Jumat, 24 Januari 2014

NU dan Bid’ah? Siapa Takut!

NU dan Bid’ah? Siapa Takut!

Oleh: H RPA MUjahid Ansori

Ketua FAHMI TAMAMI

(Forum Silaturahmi Ta’mir Masjid dan Musholla Indonesia)

BID’AH! Tiba-tiba kata itu populer lagi, setelah untuk beberapa tahun terkubur oleh realitas yang sungguh menyejukkan. Kemesraan yang terjalin antar umat Islam tanpa membedakan pemahaman keberagamaannya. Namun sayang, kemesraan itu kini terancam berantakan seiring dengan massifnya gerakan- gerakan yang menamakan diri sebagai kelompok purifikasi (pemurnian) agama dari bid’ah, ta- khayyul dan khurafat dalam be­berapa tahun belakangan ini. Dengan segala daya upaya tanpa mengenal waktu dan tempat mereka melakukan “intimidasi” de­ngan menuduh mereka melaku­kan bid’ah, melakukan gajuatu yang menurut mereka syirik dan sesat, bahkan ada yang melaku­kan takfir (pengkafiran). Dalam beberapa kasus mereka malah “mengambil alih” managemen masjid dan mengganti atau menghapus kegiatan masjid dengan hal-hal yang menurut mereka pal­ing benar dan murni. Tak pelak ini menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat yang nantinya akan berpeluang memunculkan konflik.

NU adalah golongan yang selama ini sering dituduh sebagai pelopor praktik bid’ah, takhayyul dan khurofat. Ini tidak lepas dari tradisi tahlil, istighotsah, diba’ dan ziarah kubur ke makam para wali yang memang banyak diiakukan oleh warga NU. Alhasil, bagi mereka NU adalah bid’ah maker (pencipta bid’ah). Bagi mereka semua bid’ah adalah sesat. Tidak perlu ada peninjauan makna bid­’ah. Tidak perlu ada pembagian bid’ah hasanah dan dlalalah. Kullu bid’atin dlolalah. Titik! Tanpa kecuali! Mereka lupa (atau tidak tahu ?) bahwa sayyidina Umar RA pernah berkata:

نعمت البد عة هذه


(Inilah sebaik-baik bid’ah).

Kata-kata itu diucapkannya ketika sahabat lain menegurnya karena meyelenggarakan shalat tarawih berjama’ah dengan 20 rakaat di masjid Nabawi selama satu bulan penuh. Ini adalah sesuatu yang pada masa Nabi tidak pernah dilakukan. Demikian juga dengan pembukuan al-Quran (baca: Mushaf), baik pembukuan pertama pada masa Abu Bakar RA maupun pem­bukuan kedua pada masa Utsman bin Affan RA yang pada masa Rasulullah SAW belum dilakukan atau tidak dilakukan.

Dakwah Kultural NU dan Bid’ah

Berbeda dengan dakwah Islam di Asia Barat, Afrika, dan Eropa yang dilakukan dengan penaklukan; masuknya Islam ke Indone­sia adalah dengan cara damai, yakni dengan pendekatan pada masyarakat pribumi dan akulturasi budaya (percampuran budaya Islam dan budaya lokal). Berdasarkan literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan  Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan dalam Kanzul ‘Ulum bahwa di Aceh telah tersebar pengikut madzhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (XV M) penduduk pribumi memeluk Is­lam secara massal. Inilah masa dakwah Walisongo yang konon datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I Turki dengan menjadikan budaya dan tradisi lokal sebagai sarana atau media dakwah. Style inilah yang disebut dengan dakwah kultural yang dikembangkan oleh Wali­songo, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa literatur seperti “Ensiklopedi Islam”, “Tarikhul Auliya” (Bisri Mustofa), “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia” (KH Saifuddin Zuhri), “Sekitar Walisanga” (Solihin Salam) dan “Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya”.

Sebelum Islam masuk, mayoritas penduduk Indonesia beragama Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokalnya amat kental diwarnai kedua agama tersebut. Oleh Walisongo, budaya dan tradisi lokal ini tidak dianggap sebagai “musuh agama” yang harus dibasmi selama tak ada larangan dalam syariat. Justru sebaliknya, tradisi tersebut di- manfaatkan sebagai sarana atau media dakwah.

Kecintaan masyarakat Jawa pada kesenian dimanfaatkan oleh Walisongo dengan menciptakan tembang-tembang berisi ajaran Is­lam berbahasa Jawa. Pertunjukan wayang diisi dengan lakon Islami. Kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu diisi pembacaan kalimat thayyibah (dzikir dan doa). Kebiasaan menyediakan makanan untuk anggota keluarga yang meninggal dunia diubah menjadi sedekah kepada para tetangga yang berkumpul untuk berdoa. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati- hati—menyebut shalat dengan kata sembahyang (dari asal kata sembah dan Hyang) dan menamai tempat ibadah dengan langgar, mirip kata sanggar pada pemeluk Hindu. Bangunan masjid dan lang­gar pun dibuat bercorak Jawa de­ngan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dileiigkapi menara dan gapura bercorak Hin­du. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-padepokan orang Hin­du dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama mereka.

Model dakwah kultural sebagaimana yang dipraktekkan oleh Walisongo itulah yang oleh Nahdlatul Ulama terus dipelihara dan dikembangkan di Indonesia ini dengan prinsip “al-muhafadhah ‘alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. NU amat terbuka dengan hal-hal baru yang membawa kepada kebaikan, termasuk tidak keberatan (amat mendukung) model dakwah dengan media televisi, telepon genggam, internet, atau apapun sesuai de­ngan perkembangan zaman dan tingkat kecerdasan (khootibun nasa biqodri ‘uqulihim) serta kecenderungan obyek dakwah (umat) selama tidak bertentangan de­ngan hukum-hukum syara’. Sungguh amat menggelikan kelompok yang gigih menuduh pihak lain sebagai pelaku bid’ah (sesat) de­ngan alasan praktik tersebut tidak ada pada masa Nabi tapi ternyata mereka berdakwah lewat televisi dan internet. Tidakkah itu juga tidak ada pada masa Nabi dan Nabi juga tidak pernah melaku- kannya ? Tidakkah berarti mereka juga bid’ah maker?

Para Walisongo dan juga ulama-ulama pendiri NU memang bukanlah seseorang yang ma’shum (terjaga dari dosa sebagaimana nabi). Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang sembrono, apalagi bodoh. Mereka adalah orang-orang alim yang wara’ dan mahfudh (terjaga dari dosa karena kewaliannya). Mere­ka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah. Tidakkah terlalu sombong jika mereka dan juga kita-kita ini yang ibadah dan kealimannya masih dipertanyakan sudah berani menyalahkan bahkan merasa lebih pintar dari para ulama itu? na’udzubillahi min dzalikin!

(Disadur dari Majalah Aula NU Juni 2011)

Mas Derajad

14/07/2012 at 09:48 #

@abdullah

Sebelumnya mohon maaf saya harus mengatakan, anda harus mengaji fiqh lagi. Dan tidak ada salahnya bahkan sangat dianjurkan, sesuai dawuh Rasulallah Muhammad S.A.W. :

من يردالله به خيرا يفقه في الدين

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka orang tersebut difahamkan dalam agama.”

Bid’ah berasal dari kata badi’ yang artinya melakukan/membuat sesuatu tanpa contoh. Lihat qamus Al Munjid. Allah bersifat Al Badi’ artinya Allah itu Maha Menciptakan tanpa contoh.

Dalam ta’rif/pengertian fiqh bid’ah berarti melakukan sesuatu yang tidak ada contoh dari Kanjeng Nabi. Dalam hal fiqh, hal-hal yang bersifat ushul (pokok) seperti ibadah mahdhah, shalat, puasa, zakat, haji dll semua umat islam sepakat kesamaannya (tidak ada yang berbeda, apalagi seperti jalan fikiran saudara itu), misal rakaat shalat, rukun haji dll. Tapi para sahabat dan ulama’ yang jelas memahami ushul fiqh menambah / melakukan penambahan dalam hal furu’ atau cabang (bukan pokoknya) dengan maksud memperkuat pokok (ushul)nya dengan gairah ibadah lillah. Contohnya adalah shalat tarawih berjamaah dengan satu imam dan 23 rakaat di masa Sayidina Umar, adzan dua kali pada ibadah jum’at di masa Sayidina Utsman, penulisan mushaf Qur’an pada masa Sayidina Utsman dll. Sebagai contoh juga dalam hal tarawih tadi Sayidina Umar mengatakan ini adalah bid’ah yang baik.

Kebenaran hakiki hanya milik Allah

Hamba Allah yang dhaif dan faqir

Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad

    kita akan tetap mengikuti ajaran nabi dan para sahabat beliau,sampai sekarang dan akan datang yang ada waliyullah dan para ulama,

    bukan para yang pintar berkata tidak jelas kealiaman pengatahuannnya dll,dan tidak mengerti bid’ah.karena terlalu pendek mengambil perkataan setip bi’dah itu sesat.

    sekali lagi jangan berhenti di kalimat ini saja.karena ada sambungannya,

    semoga kita semua diselamatkan oleh Allah amin

KALAU MEMANG SEMUA BID’AH ITU DHOLALAH, APAKAH BEKNAH BISA MEMBACA ALQUR’AN SEPERTI KETIKA NABI MASIH HIDUP, KARENA ALQUR’AN YANG SEKARANG ADALAH HASIL DARI BID’AH, BISAKAH KOEN MEMBACA TUMPUKAN PELEPAH KURMA, KOWE GAK AKAN MAMPU, TAPI KALAU MAU MELAHAPNYA????????, MENAWI PENNO SAGET MONGGO,,,,,,,,,,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar