Selasa, 26 Agustus 2014

Menyikapi Perbedaan

 
“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” –Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasaail.
Musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah perpecahan dan perbedaan. Apa yang membuat kaum Muslimin bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting setiap muslim menyikapi perbedaan.
Menyikapi Perbedaan dan perbedaan itu sendiri dalam berbagai masalah furu’ (masalah cabang) merupakan sesuatu yang niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut, karena beberapa alasan sebagai berikut:
• Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan hukum. Menyadari hal ini, maka menyikapi perbedaan adalah hal yang sangat penting dan wajib.
• Perbedaan keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja’far, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah.” Inilah sebijak bijaknya menyikapi perbedaan pada zaman keemasan Islam yang pernah dicontohkan oleh Salafus Salih.
• Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau berada di Mesir. Ini adalah bukti konkrit seorang Imam dalam menyikapi Perbedaan ijtihad.
• Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.
• Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.
Mengharapkan adanya ijma’ dalam masalah furu’ adalah mustahil. Bahkan bertentangan dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman. Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme. Islam memberikan peluang Ibadah dengan menyikapi Perbedaan dengan bijak.
Perbedaan-perbedaan itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu luas. Tergantung bagaimana kebijakan kita dalam menyikapi perbedaan.
Bukankah sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak. Para Sahabat juga sebagai contoh bagaimana hendaknya menyikapi perbedaan pendapat.

Jika para sahabat saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur’an dan Sunah, masih saling berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam mensikapi perbedaan? Masihkah kita menyikapi perbedaan yang berkembang itu dengan keras kepala dan hati?
Kesadaran itulah yang akan membuat dada kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik, dan itu pula yang kita harapkan. Sehingga kita kan menyikapi perbedaan itu dengan hati dan kepala yang dingin.
Adapun jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua. beginilah seharusnya sikap kita dalam menyikapi perbedaan yang dianggap sebagian orang sebagai kesesatan dan fitnah.
Kita akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap yang lemah-lembut. Menyikapi perbedaan pendapat dengan bijak dan santun akan mempersempit gerak perbedaan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar