Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.1)
Apakah Mengambil Berkah (Tabarruk) itu Perbuatan Syirik/Bid’ah?
Sebuah Pengantar.
Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu ingin menyatukan antara fatwa
tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian menyatakan bahwa “tabarruk”
merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain menyatakan itu merupakan
perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa “Pencarian berkah (tabarruk)
masuk kategori bid’ah dan bagian dari bentuk syirik”. Poin inilah yang
harus kita garis bawahi dan kita ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita
nantinya.
.
Salah satu dari kejelasan ajaran agama (Dharuriyaat ad-Diin) yang
menjadi kesepakatan segenap kelompok muslim adalah berkaitan dengan
pengkhususan peribadatan kepada Allah swt. Hal ini termasuk dari
asas-asas dasar agama. Islam tidak memperkenankan pengikutnya untuk
menyembah selain Allah swt. Ini adalah esensi dasar (ushuluddin) ajaran
agama para nabi dan rasul terdahulu, terkhusus agama Muhammad saw yang
bernama Islam. Islam tidak mengizinkan penyembahan terhadap Malaikat,
nabi ataupun rasul, apalagi berhala. Islam akan menghukumi pelaku
peribadatan selain Allah swt tersebut sebagai kafir yang musyrik. Ini
tiada seorangpun dari kaum muslimin yang memahami Islam yang
meragukannya. Bagaimana tidak, sedang ia setiap sehari mengulang-ngulang
kata: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan” (Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in).Salah satu hal yang dinyatakan syirik oleh kelompok dan aliran Wahaby (salafy) adalah pengambilan berkah (tabarruk) dari sesuatu yang dianggap sakral. Dengan tuduhan itu mereka dengan seenaknya lantas menyerang kaum muslim sebagai pelaku bid’ah ataupun syirik. Dalam berbagai kesempatan ulama mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang menyebutkan seperti apa yang telah disebutkan tadi, vonis ahli bid’ah dan syirik. Pada kesempatan ini, kita akan lihat beberapa contoh fatwa mereka:
1- Bin Baz (Abdul Aziz) dalam kitab “al-Fatawa al-Islamiyah” jilid 4
halaman 29 menatakan: “Meletakkan al-Quran dalam kendaraan (mobil) untuk
mencari berkah (tabarruk) merupakan sesuatu yang tidak berasas (tidak
ada asalnya) dalam syariat Islam”. Dengan kata lain, Abdul Aziz bin Baz
menyatakan bahwa perbatan semacam itu (mencari berkah) merupakan
perbuatan bid’ah.
2- Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366 menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari .red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam kitab “Dalil al-Akhtha‟” halaman 107 disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”.
Inilah fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi.
2- Ibn Utsaimin dalam kitab “Majmu’at al-Fatawa li Ibni Utsaimin” fatwa nomer 366 menyatakan: “Mengambil berkah dari kisa’ (kain yang melingkari .red) Ka’bah dan mengusap-usapnya merupakan perbuatan bid’ah, karena Nabi tidak pernah mengajarkannya”. Dalam kasus yang sama (tabarruk) juga ia sebutkan dalam kitab “Dalil al-Akhtha‟” halaman 107 disebutkan: “Sebagian penziarah mengusapkan tangannya ke mihrab, mimbar dan tembok-tembok masjid. Semua prilaku itu masuk kategori bid’ah”.
Inilah fatwa syeikh (Utsaimin) yang namanya selalu dicantumkan dalam situs dan blog-blog kaum Wahaby, selain Bin Baz di atas tadi.
3- Ibn Fauzan dalam kitab “al-Bid’ah”
halaman 28-29 menyatakan: “Tabarruk mempunyai arti mencari berkah,
penetapan kebaikan, meminta kebaikan dan meminta tambahan dari hal-hal
tadi. Permintaan ini harus diminta dari sesuatu yang pemiliknya adalah
yang memiliki kemampuan. Ini tidak lain hanyalah Allah semata. Hanya Ia
Yang mampu menurunkan dan menetapkannya. Tiada satu makhlukpun yang
mampu memberi ampunan, memberi berkah ataupun mengadakan dan menetapkan
hal-hal tadi. Atas dasar itu, tidak diperbolehkan mengambil berkah dari
tempat-tempat, peninggalan-peninggalan ataupun seseorang, baik yang
masih hidup maupun yang telah mati. Karena hal itu bisa masuk kategori
syirik”.
Jika tadi Bin Baz dan Bin
Utsaimin menyebutnya sebagai perbuatan bid‟ah maka sekarang Bin
Fauzan lebih berani dari kedua orang ulama Wahaby sebelumnya tadi. Ia
telah berani menyatakan bahwa “Pencari Berkah Tergolong Musyrik”. Mari
kita lanjutkan penelitian dari kajian kita ke contoh terakhir dari fatwa
mereka (kaum Wahabi yang berkedok Salafi).
4- Gerombolan ulama Wahhaby yang
terhimpun dalam “al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa
al-Ifta’” (Tim Tetap Pengkaji dan Pemberi Fatwa) dalam fatwanya nomer
3019 menyatakan: “…perhatian masyarakat terhadap masjid ini dengan
mengusap-usap tembok dan mihrab untuk mencari berkah merupakan pekerjaan
bid’ah dan juga masuk dari salah satu jenis syirik. Perbuatan ini sama
dengan perbuatan kaum kafir pada zaman jahiliyah”.
Ternyata kumpulan ulama Wahhabi itu
ingin menyatukan antara fatwa tokoh-tokoh ulama mereka yang sebagian
menyatakan bahwa “tabarruk” merupakan perbuatan bid’ah sedang yang lain
menyatakan itu merupakan perbuatan syirik, dengan menfatwakan bahwa
“Pencarian berkah (tabarruk) masuk kategori bid’ah dan bagian dari
bentuk syirik”. Poin inilah yang harus kita garis bawahi dan kita
ingat-ingat untuk bekal pembahasan kita nantinya.
Definisi Tabarruk:
Dari sisi bahasa, kata “tabarruk”
berarti “mencari berkah/ngalab berkah” (lihat: kitab Lisan al-Arab jilid
10 halaman 390, kitab Shihah al-Lughah jilid 4 halaman 1075 dan kitab
an-Nihayah jilid 1 halaman 120). Dengan begitu, sewaktu dikatakan bahwa
“mencari berkah terhadap sesuatu” berarti “keinginan mengambil berkah
dari sesuatu tadi”. Atas dasar itulah maka definisi tabarruk dari sisi
istilah adalah; “Mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang
Allah swt telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus
kepadanya”.
Dalam kamus besar bahasa indonesia, makna berkah adalah karunia Tuhan yg mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
http://www.sarkub.com/2011/kupas-tuntas-ngalab-berkahtabaruk-bag-1/
Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.2)
Tabarruk dalam Pandangan al-Quran
Tentu sangat mudah bagi Allah untuk
mengembalikan penglihatan Nabi Yakqub tanpa melalui proses pengambilan
berkah semacam itu. Namun harus kita ketahui hikmah di balik itu.
Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi “sumber berkah”
agar menjadi “sebab” untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain
karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa
terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi
yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah
swt. Sehingga semua itu dapat menjadi sarana Allah swt memberkati orang
untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan
dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.
Setelah kita mengetahui fatwa-fatwa “pengkafiran” ulama Wahaby
(tuduhan bid’ah dan syirik) berkaitan dengan kaum muslimin yang
melaksanakan pencarian berkah (tabarruk) pada seseorang, tempat, waktu
dan sesuatu yang diangap sacral, maka sekarang kita akan melihat
terminology tabarruk dalam al-Quran, sebelum kita jauh melangkah ke
depan.Berkah dan Tabarruk dalam al-Quran
Kita sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Tauhid pasti meyakini bahwa Allah swt adalah Pencipta (Khaliq) dan Pengatur (Rab) alam semesta. Dengan kesempurnaan absolut (mutlak) yang Dia miliki, Ia menciptakan dan mengatur alam semesta. Segala yang ada di alam semesta ini tiada yang tidak tercipta dari-Nya. Oleh karenanya, tidak satupun yang berada di alam ini pun tidak tergantung keada-Nya, termasuk dalam kelangsungan eksistensi dan hidupnya. Allah swt Pemilik segala otoritas kesempurnaan.
Dalam al-Quran, penggunaan kata “berkah” sering akan kita jumpai. Sebagaimana dalam pembahasan syafa’at, ilmu ghaib dan sebagainya (yang pada kesempatan lain insya-Allah akan kita bahas nantinya), secara mendasar dan murni (esensial) “berkah” dan “pemberian berkah” hanya berasal, milik dan hak priogresif Allah swt semata. Oleh karenanya, kita jumpai ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah swt memberikan berkah kepada makhluk-makhluk-Nya. Contoh ayat-ayat yang Allah swt telah memberkati seseorang sehingga berkah itu terdapat pada diri pribadi-pribadi yang diberkati tersebut:
1- Berkaitan dengan Nabi Nuh as beserta pengikutnya, Allah swt berfirman: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu…” (QS Hud: 48).
2- Berkaitan dengan Nabi Ibrahim as Allah swt berfirman: “Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa Telah diberkati orang-orang yang berada di api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya…” (QS an-Naml: 8).
3- Berkenaan dengan Nabi Ishak as Allah swt berfirman: “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq…” (QS as-Shaafat: 113).
4- Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:
5- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).
6- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra‟: 1).
7- Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:
8- Allah swt telah memberikan berkah kepada al-Quran: “Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An‟am: 155).
9- Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)…” (QS an-Nur: 35).
10- Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).
11- Allah swt telah memberkati malam dimana al-Quran turun (lailatul Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt dalam al-Quran menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:
12- Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisakan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap tabut (peti .red) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
4- Berkenaan dengan Nabi Isa as Allah swt berfirman: “Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada…” (QS Maryam: 31).
Sedang ayat-ayat yang menyatakan bahwa ada beberapa tempat yang telah diberikan berkah oleh Allah swt sehingga tempat itu menjadi tempat yang sakral, seperti:
5- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Haram di Makkah: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS Aali Imran: 98).
6- Allah swt telah memberi berkah kepada Masjidil Aqsha di Palestina: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami…” (QS al-Isra‟: 1).
7- Allah swt telah memberi berkah kepada lembah Aiman: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah Aiman pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu…” (QS al-Qoshosh: 30).
Dan terkadang yang menjadi obyek berkah Ilahi adalah sesuatu (benda) sampai pada pohon dan waktu. Sebagai contoh:
8- Allah swt telah memberikan berkah kepada al-Quran: “Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang Kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS al-An‟am: 155).
9- Allah swt telah memberikan berkah kepada pohon zaitun: “Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)…” (QS an-Nur: 35).
10- Allah swt telah memberkahi air hujan: “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkati lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam” (QS Qof: 9).
11- Allah swt telah memberkati malam dimana al-Quran turun (lailatul Qadar): “ Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi..” (QS ad-Dukhon: 3).
Setelah mengetahui obyek-obyek berkah Ilahi maka mungkin saja timbul pertanyaan; bagaimana para umat terdahulu, apakah mereka juga mengambil berkah? Allah swt dalam al-Quran menjelaskan hal tersebut seperti yang dicantumkan dalam ayat-ayat berikut:
12- Dalam surat al-Baqarah ayat 248 Allah swt telah mengisakan tentang pengambilan berkah Bani Israil terhadap tabut (peti .red) yang didalamnya tersimpan barang-barang sakral milik kekasih Allah, Nabi Musa as. Allah swt berfirman: “Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman”.
“Peti” itu adalah peti dimana Musa kecil telah diletakkan oleh ibunya
ke sungai Nil dan mengikuti aliran sungai sehingga ditemukan oleh istri
Firaun, untuk diasuh. Para Bani Israil mengambil peti itu sebagai obyek
untuk mencari berkah (tabarruk). Setelah Nabi Musa as meninggal dunia,
peti itu disimpan oleh washi (patner) beliau yang bernama Yusya’, dan di
dalamnya disimpan beberapa peninggalan Nabi Musa yang masih berkaitan
dengan tanda-tanda kenabian Musa. Setelah sekian lama, Bani Israil tidak
lagi mengindahkan peti tersebut, hingga menjadi bahan mainan anak-anak
di jalan-jalan. Sewaktu peti itu masih berada di tengah-tengah mereka,
Bani Israil masih terus dalam kemuliaan. Namun setelah mereka mulai
melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan peti itu, maka
Allah swt menyembunyikan peti tersebut dengan mengangkatnya ke langit.
Sewaktu mereka diuji dengan kemunculan Jalut mereka mulai merasa gunda.
Kemudian mereka mulai meminta seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt ke
tengah-tengah mereka. Lantas Allah swt mengutus Tholut. Melalui dialah
para malaikat pesuruh Allah mengembalikan peti yang selama ini mereka
remehkan.
Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi “dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun” berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt mengujimereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Yakqub as terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Yakqub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf, pun akhirnya pulih penglihatanya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat “barakah” yang dicurahkan oleh
Allah swt kepada baju Yusuf. Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (doa). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 2 halaman 503).
Tentu sangat mudah bagi Allah untuk mengembalikan penglihatan Nabi
Yakqub tanpa melalui proses pengambilan berkah semacam itu. Namun harus
kita ketahui hikmah di balik itu.Az-Zamakhsari dalam menjelaskan apa saja barang-barang yang berada di dalam peti itu menyatakan: “Peti itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Musa berperang (melawan musuh-musuh Allah) peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan kaum Bani Israil merasa tenang dan tidak merasa gunda…adapun firman Allah yang berbunyi “dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun” berupa sebuah papan bertulis, tongkat beserta baju Nabi Musa (as) dan sedikit bagian dari kitab Taurat” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 1 halaman 293).
Lihatlah, betapa Nabi yang diutus oleh Allah swt kepada Bani Israil itu telah memerintahkan kepada Bani Israil untuk tetap menjaga peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun berupa peti dengan segala isinya yang mampu memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa mereka. Pemberian ketenangan melalui peti itu tidak lain karena Allah swt telah memberikan berkah khusus kepada peninggalan kedua Nabi mulia tersebut. Sehingga sewaktu Bani Israil tidak lagi mengindahkan peninggalan yang penuh barakah itu maka Allah swt mengujimereka dan tidak lagi memberkahi mereka. Ini sebagai bukti betapa sakral dan berkahnya peninggalan itu, dengan izin Allah swt.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan tentang pengambilan berkah seorang pribadi mulia seperti Nabi Yakqub as terhadap baju putranya, Nabi Yusuf as. Allah swt berfirman: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf: 93). Dalam kisah itu, saudara-saudara Nabi Yusuf telah melaksanakan perintah saudaranya itu. Ayah Nabi Yusuf (Nabi Yakqub) yang buta akibat selalu menangisi kepergian Yusuf, pun akhirnya pulih penglihatanya karena diusap oleh baju Yusuf. Itu semua berkat “barakah” yang dicurahkan oleh
Allah swt kepada baju Yusuf. Az-Zamakhsyari kembali dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang hakekat baju Yusuf dengan mengatakan: “Dikatakan: itu adalah baju warisan yang dihasilkan oleh Yusuf dari permohonan (doa). Baju itu datang dari Sorga. Malaikat Jibril telah diperintahkan untuk membawanya kepada Yusuf. Di baju itu tersimpan aroma sorgawi yang tidak ditaruh ke orang yang sedang mengidap penyakit kecuali akan disembuhkan” (Lihat Tafsir al-Kasyaf jilid 2 halaman 503).
Terkadang Allah swt menjadikan beberapa benda menjadi “sumber berkah” agar menjadi “sebab” untuk mencapai tujuan yang dikehendaki-Nya. Selain karena Allah swt juga menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di mata Allah swt.
Sehingga semua itu dapat menjadi “sarana” Allah swt memberkati orang untuk mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa, dan lain sebagainya.
Jika para nabi biasa memiliki kemuliaan semacam itu, lantas bagaimana dengan benda (spt: mihrab dan mimbar), tempat (spt: rumah, masjid dan makam), waktu (spt: peringatan hari kelahiran/maulud, perkawinan, hijrah, Isra’-Mi’raj dan wafat) dan mengenang keutamaan (melalui bacaan Maulid Diba’ atau Barzanji) yang berkaitan langsung dengan pribadi agung seperti Rasulullah saw, penghulu para nabi dan rasul, makhluk Allah yang paling sempurna sebagaimana yang telah dicantumkan dalam berbagai ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis shohih?
Ngalab Berkah/Tabarukan (Bag.3)
Tabarruk Para Salaf Saleh dari Pribadi Rasul
Para sahabat mulia nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah
mengambil berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium
tangan beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu,
memunguti rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi
mereka dan lain sebagainya. Imam al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim
jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6
halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang
tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk
anak-anak mereka. Apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan
diri untuk mengatakan bahwa bertabaruk kepada pribadi mulia dan pemilik
keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori
Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua
tadi adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan
meridhoi para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?Setelah kita mengenal konsep “Tabarruk” versi al-Quran yang menyatakan bahwa sebagian nabi mengizinkan atau bahkan melakukan “pengambilan berkah” (tabarruk) dari “sesuatu” selain Allah swt dan tergolong hasil ciptaan Allah, dimana tentu kaum Wahaby tidak akan pernah berani menvonis orang mulia seperti Nabi Ya’qub sebagai pelaku syirik karena telah melakukan pencarian berkah dari baju Nabi Yusuf. Sekarang, giliran kita akan melanjutkan kajian kita kepada masalah; “Tabarruk dari tinjauan hadis”. Dalam penjelasan edisi ini, kita akan buktikan bawa ternyata para Salaf Saleh (Sahabat Nabi) telah melakukan perbuatan yang versi Wahaby tergolong perbuatan Syirik atau Bid’ah, mencari berkah.
Berkah dan Tabarruk dalam as-Sunnah
Penyebab kelompok Salafy mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy adalah karena “konon” mereka ingin menegakkan ajaran Salaf Saleh yang selama ini tidak diindahkan lagi oleh umat Muhammad, padahal ajaran Salaf Saleh pasti benar dan harus selalu ditegakkan. Di sini, kita akan sebutkan bukti-bukti bahwa para Salaf Saleh telah melakukan “tabarruk” (pencarian berkah) yang dikategorikan perbuatan syirik dan bidah oleh kelompok Salafy, yang pada hakekatnya Wahaby itu.
Agar kajian kita lebih terfokus maka kita bagi kajian hadis kita kali ini pada beberapa pembagian berikut:
- Pertama: Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.
- Kedua: Tabarruk para Sahabat dan para Tabi’in (Salaf Saleh) terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.
- Ketiga: Tabarruk kaum
muslimin terhadap peninggalan para pendahulu dari para nabi, sahabat
Nabi, tabi’in dan para kekasih Ilahi (Waliyullah).
Untuk itu, marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menjadi argumen kita serta mengadakan sedikit analisa dari beberapa sisinya:I- Tabarruk para Sahabat (Salaf Saleh) terhadap Rasulullah saw, sewaktu masa hayat beliau.
Di sini kita akan menyebutkan beberapa riwayat sebagai bukti bahwa para sahabat mulia Nabi yang tergolong Salaf Saleh mereka telah mengambil berkah dari Nabi dengan menyentuh tubuh (jasad) Rasul, mencium tangan beliau, meminum sisa minuman beliau, mengambil sisa air wudhu, memunguti rambut beliau, meminta berkah dari Rasul untuk bayi-bayi mereka dan lain sebagainya.
Imam al-Muslim dalam kitab Shohih al-Muslim jilid 1 halaman 164, bab Hukmu Bauli at-Thifl ar-Rodhi’ atau pada jilid 6 halaman 176, bab Istihbab Tahnik al-Maulud menjelaskan secara gamblang tentang prilaku para Salaf Saleh dalam mengambil berkah Rasul untuk anak-anak mereka. Atas dasar itu, Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishobah jilid 3 halaman 638 (detailnya pada: Huruf waw, bagian pertama, bab waw kaf, tarjamah Walid bin Uqbah, nomer 9147) menjelaskan: “Setiap bayi pada masa hidup Rasulullah dihukumi sebagai pribadi yang telah melihat Rasul. Hal itu karena syarat-syarat terlaksananya kaum Anshar dalam mendatangkan anak-anak mereka kepada Rasul agar dipeluk dan diberi berkah (tabarruk) telah terpenuhi”. Hingga dikatakan: “Sewaktu Makkah ditaklukkan (fath), para penghuni Makkah pun berdatangan kepada Nabi dengan membawa anak-anak mereka supaya dapat dibelai (diusap) kepalanya oleh beliau yang lantas beliau doakan”.
a- Tabarruk para sahabat untuk para bayi mereka:
1- Dari ummu Qais: “Suatu saat beliau mendatangi Rasululah dengan membawa serta anaknya yang masih kecil, yang masih belum memakan makanan. Lantas Rasulullah meletakkanya di pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing di pakaian beliau. Kemudian beliau meminta air dan menyiramkannya (pada pakaian) dan tidak mencucinya”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 62 kitab al-Ghasl, Kitab Sunan an-Nasa‟i jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi al-Ladhi lam Ya‟kul at-Tho‟am, Kitab as-Sunan at-Turmudzi jilid 1 halaman 104, Kitab as-Sunan Abu Dawud jilid 1 halaman 93 bab Baul as-Shobi Yushibus Tsaub dan Kitab as-Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 174).
Ibnu Hajar berkata: “Dari hadis ini memberikan beberapa pengertian; Penekanan akan pergaulan secara baik, rendah diri (Tawadhu‟), memeluk anak bayi dan pemberian berkah dari pribadi yang memiliki kemuliaan, dan membawa anak kecil pra dan pasca kelahiran” (Lihat Kitab Fathul-Bari jilid 1 halaman 326 kitab al-Wudhu bab Baul as-Shobi hadis ke-223).
2- Dari Ummul Mukminin Aisyah: “Dulu, Rasulullah selalu didatangkan bayi (kepadanya) yang kemudian beliau peluk mereka untuk diberi berkah“ (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 303 kitab al-Wudhu bab 59 bab Baul as-Shibyan hadis ke-223).
3- Dari Abdurrahman bin ‘Auf, beliau berkata: “Tiada seorang yang
baru melahirkan kecuali bayi itu didatangkan kepada Rasul untuk
didoakan” (Lihat: Kitab al-Mustadrak as-Shohihain karya al-Hafidz
al-Hakim an-Naisaburi jilid 4 halaman 479 dan Kitab al-Ishobah karya
Ibnu Hajar jilid 1 halaman 5 dalam Khutbah kitab, bagian kedua).
4- Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan didoakannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada” (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).
b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:
“Sewaktu Rasulullah datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuk dadanya. Kemudian Zuhair marasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Lantas ia berkata: Aku lantas mengusapkan pungungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadis ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 halaman: 267).
c- Tabarruk sahabat dari rambut Rasulullah saw:
1- Dari Anas, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang dipangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuninya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan di salah satu tangan mereka” (Lihat: Kitab Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 halaman 83, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 591, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 halaman 68, Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadis ke-11955).
2- Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lantas beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Lantas ia (Abdulah bin Zaid) berkata: Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau.” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 halaman 630 hadis ke-16039, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 68 dan Kitab Majma‟ az-Zawa‟id jilid 4 halaman 19).
3- Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperangan .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahirrahmanirrahim” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadis-30136).
4- Dari Muhammad bin Abdurrahman pembantu (maula) Abi Thalhah yang berbicara tentang Muhammad bin Thalhah, beliau berkata: “Sewaktu Muhammad bin Thalhah lahir, aku membawanya kepada Rasulullah untuk dipeluk dan didoakannya. Hal itulah yang dilakukan Rasul kepada para bayi yang ada” (Lihat: Kitab al-Ishobah karya Ibnu Hajar jilid 5 halaman 5 pada Khutbah Kitab, bagian kedua).
b- Tabarruk sahabat dari tubuh Rasulullah saw:
“Sewaktu Rasulullah datang ke pasar, beliau melihat Zuhair berdiri untuk menjual barang. Tiba-tiba beliau datang dari arah punggungnya lantas memeluknya dari belakang hingga tangan beliau menyentuk dadanya. Kemudian Zuhair marasakan bahwa orang itu adalah Rasulullah. Lantas ia berkata: Aku lantas mengusapkan pungungku pada dadanya untuk mendapatkan berkah dari beliau” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 938 hadis ke-12237, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 6 halaman 47 yang telah dinyatakan keshohihannya dengan menyatakan bahwa perawinya semuanya dapat dipercaya (tsiqoh) dan Kitab Sirah Dahlan jilid 2 halaman: 267).
c- Tabarruk sahabat dari rambut Rasulullah saw:
1- Dari Anas, beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah sedang dipangkas rambutnya oleh tukang potong, sedang para sahabat mengerumuninya dan mereka tidak membiarkan sehelaipun rambut beliau jatuh melainkan di salah satu tangan mereka” (Lihat: Kitab Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi jilid 15 halaman 83, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 3 halaman 591, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 7 halaman 68, Kitab as-Sirah al-Halabiyah jilid 3 halaman 303, Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah jilid 5 halaman 189 dan Kitab Musnadaat ibn Malik hadis ke-11955).
2- Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: “…maka Rasulullah dipangkas rambutnya dengan mengenakan baju, lantas beliau memberikannya (rambut) kepada orang-orang (sahabat) untuk dibagi. Kemudian beliau memotong kuku yang kemudian diberikan kepada sahabatnya. Lantas ia (Abdulah bin Zaid) berkata: Kudapati hal itu diwarnai dengan pacar, yaitu; rambut beliau.” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 4 halaman 630 hadis ke-16039, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 68 dan Kitab Majma‟ az-Zawa‟id jilid 4 halaman 19).
3- Dari Abu Bakar, beliau berkata: “Tiada Fath (penaklukan tanpa peperangan .red) terbesar yang dilakukan Islam melainkan Fath Hudaibiyah. Akan tetapi kala itu, orang-orang banyak yang kurang memahami hubungan antara Muhammad dengan Tuhannya…Suatu hari, ketika haji wada’, aku melihat Suhail bin Amr berdiri di tempat penyembelihan (binatang kurban) dekat dengan Rasulullah bersama ontanya yang saat itu beliau menyembelih onta dengan tangannya sendiri. Kemudian beliau memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut kepalanya. Aku melihat Suhail memunguti rambut beliau yang berjatuhan. Aku melihatnya meletakkan (rambut tadi) di kelopak matanya. Aku mengingat keengganan beliau (untuk menghapus), sehingga beliau menetapkan pada hari Hudaibiyah untuk menulis kata Bismillahirrahmanirrahim” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jilid 10 halaman 472 hadis-30136).
d- Tabarruk sahabat dari keringat Rasulullah saw:
1- Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan tikar kulit untuk Nabi, lantas beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, lantas ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti‟dzan).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang sahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Lantas ia meletakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
e- Tabarruk sahabat dari air wudhu Rasulullah saw:
1- Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Lantas orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada di tangan temannya”.
Dalam lafad itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lantas beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti‟malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa‟i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadis ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).
2- Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya-: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti‟malu Fadhli Wudhu‟in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadis ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
1- Dari Anas bin Malik, beliau berkata: “Ummu Salamah selalu menghamparkan tikar kulit untuk Nabi, lantas beliau tidur di atas hamparan tersebut. Sewaktu beliau tertidur, lantas ia (Ummu Salamah .red) mengambil keringat dan rambut Nabi dan diletakkan ke dalam botol dan dikumpulkan dalam tempat minyak wangi” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 7 halaman 14 kitab al-Isti‟dzan).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi riwayat ini mengatakan: “Dengan menyebutkan rambut dalam kisah ini sangatlah mengherankan sekali. Sebagian orang menyatakan bahwa rambut beliau tersebar (terurai) ketika berjalan. Kemudian ketika aku melihat riwayat Muhammad bin Sa’ad yang masih samar. Riwayat itu memiliki sanad (jalur) yang sahih dari Tsabit bin Anas, bahwa sewaktu Nabi saw mencukur rambutnya di Mina Abu Thalhah mengambil rambut beliau dan menyerahkannya kepada Ummu Salamah. Lantas ia meletakkannya ke dalam tempat minyak wangi. Ummu Salamah berkata: Beliau datang ke (rumah)-ku dan tidur di atas hamparan milikku sehingga keringat beliau mengalir (terkumpul)” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 11 halaman 59 atau Kitab Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 313).
e- Tabarruk sahabat dari air wudhu Rasulullah saw:
1- Dari Abu Juhfah, beliau berkata: “Aku mendatangi Nabi sewaktu beliau berada di Qubbah Hamra dari Adam. Kulihat Bilal (al-Habasyi) mengambil air wudhu Nabi. Lantas orang-orang bergegas untuk berwudhu juga. Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dari air wudhu tadi maka akan menggunakannya sebagai air basuhan. Namun bagi siapa yang tidak mendapatkannya maka ia akan mengambil dari basahan (sisa wudhu) yang berada di tangan temannya”.
Dalam lafad itu dikatakan: “Rasul pergi menuju Hajirah bersama kami, lantas beliau mengambil air wudhu. Kemudian orang-orang mengambili air bekas wudhu beliau untuk dijadikan bahan basuhan (dalam berwudhu)” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti‟malu Fadhli Wudhu’in Nas, Kitab shohih al-Muslim jilid 1 halaman 360, Kitab Sunan an-Nasa‟i jilid 1 halaman 87, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 398 hadis ke-18269, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 395 dalam bab al-Iltiwa’ fi Hayya ‘ala as-Shalah dan Kitab ad-Dala’il an-Nubuwah karya al-Baihaqi jilid 1 halaman 183).
2- Dari Ibnu Shahab, beliau berkata: “Aku mendapat kabar dari Mahmud bin Rabi’, ia berkata: Dia adalah orang yang Rasul telah meludah pada wajahnya, saat itu ia adalah kanak-kanak di daerah mereka. Berkata Urwah, dari al-Masur dan selainnya –masing-masing saling mempercayai temannya-: Ketika Nabi melaksanakan wudhu, seakan mereka hendak saling bunuh-membunuh untuk mendapatkan air wudhu beliau” (Lihat: Kitab Shahih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 dalam kitab wudhu bab Isti‟malu Fadhli Wudhu‟in Nas, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 6 halaman 594 hadis ke-23109 dan Kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 246).
Ibnu Hajar dalam mensyarahi hadis tersebut menyatakan: “Apa
yang dilakukan Nabi terhadap Mahmud, kalau tidak karena tujuan
bersendau gurau, atau untuk memberi berkah kepadanya. Hal itu
sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada anak-anak para Sahabat
lainnya” (Lihat: Kitab Fathul Bari jilid 1 halaman 157 dalam bab Mata
Yashihhu Sima’ as-Shoghir).
Sebagaimana banyak dari para perawi dan penghapal hadis yang meriwayatkan kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi, ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya-; “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada salembar rambutpun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadis panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).
3- Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur “Badho’ah” kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: “Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah”, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
4- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Lantas Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuhlah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60 / jilid 7 halaman 150 / jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).
5- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi berwudhu pada sebuah baskom, lantas (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadis ke-35472).
6- Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasul mengambil air pada sebuah tempat. Lantas beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Lantas beliau bersabda: Minumlah kalian berdua dari (air) itu. Dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 kitab al-Wudhu bab Isti‟mal Fadhli Wudhuin Naas).
Ibnu Hajar berkata: “Tujuan dari semua itu –memuntahkan kembali air-
adalah untuk memberikan berkah kepadanya (air)” (Lihat: Kitab Fathul
Bari jilid 1 halaman 55 kitab Wudhu bab Isti’mal Fadhli Wudhuin Nas, dan
atau jilid 8 halaman 37 bab Ghozwah at-Tha’if).Sebagaimana banyak dari para perawi dan penghapal hadis yang meriwayatkan kisah kedatangan Urwah bin Mas’ud as-Tsaqofi kepada kaum Quraisy pra perjanjian damai (Suluh) di Hudaibiyah. Kala itu ia heran melihat prilaku sahabat terhadap Nabi, ia mengatakan –menjelaskan apa yang dilihatnya-; “Tiada beliau melakukan wudhu kecuali mereka (sahabat) bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada beliau meludah kecuali merekapun bersegera (untuk mengambil berkah). Tiada salembar rambutpun yang rontok kecuali mereka memungutnya”. Dalam riwayat lain disebutkan; “Demi Allah, sewaktu Rasul mengeluarkan dahak dan dahak itu mengenai telapak tangan seseorang maka orang tadi akan mengusapkannya secara rata ke seluruh bagian muka dan kulitnya. Jika beliau memerintahkan sesuatu niscaya mereka bersegera (untuk melaksanakannya). Jika beliau mengambil air wudhu maka mereka bersegera seakan-akan hendak saling membunuh memperebutkan (bekas air) wudhu beliau”. (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 66 dalam kitab al-Wudhu’ dan jilid 3 halaman 180 dalam kitab al-Washoya, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 423 dalam hadis panjang nomer-18431, Kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi jilid 9 halaman 219 bab al-Muhadanah ‘ala an-Nadhar Lilmuslimin, Kitab Sirah Ibnu Hisyam jilid 3 halaman 328, Kitab al-Maghozi karya al-Waqidi jilid 2 halaman 598 dan Kitab Tarikh al-Khamis jilid 2 halaman 19).
3- Dari Sa’ad, beliau berkata; Aku mendengar dari beberapa sahabat Rasul seperti Abu Usaid, Abu Humaid dan Abu Sahal ibn Sa’ad, mereka mengatakan: “Suatu saat, Rasulullah mendatangi sumur “Badho’ah” kemudian beliau mengambil wudhu melalui ember lantas (sisanya) dikembalikan ke dalam sumur. Kemudian beliau mencuci mukanya kembali, dan meludah ke dalamnya (ember) dan meminum airnya (sumur). Dan jika terdapat orang sakit di zaman beliau maka beliau bersabda: “Mandikan dia dengan air sumur Bidho’ah”, maka ketika dimandikan, seakan simpul tali itu telah lepas (sembuh)” (Lihat: Kitab at-Thobaqoot al-Kubra jilid 1/2 halaman 184 dan Kitab Sirah Ibnu Dahlan jilid 2 halaman 225).
4- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Ketika aku sakit yang tak kunjung sembuh, Rasulullah menjengukku. Lantas Rasulullah mengambil air wudhu, kemudian beliau siramkan sisa air wudhu beliau, kemudian sembuhlah penyakitku” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 60 / jilid 7 halaman 150 / jilid 8 halaman 185 dan jilid 9 halaman 123).
5- Dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, beliau berkata: “Sewaktu Nabi berwudhu pada sebuah baskom, lantas (sisa air tadi) aku tuang ke dalam sumur milik kami” (Lihat: Kitab Kanzul Ummal jilid 12 halaman 422 hadis ke-35472).
6- Dari Abi Musa, beliau berkata: “Rasul mengambil air pada sebuah tempat. Lantas beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya. Kemudian kembali memuntahkan air itu ke dalamnya. Lantas beliau bersabda: Minumlah kalian berdua dari (air) itu. Dan sisakanlah untuk muka dan leher kalian berdua” (Lihat: Kitab Shohih al-Bukhari jilid 1 halaman 55 kitab al-Wudhu bab Isti‟mal Fadhli Wudhuin Naas).
7- Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku telah meminum (air) sementara aku dalam keadaan puasa. Bersabda (Rasul): Kenapa kamu melakukan hal itu? Ia berkata: Demi untuk mendapat sisa minummu, karena aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya sedikitpun. Aku tidak mampu untuk menyia-menyiakannya. Ketika aku mampu melakukannya maka aku akan meminumnya” (Lihat: Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid 7 halaman 575 hadis ke-26838 dan Kitab at-Thabaqot al-Kubra jilid 8 halaman 109).
Semua riwayat di atas tadi membuktikan bahwa dalam sejarah telah terbukti bahwa para sahabat mulia Rasul telah melakukan tabarruk pada masa kehidupan beliau. Sebenarnya masih banyak riwayat-riwayat lain lagi yang bisa kita sebutkan di sini. Namun untuk mempersingkat, maka kami hanya menyebutkan riwayat-riwayat tadi saja, sebagai argumen pertama, Tabarruk para sahabat mulia Rasul pada masa kehidupan Nabi. Kami tidak tahu, apakah sampai sini kaum Salafy masih tetap memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bertabarruk dari pribadi mulia dan pemilik keutamaan sedang ia masih hidup adalah sesuatu yang masuk kategori Syirik atau Bid’ah? Mungkinkah para Salaf Saleh (sahabat Rasul) semua tadi adalah pelaku syirik dan bid’ah? Mungkinkah Rasul membiarkan bahkan meridhoi para sahabatnya melakukan syirik dan bid’ah?
Pembahasan kita selanjutnya adalah menyebutkan beberapa riwayat yang membuktikan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk terhadap peninggalan Rasul, pasca wafat beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar