al-Qur'an karena penulisan و hanyalah tambahan sebagai pembeda dg kalimat اِلَی begitu pula kalimat اُولُو atau اُولاَتِ حَمْلِِ 


Referensi: Jami' Durus hal 236-239. 
Download Kitab Klick saja :  https://archive.org/details/haama

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 04 Januari 2020

Wali yang tersembunyi


 Abdullah Bin Mubarak رحمه الله‎ mengkisahkan,
“Kala itu aku berada di Makkah, dan para penduduknya tertimpa kekeringan.
Mereka pun keluar menuju Masjid Al Haram untuk melakukan shalat istisqa,
namun meski demikian, hujan pun belum kunjung turun.”

Ibnu Mubarak رحمه الله‎ melanjutkan,
”Saat itu, di sampingku duduk seorang berkulit hitam yang berdoa :
’Ya Allah, sesungguhnya mereka telah berdo’a kepada-Mu,
namun kenapa Engkau menutupi?
Dan sesungguhnya aku bersumpah atas-Mu agar Engkau menurunkan hujan untuk kami.’
Tak lama kemudian hujan pun turun.”
Laki-laki hitam itu pun pergi dan Ibnu Mubarak رحمه الله‎ diam-diam mengikutinya,
hingga laki-laki itu masuk ke sebuah rumah diantara rumah-rumah para penjahit.
Keesokan harinya Ibnu Mubarak رحمه الله‎ mendatangi kembali rumah itu mencari laki-laki
berkulit hitam yang telah ia lihat.
Ditemuilah seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu rumah yang dimasuki
oleh laki-laki hitam tersebut,
”Aku ingin bertemu dengan pemilik rumah ini”.
Orang itu pun menjawab, ”Aku sendiri”.
Ibnu Mubarak رحمه الله‎ pun menyampaikan, ”Aku ingin membeli budakmu.”
Akhirnya, laki-laki itu mengeluarkan 14 budaknya,
namun tidak terlihat seorang pun dari mereka laki-laki berkulit hitam
yang dicari oleh Ibnu Mubarak رحمه الله‎.
Ibnu Mubarak رحمه الله‎ bertanya, ”Masih ada yang tersisa?”
Laki-laki itu pun menjawab, ”Masih ada, budak yang sakit.”
Lantas laki-laki mengeluarkan seorang budak yang ternyata
merupakan laki-laki hitam yang dicari oleh Ibnu Mubarak رحمه الله‎.
Ibnu Mubarak رحمه الله‎ pun menyatakan, ”Juallah ia padaku.”
Si pemilik setuju dan Ibnu Mubarak رحمه الله‎ menyerahkan 14 dinar pada pemilik budak.
Setelah budak itu menempuh perjalanan dengan Ibnu Mubarak رحمه الله‎, ia pun bertanya,
”Wahai tuan, mengapa Anda memperlakukan saya seperti ini, sedangkan saya sakit?”
Maka Ibnu Mubarak رحمه الله‎ pun menjawab,
”Karena aku menyaksikan apa yang terjadi kemarin sore.”
Setelah mendengar apa kata Ibnu Mubarak رحمه الله‎,
budak itu pun menyandarkan diri di tembok seraya berdoa,
”Ya Allah, Engkau telah membuka hakikat diriku, maka ambillah aku untuk menghadap-Mu”.
Setelah itu, Ibnu Mubarak رحمه الله‎ pun menyaksikan laki-laki hitam itu
menghembuskan nafasnya dan Beliau menilai bahwa penduduk Makkah
menderita kerugian dengan kematiannya
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini salah satunya adalah,
hendaklah kita jangan sampai meremehkan seorang pun dikarenakan
pandangan manusia terhadapnya.
Bisa jadi di mata menusia seseorang dianggap rendah namun
sejatinya ia memiliki derajat di pandangan Allah ﷻ.

Sumber :
Kitab Shifat ash Shafwah karya Syech Jauzy
Downloat kitab : https://ia600504.us.archive.org/…/items/WAQ143742/143742.pdf

 Semoga bermanfaat.

Malaikat Izroil tertawa dan menangis serta terkejut

Gambar pemanis saja, Pak Kano bareng Kyai NU

Suat ketika, ALLAH swt. bertanya kepada malaikat maut: “Apakah kamu pernah menangis ketika kamu mencabut nyawa anak cucu Adam?”
Maka Malaikat pun menjawab: “Aku pernah tertawa, pernah juga menangis, dan pernah juga terkejut dan kaget.”
“Apa yang membuatmu tertawa?”
“Ketika aku bersiap-siap untuk mencabut nyawa seseorang, aku melihatnya berkata kepada pembuat sepatu, ‘Buatlah sepatu sebaik mungkin supaya bisa dipakai selama setahun’,”.
“Aku tertawa karena belum sempat orang tersebut memakai sepatu dia sudah kucabut nyawanya.”
Allah swt. lalu bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Maka malaikat menjawab: “Aku menangis ketika hendak mencabut nyawa seorang wanita hamil di tengah padang pasir yang tandus, dan hendak melahirkan. Maka aku menunggunya sampai bayinya lahir di gurun tersebut. Lantas kucabut nyawa wanita itu sambil menangis karena mendengar tangisan bayi tersebut karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hal itu.”
“Lalu apa yang membuatmu terkejut dan kaget?”
Malaikat menjawab: “Aku terkejut dan kaget ketika hendak mencabut nyawa salah seorang ulama Engkau. Aku melihat cahaya terang benderang keluar dari kamarnya, setiap kali Aku mendekatinya cahaya itu semakin menyilaukanku seolah ingin mengusirku, lalu kucabut nyawanya disertai cahaya tersebut.”
Allah swt bertanya lagi: “Apakah kamu tahu siapa lelaki itu?
“Tidak tahu, ya Allah.”
“Sesungguhnya lelaki itu adalah bayi dari ibu yang kaucabut nyawanya di gurun pasir gersang itu, Akulah yang menjaganya dan tidak membiarkannya.”

(Kitab Tadzkirah karangan imam Qurthubi. )
Download Kitab :  https://ia802506.us.archive.org/26/items/WAQ63948/63948.pdf

Semoga bemanfaat.

Jumat, 03 Januari 2020

Imam Syafi'i


Mengenal tokoh islam (Imam Asy-Syafi'i)
"Nama asli beliau Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi masyhur di sebut Imam Asy-Syafi'i lahir di Ashkelon,Gaza, Palestina, 150 H/767 M Fusthat, Mesir, 204 H/819 M)
Beliau adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. secara nasab Imam Syafi'i tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dlm Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yg merupakan kakek Nabi Muhammad.
Kecerdasan Imam Syafi'i

Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun sudah berfatwa. (Thorh At Tatsrib, 1/95-96)

Kecerdasan Imam Asy-Syafi’i ini sangat di sanjung oleh para ulama yg lainnya. di antaranya
 Dari Ubaid bin Muhammad bin Khalaf Al-Bazzar, dia berkata, “Ketika Abu Tsaur ditanya tentang siapa yang lebih pandai antara Imam Asy-Syafi’i dan Muhammad bin Al-Hasan, maka ia menjawab bahwa Imam Asy-Syafi’i lebih pandai dari pada Muhammad, Abu Yusuf, Abu Hanifah, Hammad, Ibrahim, Al-Qamah dan Al-Aswad.

Imam Ar-Rabi’ berkata, “Aku pernah mendengar Al-Humaidi dari Muslim bin Khalid, ia berkata kepada Imam Asy-Syafi’i, ‘Wahai Abu Abdillah, berfatwalah. Aku bersumpah demi Allah, sesungguhnya kamu sekarang sudah berhak mengeluarkan fatwa.’ Padahal Imam Asy-Syafi’i pada saat itu baru berusia lima belas tahun.” Ibrahim bin Abi Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ibnu Rahawaih, maka dia menjawab, ‘Imam Asy-Syafi’i adalah orang yang paling cerdas di antara mereka semua.’” Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Sumber: Kitab Min A’lamis Salaf karya, Syaikh Ahmad Farid
Download Kitab Klick saja :  https://archive.org/details/PDFmasa

Yaa Allah semoga Engkau merdhoinya. Aamiin

Semoga bermanfaat.