Selasa, 26 Agustus 2014
Al-Qur'an dan Sepenggal Kisah Umar bin Khaththab
Hari itu Nafi' ibn abd al-Harits seorang gubernuh makkah masa pemerintahan 'Umar ibn al-Khathab pergi menuju sebuah daerah bernama 'Usfan. Kedatangannya tak lain adalah untuk menjemput sang khalifah yang akan berkunjung ke makkah.
Saat keduanya berjumpa, lantas 'Umar pun bertanya; "man istakhlafta 'ala ahli al-wady?" siapa yang kau tunjuk untuk menggantikanmu di makkah sana?". Lalu 'Ibn Abd al-Harits pun menjawab; "Istakhlaftu 'alaihim ibna abza" saya menunjuk Ibn Abza untuk menjadi pemimpin sementara mereka". Dan 'Umar pun lantas bertanya siapa itu Ubn Abza, karena al-Faruq (Umar) tak mengenalnya sebelum itu. Dan jawaban yang keluar dari Ibn Abdul Harits cukup mengagetkan; "Mawlan min Mawalyna, dia adalah salah satu dari mawla kami".
Mawla dalam bahasa arab memiliki beberapa arti. Arti yang pertama adalah orang yang bukan arab, dan arti selanjutnya adalah budak yang telah di merdekakan. Dan arti manapun yang akan kita ambil dari kedua arti tersebut, itu sama sekali bukanlah kreteria pemimpin bangsa Arab. Karena seperti yang kita ketahui bahwa bangsa arab adalah bangsa yang memiliki 'anafah (harga diri) yang sangat tinggi. Jadi, sangat tidak mungkin orang arab bisa menerima pemimpin yang bukan berasal dari mereka, apalagi dia mantan budak.
Sedikit kita mundur ke belakang. Quraisy di mana kebanyakan dari mereka tinggal di Makkah, bukanlah terdiri hanya dari satu qabilah (suku). Quraisy adalah qaba'il atau satu kelompok masyarakat yang di dalamnya ada beberapa kelompok suku. Didalamnya ada Banu Hasyim (anak keturunan Hasyim) yang di mana Muhammad SAW berasal darinya. Ini adalah kelompok yang paling di hormati dan juga kelompok termulia di dalam Quraisy. Ada juga Banu 'Umayyah marganya 'Utsman Ibn 'Affan, lalu Banu 'Ady (qabilahnya 'Umar Ibn al-Khathab), lalu Banu Taym (qabilahnya Abu Bakr al-Shidiq), lalu banu Makhzum (qabilahnya Khalid ibn al-Qalid), lalu banu Zuhra (qabilahnya 'Amr ibn al-'Ash), dan masih banyak yang lainnya.
Pada saat kaum muslimin mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW, Abu Quhafah (ayahanda dari Abu Bakar) lantas terheran-heran dan menanyakan apakah Banu Hasyim rela dengan keputusan itu. Karena tentu saja seperti yang telah di singgung sebelumnya, Banu Hasyim adalah marga (kelompok keluarga) tertinggi dalam Quraisy. Ayahanda Abu Bakar merasa aneh dengan keputusan itu, karena dalam benaknya tidak mungkin seseorang yang berasal dari keluarga 'Ady Ibn Murrah bisa memimpin dan menjadi imam Banu Hasyim yang dalam strata lebih tinggi dari mereka meskipun sama-sama suku Quraisy.
Jika seorang Quraisy memimpin Quraisy yang lain masih di anggap sesuatu yang janggal, lalu bagaimana mungkin di angkat seseorang yang bukan arab atau bekas budak untuk memimpin Quraisy? Itu sesuatu yang sangat luar biasa. Karena itulah 'Umar terheran-heran dan setengah tak percaya sambil bertanya untuk meyakinkan; Istakhlafta 'alayhim mawla? Dan jawaban dari Ibn Abdul Harits inilah yang kemudian membuat Umar merasa wajar atas penunjukan itu. Ibn abd al-Harits menjawab "Ya Amiral Mu'minin, Innahu Qaari'un li Kitabillah, 'Alimun bil Fara'id / wahai khalifah, dia adalah penghafal al-qur'an, dan juga memahmi ilmu waris".
Dan ternyata itulah rahasianya. Jawaban itulah yang membuat keraguan 'Umar sirna. Dan itu juga sekaligus memberikan gambaran bagaimana sikap Umar terhadap para penghafal al-Qur'an, dan perhatiannya terhadap al-Qur'an itu sendiri. Tak heran mengapa 'Umar pulalah yang menyarankan di mushafkannya al-Qur'an. Dan, disinilah kita sedikit mengerti keagungan al-Qur'an. Al-Qur'an lah yang mampu membuat bangsa arab dengan 'anafah-nya yang begitu besar bisa menerima sesuatu yang sebelumnya tak mungkin mereka terima.
Lantas setelah mendengar jawaban itu Umar pun berkata; "Amaa Inna Rasulallah SAW Qad Qaala : Innallaha Yarfa'u bi Hadza al-Kitab Aqwaman, wa Yadla'u bihi Akharin / Sungguh aku telah mendengar sang Nabi berkata: sesungguhnya Allah meninggikan sebagian kelompok dari sebagian yang lainnya dengan perantara al-Qur'an".
Banyak tafsiran mengenai hadits di atas. Hadits itu termaktub dalam Sunan ad-Darimy, Shahih Muslim, dan lain-lain. Menurut Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bary, maksudnya adalah Allah mengganti orang yang beramal tanpa ilmu dengan orang yang beramal dengan ilmu. Dalam arti orang yang berilmu lebih tinggi derajatnya dari orang yang tak berilmu, dan sudah sewajarnya jika yang berilmu itu menggantikan orang yang tidak berilmu. Tapi intinya adalah, orang yang memiliki al-Qur'an di dadanya akan di angkat derajatnya oleh Tuhan melebihi orang yang tak memiliki al-Qur'an. Dan boleh jadi arti inilah yang sesuai dengan konteks hadits di atas.
Dari kisah yang termaktub dalam Shahih Muslim ini, sedikitnya bisa kita ambil kesimpulan bahwa, dalam pandangan agama, keagungan al-Qur'an akan berimbas juga pada keagungan penghafal dan pengamalnya. Dan sekali lagi sangat sulit mengerti keagungan al-Qur'an tanpa melihat sejarah. Karena dari sejarahlah kita bisa faham bahwa dampak al-Qur'an terhadap kehidupan manusia sangatlah besar. Karena sangat mengagumkan sebuah bangsa yang mementingkan harga diri bisa menerima sesuatu yang sekilas tampak merendahkan harga diri mereka. Dan penyebabnya tak lain adalah al-Qur'an. Karena dalam pandangan al-Qur'an yang terbaik adalah yang paling bertaqwa.
Al-Qur'an memang luar biasa. Dan akan terus seperti itu. Karena Tuhan sendirilah yang telah berjanji akan menjaganya, dan salah satunya menjaga keluarbiasaannya. Wallahu a'lam.
Oleh : Abdullah Aniq Nawawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar