Silaturahmi yang dikemas pada forum Majma’ Buhuts An-Nahdliyyah (MBN-Forum Kajian Ke-NU-an) membincang perkembangan gerakan-gerakan kontra-NKRI akibat pergolakan politik bersenjata di Timur Tengah.
Gerakan-gerakan yang terkadang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan asing ini muncul dan berkembang di Indonesia dan sangat mungkin menjadi bahaya laten. Repotnya seringkali gerakan-gerakan tersebut berkedok gerakan keagamaan dan menggunakan doktrin-doktrin keagamaan secara dangkal.
Diskusi ini terutama membahas tentang ancaman gerakan-gerakan tersebut kepada persatuan dan kesatuan bangsa indonesia, dan agenda yang diperlukan untuk meminimalisir gerakan-gerakan tersebut baik oleh negara maupun masyarakat.
Pembicara kunci di dalam diskusi tersebut adalah KH. Maemun Zubair (Musytasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Syeikh Rajab Dieb, Syeh Mahmud (Syria –Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah-), KH. Asad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU) dan forum pembahasan dipandu oleh KH. Yahya C. Staquf (Wakil Katib PBNU) dan DR. Abdul Ghofur Maemun (STAI AL-Anwar Sarang). Acara ini dihadiri oleh 234 Kyai dan pengurus NU dari wilayah Rembang, Pati, Blora, Tuban dan Bojonegara.
Para pembicara kunci menyepakati bahwa tanggung jawab para ulama sangat berat karena kerusakan-kerusakan yang terjadi di dunia salah satunya adalah akibat kebodohan manusia itu sendiri. Ulama, umara dan umat secara bersama-sama harus memberantas kebodohan. Sangat disayangkan jika ulama harus berjibaku sendirian melakukan penyadaran dan pendidikan masyarakat tapi umara dan umat masa bodoh. Demikian juga sebaliknya. Masing-masing pihak memiliki perannya sendiri-sendiri terutama di dalam mendidik dan mengajar masyarakat.
Salah satu yang harus disadarkan dan dididikkan terus menerus menurut KH. Maemun Zubair dan KH. Asad Said Ali adalah bahwasanya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan warganya haruslah berpegang teguh kepada PBNU yakni Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika-NKRI-UUD 1945 sebagai kesepakatan agung para pendiri Republik Indonesia. Artinya siapa pun yang menyelisihi kesepakatan agung para pendiri Republik Indonesia tidak boleh dan tidak berhak mengaku sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya tersebut. Baiat warga negara Indonesia harus diberikan kepada NKRI.
KH. Maemun Zubair mengajak kepada masyarakat luas untuk meniru warga Nahdlatul Ulama. Warga Nahdlatul Ulama memiliki keyakinan bahwa perbedaan adalah rahmat. Oleh karenanya perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia, sesama warga negara, sesama warga muslim dipahami oleh kaum nahdliyyin sebagai berkah. Perbedaan pandangan politik, perbedaan suku bangsa, perbedaan madzhab dan perbedaan agama adalah hal yang kaprah di dalam kehidupan di dunia. Perbedaan-perbedaan ini seharusnya menyemangati satu sama lain untuk saling mengenal dan memahami.
Lebih khusus KH. Asad Said Ali menyoroti tentang aturan perundangan di Indonesia. Beliau meyakini bahwa sebagai warga negara Indonesia yang taat hukum kaum nahdliyyin pasti akan mempertanyakan keberadaan hukum yang mengatur tentang kelompok-kelompok dan organisasi kemasyarakatan. Oleh karenanya beliau menjelaskan beberapa peraturan perundangan yang jelas-jelas menolak secara tegas kehadiran orang-orang atau kelompok yang tidak setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Forum pembahasan pada sesi berikutnya memberikan kesempatan kepada para peserta mendiskusikan masukan-masukan dari para narasumber yang kompeten ini. Beberapa kesimpulan dari forum pembahasan adalah:
Sangat penting bagi Negara untuk senantiasa hadir di dalam kehidupan masyarakat terutama di dalam penegakan hukum.
Ulama musti didorong untuk terus menerus melakukan pendidikan dan penyadaran masyarakat. Lebih jauh perlu dipikirkan tentang dukungan pemerintah kepada para ulama dan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang telah terbukti secara terus menerus mendidik masyarakat agar senantiasa cinta tanah air dan bangsa.
Tidak semua yang diketahui diucapkan, tidak semua yang diucapkan bisa diterapkan, tidak semua yang bisa diterapkan harus diterapkan pada saat itu juga. Mentalitas instan harus diminimalisir.
Integritas keindonesiaan mesti ditekankan sebagai aspek penting pendidikan sehingga setiap individu warga negara Indonesia memiliki penyaring untuk menyaring hal-hal yang berasal dari luar yang tidak sesuai dengan ke-Indonesia-annya.
KH. Muadz Thohir (Koordinator MBN) di dalam sambutan penutupannya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para Kyai dan Kader Nahdlatul Ulama yang lain. Hasil-hasil diskusi ini akan ditindaklanjuti dengan merekomendasikannya kepada pemerintah, Nahdlatul Ulama maupun masyarakat luas. (Red: Abdullah Alawi)
Sumber nu.or.id
Waspadai Transnasionalisme Politiko-Religius
Oleh : Prof. Azyumardi Azra
Waspada transnasionalisme politiko-religius. Berbicara pada sejumlah seminar atau forum publik dan saluran televisi tentang bahaya ISIS dan juga masa depan Indonesia setelah 69 tahun kemerdekaan, penulis Resonansi ini memandang pentingnya peningkatan kewaspadaan terhadap transnasionalisme politik-agama di Tanah Air.Transnasionalisme ISIS bukan hanya berbahaya dalam hal pandangan keagamaannya, sekaligus juga dalam praksisnya yang penuh kekerasan dan brutalisme yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang menekankan rahmat bagi semesta alam.
Transnasionalisme politik yang berbaur dengan agama jelas merupakan salah satu fenomena yang terus meningkat pada masa globalisasi. Hal ini sangat dimungkinkan komunikasi instan, baik melalui internet maupun televisi, sehingga gagasan dan praksis transnasionalisme segera menyebar ke seluruh pelosok dunia. Dengan watak melintasi batas-batas negara, wacana dan gerakan transnasional politik-agama tidak hanya mengacaukan kehidupan agama dan mengubah lanskap sosio-religius, tapi sekaligus mengancam eksistensi negara-bangsa.
Kemunculan gagasan dan transnasionalisme tidak unik di kalangan kaum Muslimin —meski mereka ini jelas berada di luar arus utama umat Islam secara keseluruhan. Di kalangan agama lain, Kristiani khususnya, yang bersama Islam merupakan agama yang perlu disampaikan kepada umat manusia (agama dakwah atau misionari), juga terdapat pemahaman dan praksis transnasionalisme.
Sama dengan sebagian gerakan transnasionalisme Islam yang memahami Alquran dan sejarah secara harfiah, juga terdapat denominasi Kristiani —khususnya di kalangan gereja Protestan Amerika Serikat yang berpegang ketat pada penafsiran literal atas Alkitab. Selain itu, denominasi Protestan Amerika ini sangat menekankan pada apa yang mereka sebut sebagai doktrin dan praktik agama yang murni. Karena itu, mereka cenderung menolak pemahaman dan praktik gereja mapan, yang dalam batas tertentu telah mengakomodasi budaya lokal.
Pemahaman semacam itu yang mulai bangkit sejak dasawarsa kedua abad ke-20 memunculkan pemahaman dan gerakan fundamentalisme Kristen. Denominasi fundementalisme Kristen bertahan di tengah sekularisme politik Amerika, dan bahkan mengalami kebangkitan sejak 1980-an. Ini ditandai dengan kian banyaknya kalangan ‘Young, Urban and Professional’ (Yuppies) yang menyatakan diri sebagai ‘born again Christians’ (lahir kembali sebagai orang Kristen).
Denominasi dan gereja fundamentalis Amerika bergerak agresif merekrut penganut aliran Kristiani dan agama lain. Di Indonesia mereka umumnya tidak mau bergabung dengan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) yang merupakan arus utama Kristen Protestan. Karena itu, jika muncul ekses dari agresivisme mereka dalam masyarakat Indonesia umumnya, pimpinan PGI menghadapi kesulitan untuk ‘menertibkan’ mereka.
Dengan agresivitasnya, denominasi Protestan fundamentalis Amerika berhasil mengubah lanskap keagamaan di Amerika Latin dan Amerika —menambah jumlah penganutnya secara signifikan. Belum begitu jelas seberapa banyak kalangan denominasi Kristiani lain (Katolik dan arus utama Kristen Protestan) Indonesia yang berpindah ke denominasi fundamentalisme Amerika. Tetapi, terdapat kegelisahan di kalangan kepemimpinan gereja arus utama pada penyusutan jumlah ‘gembalaan’ mereka, yang berpengaruh pada demografi dan lanskap keagamaan di Indonesia.
Penting dicatat, transnasionalisme gereja fundamentalisme Amerika lahir bukan dalam situasi politik yang kacau, anarkistis, dan perang. Sebaliknya, lahir dalam kondisi politik Amerika stabil, yang hanya ‘bergejolak’ dalam masa pemilu presiden ketika isu ‘pro-life’ (menolak aborsi) yang didukung kaum fundamentalis pada satu pihak berhadapan dengan warga yang ‘pro-choice’ yang menjadikan soal aborsi sebagai pilihan bebas —apakah mau melakukannya atau tidak melakukannya.
Dalam konteks Indonesia, agresivisme gereja fundamentalis Amerika agaknya tidak mengandung reperkusi dan dampak politik signifikan terhadap Indonesia. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa mereka masih merupakan kelompok kecil di tengah umat Kristiani Indonesia mainstream.
Sebaliknya, kelompok transnasionalisme semacam ISIS (IS) lahir dari kekacauan politik di dunia Arab, khususnya Suriah dan Irak. Karena itu, wacana dan praksis ISIS sangat kental bersifat politis; mendirikan apa yang mereka sebut sebagai ‘khilafah’ atau disamarkan dengan ‘daulah Islamiyah’. Memanfaatkan sektarianisme Suni-Syiah, ISIS melakukan kekerasan dan brutalisme dengan membunuh siapa saja yang mereka temui, apakah Suni yang menolak mereka, Syiah, Yazidi, maupun Kristen.
Alhamdulillah kaum Muslimin Indonesia arus utama sejak dari ormas seperti MUI, Muhammadiyah, NU, al-Khairat, dan banyak lagi di seluruh Tanah Air sampai umat di tingkat akar rumput secara tegas menolak ISIS. Semua penolakan itu berdasarkan hujjah keislaman dan keindonesiaan.
Spanduk-spanduk yang menyatakan ‘tidak ada tempat bagi ISIS’ di lingkungan masing-masing bertebaran di mana-mana. Kewaspadaan seperti inilah yang perlu dipertahankan hari ini dan ke depan demi kemajuan Islam washatiyyah yang distingtif Indonesia.
Sumber Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar