Senin, 27 Januari 2014

Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.6 - 9)


Kupas Tuntas: Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.6)


 Mengambil Berkah dari Pusara (Makam) Rasul SAW
 Apakah kaum Wahaby memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul yang telah bertabarruk (mencari berkah) terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kubur adalah perbuatan syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun orang awam biasa. Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa mereka (Wahaby) tidak konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya yang masih sarat dengan kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran mereka (Wahabisme) yang mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika mereka merasa benar sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku paling monoteis (muwahhid)!!!
Pada kajian lalu telah kita sebutkan beberapa hadis yang menjelaskan bahwa para Salaf Saleh telah melakukan pengambilan berkah dari peninggalan-peninggalan Rasul seperti sandal, tongkat, baju, bahkan mereka selalu mengusap-usap mimbar Rasul dan lantas mengusapkannya ke mukanya, dimana semua itu, kini, jelas-jelas dilarang oleh para rohaniawan Wahaby terhadap para jama‟ah haji yang ingin melakukannya terhadap mimbar Rasul.
Kajian dan telaah kita sekarang berkaitan dengan diperbolehkannya pengambilan berkah (tabarruk) -dalam syariat Rasulullah SAW- yang pernah dicontohkan oleh para sahabat mulia Rasul. Kali ini, lebih akan kita konsentrasikan pada pembahasan; “Tabarruk terhadap Kubur” yang jelas-jelas dilarang oleh kaum Wahabi, pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang selama ini mengaku-ngaku penghidup ajaran Salaf Saleh (Salafy) dan bersikeras untuk diaku sebagai pengikut Ahlusunah wal Jamaah. Padahal ajaran mereka banyak yang bertentangan dengan ajaran Salaf Saleh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jamaah, termasuk masalah pembolehan tabarruk terhadap kubur Rasulullah saw. Kaum muslim yang pernah berziarah ke makam suci Rasulullah akan dengan jelas mengetahui bagaimana perlakuan para rohaniawan Wahaby ketika mereka hendak menyentuh –apalagi mengusap-usap- dinding yang mengitari makam Rasulullah, untuk mencari berkahnya.
F- Tabarruk Para Sahabat dari Kuburan Nabi:
Pada kesempatan kali ini, kita akan sebutkan beberapa teks hadis yang jelas-jelas dengan tegas menjelaskan bahwa para sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh telah melakukan tabarruk terhadap kubur (makam) mulia Rasulullah. Sebagai contoh seperti yang di bawah ini:
1-  Dawud  bin  Abi  Shaleh  mengatakan:   “Suatu   saat  Marwan  bin  Hakam  datang  ke  Masjid (Nabawi).   Dia   melihat   seorang   lelaki   telah   meletakkan   wajahnya   di   atas   makam   Rasul.  Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan: “sadarkah apa  yang telah engkau lakukan?”. Kemudian  lelaki  itu  menengok  ke   arah  Marwan  (ternyata  lelaki  itu  adalah  Abu  Ayyub  al-Anshari) dan mengatakan: “Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasul. Aku pernah mendengar Rasul bersabda: Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya (ahli) maka janganlah menagis untuk agama tersebut. Namun ketika agama dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah”.” (Lihat: Mustadrak ala as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4 Halaman: 560 Hadis ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404)
Hadis di atas (dari Hakim an-Naisaburi) telah dinyatakan kesasihahannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak ada seorang ahli hadis lain yang meragukannya. Atas dasar hadis di atas maka, as-Samhudi dalam kitab Wafa‟ al-Wafa‟ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad hadisnya dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan makruh”. Jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram, sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang “dihayalkan” oleh kaum Wahaby.
Lantas, jika apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari -seorang sahabat besar Rasul- itu tergolong perbuatan syirik (yang dinyatakan oleh kaum Wahaby) maka; mungkinkah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik? Apakah beliau tidak mengetahui bahwa apa yang telah diperbuatnya tersebut (tabarruk dari kubur) tergolong syirik? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong penyembah kubur (quburiyuun)? Mana bukti bahwa Wahaby membenarkan dan mengikuti metode (manhaj) dan sepak terjang Salaf Saleh?
2- Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasul. Beliau bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidakperhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?”. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasul) datang. Lantas Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Lihat: Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar Jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A‟lam an-Nubala‟ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)
Lantas apakah kaum Wahaby lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka di atasnya tergolong syirik atau bid‟ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasul?
3- Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Lantas apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di pusara Rasul? Kenapa sekarang jika kita menziarahi Rasul dilarang keras oleh ulama Wahaby untuk berdiri di hadapan pusara Rasul, apalagi berusaha memegang terali besi penutup pusara Rasul beserta kedua sahabatnya itu. Pasti akan langsung divonis pelaku syirik oleh para rohaniawan sekte Wahabi yang berkeliling menjaga kuburan Rasul dengan disertai tentara itu?
4- Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa; sewaktu Rasulullah dikebumikan, Fatimah – puteri Rasul satu-satunya- bersimpuh di sisi kuburan Rasul dan mengambil sedikit tanah makam Rasul kemudian diletakkan dimukanya dan sambil menangis iapun membaca beberapa bait syair…. (Lihat: al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar Jilid: 2 Halaman: 18, as-Sirah an-Nabawiyah jilid: 2 Halaman: 340, Irsyad as-Sari jilid: 3 Halaman: 352, dsb)
Lantas jika apa yang dilakukan Fatimah tersebut adalah Syirik atau Bid‟ah maka kenapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan Bid‟ah yang dilarang oleh Rasul (versi Wahabisme)? Bukankah keduanya adalah keluarga dan sahabat Rasul yang tergolong Salaf Saleh, yang konon akan diikuti oleh kelompok Wahaby?
5- Seorang Tabi‟in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah melakukannya (bertabarruk kepada kubur Rasul). Suatu ketika, di saat beliau duduk bersama para sahabatnya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat berbicara. Lantas beiau langsung bangkit dan menuju pusara Rasul dan meletakkan dagunya di atas pusara Rasul kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang mempertanyakan perbuatannya. Lantas beliau menjawab: “Setiap saat aku mendapat kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi”. (Lihat: Wafa‟ al-Wafa‟ Jilid: 2 Halaman: 444)
Atas  dasar  hadis-hadis  tadi  akhirnya  as-Samhudi  menyatakan  dalam  kitab  Wafa‟  al-Wafa‟-nya (Jilid: 1 Halaman: 544) bahwa; “Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi‟in dan Tabi‟ Tabi‟in) sering mengambil tanah dari pusara Rasul. Lantas Aisyah (ummul mukminin) membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: Ditutup olehnya (Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di atasnya”.
Lantas masihkah kaum Wahaby yang mengatasnamakan diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Saleh (Salafy) itu hendak menuduh kaum muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan bid‟ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kubur adalah syirik maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat Rasul ataupun orang awam biasa. Beranikah mereka mengatakan bahwa para Sahabat telah melakukan syirik karena terbukti mereka telah melakukan tabarruk? Apakah kaum Wahaby memiliki keberanian untuk menyatakan bahwa para sahabat mulia Rasul yang telah bertabarruk terhadap kuburan Rasul lantas menjuluki mereka sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun), sebagaimana istilah ini sering diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kubur Nabi dan para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya? Jika tidak, ini sebagai bukti bahwa mereka (Wahaby) tidak konsekuen dan konsisten dengan doktrin ajaran sektenya yang masih sarat dengan kerancuan itu. Mana konsistensi mereka terhadap ajaran mereka (Wahabisme) yang mengharamkan pengambilan berkah terhadap kubur, jika mereka merasa benar sendiri? Buktikanlah wahai pengikut sekte yang mengaku paling monoteis (muwahhid)!!!
Trus, bagaimana dengan kuburan para ulama dan manusia-manusia saleh yang dipercaya sebagai kekasih Ilahi? Bagaimana fatwa para tokoh ulama Ahlusunah wal Jamaah (non Wahaby) tentang masalah ini?

Kupas Tuntas: Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.7)

 Antar Para Sahabat (satu dengan yang lainnya) pun  Saling Bertabarruk
 Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang saleh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya. Baik tabarruk dari diri orang Saleh dan Takwa tersebut, ataupun doanya, maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak saleh dan takwa, apalagi obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi (karena dinisbahkan kepada manusia saleh dan bertakwa, kekasih Ilahi) maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita. Seperti obyek-obyek yang dianggap sakral oleh orang-orang kejawen yang “konon” beragama Islam (Islam KTP). Dan teks-teks agama Islam pun akan berlepastangan dari obyek-obyek semacam itu.
Jika pada kajian sebelumnya telah kita pahami bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari diri Rasul beserta semua peninggalan beliau dari baju, sandal, piring, gelas, cincin, tongkat hingga mimbar dan kubur Rasul pasca wafat beliau, kini kita akan melihat apakah hanya Nabi saja yang boleh ditabarruki ataukah mencakup para sahabat dan para manusia saleh lain pun boleh diambil berkahnya?Pertama-tama, kita akan melihat beberapa teks tentang; apakah diperbolehkan mengambil berkah dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, TabiaTabi’in dan para manusia saleh dan bertakwa pasca masa mereka?
Kita di sini akan melihat beberapa teks yang membuktikan bahwa para sahabat satu dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita tahu bahwa, menurut Ahlusunah wal Jamaah, semua sahabat adalah Salaf Saleh yang layak ditiru dan diikuti.
1- Imam an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khatab telah meminta doa hujan melalui Abbas (paman Rasul) dengan menyatakan: “Ya Allah, Dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka tutunkan hujan bagi kami. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang sahih).
2- Dalam kitab yang sama (seperti pada poin no 1 di atas) disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Lantas ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada disekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.
 3- Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait Nabi”.
4- Ibnu Atsir dalam kitab “Usud al-Ghabah” (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: “Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain”. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.
5- Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia mengatakan: “Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasul”.
6- As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa‘” (Jilid: 2 Halaman: 448) menyatakan bahwa; “”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang berhadapan dengan kubur (Rasul, red). Di situ terdapat pintu Rasul yang didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: “Tiang tempat shalat Ali itu hingga kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini”. Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan “Tempat para Pemimpin” (Majlis al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi Thalib, red)”.
7- Dalam kitab yang sama (seperti pada poin 6 di atas), as-Samhudi (pada Jilid: 2 Halaman: 450) menukil dari Muslim bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah binti Nabi terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur. Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: Jangan engkau lupa untuk mengerjakan shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib selalu melewatinya”.
8- Ibn Sa’ad dalam kitab “at-Thabaqoot al-Kubra” (jilid: 5 Halaman: 107) menukil riwayat yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Lantas ia berkata kepada Husein: “Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam ember sedikitpun. Jika engkau berkenan untuk mendoakan kami kepada Allah dengan berkah”. Lantas Husein berkata: “Berikan sedikit air yang kau punya!”. Kemudian diberikan kepadanya air lantas ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan air tadi lantas mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi memancarkan air dengan melimpah” .
9-  Ibnu  Hajar  dalam  kitab  “as-Showa’iq  al-Muhriqoh”  (Halaman:  310  pasal  ke-3  tentang  hadis-hadis   yang   berkaitan   dengan   ahlul   bait)   menyebutkan:   “Ketika   ar-Ridho   (salah   seorang keturunan Rasul, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Lantas ia mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jelannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)
 Di atas tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah bertabarruk dari pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan dibanding yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil berkah dari orang-orang saleh dan dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran Islam, karena para Salaf Saleh (sahabat) telah melakukannya.
Dari kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutamaan di antara mereka. Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya orang-orang yang Saleh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik diri orang Salah dan Takwa, ataupun doanya, maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun orang yang tidak saleh dan takwa, apalagi obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan Ilahi (karena dinisbahkan kepada manusia saleh dan bertakwa, kekasih Ilahi) maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita. Seperti obyek-obyek yang dianggap sakral oleh orang-orang kejawen yang „konon‟ beragama Islam (Islam KTP). Dan teks-teks agama Islam pun akan berlepastangan dari obyek-obyek semacam itu.
Dari riwayat-riwayat juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan orang-orang seperti al-Jadi’ -dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk; ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” (Halaman: 261)- dan as-Syatibi -dalam karyanya yang berjudul “al-I’tisham” (Jilid: 2 Halaman: 9)- dimana keduanya sepakat bahwa; “Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasul saja”. Hal itu karena mereka beralasan bahwa Rasul tidak pernah memerintahkannya. Selain itu, alasan lainnya adalah; “Tidak ada riwayat yang menjelaskan legalitas prilaku semacam ini (tabarruk kepada pribadi selain Nabi)”. Bahkan as-Syatibi menyatakan bahwa; “Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong bid’ah, sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini perempuan lebih dari empat”.
Tentu, riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan. Entahlah kenapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat semacam itu. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, lantas kenapa sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah Umar telah melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasul tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang semacam as-Syatibi dan al-Jadi’ menvonis sahabat seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?
Sekarang yang menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditetapkan bahwa selain peninggalan Nabi, peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkahnya sewaktu masa hidup mereka, lantas bagaimana dengan perkara tadi pasca kematian mereka? Dan yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; bolehkah kita (kaum muslimin) mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi) namun dia tergolong orang Saleh dan bertakwa? Apakah pengambilan berkah dari mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan mereka? Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung pada artikel kami pada Tabarruk 6 tentang bahwa para sahabat telah mengambil berkah dari kubur Rasul- dalam postingan selanjutnya akan kita jelaskan akan diperbolehkannya tabarruk semacam ini, dan tabarruk tidak hanya dibatasi pada orang Saleh yang masih hidup saja, bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak seperti sangkaan kaum Wahaby yang dengan tegas menyatakannya sebagai syirik.

Kupas Tuntas: Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.8)

 Fatwa-Fatwa Ulama Ahlusunah tentang Legalitas Tabarruk
 Yang lebih aneh lagi, kenapa sewaktu Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa dalam membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasul dan bahkan beliau sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi‟i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kenapa ia tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik. Ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal!”.
Setelah kita melihat berbagai dalil, dari al-Quran dan riwayat-riwayat yang ada tentang legalitas tabarruk (mengambil berkah), baik yang berkaitan dengan tabarruk dari pribadi kekasih Allah (dari para nabi, syuhada dan orang-orang saleh) maka pada kesempatan kali ini kita akan khususkan kajian kita berkaitan dengan fatwa para ulama Ahlussunnah berkaitan dengan legalitas tabarruk.
Kita akan melihat beberapa fatwa ulama Ahlusunnah dari empat mazhab besar Ahlusunnah. Tentu, Ijma’ (konsensus) mereka ini berdasarkan pada ajaran al-Quran dan kesepakatan (ijma’) para sahabat mulia Rasul. Walaupun tidak pernah Rasul secara jelas memerintahkannya namun diamnya Rasul ketika melihat para sahabat melakukan tabarruk merupakan bukti akan legalitas perbuatan tersebut. Karena diamnya Rasul (sukuut a’lal ‘amal) berarti persetujuan (taqrir) Rasul. Bukankah kita (kaum muslimin) meyakini bahwa Rasul –sebagaimana nabi-nabi sebelumnya-diutus oleh Allah untuk mengajarkan tauhid dan memerangi segala bentuk syirik, dan mengikuti syariat Allah yang diturunkan melalui para nabi dengan menjauhi segala macam bid’ah? Jika bertabarruk merupakan perbuatan yang tidak diajarkan oleh syariat Islam (baca: Bid’ah) ataupun tergolong syirik kepada Allah niscaya Rasul-lah pertama orang yang akan menegur para sahabatnya dan melarang mereka melakukan hal tersebut. Atas dasar inilah, para ulama muslim Ahlusunnah berijma’ akan legalitas tabarruk dalam syariat Rasulullah. Hanya sekte Wahaby (Salafy gadungan) saja yang mengingkarinya, seakan syariatnya berbeda dengan syariat yang dibawa oleh Rasul dan bertentangan dengan apa yang disepakati oleh para sahabat (salaf saleh) yang konon ajarannya hendak mereka hidupkan. Entah Salaf Saleh mana yang mereka maksud.
Kita akan menukil beberapa contoh fatwa ulama Ahlusunnah sesuai dengan urutan berdirinya mazhab tadi dari sisi zaman dimana fatwa-fatwa mereka dapat mewakili mazhab mereka;
I- Fatwa Ulama Mazhab Hanafi (Pengikut Imam Abu Hanifah)
- Syeikh Syihabuddin al-Khoffaji al-Hanafi menyatakan berkaitan dengan ungkapan yang mengatakan: “Dimakruhkan menyentuh, mencium dan menempelkan dada”. Beliau menjawab dengan menfatwakan: “Hal ini (hukum makruh) tidak ada kesepakatan padanya. Atas dasar itulah Ahmad dan Thabari mengatakan bahwa; tidak mengapa mencium dan menyentuhnya” (Lihat: Syarh as-Syifa’ Jilid: 3 Halaman: 171 dan atau sebagaimana yang dinukil oleh Syamhudi dalam Wafa’ al-Wafa‟ Jilid: 4 Halaman: 1404)
II- Fatwa Ulama Mazhab Maliki (Pengikut Imam Malik bin Anas)
-    Syeikh Az-Zarqoni al-Maliki menfatwakan: “Mencium kuburan hukumnya makruh, kecuali jika bertujuan untuk tabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Mawahib Jilid: 8 Halaman: 315).
-    Syeikh al-Adwi al-Hamzawi al-Maliki menfatwakan: “Tiada kerguan lagi bahwa mencium kuburan mulia (Rasul) tidak akan dilakukan kecuali untuk bertabarruk. Hal itu lebih utama dalam pembolehannya dibanding dengan tabarruk untuk kuburan para kekasih Allah (awliya’)” (Lihat: Kanzul Matholib Halaman: 20 dan Masyariq al-Anwar Jilid: 1 Halaman: 140).
III- Fatwa Ulama Mazhab Syafi‟i (Pengikut Imam Ibn Idris)
-    Syeikh  Ibnu  Hajar  berfatwa:  “Sebagian  menggali  dasar  hukum  dari  legalitas  mencium  Hajar Aswad dengan diperbolehkannya mencim segala yang memiliki potensi untuk diagungkan dari manusia ataupun selainnya (benda, red)” (Lihat: al-Wafa’ al-Wafa’ Jilid 4 Halaman: 1405)
-     Syeikh Ibrahim al-Bajuri berfatwa: “Dimakruhkan mencium kuburan dan menyentuhnya kecuali untuk bertabarruk maka tidak makruh” (Lihat: Syarh al-Fiqh as-Syafi’i Jilid:1 Halaman: 276)
-    Syeikh  Muhibbuddin  at-Thabari  berfatwa:  “Diperbolehkan  mencium  dan  menyentuh  kuburan. Itu  merupakan  perbuatan  para  ulama  dan  orang-orang  saleh”  (Lihat:  Asna  al-Matholib  Jilid:  1 Halaman:  331  atau  sebagaimana  yang  dinukil  dalam  kitab  Wafa‟  al-Wafa‟  Jilid:  4  Halaman: 1407)
-    Syeikh ar-Ramli as-Syafi‟i berfatwa: “Jika kuburan Nabi, wali atau seorang alim disentuh ataupun dicium untuk tujuan tabarruk maka tidak mengapa” (Lihat: Kanzul Matholib karya al-Hamzawi Halaman: 219)
-   Syeikh al-„Azami dalam menaggapi ungkapan Ibnu Taimiyah yang mengatakan; “Barangsiapa yang mengelilingi (thawaf) kuburan orang-orang saleh maka ia telah melakukan salah satu dosa besar”, beliau menjawab dengan fatwanya: “Ia (Ibnu Taimiyah) telah mengatakan ungkapan yang ambigu. Terkadang ia menyatakan bahwa hal itu adalah termasuk dosa besar, terkadang tergolong syirik atau semisalnya. Padahal banyak ulama peneliti dan para pakar fikih yang sangat detal (dalam berargumen) telah melakukan pembahasan sebelum ia lahir beberapa ratus tahun sebelumnya. Ia enggan untuk mengikuti mereka kecuali hanya mengingkari mereka. Terkadang ia mengaku adanya kesepakatan (ijma’/konsensus) atas apa yang dinyatakannya. Padahal seringnya, kesepakatan telah terjadi sebelum dia lahir dan kesepakatan itu bertentangan dengan apa yang dikemukakannya. Hal ini akan bisa dipahami oleh orang-orang yang meneliti semua ungkapannya dan dibandingkan dengan ungkapan orang-orang sebelumnya juga orang-orang setelahnya yang tergolong orang-orang yang memiliki pemahaman yang lurus dan pemilik jiwa kritisi yang sehat. Sebagai contoh: mengusap kuburan ataupun mengelilinginya yang dilakukan oleh banyak orang muslim dimana orang-orang alim dalam hal ini terdapat tiga golongan pendapat;(1) Diperbolehkan secara mutlak, (2) pelarangan secara mutlak namun pada tahap memakruhkannya secara keras namun belum sampai derajat haram, dan (3) mendetailkan hukum dengan membedakan antara orang yang memiliki perasaan rindu yang sangat terhadap yang diziarahinya dimana hal ini tidak dimakruhkan dengan orang yang tidak (memiliki perasaan rindu) dimana hal itu lebih baik ditinggalkan. Dan jika anda merenungkan perkara-perkara yang dijadikan obyek pengkafiran kaum muslimin kembali kepada dua premis (mukaddimatain) dimana mayor (kubro) dari keduanya dapat diterima yaitu; Semua peribadatan kepada selain Allah adalah syirik dan minor (sughro) dari keduanya terdapat kebohongan yaitu; Semua seruan (panggilan) untuk mayit, atau yang tiada (ghaib), atau mengelilingi kuburan, atau mengusap-usapnya, ataupun menyembelih dan bernazar untuk penghuni kubur tergolong penyembahan selain Allah (syirik)” (Lihat: Furqon al-Quran Halaman: 133)
IV- Fatwa Ulama Mazhab Hambali (Pengikut Imam Ahmad bin Hambal)
-    Dinukil dari Ibnu Jamaah (as-Syafi‟i) yang menyatakan; Abdullah bin Ahmad bin Hambal pernah menceritakan perihal ayahnya. Ia (Abdullah) meriwayatkan: Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menyentuh mimbar Rasul dan bertabarruk dengan mengusap-usap juga menciumnya. Dan melakukan kuburan sebagaimana hal tadi (mengusap dan mencium) dengan tujuan mengharap pahala Allah. Beliau menjawab: “Tidak mengapa” (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1414).
-   Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H- dalam kitab “Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al”. Dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-„Ala menyatakan: Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hambal pada cetakan/bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tangan Khath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham Jilid: 18 Halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidz (penghapal/penjaga) yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidz lainnya yang menyatakan bahwa; Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hambal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbarnya. Lantas beliau berfatwa: “Hal itu tidak mengapa”. Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-’Ala) berkata: Lantas kutunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”. Lantas (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-„Ala) berkata lagi: “Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi‟i (Ibn Idris) dan lantas meminum air bekas cucian tadi” (Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi Halaman: 609, atau Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir Jilid: 1 Halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).
Ini adalah contoh-contoh dari fatwa para ulama Ahlusunnah yang jauh bertentangan dengan fatwa para ulama Wahabisme yang mengambil fatwanya dari Muhammad bin Abdul Wahhab dimana iapun mengadopsi fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah. Yang lebih aneh lagi, kenapa sewaktu Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa dalam membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasul dan bahkan beliau sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi‟i, ia hanya mengatakan: Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya? Kenapa ia tidak mengatakan: Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik. Ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal!.
Ini bukti tidak konsistensian dan ketidakkonsekuenan Ibnu Taimiyah yang hingga saat ini diteruskan oleh orang-orang yang taklid buta kepadanya yang terhimpun dalam sekte Wahabisme. Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari kerancuan berpikir dan bertindak seperti mereka.

Kupas Tuntas: Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.9)

Jenazah dan Kubur Ulama yang Diambil Berkah
 Lebih kasihan lagi Ibnu Taimiyah, betapa tidak, pengantar jenazahnya terdiri dari orang-orang musyrik dan ahli bid’ah (versi Wahabisme). Lantas mana kaum muslim monoteis (muwahhid) yang mengantar jenazah syeikh yang konon adalah pengikut salaf saleh, penyebar tauhid, anti bid’ah dan syirik yang ajarannya kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu?
Ataukah fatwa sesat bertabarruk itu hanya berlaku bagi selain pengikut Ibnu Taimiyah saja, sehingga bertabarruk dari jenazahnya –yang kata para ulama Wahabisme yang lantas ditaklidi oleh para pengikut awam sekte Wahabisme, “tidak memberikan manfaat ataupun madharat”-diperbolehkan, bahkan dianjurkan? Kembali pertanyaan ini dapat dimunculkan; mana konsistensi para pengikut sekte Wahabisme terhadap akidahnya?
Setelah kita mengetahui pendapat (baca: fatwa) para ulama Ahlussunnah dari berbagai mazhab perihal legalitas mengambil berkah (tabarruk) dari berbagai peninggalan Rasul pasca wafat beliau -terkhusus kuburan suci dan mulia beliau- dan dari para manusia saleh lainnya, kini kita akan melihat bagaimana kaum muslimin pun melanjutkan dan menerapkan syiar Islam ini kepada kuburan para sahabat Rasul dan ulama mereka.
1- Kuburan Bilal al-Habsyi –seorang sahabat besar dan muadzin Rasul – yang berada di Damaskus (Syiria) adalah salah satu dari manusia mulia kekasih Allah dan Rasul-Nya yang selalu diziarahi dan diambil berkah oleh banyak dari kaum muslimin. Bukan hanya kaum muslim awam saja yang mencari berkah darinya, namun para Waliyullah pun turut berdoa dan mengambil berkah darinya. (Lihat: Rihlah bin Jubair Halaman: 251)
2-   Kuburan   Abu   Ayyub   al-Anshari   juga   termasuk   yang   diambil   berkahnya.   Al-Hakim   an-Naisaburi menjelaskan: “Mereka bertekad, menziarahi dan mencari berkah hujan jika ditimpa kekeringan.” (Lihat: al-Mustadrak ‘ala as-Shohihain Jilid: 3 Halaman: 518 atau Ibnu al-Jauzi dalam Shofwah al-Shofwah Jilid: 1 Halaman: 407)
3- Makam sahabat besar Suhaib ar-Rumi juga termasuk yang dicari berkahnya. Bahkan as-Samhudi sendiri pernah mencoba tanah kuburannya untuk mengobati demam. Begitu juga dengan kuburan Hamzah bin Abdul Mutthalib –paman Nabi dan penghulu para syahid- dimana as-Samhudi menukil ucapan az-Zarkasyi yang menyatakan: “Tanah makam Hamzah diambili oleh orang-orang untuk pengobatan”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 1 Halaman: 69)
4- Salah seorang sahabat Rasul yang bernama Abu „Amr Sa’ad bin Muadz al-Anshari -yang dalam kitab Siar A‟lam an-Nubala Jilid: 1 Halaman: 279 disebutkan bahwa kematiannya menyebabkan ‘Arsy goncang- kuburannya menjadi salah satu tempat pengambilan berkah. Disebutkan bahwa salah seorang telah mengambil tanah pekuburannya kemudian membawanya pergi. Setelah lama ternyata berubah menjadi misik. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ karya as-Samhudi Jilid: 1 Halaman: 115)
5- Makam Umar bin Abdul Aziz salah seorang khalifah dari Bani Umayyah (wafat tahun 101 H) juga menjadi sasaran pencari berkah. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh adz-Dzahabi. (Lihat: Tadzkirah al-Huffadz Jilid: 1 Halaman: 339)
 6- Pusara salah seorang cucu Rasulullah yang bernama Ali bin Musa ar-Ridho yang kuburannya berada di Thus juga menjadi obyek ziarah dan pencarian berkah. Abu Bakar Muhammad bin Muammal mengatakan: “Ketika kami keluar bersama Imam Ahli Hadis Abu Bakar bin Khuzaimah beserta ‘Adilah Abi Ali ats-Tsaqofi yang disertai dengan beberapa orang syeikh kita yang ingin menziarahi Ali bin Musa ar-Ridho di kota Thus”. Beliau mengatakan: “Aku melihat betapa penghormatan, kerendahan dan perendahan dirinya –yaitu Ibnu Khuzaimah- terhadap kuburan itu hingga kami heran dibuatnya”. (Lihat: Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqolani Jilid: 7 Halaman: 339)
7- Abdullah bin al-Haddani yang terbunuh (syahid) pada “hari Tarwiyah” di tahun 183 H juga merupakan salah seorang yang kuburannya menjadi obyek pencarian berkah kaum muslimin. Mereka mengambil tanah pekuburannya. Tanah itu ibarat misik yang kemudian mereka taburkan di baju mereka. (Lihat: Hilliyatul Auliya karya Abu Na‟im al-Isbahani Jilid: 2 Halaman: 258 atau kitab Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqoilani Jilid: 5 Halaman: 310)
8- Kuburan Ma’ruf al-Karakhi pun termasuk yang dicari berkahnya oleh kaum muslimin. Ibnu al-Jauzi dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya terletak di Baghdad nampak menonjol dan diambil berkahnya”. Ibrahim al-Harbi mengatakan: “Kuburan Ma‟ruf adalah obat yang mujarab” (Lihat: Shofwah al-Shofwah Jilid: 2 Halaman: 324)
9-  Kuburan  al-Khidr  bin  Nashr  al-arbali  (wafat  tahun  567  H)  seorang  ahli  fikih  dari  mazhab Syafi‟i pun kuburannya dijadikan tempat pencarian berkah. Ibnu Katsir dalam menukil ungkapan Ibnu Khalkan mengatakan: “Kuburannya diziarahi, dan aku telah menziarahinya lebih dari sekali. Kulihat orang-orang mengerumuni kuburannya dan mencari berkah darinya”. (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir Jilid: 12 Halaman: 353)
10- Kuburan Nuruddin Mahmud bin Zanki (wafat tahun 569 H) –beliau adalah pejuang dan penguasa negeri Syam (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 306)- juga termasuk yang dicari berkahnya. Ibnu Katsir dalam hal ini menyatakan: “Kuburannya berada di Damaskus yang selalu diziarahi, digelayuti jendelanya, diberi minyak wangir dan dicari berkahnya setiap saat” (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah Jilid: 12 Halaman: 353)
11- Kuburan Imam al-Bukhari (pemilik kitab Shohih) pun tidak luput dari pencari berkah dari kaum muslimin. As-Subki dalam menjelaskan wafat beliau, menyatakan: “Adapun tentang tanah (kuburan), mereka telah meninggikan tanah kuburannya sehingga nampak menonjol. Sampai-sampai para penjaga tidak mampu menjaga kuburan tersebut. Kami telah melupakan diri kami sendiri. lantas kami menyerbu kuburan tersebut bersama-sama. Hingga sulit bagi kami untuk sampai ke kuburan tersebut.” (Lihat: Thobaqoot as-Syafi’iyah Jilid: 2 Halaman: 233 atau kitab Siar A’lam an-Nubala karya adz-Dzahabi Jilid: 12 Halaman: 467)
Dan masih banyak lagi kuburan-kuburan lain yang menjadi pusat ziarah maupun pencarian berkah yang terdapat di berbagai negara seperti; Irak, Syiria, Mesir, Yordania, Yaman, Iran dan negara-negara lainnya, termasuk Indonesia sendiri. Kuburan-kuburan itu adalah pusara-pusara para kekasih Ilahi yang diperbolehkan bagi setiap muslim untuk menziarahinya ataupun mencari berkah darinya, berdasarkan syariat Islam yang diajarkan oleh Rasul melalui sahabat-sahabat mulia beliau yang menjadi sandaran kesepakatan ulama Ahlusunnah dalam memberikan fatwa legalitas bertabarruk. Jika hal tersebut tetap dinyatakan –oleh pengikut sekte Wahhaby- sebagai perbuatan syirik maka apa kata mereka ketika melihat bahwa kuburan dan jenazah Ahmad bin Hambal yang diaku sebagai Imam Hadis mereka dan Jenazah Ibnu Taimiyah diperlakukan sama semacam itu oleh kelompok dari mereka sendiri?
Kini kita lihat apa yang terjadi dengan Imam Ahmad bin Hambal dan jenazah Ibnu Taimiyah:
-   Ibnu Hambal: Kuburan Imam Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241 H) nampak menonjol dan masyhur menjadi tujuan ziarah para penziarah dan tempat pencarian berkah. (Lihat: Mukhtashar Thabaqoot al-Hanabilah Halaman: 14)
-    Ibnu Taimiyah: Ibnu Katsir mengisahkan: “Dalam menghantar (tasyi’) jenazahnya orang-orang berbondong-bondong hingga iringan jenazahnya memenuhi jalanan. Semua orang menyerbunya dari segala penjuru sehingga kerumunan kian bertambah ramai. Mereka melempar sapu tangan dan sorban mereka di atas eranda guna mengambil berkah (tabarruk). Kayu-kayu keranda jenazah banyak yang putus akibat terlampau banyak orang yang bergelayutan. Mereka juga meminum air bekas memandikan jenazahnya untuk mencari keutamaan (tayammun)….mereka bersedia membeli sisa-sisa kayu bidara (sidir, untuk memandikan jenazah) dan membagi-baginya diantara mereka…dan bahkan dikatakan bahwa; Benang yang diberi air raksa (zibaq) yang diletakkan pada jasadnya untuk menghalau kutu-kutu pun mereka beli dengan harga seratus lima puluh dirham”. (Lihat: al-Bidayah wa an-nihayah Jilid: 14 Halaman: 136 dan atau juga bisa didapat pada kitab al-Kuna wa al-Alqob Jilid: 1 Halaman: 237)
Jika pencari berkah dari kuburan dan dari jenazah (orang mati) adalah syirik atau bid‟ah maka kasihan sekali Imam Ahmad bin Hambal yang selalu diziarahi oleh para ahli bid‟ah dan kaum musyrik. Lebih kasihan lagi Ibnu Taimiyah, betapa tidak, pengantar jenazahnya terdiri dari “orang-orang musyrik” dan “ahli bid’ah” (versi Wahabisme). Lantas mana kaum muslim monoteis (muwahhid) yang mengantar jenazah syeikh yang konon adalah pengikut salaf saleh, penyebar tauhid, anti bid’ah dan syirik yang ajarannya kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu? Ataukah fatwa sesat bertabarruk itu hanya berlaku bagi selain pengikut Ibnu Taimiyah saja, sehingga bertabarruk dari jenazahnya –yang kata para ulama Wahabi yang lantas ditaklidi oleh para pengikut awam sekte Wahabisme, “tidak memberikan manfaat ataupun madharat”- diperbolehkan, bahkan dianjurkan? Kembali pertanyaan ini dapat dimunculkan; mana konsistensi para pengikut sekte Wahabisme terhadap akidahnya? Ini bukti lain dari begitu banyak kerancuan berpikir dan bertindak para pengikut Salafy gadungan yang pada hakekatnya Wahhaby itu.

Simak di: http://www.sarkub.com/2011/kupas-tuntas-ngalab-berkahtabarukan-bag-9/#ixzz2rdYmNt3s
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar