Sejarah al hadits sejak awal kemunculannya hingga waktu-waktu berikutnya mengalami periodisasi dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Periode pertama adalah pelarangan menulis hadits. Periode ini dimulai sejak bi’tsah (kenabian Rasulullah saw) yaitu ketika Al Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad saw, kemudian beliau wafat, dan berlangsung hingga zaman khulafaur rasyidin. Pada masa Rasulullah saw masih hidup atau selama wahyu masih turun, para sahabat mencurahkan perhatiannya untuk mengabadikan ayat-ayat Al Qur’an pada alat-alat tulis sederhana yang ada pada saat itu. Di zaman tersebut seluruh sahabat tercurah perhatiannya kepada Al Qur’an yang mana ayat-ayat atau surat Al Qur’an masih turun, sehingga jika hadits-hadits dituliskan, sangat dikhawatirkan pada perkembangan berikutnya Al Qur’an akan tercampur penulisannya dengan as sunnah. Hal ini bisa terjadi karena ada kemungkinan anggapan bahwa segala kata-kata Nabi saw adalah wahyu dari Allah SWT. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (zaman ketika wahyu masih turun) tersebut. Pada saat itu Nabi saw mewanti-wanti agar para sahabat tidak menulis hadits kecuali atas izinnya.
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al Qur’an. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al Qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka. “ (HR Muslim)[1]
Maka hadits-hadits Nabi saw kala itu hanya boleh diriwayatkan dengan lisan saja, untuk menghindari kemungkinan salah tulis antara wahyu Allah swt. dengan Al Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al Qur’an, sehingga tercampur aduk antara keduanya.
Namun pada periode ini ada perkecualian bagi para sahabat yang memiliki kemampuan khusus dalam hal tulis menulis. Di kalangan sahabat tidak banyak yang diizinkan menulis hadits-hadits Nabi saw. Di antara mereka adalah Abdullah bin Amr bin Ash ra, ia adalah salah seorang penulis yang baik, sehingga mendapat izin untuk menulis hadits-hadits yang pernah didengarnya. Walaupun suatu saat ia pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy akan aktivitasnya tersebut. Mereka menegurnya dengan alasan bahwa Nabi saw adalah manusia biasa yang suatu saat beliau berbicara dalam keadaan suka atau duka. Maka ia pun segera konfirmasi ke Nabi saw akan hal itu, dan dijawab oleh beliau, “Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar daripada-Nya selain haq”.[2] Naskah hadits tulisan Abdullah bin Amr tersebut kemudian dinamai Ash Shahifah Ash Shadiqah yang konon memuat seribu hadits yang dihafal dan dijaga oleh keluarganya.
Kemudian sahabat Jabir bin Abdullah Al Anshari, yang naskah haditsnya dinamai Shahifah Jabir.
Berikutnya izin memiliki tulisan hadits diberikan kepada Abu Syah dari Yaman karena ia memintanya secara langsung kepada Nabi Muhammad saw. tatkala beliau sedang berpidato di hadapan banyak manusia, serta dirinya kurang kuat hafalannya. Saat itu Abu Syah menyela, “Ya, Rasulullah, tuliskan untukku!” Jawab beliau, “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya!”. Maka setelah itu Abu Syah memiliki naskah hadits.
Meriwayatkan hadits di periode larangan penulisan hadits ini ada yang hanya dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan haditst tersebut. Hal ini terjadi karena masalah daya ingat mereka yang terbatas, disamping mereka hanya mementingkan isinya saja. Ada juga yang meriwayatkan hadits dengan lafadz asli dari Nabi Muhammad saw.
Dalam perihal pelarangan dan pembolehan menuliskan hadits ini memang pernah menjadi polemik di kalangan para peneliti hadits di zaman setelah generasi salafus shaleh tersebut berlalu. Namun jika diambil kesimpulan, pelarangan penulisan hadits itu diduga ada beberapa kemungkinan:
Karena orang Arab tidak banyak yang pandai membaca dan menulis, mereka terbiasa mengandalkan kekuatan hafalannya terhadap segala hal yang ingin dihafalnya. Sehingga menghafal Al Qur’an yang turun secara berangsur-angsur itu adalah lebih mudah bagi mereka dari pada harus terus menerus mengamati perilaku Nabi saw setiap saat.
Jika sunnah atau hadits ditulis, maka dikhawatirkan akan tercampur dengan Al Qur’an secara tidak sengaja. Inilah tampaknya alasan terkuat dalam larangan penulisan terhadap hadits Nabi saw.
Jika sunnah atau hadits ditulis apalagi menyerupai mushaf Al Qur’an pada zaman tersebut, maka dikhawatirkan akan melalaikan perhatian mereka terhadap Al Qur’an yang merupakan sumber hukum utama. Sedangkan perhatian sahabat untuk menulis dan menyimpan Al Qur’an di dalam hati mereka cukup menyita perhatian dan menyita waktu-waktu mereka.
Menyusun sunnah atau hadits yang didapat dari aktivitas Nabi saw sehari-hari, ke dalam susunan tematik (baca: menurut keadaan dan kebutuhan) merupakan pekerjaan berat dan sukar. Sebab untuk hal tersebut dibutuhkan sahabat yang senantiasa terus-menerus membersamai Nabi saw untuk menulis segala hal perbuatan dan ucapan Nabi saw amatlah sedikit.
Bahwa larangan tersebut terjadi pada awal perkembangan Islam untuk memelihara agar hadits tidak tercampur dengan Al Qur’an. Namun setelah jumlah kaum Muslimin semakin banyak dan telah mengenal Al Qur’an, maka larangan tersebut telah dihapuskan, sehingga diperbolehkan menulis hadits pada masa tersebut.
Larangan tersebut bersifat umum, sedang izin hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki keahlian tulis menulis seperti Abdullah bin Amr bin Ash, sehingga hadits akan terjaga dari kekeliruan penulisan dan tidak khawatir akan salah.
Larangan tersebut ditujukan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, maka izin diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah. Pada masa-masa akhir hayat beliau ada perubahan kebijakan dengan mengizinkan para sahabatnya menulis hadits-hadits beliau. Bahkan tatkala beliau menghadapi sakit berat meminta dituliskan pesan-pesan beliau untuk menjadi pegangan umat. Namun saat itu karena beratnya sakit yang beliau tanggung, Umar ra mencegah para sahabat untuk menulis pesan-pesan beliau, karena khawatir akan menambah berat derita Nabi saw.
———————————————————————————————
[1] Ini adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh lebih dari 70 sahabat, seperti disebutkan Imam Suyuthi, dalam Tahdzir al Khawash min Akadzib al Qushshos.
[2] HR Abu Daud dengan sanad yang shahih
ASAL MULA MUNCULNYA ISTILAH HADITS, KHABAR DAN SUNNAH
27 Agu Hadits memiliki arti berita/kabar dan kisah, baik yang baru terjadi ataupun yang telah lama berlalu. Istilah ini sebenarnya memiliki dinamika mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, komunikasi sosial dan budaya umat Islam. Hadits atau sunnah yang merupakan hukum kedua umat Islam, senantiasa menjadi bahan pembicaraan dan pengkajian
Pada mulanya istilah hadits atau khabar (kabar) pernah dilontarkan oleh Abu Hurairah tatkala berkata kepada kaum Anshar, “Apakah kalian berkehendak supaya aku ceritakan kepada kalian suatu hadits, atau berita-berita (khabar) kejadian di masa Jahiliyah?” Kemudian setelah itu umat Islam mempopulerkan istilah hadits atau khabar (berita/kabar).
Seiring dengan perkembangan waktu dan zaman, pemakaian lafadz ini pun berkembang, untuk istilah khabar adalah bagi berita-berita yang terjadi dalam masyarakat.
Berikutnya Ibnu Mas’ud juga pernah melontarkan istilah hadits tatkala berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik hadits ialah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw”. Di sini Ibnu Mas’ud mensifatkan Al Qur’an dengan sebaik-baik hadits.
Selain itu, istilah hadits juga telah disampaikan oleh Nabi saw tatkala Abu Hurairah pernah bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari Kiamat?” Maka jawab Nabi saw, “Aku telah menyangka hai Abu Hurairah bahwa tak ada seorang pun yang bertanya kepadaku tentang hadits ini yang lebih dahulu daripada engkau, karena aku lihat bahwasanya engkau sangat antusias kepada hadits.”[1]
Demikian seterusnya hingga pada akhirnya ada semacam kesepakatan umum bahwa pengunaan lafadz hadits hanya untuk Nabi saw saja.
Ada pun untuk lafadz sunnah pada asalnya berbeda dengan hadits. Telah kita ketahui bahwa hadits adalah segala yang diberitakan dari Nabi saw. Sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh kaum muslimin sejak dahulu, baik diberitakan ataupun tidak. Istilah tersebut disepakati karena lafadz sunnah yang telah berkembang dalam masyarakat Arab sejak dahulu memiliki pengertian “jalan yang ditempuh seseorang dalam kehidupan masyarakat”.
Sebagaimana Nabi saw menggunakan istilah sunnah ini di dalam sabdanya, “Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan (sunnah) orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta“.[2]
Makna ini telah berkembang di abad-abad permulaan dalam madrasah-madrasah Hijaz dan Irak. Kala itu sunnah diartikan dengan perbuatan yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw.
Namun berikutnya pada akhir abad dua Hijrah, makna sunnah dikhususkan hanya untuk Nabi saw, karena ada peran dari Imam Syafi’i. Saat itu secara khusus Imam Syafi’i mengajak masyarakat untuk mengamalkan hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir (hadits ahad) serta mengajak umat Islam untuk mendahulukan sunnah Nabi saw terhadap apa yang sudah berlaku dalam masyarakat.
Dari hal itu mereka mendapat pengertian baru bahwa hadits merupakan peristiwa yang disandarkan kepada Nabi saw walaupun hanya sekali terjadi dalam sepanjang hidup beliau dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Maka dari sanalah pada akhirnya masyarakat Muslim mendapatkan pengertian hadits dan sunnah menjadi satu makna.
Berbicara tentang sunnah, maka sebutan sunnah itu sebenarnya karena suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan (tradisi), diamalkan oleh banyak orang yang tak terkira jumlahnya secara terus menerus dan turun temurun, atau bisa dikatakan sebagai amaliyah yang mutawatir (baca: banyak sekali pengamalnya). Ada pun sunnah Nabi saw yakni cara Nabi saw melakukan suatu ibadat yang telah diberitakan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Nabi saw melakukan suatu amal perbuatan bersama sahabat, lalu para sahabat mengamalkan terus hingga berlanjut kepada para tabi’in. Walau pun beritanya tidak mutawatir (baca: tidak banyak yang memberitakan), namun telah diamalkan dengan mutawatir. Jadi pelaksanaan yang mutawatir inilah yang dikatakan sunnah, walau dari segi sanad tidak mutawatir.
Kemudian jika Nabi saw bersabda: “Saya telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang sekali-kali kalian tidak akan sesat selama berpegang kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.[3]
Maka istilah sunnah dalam hadits tersebut memiliki makna sabil/sirath/thariqah (jalan), ath thariqul mustaqim (jalan yang lurus), uswah (suri teladan) atau khithah (garis kerja).
Istilah sunnah juga dipakai dalam Al Qur’an:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat perubahan pada sunnah Allah”. ( Al Ahzab:62)
Seperti juga sabda Nabi saw:
”Barangsiapa yang membuat sunnah (jalan) kebaikan, maka baginya pahala sunnah yang baik itu dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat. Dan barangsiapa membuat sunnah (jalan) keburukan, maka baginya dosa atas sunnah yang buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”. (HR Bukhari dan Muslim).
“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dlab (sejenis biawak), sungguh kalian memasukinya juga“. (HR Muslim)
Menurut pemahaman hadits tersebut, perbuatan yang dilakukan secara terus menerus dan menjadi ikutan atau menjadi tradisi (kebiasaan) maka dinamai sunnah, sekalipun tidak baik. Jadi sunnah secara makna bahasa ini bisa berarti jalan terpuji atau pun jalan yang tercela.
Kemudian penjelasan lain dari Imam Asy-Syatibi berkata, “Seseorang itu akan dikatakan mengikuti Sunnah apabila dia melakukan amal yang sesuai dengan ajaran Nabi s.a.w, dan seseorang itu akan dikatakan melakukan bid’ah apabila dia melakukan amal atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Nabi saw”.
Maka dengan demikian kata as-Sunnah adalah merupakan lawan dari kata bid’ah.
Sunnah juga mencakup amalan yang dilakukan oleh para sahabat ra Imam Asy-Syatibi berkata: “Alasan bahwa amal para sahabat juga termasuk di dalam kategori sunnah adalah bahwa Rasulullah s.a.w bersabda, ”Kamu hendaklah mengikuti sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku. Berpegangteguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham”.[4]
[1] HR Bukhari
[2] Muttafaqun ‘alaih
[3] HR Abu Daud dan Imam Malik
[4] HR. Abu Daud, dan Tirmidzi mengatakannya sebagai hadits Hasan Shahih.
PENGERTIAN SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR DALAM ILMU MUSTHALAH HADITS
28 Agu Dalam ilmu musthalah hadits lafadz sunnah, khabar dan atsar ditinjau secara ilmiah metodologis menurut pengertian bahasa (etimologi/lughah) dan pengertian menurut istilah (terminologis). Sunnah menurut etimologi berarti “jalan”, sedangkan menurut terminologi adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi saw, baik perkatan, perbuatan atau taqrir (penetapan).
Maka dengan demikian sunnah dalam arti terminologi ini identik dengan pengertian hadits. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pengertian sunnah dangan hadits itu berbeda; hadits terbatas pada perkataan dan perbuatan Nabi saw, sedang sunnah lebih luas.
Sedangkan pengertian khabar menurut etimologi berarti “berita” yaitu lawan dari dongeng, karangan (insya). Menurut terminologi, terdapat tiga pendapat:
Khabar identik dengan hadits
Khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi saw, sedangkan hadits sebaliknya. Sebutan “Muhaddits” adalah bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadits. Sebutan “Akhbari” adalah bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan yang sejenisnya.
Pengertian hadits adalah lebih khusus dari pada khabar, sehingga setiap hadits pasti khabar, namun tidak setiap khabar pasti hadits.
Pengertian atsar menurut etimologi berarti “sisa” atau makna yang setara dengannya. Sedangkan menurut terminologi, terdapat dua pendapat:
Atsar identik dengan pengertian hadits
Atsar adalah sesuatu yang datang dari sahabat baik perkataan maupun perbuatan (sehingga disebut hadits mauquf). Dengan demikian atsar merupakan peninggalan, bekas sesuatu dari Nabi saw yang tersisa pada para sahabat. Jadi khabar yang datang dari Nabi saw dan kemudian melekat tersisa pada diri para sahabat. Dengan kata lain bahwa sesuatu yang datang dari Nabi saw adalah khabar, yang datang dari sahabat adalah atsar.
Dari urain di atas menjadi jelas bahwa sebenarnya kata sunnah, hadits, khabar atau atsar adalah sinonim, dikarenakan merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. Periwayatan yang datang dari sahabat atau tabi’in sebenarnya bersumber dari tuntunan atau ajaran Nabi saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar