A. Puasa Pra Islam
1. Puasa Umat Terdahulu
Dalam kitab suci al-qur’an telah dijelaskan bahwa kewajiban untuk mengerjakan puasajuga telah disyari’atkan bagi umat-umat para nabi terdahulu sebelum diwajibkan bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh : 183)
Syekh Thonthowi dalam kitab Tafsir Al-Wasith menjelaskan bahwa penyerupaan pada ayat tersebut adalah penyerupaan dalam hal kewajiban mengerjakan puasa, maksudnya kewajiban mengerjakan puasa juga telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu, hanya saja puasa mereka dikerjakan dengan cara yang hanya diketahui oleh Allah, sebab tidak ditemukan dalil yang nash (penjelasan) dari Rasulullah tentang tata cara puasa mereka.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa penyerupaan pada ayat diatas juga dalam hal tata cara berpuasanya, artinya puasa romadhon juga diwajibkan bagi umat-umat terdahulu, namun pendapat ini tak memiliki dasar, karena itulah Qodhi Abu Bakar bin ‘Arobi secara tegas menyatakan; “Hal yang pasti adalah bahwa penyerupaan tersebut dalam hal kewajibannya saja, dan adanya beberapa pendapat yang berbeda (mengenai cara puasanya)itu hanyalah berdasarkan kemungkinan semata (mujarrodu ihtimal).
Salah satu bukti yang menguatkan pendapat bahwa penyerupaan ini hanyalah dalam hal kewajibannya saja adalah bahwa kata “كَمَا” (seperti halnya) pada ayat tersebut posisinya dibaca nashob sebagai masdar, ini berarti bahwa jika dinampakkan dalam bentuk kata susunan katanya akan menjadi “فرض عليكم الصيام فرضا كالذي فرض على الذين من قبلكم” (Diwajibkan puasa bagi kalian sebagaimana diwajibkan puasa bagiu orang-orang sebelum kalian).
Lalu, apa tujuan dari penyerupaan seperti itu? para ulama’ menjelaskan bahwa diantara manfaat dari penyerupaan tersebut adalah agar ibadah puasa lebih ringan dikerjakan oleh kaum muslimin, sebab sesuatu yang berat akan terasa ringan dikerjakan oleh manusi saat mereka tahu bahwa orang-orang sebelum mereka juga telah lebih mengerjakannya sebelum mereka.
2. Puasa Pada zaman jahiliyah
Puasa juga telah dikenal dan dikerjakan oleh masyarakat mekah pada saat belum diwajibkannya puasa romadhon bagi kaum muslimin, pada masa jahiliyah penduduk Mekah telah mengerjakan puasa asyuro’ (10 Muharrom), sebagaimana dikisahkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengisahkan;
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ، فِي الجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ،
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ
صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ لاَ يَصُومُهُ»
“Hari Asyuro’ merupakan hari dimana orang quraisy mengerjakan puasa pada masa jahiliyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengerjakan puasa tersebut, ketika beliau berhijrah ke Madinah beliau juga mengejakan puasa tersebut dan memerintahkan untuk mengerjakan puasa asyuro’. Ketika turun perintah untuk mengerjakan puasa romadhon, puasa tersebut boleh dikerjakan dan juga boleh tidak dikerjakan.” (Shahih Bukhari, no. 3831)
B. Puasa Pada Masa Islam
1. Puasa ayyamul bidh dan Puasa Asyuro’ .
Sebelum turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad yang memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan puasa romadhon, puasa yang pertama kali disyari’atkan dalam islam adalah puasa ayyamul bidh (13, 14 & 15 tiap bulan) dan puasa Asyuro’. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan;
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ،
وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ، وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا
عِنْدَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengerjakan puasa hari asyuro’ dan mendorong kami untuk mengerjakannya, dan mengamati kami (apakah kami mengerjakan puasa asyuro’ atau tidak). Ketika telah diwajibkan puasa bulan romadhon, beliau tak lagi memerintahkan kami (mengerjakan puasa ayuro’), namun beliau juga tidak melarang kami mengerjakannya, begitu juga beliau tak lagi mengamati kami.” (Shahih Muslim, 1128)
Sedangkan tambahan puasa ayyamul bidh dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau mengisahkan;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ،
وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ}
“Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan puasa 3 hari pada setiap bulan, selain itu beliau juga mengerjakan puasa asyuro’. Kemudian Allah menurunkan wahyu:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Diwajibkan bagi kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh : 183) (Sunan Abu Dawud, no.507)
2. Keringan Bagi Orang Yang Mampu Berpuasa
Wahyu yang yang memerintahkan untuk mengerjakan puasa bulan romadhon diturunkan kepada nabi Muhammadpada bulan Sya’ban tahun 2 hijriyah. Ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk puasa pada bulan romadhon pada mulanya masih ada keringanan bagi orang-orang yang mampu berpuasa, mereka bisa memilih antara mengerjakan puasa atau membayar fidyah yang diberikan kepada orang-orang miskin yang berpuasa jika tidak berpuasa.
Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqoroh : 184)
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan;
نَزَلَ رَمَضَانُ فَشَقَّ عَلَيْهِمْ،
فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا تَرَكَ الصَّوْمَ مِمَّنْ
يُطِيقُهُ، وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ
“Saat turun kewajiban puasa romadhon, hal tersebut dirasa berat bagi mereka, karena itu (pada mulanya) orang yang mampu mengerjakkannya, namun tidak berpuasa memberi makan setiap hari kepada orang miskin ketika ia meninggalkan puasa, hal tersebut merupakan keringanan bagi mereka. (Shahih Bukhari, 3/34)
3. Semua orang yang mampu berpuasa pada bulan romadhon, diwajibkan mengerjakan puasa sebulan penuh.
Setelah pada mulanya orang-orang yang mampu berpuasa boleh memilih antara mengerjakan puasa atau membayar fidyah ketika mereka tidak mengerjakan puasa, selanjutnya turun wahyu yang memerintahkan untuk mengerjakan puasa bagi semua orang yang mampu mengerjakannya, dan tak ada lagi pilihan lain.
Imam Muslim meriwayatkan satu hadits dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan;
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} كَانَ مَنْ
أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي
بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Ketika turun ayat ini:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) ‘ (Qs.?Al Baqarah: 184).)
orang yang hendak berbuka dan membayar fidyah maka boleh ia melakukannya, hingga turunlah ayat yang setelahnya dan menghapus hukum ayat tersebut.” (Shahih Muslim, no.1145)
Ayat yang menash (menghapus hukum) kebolehan tidak berpuasa bagi orang yang mampu dan menggantinya dengan membayar fidyah adalah firman Allah;
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqoroh : 185)
Setelah turun ayat tersebut semua orang yang mampu berpuasa, wajib mengerjakan puasa romadhon sebulan penuh.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Al-Qur’anul Karim
2. Tafsir Al-Wasith, Syekh Thonthowi
3. Shahih Bukhari
4. Shahih Muslim, tahqiq Fu’ad Abdul Baqi.
5. Sunan Abu Dawud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar