“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang
kita sepakati dan kita saling bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita
sepakati.” –Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasaail.
Musibah terbesar yang menimpa kaum
Muslimin adalah perpecahan dan perbedaan. Apa yang membuat kaum Muslimin
bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak
akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik
generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting
setiap muslim menyikapi perbedaan.
Menyikapi Perbedaan dan perbedaan itu
sendiri dalam berbagai masalah furu’ (masalah cabang) merupakan sesuatu
yang niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah
tersebut, karena beberapa alasan sebagai berikut:
• Perbedaan kapasitas intelektual dalam
memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil
keputusan hukum. Menyadari hal ini, maka menyikapi perbedaan adalah hal
yang sangat penting dan wajib.
• Perbedaan keluasan ilmu para ulama.
Imam Malik berkata kepada Abu Ja’far, “Sesungguhnya para sahabat
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi berbagai
kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin
menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya itu hanya akan
menimbulkan fitnah.” Inilah sebijak bijaknya menyikapi perbedaan pada
zaman keemasan Islam yang pernah dicontohkan oleh Salafus Salih.
• Perbedaan lingkungan yang antara lain
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah
sebabnya Imam Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Iraq
kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau berada di
Mesir. Ini adalah bukti konkrit seorang Imam dalam menyikapi Perbedaan
ijtihad.
• Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.
• Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.
Mengharapkan adanya ijma’ dalam masalah furu’ adalah mustahil. Bahkan
bertentangan dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena
Allah menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua
zaman. Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh
Allah sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.
Islam memberikan peluang Ibadah dengan menyikapi Perbedaan dengan bijak.
Perbedaan-perbedaan itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati,
saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan.
Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kita dalam
batasan-batasannya yang begitu luas. Tergantung bagaimana kebijakan kita
dalam menyikapi perbedaan.
Bukankah sebagai Muslim kita suka
bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita
dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri
kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita
tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para
sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi
adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak. Para
Sahabat juga sebagai contoh bagaimana hendaknya menyikapi perbedaan
pendapat.
Jika para sahabat saja—yang lebih dekat
dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk beluk hukum—masih
juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling membunuh untuk suatu
perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para Imam saja, yang lebih
tahu tentang Al-Qur’an dan Sunah, masih saling berbeda dan berdebat,
mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam mensikapi perbedaan?
Masihkah kita menyikapi perbedaan yang berkembang itu dengan keras
kepala dan hati?
Kesadaran itulah yang akan membuat dada
kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum
memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya
dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan
berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara
persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik,
dan itu pula yang kita harapkan. Sehingga kita kan menyikapi perbedaan
itu dengan hati dan kepala yang dingin.
Adapun jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita
anggap sebagai saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan
hidayah kepada kita semua. beginilah seharusnya sikap kita dalam
menyikapi perbedaan yang dianggap sebagian orang sebagai kesesatan dan
fitnah.
Kita akan menerima adanya perbedaan dan
membenci sikap fanatisme terhadap pendapat sendiri. Kita senantiasa
berusaha menemukan kebenaran, kemudian membawa masyarakat kepada
kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap yang lemah-lembut.
Menyikapi perbedaan pendapat dengan bijak dan santun akan mempersempit
gerak perbedaan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar