PERTANYAAN
> Syafeq Alvin
Mau nanyak nih... Bolehkah menunda waktu sholat Karena keasyikan membaca sholawat???
JAWABAN
> Mas Hamzah
Boleh, walaupun tanpa udzur. Ta'bir kitab roudhoh imam nawawi.
تجب الصلاة بأول الوقت وجوبا موسعا ، بمعنى أنه لا يأثم بتأخيرها إلى آخره .
فلو أخرها من غير عذر ، فمات في أثناء الوقت ، لم يأثم بتأخيرها على الأصح
، بخلاف الحج .
jika akan menunda waktu sholat dari awal waktu maka diwajibkan azam terlebih dahulu .
ta'bir kitab nihayatuz zain mbah nawawi
لَكِن إِذا أَرَادَ تَأْخِير فعلهَا عَن أول الْوَقْت لزم الْعَزْم على
فعلهَا فِي الْوَقْت على الْأَصَح فَإِن أَخّرهَا عَن أول وَقتهَا مَعَ
الْعَزْم على ذَلِك وَمَات فِي أثْنَاء الْوَقْت قبل فعلهَا لم يكن عَاصِيا
بِخِلَاف مَا إِذا لم يعزم الْعَزْم الْمَذْكُور فَإِنَّهُ إِذا مَاتَ فِي
أثْنَاء الْوَقْت قبل فعلهَا كَانَ عَاصِيا
> Ical RIzaldysantrialit
Ketahuilah, bahwa shalat wajib di awal waktu, wajib yang leluasa,
artinya boleh menunda shalat dari awal waktu sampai akhir waktu, yang
memang cukup waktu untuk melaksanakannya, ini dengan syarat berniat
‘azam (direncanakan) akan shalat di waktu tersebut. Jika dalam waktu
hanya melakukan satu raka’at, tidak dibawah satu raka’at, maka semua
raka’at termasuk melakukan tunai, sedang jika tidak termasuk qodlo.
Seseorang berdosa, jika menunda shalat sampai melakukan shalat melewati
batas waktu, meskipun dalam waktu dapat melakukan satu raka’at. Betul
demikian, jika mau melakukan shalat selain jum’at lalu masih tersisa
waktu melakukan shalat, baginya boleh tanpa makruh, memperpanjang bacaan
dan dzikir shalat, sampai melewati batas waktu shalat, meskipun tidak
satu raka’at-pun masuk dalam waktu, ini menurut pendapat kuat.
Sebaliknya jika tidak tersisa cukup waktu atau shalatnya shalat jum’at
maka tidak boleh memperpanjang bacaan dan dzikir. Dan juga tidak
disunnahkan mempersingkat rukun-rukun shalat karena untuk mengejar semua
raka’at shalat dalam waktu
Referensi
Fathul mu'in
وَاعْلَمْ أَنَّ الصَّلاَةَ تَجِبُ بِأَوَّلِ الوَقْتِ وُجُوْباً مُوَسَعاً
فَلَهُ التَّأْخِيْرُ عَنْ أَوَّلِهِ إِلىَ وَقْتٍ يَسَعُهاَ بِشَرْطِ
أَنْ يَعْزَمَ عَلَى فَعْلِهاَ فِيْهِ , وَلَوْ أَدْرَكَ فيِ الوَقْتِ
رَكْعَةً لاَ دُوْنَهاَ فاَلكُلُّ أَدَاءً وَإِلاَّ فَقَضَاءً
وَيَأْثِمُ بِإِخْرَاجِ بَعْضِهاَ عَنِ الوَقْتِ وَإِنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً
نَعَمْ لَوْ شَرَعَ فيِ غَيْرِ الجُمْعَةِ وَقَدْ بَقِيَ ماَ يَسَعُهاَ
جاَزَ لَهُ بِلاَ كَرَاهَةٍ أَنْ يَطَوِّْلُهاَ بِالقِرَاءَةِ أَوْ
الذِّكْرِ حَتَّى يَخْرُجَ الوَقْتُ وَإِنْ لَمْ يُوَقِعُ مِنْهاَ رَكْعَةً
فِيْهِ عَلَى المُعْتَمَدِ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الوَقْتِ ماَ
يَسَعُهاَ أَوْ كاَنَتْ جُمْعَةً لَمْ يَجُزْ المَدُّ وَلاَ يُسَنُّ
الاِقْتِصاَرُ عَلَى أَرْكاَنِ الصَّلاَةِ ِلإِدْرَاكِ كَلِّهاَ فيِ
الوَقْتِ
========
Firman Allah SWT
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النساء : 103)
“… Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. Annisa’ : 103).
Kalimat Kitaban Mauquta (كتابا موقوتا ; shalat fardhu yang ditentukan
waktunya) menurut ahli ushul adalah dari sejak awal jatuhnya waktu
shalat fardhu sampai kepada akhir dari batas waktu shalat fardhu
tersebut.
Sebagaimana ulama ushul menjabarkan tentang waktu kewajiban dalam
pelaksanaan shalat fardhu apakah wajib segera atau kewajiban tersebut
memiliki waktu yang luas. Sebagaimana kaidah dibawah ini :
“أن الأمر هل يقتضي الفعل على الفور أم لا
” (ص : 15-16 , اللمع في أصول الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي الشافعي , المتوفى 476هـ)
“Apakah perintah (jatuhnya kewajiban waktu/zaman shalat fardhu) itu segera ditunaikan atau tidak”.
Dalam melaksanakan shalat fardhu baik berjamaah ataupun sendirian dari
segi waktu dapat digolongkan kepada beberapa waktu yang sunnah, makruh
dan waktu yang haram.
Sebagai contoh, jika shalat zuhur di Jakarta jatuh waktunya jam 12,00
dan habis waktunya jam 03.00. Maka jatuh hukum sunnah muakkad atau wajib
‘ainnya antara jam 12 s.d jam 2.30. antara jam 2.30 s.d jam 2.45 jatuh
hukumnya makruh. Jika melaksanakannya pada pukul 2.45 sampai jam 03.00
atau sudah masuk waktu shalat fardhu ‘Asyar maka hukumnya adalah
“Haram”.
Namun shalat yang luput tersebut tetap wajib dilaksanakan. Inilah yang
dikatakan (wujub Almuwassa’; kewajiban yang waktunya luas) artinya
kewajiban atau sunnah muakkad itu terhitung dari awal waktu azan sebagai
tanda jatuhnya kewajiban shalat fardhu sampai kepada berakhirnya waktu
yang dimakruhkan atau waktu yang diharamkan. Ini juga yang dikatakan
oleh Ibnu Qudamah yang menyebutkan di dalam kitab Mughni Assyarhul Kabir
bahwa waktu-waktu shalat itu dibagi kepada waktu Fadhilah, waktu Jawaj,
dan waktu Dharurah
(lihat halaman 522 Juz pertama cetakan Dar Alhadis Cairo Mesir)
Begitulah dengan waktu shalat fardhu lainnya terkecuali shalat Maghrib
waktunya sangat terbatas, sepakat jumhur ulama tidak boleh menundanya,
jika ditunda tanpa udzur syar’i hukumya makruh dan bisa jatuh Haram jika
luput sampai masuk kepada waktu salat fardhu ‘Isya. Jumhur ulama yang
memaknai tentang Alwaqtu Muwassa’ (waktu keluasan dalam melakukan shalat
baik sendirian atau berjamaah) sebagaimana kaidah di bawah ini yang
menyebutkan :
“… وجوب الفعل في أول الوقت وجوبا موسعا ..” (ص : 15-16 , اللمع في أصول
الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي
الشافعي , المتوفى 476هـ)
“Kewajiban melakukan (perintah) diawal waktu (shalat) itu adalah kewajiban yang memiliki tenggang waktu yang luas”.
Artinya masa antara waktu shalat fardhu yang satu kepada fardhu yang
lainnya adalah diperbolehkan didalamnya melakukan shalat baik berjamaah
ataupun sendirian. Namun kaidah ini bukan berarti untuk
meringan-ringankan atau untuk menunda-nunda waktu shalat. Dari kaidah
ini diperbolehkannya jika kita berada dalam kondisi sedang
mengikuti/memimpin majelis Ta’lim/acara yang belum selesai, maka
diperbolehkan untuk menunda shalat berjamaah.
Menunda bukan berarti meninggalkan berjamaah. Menunda bukan berarti
luput sampai kepada waktu fardhu berikutnya. Penundaan ini bukan
termasuk udzur syar’I, penundaan ini adalah penundaan yang bersifat
mubah/boleh artinya kita boleh mengambil atau menggunakan dari jarak
waktu-waktu shalat fardhu yang telah ditentukan batasan-batasannya
tersebut.
Pembahasan tentang waktu muwassa’ (waktu yang luas) dan alwaqat
Mudhayya’ (waktu yang sempit) dalam melaksanakan shalat fardhu berjamaah
atau sendirian dapat dilihat secara luas didalam kitab : Alluma’ Fi
Ushulil Fiqh oleh Imam Assairazi, Alminhaj Ma’a Syarah Alisnawi wa
Albadakhsyi, Almughni As-Syarhulkabir Ibu Qudamah, dll.
Sedangkan waktu untuk shalat ‘Isya ada keutamaan tersendiri diantara
shalat lima waktu lainnya. Shalat ‘Isya jika diakhirkan waktunya dapat
membawa kebaikan seperti jemaah yang banyak, atau dapat melakukan
qiyamullail maka waktu shalat ‘Isya itu lebih utama (mustahabbah/sunnah)
di akhirkan ketimbang di awal waktu. Sebagaimana Rasulullah Saw
bersabda :
وقول النبي صلى الله عليه وسلم : لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم أن يؤخروا
العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه (أخرجه أبو داود و الترمذي و النسائي و أحمد و
الحاكم ) .
Rasulullah Saw bersabda: “Jikakalaulah tidak memberatkan kepada umatku
akan aku perintahkan mereka mengakhirkan shalat ‘Isya sampai kepada
sepertiga malam atau seperdua malam “
(HR. Abu Dawud, Atturmudzi, Annasa’I, Ahmad, Alhakim ).
Keterangan Hadis ini dapat dilihat di dalam kitab Syarhulkabir Mughni Almuhtaj oleh Ibnu Qudamah (hal 530 – 531 Juz 1)
Hadis di atas menunjukkan sunnah hukumnya mengakhirkan waktu shalat
‘Isya jika membawa kemaslahatan atau ingin mencari fadhilah dari
qiyamullail. Namun jika dikhawatirkan shalat ‘Isyanya kelewatan, maka
shalat ‘Isya di awal waktu itu tetap lebih baik.
Kesimpulan
Shalat diawal waktu itu adalah lebih baik agar kita tidak mudah lalai
atau terjerumus dari sifat kemalasan yang menyebabkan menjadi orang yang
pemalas. Namun jangan sampai kewajiban shalat dan waktu-waktu maupun
batasan-batasannya yang telah ditentukan oleh syar’i baik dari segi
kemudahan dan keutamaannya jangan sampai menyebabkan kita terjebak
kepada pemikiran yang kaku dan saklek. Kita sering terjebak dengan
pemahaman yang keras sehingga sifat Tasyaddud; keras tersebut justru
malah memenjarakan diri kita sendiri. Allah dan Rasulnya sangat murka
kepada umatnya yang begitu terlalu keras atau saklek dalam memahami dan
menjalankan agamanya. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : من شق على أمتي شق الله عليه (أخرجه مسلم)
“Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang memecah belah (memberatkan) umatku,
Allah Swt akan memecah belahnya (memberatkannya di dunia dan di
akhirat)” (HR. Muslim).
Wallahua’lam
LINK ASAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar