Memberantas Jem SA-WAH (jemaah salafi wahabi) dengan pembekalan ASWAJA kepada pengurus N U ,tidak cukup lewat ceramah (pengajian mimbar).di pon-pes
Namun perlu melalui Musholla-musholla.
BAB I
A. Pendahuluan
Islam
di abad ini telah berkembang menjadi salah satu agama terbesar di
dunia. Islam tidak hanya menjadi hak milik penduduk Jazirah Arabia saja
yang menjadi titik tolak awal muncul dan perkembangan Islam, namun juga
diikrarkan dan didengungkan di berbagai pelosok tempat di saentero
planet Bumi. Perkembangan kwantitas pemeluk Islam tersebut juga diikuti
oleh perkembangan pemahaman terhadap aplikasi hukum Islam yang termaktub
dalam al-Quran dan al-Sunnah. Seiring dengan itu, silang pendapat di
antara muslimin (baca: ulama) tidak bisa dihindarkan. Dan bahkan tidak
jarang terjadi perbedaan pemahaman dalam satu nash (al-Quran dan
al-Sunnah) yang sama, sehingga muncul dua solusi hukum yang berbeda
padahal dalilnya sama. Bagaimana hal ini bisa terjadi? banyak faktor
yang melatar balakangi, antara lain adalah kecondongan sementara ulama
mengedepankan ro'yu (nalar), sedangkan ulama lain lebih mendahulukan
nash yang dia ketahui kebenarannya (keshohihanya).
Realita
ini kemudian memunculkan berbagai madzhab dengan coraknya
masing-masing. Tidak hanya dalam al-masāil al-furûiyah (ranah kajian
fiqh) saja, namun juga dalam al-masâil al-ushûliyah (theology) banyak
bermunculan ulama-ulama terkenal dengan corak dan gaya pemikiran yang
tidak sama. Seperti yang kita kenal sekarang, terdapat empat madzhab
yang mu'tabaroh dalam dunia fiqh Sunni, dan di dalam lingkup theology,
golongan Sunni lebih condong mengikuti cara berfikir al-Asy'ari,
al-Mathuridi dan Ahamad bin Hanbal yang dianggap sebagai tokoh
Salafiah.
Selain
tiga aliran di atas, terdapat banyak madzhab usuluddin yang sudah
dianggap melenceng oleh kalangan Sunni, seperti Mu'tazilah, Qodariyah,
dan Jabariyah. Bahkan ada juga yang bisa dikatakan telah keluar dari
garis besar Islam, seperti aliran Mujassimah.
Terkait
dengan fenomena di atas, kiranya sangat penting bagi kita untuk
merenungkan kembali identitas diri kita, jalur manakah yang sedang kita
lewati sekarang?, dengan pemikiran siapakah kita terbawa?. Dan juga
tidak kalah urgent-nya ialah untuk mengenal kelompok lain, dengan begitu
akan terbuka atmosfir tasâmuh di antara sesama muslimin dan
dimungkinkan untuk saling berdiskusi sebagai bentuk saling menasehati
antar sesama kaum beriman dengan dasar mencari kebenaran untuk kemudian
diikuti. "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran."
Sangat berkaitan dengan halaqoh kita kali ini, yaitu diskusi membahas aliran Wahhabiyah, dan mengenal lebih dekat dan lebih mendalam siapakah sebenarnya Wahabi/Wahhabi,
adakah mereka madzhab baru?, ataukah mereka partai politik yang
dibentuk untuk merebut kekuasaan?, atau, siapakah mereka sebenarnya?. Dengan mengetahui Wahabiyah lebih dalam, kita tidak akan mudah terprovokasi sentilan orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
sekaligus tidak mudah terbawa arus fanatisme literalis kelompok
tertentu. Semoga setelah pertemuan ini, Allah membuka hati kita untuk
kebenaran yang diridlo-Nya.
B. Awal Mula Munculnya Wahhabiyah
Wahabi
/ Wahhabi bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama
besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab
At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M) . Beliau
lahir di Uyainah dan belajar Islam dalam madzhab Hanbali. Belliau telah
menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun. Dakwah beliau banyak disambut
ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan
dimuliakan oleh penguasa setempat dimana pada saat itu pangeran Muhammad
bin Su`ud yang berkuasa 1139-1179. Oleh pangeran, dakwah beliau
ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh
wilayah Saudi Arabia hingga hari ini. Uyainah adalah desa yang sangat
sederhana dan jauh dari keramaian kota serta masih berada dalam kondisi
yang primitif, situasi dan kondisi ini pada akhirnya sangat mempengaruhi
gaya berfikir Ibnu Abdul Wahhab. Ia sendiri termasuk anak yang ber-IQ
tinggi, sebelum usianya menginjak sepuluh tahun, ia telah hafal 30 Juz
al-Quran.
Maka
tidak heran kalau sejak usia dini ia mulai mendalami agama dari ayahnya
sendiri yang juga terkenal sebagai ahli fiqh madzhab Hanbali pada
masanya. Setelah menginjak dewasa, Ibnu Abdul Wahab pergi meninggalkan
Uyainah menuju kota Makkah, selain menjalankan ibadah Haji, di kota
tersebut ia juga menimba ilmu dari ulama Tanah Haram. Kemudian ia
melanjutkan perjalanan tolabul ilmi-nya ke kota Madinah. Banyak ulama
yang dituju oleh ibnu Abdul Wahhab di kota tersebut, antara lain yang
terkenal ialah; Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif al-Najdi dan Syaikh
Muhammad Hayat al-Sindi . Begitu juga banyak cabang ke-ilmuan yang
ditemuinya di Madinah, namun sesuai dengan gaya berfikir Ibnu Abdul
Wahab yang sederhana, ia hanya dapat menerima pelajaran-pelajaran yang
selaras dengan gaya hidup kesederhanaan dan menolak jauh-jauh ilmu
kalam, mantiq dan sejenisnya. Kemudian ia melanjutkan perjalananya
menuju Iraq, tepatnya di kota Basroh ia mulai menampakan kedalaman
pemikiranya. Dalam perjalananya tersebut, Ibnu Abdul Wahhab menemukan
berbagai ritual keagamaan di tengah-tengah masyarakat yang menurutnya
sudah sangat melenceng dari aqidah Islam, dengan pengetahuan yang
dimiliki, ia berusaha meluruskan masyarakat menuju jalur yang
dianggapnya benar.
Setelah
sekian lama meninggalkan Najd, Ibnu Abdul Wahhab kembali lagi ke daerah
tersebut tepatnya di kota Huraimala pada pertengahan abad 12 Hijriah,
pada saat itu ayahnya menjadi Qodli (hakim-red) di kota tersebut. Selama
ayahnya menjadi Qodli, Ibnu Abdul Wahhab ikut membantu dengan mengajar
dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Namun ayahnya sendiri
melarangnya terlalu keras berdakwah, melihat penduduk kota tersebut
banyak yang tidak sepaham dengan Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya dia lebih
benyak menulis disamping aktifitasnya sebagai pengajar.
Setelah
ayahnya wafat pada tahun 1153 H., karena alasan keamanan, Ibnu Abdul
Wahhab meninggalkan Huraimala menuju tempat asalnya, Uyainah.
Di
kota ini, dakwah Ibnu Abdul Wahhab mulai menampakkan kesuksesan. Dia
diterima dengan baik oleh penguasa kota setempat, Utsman bin Nashor bin
Ma'mar. Dalam sambutanya kepada Ibnu Abdul Whahab, Utsman berkata,
"Lanjutkanlah dakwah anda, kami mendukung dan berada di belakang anda."
Dengan mendapat jaminan keamanan dan bantuan dari penguasa setempat,
Ibnu Abdul Wahhab lebih giat menjalankan aktifitas keseharianya sebagai
seorang pengajar dan da'i. Dan dia memiliki kesempatan untuk
mengaplikasikan dakwahnya pada kehidupan realita masyarakat.
Sampai
pada suatu ketika, Ibnu Abdul Wahhab berbincang kepada Utsman, "Biarkan
kami merobohkan kubah kuburan Zaid bin Khottob ra. , bangunan itu tidak
sesuai dengan hudalloh, dan sesungguhnya Allah SWT tidak meridloinya.
Rasul SAW. juga melarang mendirikan bangunan di atas kuburan, dan
menjadikanya sebagai masjid. Kubah itu telah menyebarkan fitnah di
tengah-tengah masyarakat dan memelencengkan aqidah mereka. Dan tanpa
sadar mereka telah berbuat syirik. Kita harus merobohkan kubah itu."
Dengan tegas Utsman memberi lampu hijau kepada Ibnu Abdul Wahhab, "Tidak
akan ada yang melarang anda menghancurkan kubah itu.", "Tapi saya
khawatir penduduk Jubailah –desa tempat makam Zaid bin Khottob- marah
dan menyerang." Timpal Ibnu Abdul Wahhab. Akhirnya, Utsman berangkat
beserta sekitar 600 perajurit untuk mendampingi Ibnu Abdul Wahhab
menghancurkan kubah makam Zaid bin Khottob. Sesuai dengan prediksi
sebelumnya, penduduk setempat mengahalang-halangi usaha tersebut, namun
mereka akhirnya mundur teratur setelah melihat prajurit pemerintah yang
menyertai Ibnu Abdul Wahhab .
Selain
kubah makam Zaid, dengan bantuan penguasa juga, Ibnu Abdul Wahhab
mengahancurkan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk
Uyainah. Dan dengan alasan menegakkan Syari'at sesuai dengan ajaran
ulama Salaf –menurut pemahaman Ibnu Abdul Wahhab-, ia menjatuhkan hukum
rajam kepada seorang wanita bersuami yang telah berkali-kali mengaku
berzina.
Sepak
terjang ibnu Abdul Wahhab ini menggegerkan masyarakat dan para pemimpin
daerah di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian kalangan mendukung, namun
tidak sedikit yang menentangnya, termasuk di antara penguasa daerah
yang menentang ialah Sulaiman bin Mohammad bin Ghorir, pejabat kota
Ihsâ.
Dalam
suratnya yang dikirim kepada Utsman bin Ma'mar –kepala pemerintahan
Uyainah-, ia mengancam tidak akan menyetorkan pajak tahunan kepada
Utsman jika Ibnu Abdul Wahhab tidak diusir dari wilayah Uyainah. Ibnu
Abdul Wahhab akhirnya terusir dari kota Uyainah, dia kemudian meneruskan
dakwahnya di wilayah Dir'iyah, dipilihnya wilayah tersebut karena
berbagai faktor, antara lain, jarak perjalanan yang tidak terlalu jauh
dari Uyainah, serta penguasanya yang terkenal baik dan tidak tertekan di
bawah kekuasaan penguasa wilayah lain.
Pilihan
Ibnu Abdul Wahhab pindah ke Dir'iyah sangatlah tepat untuk
mengembangkan dakwahnya, penguasa wilayah tersebut, Muhammad bin Sa'ud
menerimanya dengan tangan terbuka dan bahkan berjanji melindunginya
seperti melindungi keluarga sendiri. Kata Ibnu Sa'ud saat menyambut Ibnu
Abdul Wahhab, "Di sini (Dir'iyah), semoga anda menemukan tempat yang
lebih baik dari sebelumnya dan mendapatkan kemulian serta kebahagian."
Sebaliknya, Ibnu Abdul Wahhab mendoakan Ibnu Sa'ud, "Dan semoga anda
mendapat kemuliaan, kemenangan dan pertolongan. Aku datang dengan
membawa ajaran Tauhid seperti yang diajarkan oleh para Rosul, barang
siapa berpegang teguh denganya, mengamalkan serta menolong penyebaranya,
dia akan menguasai seluruh negara dan penduduknya. Anda sendiri melihat
seluruh penjuru Najd telah dipenuhi dengan praktek syirik, kebodohan,
perpecahan dan peperangan di antara sesama ummat, saya berharap semoga
anda dan keturunan anda menjadi pemimpin yang dapat menyatukan mereka."
Demikian temu muka itu terjadi yang kemudian terkenal disebut dengan
Ittifâq al-Dir'iyah (Pertemuan Dir'iyah), tepatnya pada tahun 1157
H./1744 M. Detik-detik itu menjadi saat yang bersejarah bagi
perkembangan dakwah Ibnu Abdul Wahhab di sekitar wilayah Najd dan
seantreo Jazirah Arabia pada umumnya.
Pada
frase selanjutnya, Ibnu Abdul Wahhab tidak hanya berdakwah di dalam
wilayah Dir'iyah saja, bahkan ia menyebarkan dakwahnya ke luar kota
dengan mengirimkan surat ke berbagai tempat dan melakukan dialog dengan
para ulama di saat musim Haji. Dan dengan dukungan dari penguasa
Dir'iyah, ia juga mengangkat senjata melawan orang-orang yang menentang
dakwahnya.
Setelah kematian Ibnu Abdul Wahhab, dakwah
Wahabiyah / Wahhabiyyah kemudian diteruskan oleh keturunannya dan tetap
mendapat bantuan dari keturuan Mohammad bin Sa'ud sebagai pihak
penguasa.
C. Terminology Wahhabiyah
Secara umum, para pengikut Ibnu Abdul Wahhab tidak menerima dengan julukan Wahabiyah / Wahhabiyyah.
Menurut penilaian mereka, sebutan itu dilontarkan oleh
kelompok-kelompok yang tidak senang dengan dakwah Ibnu Abdul Wahhab.
Para penentang itu ingin menimbulkan presepsi seolah-olah Wahabiyah / Wahhabiyyah adalah madzhab baru di luar Empat madzhab yang telah diakui kebenaranya. Mereka sendiri lebih enjoy disebut dengan Muwahhiddin atau Salafiyun, dan dakwah mereka adalah Dakwah Salafiyah.
Dari sisi bahasa, istilah
Wahabiyah / Wahhabiyyah yang digunakan untuk menyebut pengikut Mohammad
bin Abdul Wahhab juga kurang tepat, karena nisbat tersebut diambil dari
nama ayahnya, semestinya mereka mendapat julukan Muhammadiah.
Meski
demikian, banyak Orientalis yang menggunakan terminology ini, mereka
menyatakan tidak ada unsur benci atau permusuhan yang mendorong mereka
untuk tetap menggunakan istilah Wahabiyah, hal ini tidak lain karena
untuk lebih memudahkan membedakan aliran dakwah Wahabiyah dengan
kelompok lainya.
D. Corak Wahhabiyyah / Wahabiyah
Para
ilmuwan ahli sejarah peneliti aliran-aliran Islam memiliki presepsi
berbeda tentang identitas Wahabiyah sebenarnya. Ada sebagian kalangan
yang mengatakan mereka adalah kelompok pembaharu Islam, yang bertujuan
memurnikan agama dari segala macam bentuk praktek syirik dan bid'ah
karena dalam pandangan mereka, bid'ah tidak akan bias dijadikan sebagai
jalan menuju Allah SWT, tetapi bid'ah jalannya Syaithan . Sementara
pendapat lain menyebutkan, Wahabiyah adalah gerakan politik yang
menjadikan pemurnian agama sebagai jargonya, target utama mereka adalah
mendirikan konstitusi sendiri di luar kekuasan Dinasti Utsmaniyah.
Pendapat ketiga menyimpulkan, Wahabiyah adalah gerakan politik
keagamaan, dengan bukti bahwa selain menyebarkan dakwah, mereka juga
berusaha untuk mendiriikan daulah (konstitusi) sendiri . Mengikut
pendapat DR. Muhammad Imaroh dalam bukunya, Tayarot al-Fikr al-Islami,
Wahabiyah adalah aliran dakwah yang mengekor pada jalan berfikir
Salafiyah. Kelompok ini bukanlah suatu madzhab baru dalam Islam, namun
lebih pasnya mererka bisa dikatakan sebagai aliran dakwah yang
menggunakan politik sebagai jalan untuk kesuksesan berdakwah. Selain
itu, mereka juga adalah pengikut madzhab Salafiyah dalam urusan i'tikad
dan mengikuti madzhab Hanbali dalam masalah fiqh, meski begitu mereka
lebih mendahulukan nash yang dhohir, baik dari al-Quran atau Hadits,
dibanding mengikuti pendapat para ulama.
Dari
sini kiranya sangat perlu bagi kita untuk melihat kembali siapakah
Salafiyah sebenarnya. Agar kita dapaat menarik benang merah antara
Wahabiyah dengan mereka.
Secara
etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qoblu. Artinya, setiap
sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf, artinya
generasi setelah kita. Kata ini (salaf) kemudian menjadi terminology
yang digunakan untuk menunjuk generasi keemasan Islam, yaitu tiga
generasi pertama Islam; para Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in, atau
biasa disebut dengan Salaf Sholih.
Dari
pemahaman ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa salaf bukanlah
merupkan nama sebuah aliran tertentu, juga bukan merupkan personafikasi
terhadap madzhab tertentu, namun secara umum salaf adalah istilah yang
digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang hidup sebelum masa kita,
dan secara khusus, ungkapan salaf dapat diartikan masa Sahabat dan dua
masa setelahnya.
Setelah
Nabi SAW. wafat, peradaban Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat
pada masa Dinasti Abbasiyah, yang juga mencakup kemajuan dalam bidang
pengetahuan. Didorong dengan adanya pemerintah yang gemar dengan
ke-ilmuan, halaqoh ilmiah dan dirosah pada masa itu berjalan sangat
kondusif, sehingga menghasilkan ulama-ulama yang produktif dan banyak
karya kontemporer mereka yang bisa kita nikmati hingga sekarang. Tidak
hanya sebatas memberi fasilitas untuk studi pengetahauan yang diambil
dari al-Quran dan al-Sunnah, pemerintah (Dinasti Abbasiyyah) juga
mendorong digalakkanya penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab. Dan periode penerjemahan buku mencapai puncaknya pada masa
kepemimpinan al-Ma'mun bin Harun al-Rosyid . Pada masa al-Ma'mun juga,
Mu'tazilah menjadi madzhab yang diakui oleh pemerintah, bahkan
pemerintah terkesan mengayomi para pengikut aliran ini. Pertalian itu
bisa dibuktikan saat salah seorang pemimpin Mu'tazilah mengeluarkan
pernyataan kontroversial bahwa al-Quran adalah makhluk Alloh. Pendapat
ini kemudian di blow-up dan di-amini oleh penguasa saat itu (al-Ma'mun)
dan bahkan dengan menggunakan alat kekuasanya, dia memaksa ulama lain
untuk mengakui kebenaran pernyataan kontroverial tersebut.
Banyak
ulama yang harus menerima penyiksaan akibat menolak keinginan penguasa,
termasuk di antaranya adalah imam Ahmad bin Hanbal . Namun, meskipun
harus menghadapi ancaman dari penguasa, keteguhan Ibnu Hanbal akhirnya
menyadarkan ummat Muslim bahwa mereka harus kembali berpegangan dengan
manhaj al-Salaf al-Sholih untuk menjaga kemurnian agama dan akidah
Islam. Ibnu Hanbal dan pengikutnya kemudian dikenal dengan sebutan ahlul
Hadis atau Hanbaliyah.
Beberapa
tahun kemudian, mucul al-Asy'ari yang tidak hanya mengambil referensi
dari nash al-Quran dan al-Sunnah untuk menjaga kemurnian aqidah Islam
dan membentenginya dari serangan musuh, namun ia juga menggunakan metode
mantiqi (pemahaman nalar) untuk tujuan mulia tersebut Banyak ulama yang
mendukung al-Asy'ari, karena dia menggabungkan metode tekstual dengan
penjabaran secara rasional. Para pengikut al-Asy'ari kemudian disebut
dengan Asy'ariyah, selain itu mereka juga disebut dengan kelompok ulama
kholaf, karena mereka memodifikasi manhaj al-Salaf dalam merefleksikan
isi al-Quran dan al-Sunnah yang berkaitan dengan aqidah Islam. Hal ini
berbeda dengan pengikut Ibnu Hanbal yang secara utuh mengikuti manhaj
al-Salaf.
Menanggapi
gerakan Asy'ariyah ini, para pengikut Ibnu Hanbal akhirnya
memplokramirkan mereka dengan sebutan Salafiyah, anonim dari Kholafiyah .
Setelah Ibnu Hanbal wafat, di antara ulama berpengaruh dari aliran
Salafiyah adalah Syaikh Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Qoyyim
al-Jauziyah .
Mencermati
perjalanan sejarah di atas, kami sepakat dengan pernyataan Dr. Mohammad
Ramadhan Buthi dalam bukunya, al-Salafiyah; Marhalah Zamaniyah
Mubarokah Lâ Madzhab Islamy, bahwa hampir tidak ada pemisah yang tegas
antara generasi Salaf dan Kholaf. Sekalipun masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda, mereka tetap menjadikan al-Quran dan
al-Sunnah sebagai sumber hukum. Mereka pun melakukan ijtihad sesuai
dengan perkembangan dan kemajuan teknologi dan terus berdinamika agar
posisi yang shaleh (baik) beranjak menuju yang aslah (lebih baik).
Kata salaf sendiri sejatinya adalah personifikasi atas generasi terbaik Islam yang disabdakan dalam hadits Nabi saw:
.
أخرجه الشيخان وغيرهما أحاديث عن أبي هريرة وابن مسعود وعمران بن حصين : (
أن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال : خير القرون قرني ثم الذين
يلونهم, ثم الذين يلونهم
Dalam
hadis itu, Nabi mengajak kita untuk menjadikan metode berpikir dan cara
bersikap mereka sebagai sumber inspirasi. Kita diperintahkan untuk
meneladani keteguhan sekaligus tasamuh mereka ( Sahabat, Tabi'in, dan
tabi'ut tabi'in-red) dalam berdakwah.
Hal
ini, seolah berbalik 180 derajat ketika makna Salafi berada di tangan
Wahabiyah. Seolah-olah mereka telah membuat kerangkeng arti kata Salafi
pada permasalahan furu'iyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik,
baik dibidang ilmu Fiqh, ilmu Kalam, maupun Tasawwuf. Dalam fiqh mereka
lebih konsen untuk mem-bid'ah-kan tradisi maulid Nabi, ziarah, tawassul
dan yang sejenisnya. Dalam ilmu Kalam, alih-alih menanamkan hakikat
makna tauhid, mereka justru memperdebatkan kembali tentang asmâ wa
shifât dan bahayanya men-ta'wil. Mereka juga akan dengan mudah mengecam
–bahkan menyerang- siapa pun yang tidak sejalan dengan alur
pemikiranya. Tak heran kalau dicermati karya-karyanya, kita akan
menemukan daftar-daftar bid'ah mulai yang klasik sampai bid'ah
kontemporer. Sebagai contoh, buku yang ditulis oleh ulama Wahabi Yaman,
Syaikh Muqbil tentang haramnya memakai sendok.
E. Ajaran dan Penyebarannya
Telah
dimaklumi, bahwa gerakan Wahabiyah mendobrak masalah yang dianggap
takhayyul, bid'ah, berbau mistik, dan khurafat. Wahabi menguasai Makkah
dan Madinah dengan berbagai cara, termasuk kekerasan melalui peperangan.
Banyak ulama yang menjadi korban. Kalau dibaca dari buku-buku sejarah
Arab modern, memang para pengikut Wahabi memakai cara-cara yang disebut
dengan istilah ‘Badui-Wahabi’, yakni cara-cara barbar, kekerasan, dan
agresif. Seperti di Indonesia juga ada penghancuran kuburan dan
diratakan dengan tanah. Karena menurut keyakinan mereka, itu sesat,
bid’ah, dan syrik.
Mungkin
memang sebagian umat Islam ada yang merasakan arogansi dari kalangan
pendukung dakwah wahabiyah ini. Hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa
hal berikut:
1. Syeikh Abdul Wahhab dan Penguasa
Sebagaimana
kita ketahui, di jazirah Arabia, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab
berkolaborasi dengan penguasa. Maka lewat tangan penguasa, beliau
melancarkan dakwahnya. Dan ciri khas penguasa, segala sesuatu ditegakkan
dengan kekuasaan. Karena penguasa pegang harta, wewenang dan hukum,
maka wajar bila pendekatannya lebih bersifat vonis dan punnishment.
Inilah barangkali yang unik dari dakwah wahabi dibandingkan dengan dakwah lainnya yang justru biasanya ditindas oleh penguasa.
2. Fenomena Kultur Masyarakat
Barangkali
gaya yang lugas, kalimat yang menukik, vonis dan kecaman kepada para
penyeleweng memang tepat untuk kultur masyarakat tertentu. Misalnya
kultur masyarakat padang pasir di jazirah arab yang memang keras. Akan
tetapi, ketika metode seperti ini masuk ke Negara lain mungkin sangat
tidak cocok, apalagi ke Negara-negara Asia, khususnya Negara Indonesia,
apalagi islam masuk ke Indonesia dengan yang halus dan lembut tanpa ada
pertumpahan darah.
Kalau
dakwah hanya menghimbau dan merayu, mungkin dianggap kurang efektif dan
tidak mengalami perubahan yang berarti. Maka ketika pendekatan yang
agak 'keras' dirasakan cukup efektif, jadilah pendekatan ini yang
terbiasa dibawakan.
Sayangnya,
ketika masuk ke negeri lain yang kultur masyarakatnya tidak sejalan,
metode pendekatan ini seringkali menimbulkan kesan 'arogan'. Dan
rasanya, memang itulah yang selama ini terjadi.
3. Aqidah Wahabiyah
Akidah-akidah
yang pokok dari aliran wahabi pada hakikatnya tidak berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh Ibnu Taymiyah. Perbedaannya, dalam cara
melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu.
Akidah-akidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang
tauhid( pengesaan) dan bidang bid'ah.
Dalam ke-tauhidan mereka berpendirian sebagai berikut:
a. Dalam penyembahan kepada selain Allah SWT adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian dia harus dibunuh.
b. Orang yang mencari ampunan Allah SWT dengan mengunjungi kuburan-kuburan orang shaleh (wali) termasuk golongan musyrikin
c.
Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam sholat
terhadap nama Nabi-nabi, Wali-wali, atau Malaikat ( seperti Sayyidan
Muhammad).
d.
Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas
al-quran dan sunnah atau ilmu yang bersumber kepada akal fikiran
semata-mata.
e.
Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Allah SWT dan
do'a-do'a (wirid)cukup dengan menghitung menggunakan jari.
f.
Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari "Qadar" dalam semua perbuatan
dan penafsiran Al-quran dengan jalan ta'wil (menafisiri al-quran dengan
nalar akal-red).
g.
Sumber syari'at islam dalam soal halal dan haram, hanyalah Al-quran
semata dan sumber lain yang sesudahnya ialah Sunnah Rasul. Pendapat
ulama mutakallimin dan fuqaha tentang halal dan haram tidak menjadi
pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut. Jadi, jika
hukum ditetapkan dengan ijma dan qiyas dalam padangan mereka, maka
hukum tadi tidak wajib di lakukan atau ditinggalkan.
h. Pintu ijtihad masih terbuka dan siapapun boleh melakukan ijtihad asal sudah memenuhi syarat-syaratnya .
Setiap
hal-hal baru oleh Wahabi dianggap bid'ah sehingga harus diberantas,
antara berkumpul bersama-sama dalam peringatan mauludan, orang wanita
mengiring jenazah, mengadakan dzikir bersama, tahlilan, dll. Mereka
tidak cukup sampai disitu, bahkan kebiasaan sehari-hari juga
dikatagorikn sebagai bid'ah, seperti merokok, minum kopi, memakai
pakaian sutera bagi kaum laki-laki, bergambar, menggunakan tasbih dalam
berdzikir, dan lain-lainnya yang termasuk dalam soal-soal yang kecil dan
yang tidak mengandung atau mendatangkan faham keberhalaan. Pemikiran
mereka ini berlandaskan pada hadits Nabi SAW:
"
فقال
قائل يا رسول الله إن هذه لموعظة مودع فما تعهد إلينا قال "أوصيكم بتقوى
الله والسمع والطاعة وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى
اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها
بالنواجد وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة"
F. I'tiqad Kaum Wahabi Yang bertentangan Dengan I'tiqad Ahlussunnah
1. Mendo'a Dengan Bertawassul Syirik
Ulama-ulama
Wahabi selalu memfatwakan bahwa mendo'a dengan bertawassul adalah
syirik/haram. Hal ini tidak lain karena faham Wahabi itu adalah penerus
yang fanatic dari fatwa-fatwa Ibnu Taymiyah. Sedangkan pendirian
Ahlussunnah tentang "tawassul" sudah dianggap benar apa yang mereka
lakukan karena telah mencocokkan dengan dalil-dalil al-quran dan hadits
yang pada akhirnya dalam pandangan ahlussunnah "bertawassul" itu boleh.
2. Istighatsah Syirik
Tersebut
dalam kitab karangan ulama Wahabi, berjudul " Alhidayatus Saniyah Wat
Tuhfatul Wahabiyah" pada halama 66 yang berbunyi seperti ini:
"
Barang siapa yang menjadikan Malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi
Thalib, atau Mahjub perantara antar mereka dengan Allah SWT, karena
mereka dekat dengan Allah SWT, sperti banyak yang banyak diperbuat orang
di hadapan raja-raja, maka orang itu kafir, musyrik, halal darahnya dan
hartanya, walaupun ia mengucapkan dua kalimah sahadat, walaupun ia
bersembahyang, puasa, dan mengaku dirinya muslim". Jelas sekali dari
kutipan diatas tadi, bahwa kaum Wahabi mengkafirkan sekalian orang islam
yang sudah membaca dua kalimah sahadat kalau orang itu menjadi
Malaikat, Nabi-Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib (Maksudnya Ali RA) atau
Mahjub menjadi perantara antara mereka dengan Allah SWT.
Karena arti "menjadi perantara" yang dilarang itu menurut faham Wahabi ialah beristighasah dengan mereka.
Mereka
mencontohkan: Seorang muslim datang menziarahi kuburan(makam) Nabi di
Madinah, lantas disitu dia berkata: " Wahai Rasulullah, kekasih Allah,
hai penghulu kami Muhammad SAW Nabi akhir zaman, berilah kami syafa'at
engkau di akhirat, mintakanlah kepada Tuhan supaya kami ini selamat
dunia-akhirat .
BAB II
A. Hubungan Wahabi dan Madzhab-Madzhab Fiqih
Sebenarnya
agak sulit juga untuk menjelaskan hubungan antara 'wahabi' dengan
keempat madzhab fiqih. Sebab keduanya tidak saling terkait dan bukan dua
hal yang bisa dibandingkan.
Kalau
madzhab fiqih adalah gerakan ilmiyah dalam bidang ilmu fiqih, sehingga
mampu membuat sistem dan metodologi ilmiyah dalam mengistimbath hukum
dari dalil-dalil yang bertaburan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah,
maka gerakan wahabi lebih merupakan gerakan dakwah memberantas syirik
dan bid'ah, ketimbang aktifitas keilmuan.
Kalau
para ahli fiqih empat madzhab adalah pelopor di bidang ijtihad dan
mereka hidup di awal perkembangan Islam, sekitar abad pertama dan kedua
hijriyah, maka sosok Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok yang hidup
di akhir zaman, muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan
berpikir pemikiran dunia Islam.Sekitar 2 abad yang lampau atau tepatnya
pada abad ke-12 hijriyah. Intinya, apa yang beliau lakukan adalah
menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid
dari syirik dengan segala manifestasinya.
Fenomena
umat yang dihadapi antara para imam madzhab dengan Muhammad bin Abdul
Wahhab sangat berbeda konteksnya. Di zaman para fuqaha madzhab, umat
Islam sedang mengalami masa awal dari kejayaan, peradaban Islam sedang
mengalami perluasan ke berbagai penjuru dunia. Sehingga dibutuhkan
sistem hukum yang sistematis dan bisa menjawab problematika hukum dan
fiqih.
Sementara
fenomena sosial umat di zaman Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat
berbeda. Saat itu umat Islam sedang mengalami masa kemundurannya.Salah
satu fenomenanya adalah munculnya banyak penyimpangan dalam praktek
ibadah, bahkan menjurus kepada bentuk syirik dan bid'ah. Banyak dari
umat Islam yang menjadikan kuburan sebagai tempat pemujaan dan meminta
kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan
takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib
seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam
kehidupan umat Islam. Itulah fenomena kemunduran umat saat di mana
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup saat itu. Maka beliau mengajak
dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini.
Berbeda
dengan para fuqaha fiqih di zaman awal yang mendirikan madrasah
keilmuan sera melahirkan jutaan judul kitab fiqih dan literatur, Syeikh
Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah melahirkan buku berjilid-jilid,
beliau hanya menulis beberapa risalah (makalah pendek) untuk menyadarkan
masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah Kitab At-Tauhid yang
hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibantu oleh penguasa, kemudian
melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat,
syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang
asli. Dalam prakteknya sehari-harinya, para pengikutnya lebih
mengedepankan aspek pelarangan untuk membangun bangunan di atas kuburan,
menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang
orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal,
tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang ber-tawassul dengan
menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya
syiekh fulan dan fulan.
Dakwah
beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah
membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku
akibat kemunduran dunia Islam.
B. Aliran Fiqih Pendukung Wahabi
Sebenarnya
kalau mau dirunut di atas, para pendukung gerakan wahab ini -suka atau
tidak suka- tidak bisa lepas dari sebuah metode penyimpulan hukum
tertentu. Dan secara umum, yang berkembang secara alamiyah di negeri
mereka adalah mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan nama-nama tokokh
ulama rujukan mereka, semuanya secara alamiyah bermazhab Hanbali.
a. Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
b. Ibnu Taimiyah (661-728 H)
c. Muhammad Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (6691-751H)
d. Muhammad bin Abdul Wahhab
Meski
banyak dari pendukung wahabi ini mengaku tidak terikat dengan mazhab
fiqih tertentu, namun tulisan, makalah, buku pelajaran serta fatwa-fatwa
ulama mereka, nyaris tidak bisa dipisahkan dari mazhab Al-Hanabilah.
C. Apakah Wahabi Anti Madzhab?
Memang
ada sebagian dari pendukung atau sosok yang ditokohkan oleh para
pendukung gerakanini yang secara tegas memisahkan diri dari mazhab mana
pun. Katakanlah salah satunya, Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah.
Beliau sejak muda telah mengobarkan semangat anti mazhab fiqih. Seolah
madzhab-madzhab fiqih itu lebih merupakan sebuah masalah ketimbang
solusi di mata beliau. Maka muncul perdebatan panjang antara beliau
dengan para ulama fiqih mazhab. Salah satunya perdebatan antara beliau
dengan Syeikh DR. Said Ramadhan Al-Buthy.
Para
ulama fiqih tentu tidak terima kalau dikatakan bahwa madzhab fiqih itu
merupakan bentuk kebodohan, kejumudan, taqlid serta suatu kemungkaran
yang harus diperangi.Sayangnya, sebagian dari murid-murid beliau
ikut-ikutan memerangi para ahli fiqih dengan berbagai literatur
madzhabnya dan hasil-hasil ijtihad para fuqaha'.. Padahal di sisi lain,
pendapat-pendapat Syeikh Al-Albani pun tetap merupakan ijtihad dan tidak
bisa lepas dari penafsiran dan pemahaman, meski tidak sampai berbentuk
sebuah madzhab.Yang sering dijadikan bahan kritik adalah beliau melarang
orang bertaqlid kepada suatu madzhab tertentu, namun beliau membiarkan
ketika orang-orang bertaqlid kepadadirinya .
Awalnya,
oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan
pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan
Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan
lainnya di benua India.
Namun
para penerusnya kelihatan lebih mengkhususkan diri kepada bentuk
penghancuran bid'ah-bid'ah yang ada di tengah umat Islam. Bahkan hal-hal
yang masih dianggap khilaf, termasuk yang dianggap seolah sudah bid'ah
yang harus diperangi.
BAB III
A. Perkembangan Faham Wahabi di Indonesia
Di
Indonesia ajaran Wahabi dibawa orang-orang muslim yang menunaikan
ibadah haji di Makkah, tercacat beberapa nama pembawa pengaruh Wahabisme
di Indonesia diantaranya Haji Miskin dari Luhak Agam, Haji Piobang dari
Luhak 50 kota, dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar. Ketiga tokoh
ini berasal dari kaum Paderi di Minangkabau menunaikan haji tahun 1803.
Pada masa-masa selanjutnya, sebagian faham Wahabi yang telah dikemas
oleh Syeikh Muhammad Abduh (golongan Wahabi Modern), melalui karya
tulisnya, Al-Urwah Al-Wuthqa Al-Manar, dll, telah diminati oleh banyak
pelajar-pelajar nusantara yang belajar di timur tengah, khususnya Mesir.
Gerakan reformasi yang dilakukan ajaran Wahabi juga melalui cara-cara
yang cukup ekstrim dan radikal. Beberpa aktifitas yang dipandang berbau
bi’ad, khurafat, dan sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang
ada di dalam Nash, yakni Alqur’an dan As-Sunnah yang harus disikat
habis.
Selain
melalui beberapa cara diatas, pada zaman sekarang ini banyak
kitab-kitab dan karangan Wahabi yang sudah diterjemah kedalam bahasa
Indonesia, sehingga mereka sangat mudah menyebarkan faham Wahabi.
Wahabisme memberi hadiah buku-buku gratis di Saudi Arabia bahkan di
Mesir juga demikian. Kejadian ini Penulis alami sendiri ketika masih di
Mesir dan Saudi Arabia bagaimana mereka menyebarkan melalui 'terjmahan'
buku-buku Wahabi. Sasaran mereka adalah jama'ah haji, sebagian, TKI
yang memang terbilang awam pengetahuan agama, bahkan dari mereka tidak
tahu menahu apa itu Wahabi, yang implikasinya ketika mereka sampai
Indonesia serasa mendapatkan ilmu baru setelah berhaji dan wajib
mengamalkannya. Jadi wajar jika radikalisme di Indonesia dedengkotnya
banyak yang bergelar 'haji'. Tentunya, ini karena pemahaman mereka yang
masih sempit dan jumud.
Jika
kita telisik lebih teliti, zaman dulu, ada beberapa organisasi yang
menganut paham Wahabisme di Indonesia antara lain : Jami’at Khair
(1901), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam /
Persis, Jami’iyyat Al Islah wal Irsyad Madrasah Salafiah di Indonesia,
kalau yang terbaru termasuk dalam golongan Wahabisme dalam pandangan
sebagian masyarakat adalah HTI, Ikhwan Muslimin Indonesia (IMI), dan
FPI. Bahkan sekarang Wahabi mulai merambah dan masuk dalam partai-partai
Islam.
B. Kritik Terhadap Wahabi
Sebagai
kelanjutan dari faham aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok
akidahnya dari al-quran dan hadits saja, pada tiap-tiap gerakan baru
yang disertai kekerasan, maka terhadap aliran faham Wahabi juga terdapat
beberapa kritikan.
Pertama-tama
ialah bahwa faham Wahabi tidak mengenal (tidak merewes) perasaan kaum
muslimin, sebab kaum muslimin dimana pun juga berbangga dengan dengan
kubur Nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya. Penelanjangan kuburan
Nabi dari hiasan-hiasan yang dapat menimbulkan perasaan puas pada waktu
menziarahinya, disamping pembongkaran kuburan sahabat-sahabatnya.
Kesemuanya cukup menimbulkan kebencian kaum muslimin terhadap faham
Wahabi, dimana keadaan tersebut kemudian disalahgunakan oleh
penulis-penulis Barat, untuk lebih mempertajam permusuhan dikalangan
umat islam .
Kritik
selanjutnya ialah bahwa faham Wahabi melalaikan kemajuan mental dan
pikiran di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan
ilmu pengetahuan dan perkembangan tekhnologi (Perkembangan zaman-red),
sedang ajaran Islam yang sebenarnya tidak menghalang-halangi untuk
selalu update ilmu pengetahuan dan bahkan menganjurkannya.
Kritik-kritik
tersebut tidak berarti mengurangi penghargaan terhadap pribadi Muhammad
Bin Abdul Wahhab yang berjuang untuk keagungan aqidah Islam dan
pembersihan dari noda-noda yang mengikari dan meliputi Islam. Beliau
sendiri juga hanya menyodorkan ajaran-ajarannya kepada orang untuk
ditaatinya, baik dengan paksa atau suka rela, tetapi dia juga mengutus
penganjur-penganjurnya untuk membincangkan ajaran-ajarannya itu, antara
lain ke Mesir apada tahun 1815 M, di mana ajaran ini kemudian
diperbincangkan bersama-sama dengan para ulama Al-Azhar dan perbincangan
itu berakhir dengan saling pengertian dari ulama-ulama tersebut bahkan
diantaranya, yaitu Syeikh Abdul Huda as-Sha'idi, mengatakan sebagai
berikut: " Kalau keadaan faham Wahabi seperti yang kami dengar dan kami
ketahui, maka kami adalah orang Wahabi" .
BAB IV
Penutup
Sebagai
kelompok yang mengaku seabagi penganut dakwah Salafus shaleh, jelas
Wahabiyah telah bergeser dari jalur yang semestinya. Konsentrasi
Wahabiyah lebih terpusat pada permasalahan furu'iyah, yang sudah menjadi
perdebatan sejak dulu. Namun sayangnya mereka menganggap ijtihad fiqh
yang mereka yakini kebenaranya sebagai hasil absolute yang tidak bisa
diganggu gugat, dan yang menolak dianggap bid'ah dan sesat.
Hal
ini terjadi karena dasar pemikiran Wahabiyah yang banyak berlandaskan
pada beberapa point berikut: Pertama, pembalikan skala prioritas pada
cara berpikir dan bertindak. Misalnya, mereka terlalu asyik dengan
permasalahan mukhtalaf fîh seperti ziarah kubur, maulid Nabi, dll.
Dengan keras mereka meneriakan slogan bid'ah pada hal-hal tersebut,
padahal sikap mereka itu berpotensi mengancam persatuan ummat. Kedua,
menutup pintu kebenaran dari pendapat orang lain, seolah yang benar
hanya kelompok mereka saja. Ketiga, terlalu mengagungkan tokoh-tokoh
kuncinya, seperti Ibnu Taimiyah, Abdullah bin Bazz, Syeikh Utsaimin,
dll. Terakhir, terlalu tekstualis, sehingga sering menyisihkan
pentingnya akal dan kerap alergi dengan hal-hal baru.
Yang
ingin penulis tegaskan disini adalah, bahwa memang kenyataannya banyak
pengikut Wahabi yang masih dangkal ilmu agamanya, mereka niatnya
mengamalkan ilmunya, akan tetapi salah merealisasikannya sehingga sangat
mudah untuk mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan pendapat
mereka. Disini lain, perlu penulis tegaskan bahwa memang banyak sekali
yang oleh siapapun, ilmu agamanya tinggi akan sependapat dengan para
pembesar-pembesar Wahabi(Mereka yang mengerti ilmu) kalau sudah melihat
kenyataan di lapangan, misalnya, pelaksaan ziarah kubur, tidak sedikit
para peziarah bukan meminta kepada Allah SWT, melainkan pada orang telah
meninggal, atau, di Mesir sebagian golongan mewajibkan Tawaf tujuh kali
seperti halnya di Ka'bah. Begitu juga dengan pelaksaan Tahlil, Maulid,
banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa ritual ini adalah 'wajib'
sehingga akan dengan bersusah payah untuk mencari pinjaman walau
pinjaman itu 'ber-bunga'. Atau mengadakan acara dengan hanya fokus acara
makan-makannya saja. Bahkan disuatu daerah, misalnya di Madura,
tepatnya di Pamekasan, kegiatan ritual semacam ini justru dimanfaatkan
oleh sebagian tokoh agama untuk mendapatkan banyak materi bukan tujuan
utamanya, yaitu mengingat perjuangan Rasul.
Beberapa
paparan di atas mengajak kita pada kesimpulan bahwa salafi-Wahabi
mengalami krisis metodologis, dan krisis fiqh prioritas. Kesimpulan ini
tentu tidak bisa digeneralisir begitu saja kepada semua Salafi-Wahabi,
karena ini sikap yang tidak ilmiah dan tidak adil. Tapi, kalau kita
mengamati buku-buku mereka yang beredar, juga milist atau website yang
mereka kelola, sedikit banyak kita akan sepakat dengan kesilmpulan di
atas.
Daftar Pustaka
Abbas, Sirojuddin, KH. I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah, jilid I, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, cet. I
Abu Muhammad Zahro' Tarikhul Madzahib, Al-Qahirah, Darul Fikri Al-'Araby. 2009,
Al-Salaman,
Prof. DR. Mohammad bin Abdulloh, Da’wah Syaikh Mohammad bin Abdul
Wahhab wa Atsaruha fil alam al-islamy, (maktabah al-Syamilah)
Al-Tuwaim,
DR. Nashir bin Abdulloh, Syaikh Mohammad bin Abdul Wahab, Hayatuh wa
Da’watuh fi Ru’yah al-Istisyroqiyah, (maktabah al-Syamilah)
Arifin,
Abdullah Syamsul KH. M.HI. 2008, Membongkar Kebohongan Buku "Mantan
Kiayi NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik", Surabaya, Khalista, cet.
I
Bin Bazz, Abdul Azizbin Abdulloh, Mohammad bin Abdul Wahab, Da’watuh wa Sirotuh, (maktaabh al-Syamilah).
Bakr, Ala’ DR. Muhadloroh fi Salafiyah, (Alexandria: al-Dar al-Salafiyah, 2006)
Mohammad, Imaroh,DR. Tayarot al-Fikri al-Islamy, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007)
Ghonam, Husain, Tarikh Najd, (tahqiq: Nasiruddin al-Asad) Jurnal Afkar, edisi XLII, 30 September – 15 Oktober 2007.
Khalid bin Abdullah bin Muhammad Mashlah, Syarah kitab Aqidatul Washitiyyah, (لشبكة الإسلامية).
Nasir, Sahilun, A. Prof. DR. KH. 2010, Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta, Kharisma Putra Utama Offset, cet, I
Assalamualaikum,
Bagus sekali ulasannya mengenai Wahabi di atas. Jadi kesimpulannya memang istilah Wahabi bukan kehendak pengikut Ibnu Abdul Wahab sendiri tetapi muncul dari luar, utamanya dari 'lawan' politik pengikut Ibnu Abdul Wahab (IAW). Maka dapat disimpulkan istilah Wahabi muncul karena kebencian. Memang IAW bukanlah manusia pilihan Allah seperti para Rasulullah maka tak heran kalau aktifitas dakwahnya ada yang kurang baik/tdk sesuai dg kultur kelompok tertentu. Sebagai muslim, kita hanya bisa mengambil hikmah dari perjuangan dakwah beliau yaitu tetap teguh berpegang pada tali Allah tanpa mengkafirkan mereka yang belum bisa teguh pegangannya, dan selalu berdoa agar saudara kita yang ahli bid'ah bisa sadar tanpa ada permusuhan diantara umat Islam. Intinya ambil yg baik, buang yg jelek dan tdk perlu ikut-ikutan menggunakan istilah Wahabi karena Wahab adalah salah satu asmaul husna yang wajib kita jaga kebaikannya.
Link : http://warkoplalar.blogspot.com/2012/04/wahhabi-adalah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar