WAHHABI ITU GAK BISA MEMBEDAKAN ANTARA NYEMBAH KUBURAN DAN ZIARAH KUBUR.....
ZIARAH KUBUR SUNNAH, KALAU NYEMBAH KUBURAN YA PASTI SYIRIK..????
Memahami Pengertian Ibadat/menyembah (benarkah berizarah, tawasol = menyembah kubur?)
ZIARAH KUBUR SUNNAH, KALAU NYEMBAH KUBURAN YA PASTI SYIRIK..????
Memahami Pengertian Ibadat/menyembah (benarkah berizarah, tawasol = menyembah kubur?)
Benarkan Ziarah Kubur itu SyirikSalah satu tuduhuan kaum wahabi salafi
dan pengikut mereka kepada kaum Muslimin Aswaja adalah kuburiyun
(penyembah kubur), pelaku amalan syirik, bid'ah, khurafat dan tuduhan
keji lainnya. Vonis demikian memenuhi tulisan-tulisan mereka baik di
buku-buku mereka maupun di dunia maya.
Tuduhan syirik merupakan tuduhan yang paling besar, karena tiada dosa yang paling besar melainkan syirik kepada Allah. Anehnya ketika kaum Kaum Ahlus sunnah wal Jamaah membalasnya dengan menyatakan bahwa dasar-dasar pemahaman mereka adalah sesat maka mereka sangat marah. Padahal tuduhan mereka lebih keji dari balasan sanggahan yang di lakukan oleh kaum ASWAJA. Mereka memvonis kaum kaum ASWAJA sebagai pelaku amalan syirik yang artinya kaum ASWAJA adalah kaum musyrik,(maka jangan heran bila melihat di beberapa negara di saat mereka mempunyai kekuasaan, mereka berani membunuh kaum muslimin sambil teriak Allahu Akbar, karena dalam keyakinan mereka, yang di bunuh tersebut adalah orang musyrik) tetapi ulama ASWAJA hanya membalasnya dengan menyatakan bahwa kaum wahabi adalah sesat. Ini menunjukkan kehatian-hatian ulama ASWAJA dalam memvonis kafir ahli bid'ah.
Kembali kepada vonis kaum wahabi bahwa kaum ASWAJA sebagai penyembah kubur dan pelaku amalan syirik karena mereka melakukan ziarah kubur dan bertawasol kepada para Anbiya dan aulia yang telah wafat. Kaum wahabi mengatakan bahwa melakukan ziarah kubur dan bertawasol kepada orang yang telah meninggal adalah menyembah kubur.
Benarkan berziarah dan bertawasol berarti menyembah kubur?
Maka untuk itu kami turunkan tuliskan makna ibadat (menyembah). Sehingga kita bisa melihat apakah benar tuduhan mereka bahwa orang yang berziarah adalah penyembah kubur?
Sebenarnya keyakinan bahwa berziarah kubur merupakan amalan syirik terbina atas keyakinan mereka tentang pembagian tauhid kepada tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma was sifhat) . Menurut mereka kaum kafir memiliki tauhid yang di sebut tauhid Rububiyah, demikian juga orang yang berziarah adalah orang yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid Uluhiyah.
Kaum yang meyakini pembagian tauhid kepada tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma was sifhat) manakala melihat bahwa kaum musyrik bertaqarub kepada tuhan mereka dengan menyembelih, bernazar, berdoa, meminta pertolongan, bersujud dan ta’dhim kepada mereka, maka mereka menyangka bahwa diri melakukan perbuatan tersebutlah yang di nama kan ibadah. Maka menurut keyakinan mereka perbuatan-perbuatan tersebut bila terjadi untuk Allah maka di namakanlah tauhid dan jika terjadi kepada selain Allah maka di namakan sebagai syirik. Demikian juga mendatangi kubur dan bertwasol kepada ahli kubur berarti beribadat dan menyembah ahli kubur.
Maka atas dasar pemahaman tersebut, bila ada umat muslim yang melakukan nazar, meminta pertolongan, dan berdoa kepada selain Allah akan mereka hukumi sebagai kaum musyrik dan mereka anggap sebagai kaum yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah. Atas dasar pemahaman inilah mereka menganggap ziarah kubur, bertawasol, istighastah dan tabaruk sebagai amalan yang mengandung kesyirikan.
Ini adalah pemahaman yang bathil yang terjadi karena tidak membedakan makna beribadat secara lughawi dan syar’i. Oleh karena maka kami merasa perlu juga menerangkan makna hakikat dari ibadat.
Makna ibadat secara etimologi dan terminologi
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab menyatakan :
اصل العبودية الخضوع والتذلل
asal ubudiyah adalah tunduk dan merendahkan diri.
Sedangkan pengertian ibadah secara syar'I adalah :
الاتيان باقصى غاية الخضوع قلبا باعتقاد ربوبية المخضوع له
melakukan sesuatu dengan setinggi tunduk dalam hati dengan di sertai keyakinan adanya sifat rububiyah pada zat tersebut (makhdhu’ lah).
Maka bila tanpa di sertai keyakinan bahwa adanya sifat keistimewaan rububiyah pada satu zat, tunduk kepada zat tersebut walaupun dengan cara sujud tidaklah di namakan ‘ibadah pada syara’.
Adapun sebab kekufuran kaum musyrik dengan sebab sujud, berdoa, bernazar kepada patung-patung tuhan mereka tak lain karena adanya keyakinan sifat rububiyah atau salah satu sifat khushusiyatnya pada patung-patung tersebut. Bukanlah sebab kufur mereka hanya dengan semata sujud atau meminta kepada patung-patung tersebut.
Bahkan sujud kepada zat lain tanpa keyakinan adanya sifat ketuhanan atau salah satu sifat ke istimewaannya padanya tidaklah di namakan ibadat sehingga bila di lakukan kepada selain Allah akan berarti ia melakukuan perbuatan kufur. Buktinya Allah ta’ala dalam al-quran menceritakan adanya sujud umat terdahulu kepada selain Allah yang merupakan perintahNya. Sedangkan Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada kekufuran. Contohnya sujud para malaikat kepada Nabi Adam as (surat al-Baqarah ayat 34) dan juga sujud saudara Nabi Yusud kepada beliau (surat Yusuf ayat 100).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 100, menerangkan bahwa sujud sebagai penghormatan kepada tokoh yang di hormati di bolehkan dalam syariat umat terdahulu semenjak syariat Nabi Adam hingga syariat Nabi Isa as, kemudian di haramkan pada syariat Nabi Muhammad dan sujud hanya di bolehkan kepada Allah semata. Dalam satu hadits riwayat ketika pergi ke negri Syam, beliau melihat penduduk Syam sujud kepada pendeta mereka, maka ketika Mu`az pulang menghadap Rasulullah, langsung sujud kepada Rasulullah SAW, Rasulullah bertanya "apa ini Mu’az? Mu’az menjawab "saya melihat mereka sujud bagi pendeta mereka, sedangkan engkau lebih berhak untu di sujud bagi mu ya Rasulullah. Nabi menjawab "kalau seandainya saya memerintahkan untuk sujud bagi seseorang maka sungguh akan saya perintahan wanita untuk sujud kepada suaminya".
dalam hadits yang lain di sebutkan bahwa ketika Salman bertemu dengan Rasulullah di jalan kota Madinah, saat itu Salman baru saja memeluk Islam, Salman langsung sujud bagi Nabi. Nabi menjawab "jangan kamu sujud bagi ku ya Salman, dan sujudkan bagi zat yang maha hidup yang tidak akan pernah mati"
Dari kisah dalam hadits ini tersirat bahwa, semata-mata sujud tanpa ada keyakinan adanya sifat rububiyah padanya tidaklah menjadikan seseorang kufur, karena Rasulullah ketika melihat para shahabat sujud kepada beliau tidak mengatakan bahwa hal tersebut kufur tetapi hanya mengajarkan mereka.
Masalah ketauhidan tidak berbeda dalam semua syariat yang di bawa oleh para Rasul, semenjak dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Maka semua hal yang bisa menjadikan kufur adalah sama dalam semua syariat para Nabi. Selain itu Allah tidak pernah memerintahkan dan meridhai kufur. Sedangkan semata-mata sujud kepada selain Allah pernah Allah perintahkan pada umat terdahulu, seperti sujud para malaikat kepada Nabi Adam, sujud saudara Nabi Yusuf kepada Nabi Yusuf. Maka dapat di simpulkan bahwa semata-mata sujud tidaklah menjadikan seseorang syirik dan kufur selama tidak ada keyakinan adanya sifat ketuhanan pada zat tersebut.
Adapun kaum musyrikin, mereka menjadi kufur dengan sebab sujud kepada patung-patung sesembahan mereka karena ada keyakinan bahwa patung-patung tersebut memiliki sifat keistimewaan tuhan seperti mampu memberi manfaat dan mudharat secara tersendiri.
Dalam syariat kita umat Nabi Muhammad, para ulama memang menghukumi kufur dengan sebab sujud kepada berhala dan matahari. Hal ini di karenakan sujud kepada berhala merupakan tanda-tanda keingkarannya terhadap agama, sama halnya sebaliknya, seseorang akan di hukumi sebagai mukmin bila telah mengucap dua kalimat syahadat karena mengucap dau kalimat syahadat menjadi tanda keimanan seseorang.
Kaum musyrikin menjadi kufur dengan sebab sujud kepada berhala-berhala dan sesembahan mereka karena mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu memberi manfa`at dan mudharat secara tersendiri. Mereka meng`ibaratkan Allah itu sebagai tuhan yang besar (Rabb Akbar) dan ketuhanan sesembahan mereka berada dibawah ketuhanan Allah. Dengan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka menurut mereka kehendak dari sesembahan tersebut wajib terpenuhi. Ini adalah syirik, karena syirik ialah meyakini ada beberapa zat yang memiliki sifat ketuhanan. Keyakinan demikian tidak ada pada umat Islam yang melakukan ziarah, tawasol dan tabaruk dll.
Dalam al-quran, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik memiliki keyakinan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka.
Firman Allah yang mencela keyakinan kaum musyrik dalam surat an-Nisa 43 :
أَمْ لَهُمْ آلِهَةٌ تَمْنَعُهُمْ مِنْ دُونِنَا لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَ أَنْفُسِهِمْ وَلَا هُمْ مِنَّا يُصْحَبُونَ
Atau adakah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu?
istifham yang terdapat pada ayat adalah istifham inkari taubikhi yang bermakusd untuk mencela mereka atas apa yang mereka yakini .
Allah SAW menghikayahkan perkataan kaum Nabi Hud kepada Nabi Hud AS :
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu (Q.S. Hud 54)
Dalam surat asy-Syu’ara 97-98 Allah menceritakan percakapan kaum kafir kepada tuhan mereka yang mereka yakini ada sifat ketuhanan pada mereka :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.". (Q.S. Asy-Syu’ara 97-98)
Maka dapat di pahami bahwa ibadah bukan semata-mata berbuat atau berkata yang dengannya patut untuk beribadah, akan tetapi ibadah ialah melakukan setiap perbuatan dan perkataan dengan niat menyembah untuk orang yang kita i`tiqatkan ada padanya ada sifat-sifat ketuhanan ataupun khususiyatnya.
Adapun jika perbuatan atau perkataan tersebut tanpa di sertai dari niat menyembah (ibadah) atau keyakinan ada padanya ada suatu khususiat ketuhanan, maka bukanlah ibadah. Sujud para malaikat bagi Nabi Adam `alaihi sallam manakala sunyi dari niat ibadah bagi Nabi Adam maka bukanlah syirik, tetapi taat bagi Allah, karena disertai dengan niat menjunjung tinggi perintah Allah ta`ala
Demikian juga sujud saudara Nabi Yusuf bagi beliau manakala sunyi dari niat ibadah tetapi hanya dengan niat menghormatinya maka ia bukanlah syirik, dan bukanlah menyembah bagi yusuf, walaupun sujud untuk menghormati itu haram menurut syariat kita umat Nabi Muhammad SAW.
Demikian lagi menta`dhimkan baitullah dengan cara bertawaf disekelilingnya dan mencium hajar aswad, maka karena sunyi dari niat menyembah bagi baitullah atau hajar Aswad bukanlah syirik, akan tetapi ia adalah taat bagi allah, karena menyertai dengan menjunjung tinggi perintahNya.
Demikian juga pada orang yang berziarah kubur dan bertawasol dan berdoa di kuburan tersebut, hal tersebut bukanlah syirik karena sama sekali tidak ada keyakinan di dalam hati mereka bahwa orang yang di dalam kubur tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi hajat mereka secara tersendiri.
Adapun lafadh tawasol yang di gunakan yang secara dhahir menunjuki meminta kepada mereka, ini sama halnya dengan lafadh-lafadh yang di gunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk meminta tolong kepada orang lain yang masih hidup. seorang mukmin yang telah mengimani bahwa Allah yang menciptakan manusia dan pekerjaan mereka maka sama sekali tidak ada ada keyakinan bahwa para anbiya dan aulia yang di jadikan tempat mereka bertawasol sama sekali tidak mampu memberi bekas secara tersendiri pada hajat mereka. Sama halnya keyakinan mereka terhadap makanan, sama sekali tidaklah mampu memberikan kekenyangan, obat-obatan, sama sekali tidak mampu memberi kesembuhan. Namun kesembuhan dan kekenyangan tersebut adalah murni ciptaan Allah semata, makan dan minum obat hanyalah sebab dhahiriyah saja. Demikian juga bertawasol kepada orang yang telah meninggal, karena di hadapan Allah, tidak ada beda sama sekali antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup, keduanya sama sekali tidak mampu memberi bekas secara tersendiri. dan meyakini salah satu dari keduanya mampu memberi bekas dan memenuhi hajat manusia secara tersendiri adalah syirik.
Kesimpulan:
kaum muslimin Ahlus sunnah wal Jamaah ketika berziarah kubur, bertwasol, istighastah dan bertabaruk kepada para anbiya, syuhada tidaklah menjadikan mereka syirik karena kaum muslimin melakukan hal demikian tidak di sertai dengan keyakinan bahwa para nabiya dan ulama tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang di yakini oleh kaum musyrik kepada tuhan sembahan mereka. Maka tuduhan bahwa kaum muslimin yang melakukan ziarah dan tawasol kepada orang yang telah meninggal merupakan orang-orang yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah merupakan tuduhan yang sesat dan bathil.
Tuduhan syirik merupakan tuduhan yang paling besar, karena tiada dosa yang paling besar melainkan syirik kepada Allah. Anehnya ketika kaum Kaum Ahlus sunnah wal Jamaah membalasnya dengan menyatakan bahwa dasar-dasar pemahaman mereka adalah sesat maka mereka sangat marah. Padahal tuduhan mereka lebih keji dari balasan sanggahan yang di lakukan oleh kaum ASWAJA. Mereka memvonis kaum kaum ASWAJA sebagai pelaku amalan syirik yang artinya kaum ASWAJA adalah kaum musyrik,(maka jangan heran bila melihat di beberapa negara di saat mereka mempunyai kekuasaan, mereka berani membunuh kaum muslimin sambil teriak Allahu Akbar, karena dalam keyakinan mereka, yang di bunuh tersebut adalah orang musyrik) tetapi ulama ASWAJA hanya membalasnya dengan menyatakan bahwa kaum wahabi adalah sesat. Ini menunjukkan kehatian-hatian ulama ASWAJA dalam memvonis kafir ahli bid'ah.
Kembali kepada vonis kaum wahabi bahwa kaum ASWAJA sebagai penyembah kubur dan pelaku amalan syirik karena mereka melakukan ziarah kubur dan bertawasol kepada para Anbiya dan aulia yang telah wafat. Kaum wahabi mengatakan bahwa melakukan ziarah kubur dan bertawasol kepada orang yang telah meninggal adalah menyembah kubur.
Benarkan berziarah dan bertawasol berarti menyembah kubur?
Maka untuk itu kami turunkan tuliskan makna ibadat (menyembah). Sehingga kita bisa melihat apakah benar tuduhan mereka bahwa orang yang berziarah adalah penyembah kubur?
Sebenarnya keyakinan bahwa berziarah kubur merupakan amalan syirik terbina atas keyakinan mereka tentang pembagian tauhid kepada tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma was sifhat) . Menurut mereka kaum kafir memiliki tauhid yang di sebut tauhid Rububiyah, demikian juga orang yang berziarah adalah orang yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid Uluhiyah.
Kaum yang meyakini pembagian tauhid kepada tiga (rububiyah, uluhiyah dan asma was sifhat) manakala melihat bahwa kaum musyrik bertaqarub kepada tuhan mereka dengan menyembelih, bernazar, berdoa, meminta pertolongan, bersujud dan ta’dhim kepada mereka, maka mereka menyangka bahwa diri melakukan perbuatan tersebutlah yang di nama kan ibadah. Maka menurut keyakinan mereka perbuatan-perbuatan tersebut bila terjadi untuk Allah maka di namakanlah tauhid dan jika terjadi kepada selain Allah maka di namakan sebagai syirik. Demikian juga mendatangi kubur dan bertwasol kepada ahli kubur berarti beribadat dan menyembah ahli kubur.
Maka atas dasar pemahaman tersebut, bila ada umat muslim yang melakukan nazar, meminta pertolongan, dan berdoa kepada selain Allah akan mereka hukumi sebagai kaum musyrik dan mereka anggap sebagai kaum yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah. Atas dasar pemahaman inilah mereka menganggap ziarah kubur, bertawasol, istighastah dan tabaruk sebagai amalan yang mengandung kesyirikan.
Ini adalah pemahaman yang bathil yang terjadi karena tidak membedakan makna beribadat secara lughawi dan syar’i. Oleh karena maka kami merasa perlu juga menerangkan makna hakikat dari ibadat.
Makna ibadat secara etimologi dan terminologi
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab menyatakan :
اصل العبودية الخضوع والتذلل
asal ubudiyah adalah tunduk dan merendahkan diri.
Sedangkan pengertian ibadah secara syar'I adalah :
الاتيان باقصى غاية الخضوع قلبا باعتقاد ربوبية المخضوع له
melakukan sesuatu dengan setinggi tunduk dalam hati dengan di sertai keyakinan adanya sifat rububiyah pada zat tersebut (makhdhu’ lah).
Maka bila tanpa di sertai keyakinan bahwa adanya sifat keistimewaan rububiyah pada satu zat, tunduk kepada zat tersebut walaupun dengan cara sujud tidaklah di namakan ‘ibadah pada syara’.
Adapun sebab kekufuran kaum musyrik dengan sebab sujud, berdoa, bernazar kepada patung-patung tuhan mereka tak lain karena adanya keyakinan sifat rububiyah atau salah satu sifat khushusiyatnya pada patung-patung tersebut. Bukanlah sebab kufur mereka hanya dengan semata sujud atau meminta kepada patung-patung tersebut.
Bahkan sujud kepada zat lain tanpa keyakinan adanya sifat ketuhanan atau salah satu sifat ke istimewaannya padanya tidaklah di namakan ibadat sehingga bila di lakukan kepada selain Allah akan berarti ia melakukuan perbuatan kufur. Buktinya Allah ta’ala dalam al-quran menceritakan adanya sujud umat terdahulu kepada selain Allah yang merupakan perintahNya. Sedangkan Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada kekufuran. Contohnya sujud para malaikat kepada Nabi Adam as (surat al-Baqarah ayat 34) dan juga sujud saudara Nabi Yusud kepada beliau (surat Yusuf ayat 100).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 100, menerangkan bahwa sujud sebagai penghormatan kepada tokoh yang di hormati di bolehkan dalam syariat umat terdahulu semenjak syariat Nabi Adam hingga syariat Nabi Isa as, kemudian di haramkan pada syariat Nabi Muhammad dan sujud hanya di bolehkan kepada Allah semata. Dalam satu hadits riwayat ketika pergi ke negri Syam, beliau melihat penduduk Syam sujud kepada pendeta mereka, maka ketika Mu`az pulang menghadap Rasulullah, langsung sujud kepada Rasulullah SAW, Rasulullah bertanya "apa ini Mu’az? Mu’az menjawab "saya melihat mereka sujud bagi pendeta mereka, sedangkan engkau lebih berhak untu di sujud bagi mu ya Rasulullah. Nabi menjawab "kalau seandainya saya memerintahkan untuk sujud bagi seseorang maka sungguh akan saya perintahan wanita untuk sujud kepada suaminya".
dalam hadits yang lain di sebutkan bahwa ketika Salman bertemu dengan Rasulullah di jalan kota Madinah, saat itu Salman baru saja memeluk Islam, Salman langsung sujud bagi Nabi. Nabi menjawab "jangan kamu sujud bagi ku ya Salman, dan sujudkan bagi zat yang maha hidup yang tidak akan pernah mati"
Dari kisah dalam hadits ini tersirat bahwa, semata-mata sujud tanpa ada keyakinan adanya sifat rububiyah padanya tidaklah menjadikan seseorang kufur, karena Rasulullah ketika melihat para shahabat sujud kepada beliau tidak mengatakan bahwa hal tersebut kufur tetapi hanya mengajarkan mereka.
Masalah ketauhidan tidak berbeda dalam semua syariat yang di bawa oleh para Rasul, semenjak dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Maka semua hal yang bisa menjadikan kufur adalah sama dalam semua syariat para Nabi. Selain itu Allah tidak pernah memerintahkan dan meridhai kufur. Sedangkan semata-mata sujud kepada selain Allah pernah Allah perintahkan pada umat terdahulu, seperti sujud para malaikat kepada Nabi Adam, sujud saudara Nabi Yusuf kepada Nabi Yusuf. Maka dapat di simpulkan bahwa semata-mata sujud tidaklah menjadikan seseorang syirik dan kufur selama tidak ada keyakinan adanya sifat ketuhanan pada zat tersebut.
Adapun kaum musyrikin, mereka menjadi kufur dengan sebab sujud kepada patung-patung sesembahan mereka karena ada keyakinan bahwa patung-patung tersebut memiliki sifat keistimewaan tuhan seperti mampu memberi manfaat dan mudharat secara tersendiri.
Dalam syariat kita umat Nabi Muhammad, para ulama memang menghukumi kufur dengan sebab sujud kepada berhala dan matahari. Hal ini di karenakan sujud kepada berhala merupakan tanda-tanda keingkarannya terhadap agama, sama halnya sebaliknya, seseorang akan di hukumi sebagai mukmin bila telah mengucap dua kalimat syahadat karena mengucap dau kalimat syahadat menjadi tanda keimanan seseorang.
Kaum musyrikin menjadi kufur dengan sebab sujud kepada berhala-berhala dan sesembahan mereka karena mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu memberi manfa`at dan mudharat secara tersendiri. Mereka meng`ibaratkan Allah itu sebagai tuhan yang besar (Rabb Akbar) dan ketuhanan sesembahan mereka berada dibawah ketuhanan Allah. Dengan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka menurut mereka kehendak dari sesembahan tersebut wajib terpenuhi. Ini adalah syirik, karena syirik ialah meyakini ada beberapa zat yang memiliki sifat ketuhanan. Keyakinan demikian tidak ada pada umat Islam yang melakukan ziarah, tawasol dan tabaruk dll.
Dalam al-quran, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik memiliki keyakinan adanya sifat ketuhanan pada sesembahan mereka.
Firman Allah yang mencela keyakinan kaum musyrik dalam surat an-Nisa 43 :
أَمْ لَهُمْ آلِهَةٌ تَمْنَعُهُمْ مِنْ دُونِنَا لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَ أَنْفُسِهِمْ وَلَا هُمْ مِنَّا يُصْحَبُونَ
Atau adakah mereka mempunyai tuhan-tuhan yang dapat memelihara mereka dari (azab) Kami. Tuhan-tuhan itu tidak sanggup menolong diri mereka sendiri dan tidak (pula) mereka dilindungi dari (azab) Kami itu?
istifham yang terdapat pada ayat adalah istifham inkari taubikhi yang bermakusd untuk mencela mereka atas apa yang mereka yakini .
Allah SAW menghikayahkan perkataan kaum Nabi Hud kepada Nabi Hud AS :
إِنْ نَقُولُ إِلَّا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu (Q.S. Hud 54)
Dalam surat asy-Syu’ara 97-98 Allah menceritakan percakapan kaum kafir kepada tuhan mereka yang mereka yakini ada sifat ketuhanan pada mereka :
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.". (Q.S. Asy-Syu’ara 97-98)
Maka dapat di pahami bahwa ibadah bukan semata-mata berbuat atau berkata yang dengannya patut untuk beribadah, akan tetapi ibadah ialah melakukan setiap perbuatan dan perkataan dengan niat menyembah untuk orang yang kita i`tiqatkan ada padanya ada sifat-sifat ketuhanan ataupun khususiyatnya.
Adapun jika perbuatan atau perkataan tersebut tanpa di sertai dari niat menyembah (ibadah) atau keyakinan ada padanya ada suatu khususiat ketuhanan, maka bukanlah ibadah. Sujud para malaikat bagi Nabi Adam `alaihi sallam manakala sunyi dari niat ibadah bagi Nabi Adam maka bukanlah syirik, tetapi taat bagi Allah, karena disertai dengan niat menjunjung tinggi perintah Allah ta`ala
Demikian juga sujud saudara Nabi Yusuf bagi beliau manakala sunyi dari niat ibadah tetapi hanya dengan niat menghormatinya maka ia bukanlah syirik, dan bukanlah menyembah bagi yusuf, walaupun sujud untuk menghormati itu haram menurut syariat kita umat Nabi Muhammad SAW.
Demikian lagi menta`dhimkan baitullah dengan cara bertawaf disekelilingnya dan mencium hajar aswad, maka karena sunyi dari niat menyembah bagi baitullah atau hajar Aswad bukanlah syirik, akan tetapi ia adalah taat bagi allah, karena menyertai dengan menjunjung tinggi perintahNya.
Demikian juga pada orang yang berziarah kubur dan bertawasol dan berdoa di kuburan tersebut, hal tersebut bukanlah syirik karena sama sekali tidak ada keyakinan di dalam hati mereka bahwa orang yang di dalam kubur tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi hajat mereka secara tersendiri.
Adapun lafadh tawasol yang di gunakan yang secara dhahir menunjuki meminta kepada mereka, ini sama halnya dengan lafadh-lafadh yang di gunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk meminta tolong kepada orang lain yang masih hidup. seorang mukmin yang telah mengimani bahwa Allah yang menciptakan manusia dan pekerjaan mereka maka sama sekali tidak ada ada keyakinan bahwa para anbiya dan aulia yang di jadikan tempat mereka bertawasol sama sekali tidak mampu memberi bekas secara tersendiri pada hajat mereka. Sama halnya keyakinan mereka terhadap makanan, sama sekali tidaklah mampu memberikan kekenyangan, obat-obatan, sama sekali tidak mampu memberi kesembuhan. Namun kesembuhan dan kekenyangan tersebut adalah murni ciptaan Allah semata, makan dan minum obat hanyalah sebab dhahiriyah saja. Demikian juga bertawasol kepada orang yang telah meninggal, karena di hadapan Allah, tidak ada beda sama sekali antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup, keduanya sama sekali tidak mampu memberi bekas secara tersendiri. dan meyakini salah satu dari keduanya mampu memberi bekas dan memenuhi hajat manusia secara tersendiri adalah syirik.
Kesimpulan:
kaum muslimin Ahlus sunnah wal Jamaah ketika berziarah kubur, bertwasol, istighastah dan bertabaruk kepada para anbiya, syuhada tidaklah menjadikan mereka syirik karena kaum muslimin melakukan hal demikian tidak di sertai dengan keyakinan bahwa para nabiya dan ulama tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang di yakini oleh kaum musyrik kepada tuhan sembahan mereka. Maka tuduhan bahwa kaum muslimin yang melakukan ziarah dan tawasol kepada orang yang telah meninggal merupakan orang-orang yang hanya memiliki tauhid Rububiyah dan tidak memiliki tauhid uluhiyah merupakan tuduhan yang sesat dan bathil.
Yang jadi masalah kan ziarah kubur wali... di mana orang-orang mengharapkan karomahnya...
BalasHapuskalau begitu kan syirik...
Apa Rhoma Irama itu wahabi? padahal dia kan dekat dengan NU...
Coba anda dengarkan lirik lagu Keramat ciptaan H. Rhoma Irama
"Bukan kuburan tempat memohon do'a"
Mungkin... setiap pernyataan ada cara untuk membantahnya...
tapi... kenyataannya di lapangan... banyak sekali orang-orang yang mengharapkan barokah dari kuburan...
di sana banyak sekali terjadi hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam.