Rabu, 20 Agustus 2014

Peringatan HUT RI

Indahnya perintatan HUT RI

Kami, umat Islam Indonesia saat ini, merasa bahwa kemerdekaan bangsa sejak 1945 adalah sebagai nikmat, anugerah, kemenangan dan pertolongan dari Allah, sebagaimana pertolongan dan kemenangan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw dalam pembebasan kota Makkah:

وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
[الصف/13]
“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (al-Shaf: 13)

Ulama-ulama kami, para pendahulu kami telah banyak yang gugur sebagai Syahid, baik para kiai yang tergabung dalam Hizbullah, Sabilillah dan pasukan lainnya di masa penjajahan Belanda. Kemenangan dan selamatnya bangsa dari penjajahan abadi adalah nikmat besar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Khatib al-Syirbini al-Syafii:

ْحُدُوْثُ " نِعْمَةٍ " كَحُدُوْثِ وَلَدٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ مَالٍ أَوْ قُدُوْمِ غَائِبٍ أَوْ نَصْرٍ عَلَى عَدُو " أَوِ انْدِفَاعِ نَقْمَةٍ " كَنَجَاةٍ مِن حَرِيْقٍ أَوْ غَرَقٍ
(مغني المحتاج - ج 1 / ص 214)
“Nikmat yang baru datang adalah seperti lahirnya anak, naik jabatan, harta, datangnya saudara, pertolongan dari musuh. Juga selamat dari siksa, seperti selamat dari terbakar dan tenggelam” (Mughni al-Muhtaj 1/214)

Peringatan Setiap Tahun
Mengapa kami memperingati kemerdekaan setiap tahun? Saya kutipkan metode istidlal ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii tentang bolehnya mengamalkan amaliah Maulid setiap tahun sebagai nikmat dan anugerah lahirnya seorang Nabi Muhammad Saw.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَسَأَلَهُمْ ؟ فَقَالُوْا هُوَ يَوْمٌ أَغْرَقَ اللهُ فِيْهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَى مُوْسَى فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ شُكْرًا للهِ تَعَالَى
"Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menjumpai kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura' (10 Muharram), kemudian Nabi menanyakan kepada mereka? Mereka menjawab: Asyura' adalah hari dimana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa pada hari Asyura' sebagai bentuk syukur kepada Allah"

al-Hafidz Ibnu Hajar al-Syafii berkata:

فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ أَوْ دَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُوْدِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ
(الحاوي للفتاوي للسيوطي - ج 1 / ص 282)
“Dari hadis ini bisa diambil satu faidah diperbolehkannya melakukan syukur kepada Allah atas anugerah dari-Nya di hari tertentu, baik mendapatkan nikmat atau terlepas dari musibah, dan hal tersebut bisa dilakukan secara berulang kali setiap tahun. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah dan membaca al Quran.” (al-Hawi li al-Fatawi, al-Hafidz al-Suyuthi, 1/282)

Upacara Bendera
Mengenai upacara bendera, kita lihat dahulu posisi bendera di masa Nabi Muhammad Saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَايَةَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَكُوْنُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَرَايَةُ الْأَنْصَارِ مَعَ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ وَكَانَ إِذَا اسْتَحَرَّ الْقِتَالُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَكُوْنُ تَحْتَ رَايَةِ الْأَنْصَارِ.
(رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير عثمان بن زفر الشامي وهو ثقة. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق - ج 5 / ص 386)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bendera Nabi Saw bersama Ali bin Abi Thalib dan bendera Ansor bersama Sa’d bin Ubadah. Jika perang telah memanas maka Nabi termasuk orang yang berada di bawah bendera Ansor”
(HR Ahmad, perawinya adalah perawi hadis sahih, selain Utsman bin Zufar al-Syami, ia perawi terpercaya)

Dalam hadis ini sudah jelas Nabi membenarkan posisi bendera berada diatas. Terbukti Nabi berada di bawah bendera Ansor. Mengenai tujuan dan fungsi bendera, disampaikan oleh Ibnu Khaldun berikut ini:

وَأَمَّا تَكْثِيْرُ الرَّايَاتِ وَتَلْوِيْنُهَا وَإِطَالَتُهَا فَالْقَصْدُ بِهِ التَّهْوِيْلُ لَا أَكْثَرُ وَرُبَّمَا يَحْدُثُ فِي النُّفُوْسِ مِنَ التَّهْوِيْلِ زِيَادَةٌ فِي اْلإِقْدَامِ، وَأَحْوَالُ النُّفُوُسِ وَتَلَوُّنَاتُهَا غَرِيْبَةٌ. وَاللهُ الْخَلَّاقُ الْعَلِيْمُ. ثُمَّ إِنَّ الْمُلُوْكَ وَالدُّوَلَ يَخْتَلِفُوْنَ فِي اتِّخَاذِ هَذِهِ الشَّارَاتِ، فَمِنْهُمْ مُكَثِّرٌ وَمِنْهُمْ مُقِلٌّل بِحَسَبِ اتِّسَاعِ الدَّوْلَةِ وَعِظَمِهَا. فَأَمَّا الرَّايَاتُ فَإِنَّهَا شِعَارُ الْحُرُوْبِ مِنْ عَهْدِ الْخَلِيْقَةِ، وَلَمْ تَزَلِ الْأُمَمُ تَعْقِدُهَا فِي مَوَاطِنِ الْحُرُوْبِ وَالْغَزَوَاتِ، لِعَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُ مِنَ الْخُلَفَاءِ.
(مقدمة ابن خلدون - ج 1 / ص 138)
“Memperbanyak bendera, mewarnainya dan meninggikannya, tujuannya adalah ‘menggetarkan’, tidak lebih dari itu. Terkadang memang terbersit dalam jiwa untuk lebih maju. Kondisi perasaan hati dan macam-macamnya berbeda-beda. Allah yang maha menciptakan dan maha mengetahui. Kerajaan dan negara berbeda-beda dalam menjadikan simbol ini, ada yang memperbanyak, ada pula yang sedikit, tergantung luas dan besarnya negara tersebut. Bendera adalah syiar dalam perang sejak masa Khalifah. Dan umat Islam terus-menerus menggunakan bendera di tempat-tempat peperangan sejak masa Nabi dan para Khalifah” (Muqaddimah Ibni Khaldun 1/138)

Bendera hanya sebuah simbol negara, kami yang mengangkat tangan berhormat bukan lantaran menyembah bendera. Hormat tangan kami tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah yang telah memerdekakan negara Indonesia, dengan simbol warna merah-putih. juga untuk membangkitkan semangat juang kami agar negara ini tak dijajah lagi, sekaligus menambah cinta tanah air kami, sebagaimana Rasulullah mengajarkan cinta tanah air, Makkah dan Madinah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
(رواه البخارى)
Rasulullah berdoa: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kepada Makkah” (HR al-Bukhari)


    Oleh : Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
m-hormat-b
Hukum Hormat Bendera
 Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan karena bukan ibadah.

فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله
Artinya: “Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.”

Abdurrahman Syaiban–ketua Majelis Ulama Al-Jazair (جمعية العلماء المسلمين الجزائريين) tahun 1999-2001 — mengatakan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah karena tidak ada nash (dalil Quran hadits) yang mengharamkannya.

Abudurrahman Syaiban berkata:

أن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع
Artinya: “Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.”

Kesimpulannya menghormat bendera, berdiri di depan bendera, berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan adalah masalah duniawi atau muamalah dan bukan ibadah. Karena itu, melakukannya bukanlah bid’ah karena bid’ah itu kaitannya dengan ibadah. Ia juga bukan syirik karena syirik itu kaitannya dengan penuhanan bukan penghormatan. Adapun anggapan GOLONGAN TERTENTU yang menganggapnya sebagai bid’ah, maka itu sebuah kesalahan besar dan menunjukkan sikap yang tidak konsisten karena dengan menilai satu hal sebagai bid’ah sesat tapi menilai hal lain yang sama jenisnya sebagai hal yang bukan bid’ah.

Rasulullah berfirman dalam sebuah hadits hasan riwayat Tirmidzi yang artinya: Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Quran-Nya. Perkara haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam Quran-Nya. Adapun perkara yang tidak dibahas oleh Allah, maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan.

Dari hadits ini, maka ulama fiqih menjadikannya sebagai dasar dari kaidah fiqih “Bahwa hukum asal dari sesuatu (yang bukan ibadah) adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Sumber http://www.muhammadhuseinalhabsyi.com/2014/08/hukuendera/

 Terkait :

Para Sahabat Wafat Demi Bendera

Para Sahabat Wafat Demi Bendera
Jika umat Islam saat ini sekedar hormat dengan tangan ke bendera, ternyata para sahabat Nabi membela mati-matian mempertahankan kehormatan Islam dengan simbol bendera, bahkan Nabi tidak menyalahkan sedikitpun:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَيْشاً اسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَقَالَ « فَإِنْ قُتِلَ زَيْدٌ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ جَعْفَرٌ فَإِنْ قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ فَأَمِيرُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ ». فَلَقُوا الْعَدُوَّ فَأَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ جَعْفَرٌ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَتَى خَبَرُهُمُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ إِلَى النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ « إِنَّ إِخْوَانَكُمْ لَقُوا الْعَدُوَّ وَإِنَّ زَيْداً أَخَذَ الرَّايَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ بَعْدَهُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِى طَالِبٍ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ أَوِ اسْتُشْهِدَ ثُمَّ أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَفَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ
(رواه أحمد والطبراني ورجالهما رجال الصحيح. مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق - ج 6 / ص 151)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Rasulullah mengutus pasukan (dalam perang Mu’tah) dan menjadikan Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Nabi bersabda: Jika Zaid terbunuh atau mati syahid, maka pimpinan kalian adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh atau mati syahid maka pemimpin kalian adalah Abdullah bin Rawahah”. Lalu umat Islam berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan. Berita ini sampai kepada Nabi, lalu beliau menemui para sahabat dan berkhutbah: Sungguh saudara-saudara kalian berjumpa dengan musuh, Zaid mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian Ja’far mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, lalu Abdullah bin Rawahah mengambil bendera, ia berperang dan terbunuh, kemudian salah satu pedang Allah, Khalid bin Walid mengambilnya dan Allah memberi kemenangan.”
(HR Ahmad dan al-Thabrani, perawinya adalah perawi hadis sahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari)

Jikan anda bertanya: “Itu kan dalam kondisi perang?”. Kami menjawab: “Justru dari kondisi damai inilah perlu penanaman hormat pada simbol negara, sehingga jika seumpama ada perang (na’udzu billah), maka sudah pasti rakyat akan mati-matian mempertahankan kehormatan bangsa.”

Jika anda masih bertanya: “Para sahabat kan membela Islam, bukan membela negara?”. Kami menjawab: “Kami mengikuti fatwa ulama kami, Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari bahwa membela negara juga Jihad fi Sabilillah”

    Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin

 Terkait :

Indonesia sudah disebut Darul Islam (bukan Darul Kufr), meskipun tidak 100% menerapkan hukum-hukum Syare'at Islam. Karena Darul Islam tidak disyaratkan harus menerapkan hukum-hukum Syare'at.
Akan tetapi menjadi tugas setiap muslim yang ahli untuk mengintegrasikan Syare'at Islam secara subtantif dengan menempuh pola tadrij (gradual).
Maka merubah bentuk negara Indonesia dgn bentuk yg lain maka hukumnya tidak boleh, selama menimbulkan mafsadah yg lebih besar.
Dan tidak boleh merubah dasar hukum negara jika dilakukan dengan cara yang inkonstitusional, namun diperbolehkan menggunakan cara yang konstitusional.
Ini prinsip Ahlus sunnah wal Jama'ah,
~Oleh : Ust. Ibnu Abdillah Al Katibi~
Penulis Buku "Rekam Jejak Radikalisme Wahabi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar