Kamis, 30 Januari 2014

Bersedekah & kirim do'a untuk ahli Qubur

MASIH ADA HARAPANKAH MENGIRIM PAHALA AMAL SHOLIH BUAT MAYIT ?
Inkar Sunnah beranggapan bahwa seseorang tidak boleh bersedekah, berhaji, berpuasa yang pahalanya diberikan kepada orang lain karena pahalanya tidak akan sampai. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits berikut:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39)
“Barang siapa mengerjakan amal sholih, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabb-mulah kamu dikembalikan.” (QS. Al Jaatsiyah: 15)
Nabi bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan terputus seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah, bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Mereka yang berpegang pada zhohir ayat di atas maka akan menolak banyak hadits Nabi tentang mengirimkan manfaat untuk orang lain seperti bersedekah, berhaji, atau berpuasa untuk orang lain. Hadit-hadits tersebut antara lain:
a.       Dalam Kitab Shohih Bukhari, Abdullah bin Abbas menceritakan bahwa ibunda Sa’ad bin Ubadah wafat di saat Sa’ad sedang tidak ada di dekatnya. Sa’ad kemudian datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam seraya berkata: ”Rasulullah, ibu saya telah wafat ketika saya sedang tidak ada di dekatnya. Apakah bermanfaat untuknya jika bersedekah atas namanya?” Beliau membenarkan. Sa’ad berkata: ”Saksikanlah bahwa kebun saya yang berbuah lebat ini menjadi sedekah atas namanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Washaya 5/453)
b.      Abu Hurairah dalam Kitab Shohih Muslim menuturkan bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam: ”Ayah saya telah wafat. Ia meninggalkan sejumlah harta, tetapi tidak sempat berwasiat. Apakah cukup bermanfaat untuknya jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: ”Benar.” (HR. Muslim dalam Al-Washiyyah 3/1454)
c.       Ibnu Abbas bercerita: Seseorang datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam lantas berkata: ”Rasulullah, ibu saya meninggal dunia, dan ia mempunyai hutang puasa selama satu bulan. Mestikah saya mengqadha puasa untuknya?” Beliau menjawab: ”Ya, sebab hutang kepada Allah lebih patut untuk dilunasi.” (HR. Bukhari dalam Ash-Shaum 1817, Muslim dalam Ash-Shaum 1946, Ahmad dalam Al-Musnad 1868)
d.      Dari Aisyah Nabi shollallahu ’alaihi wasalam bersabda: ” Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)
e.       Dalam Kitab Shohih Bukhari dari Ibnu Abbas menuturkan bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap Nabi shollallahu ’alaihi wasalam. Si wanita lantas berkata: ”Ibu saya pernah bernazar untuk menunaikan ibadah haji. Namun ia belum sempat menunaikannya lantaran keburu meninggal dunia. Bolehkah saya menunaikan ibadah haji atas namanya?” Beliau berkata:”Silakan engkau menunaikan ibadah haji atas namanya. Menurutmu seandainya ibu engkau itu masih mempunyai hutang, apakah kamu akan melunasi hutangnya itu? Hendaklah kalian melunasi hutang kepada Allah, sebab Dia paling berhak mendapat pelunasan.”
Orang yang mengingkari hadits-hadits di atas, sebenarnya tidak konsisten dengan prinsip yang mereka anut. Mengapa? Karena mereka menolak sebagian, tetapi mengimani sebagian yang lain. Mereka menganggap bahwa mendoakan orang tua, saudara, keluarga, maupun kaum muslimin itu bermanfaat.
“Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS. Ibrahim: 41)
“Apabila kalian mensholati mayat, hendaklah kalian mengikhlaskan doa untuknya.” (HR. Ibnu Majah dalam Al-Janaiz 4801 dan Abu Dawud dalam Al-Janaiz 3/2073)
Mendoakan orang tua, saudara, maupun kaum mukminin sangat bermanfaat bagi orang yang didoakan, padahal mendoakan bukanlah amalan sendiri tetapi amalan orang lain.
Mereka juga menganggap bahwa mensholati jenazah itu akan bermanfaat bagi si mayit.
Nabi bersabda: “Tidaklah seorang mayit disholatkan oleh sekelompok orang Islam yang jumlah mereka mencapai 100, semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya.” (HR. Muslim no. 947, 58)
Bukankah sholat jenazah ini merupakan amalan orang lain bukan amalan si mayit, tetapi ternyata amalan orang lain ini bermanfaat bagi si mayit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang Surat An-Najm 39 dan hadits Muslim “Jika anak Adam mati…” : Apakah hal itu mengharuskan bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka tidak akan ada satupun dari amal kebajikan yang sampai kepadanya?
Maka Ibnu Taimiyyah menjawab:
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Tidak disebutkan dalam ayat dan hadits di atas bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat mengambil manfaat dari doa yang dipanjatkan untuknya dan amal kebajikan yang dilakukan baginya. Seluruh umat Islam sepakat bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari itu semua. Hal ini termasuk yang diketahui dalam agama Islam secara pasti dan telah dibuktikan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Barang siapa yang menyalahinya, maka dia termasuk ahli bid’ah. Allah berfirman:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. Al Mu’min: 7-9)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa para malaikat mendoakan ampunan, penjagaan dari siksa dan masuk surga bagi kaum mukminin. Doa malaikat bukan merupakan amal perbuatan manusia.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidaklah mesti setiap hal yang bisa diambil manfaatnya atau menjadi sebab rahmat oleh orang yang sudah meninggal dunia atau orang yang masih hidup berasal dari usahanya sendiri. Bahkan bayi-bayi kaum muslimin akan masuk surga bersama ayah-ayah mereka dengan tanpa usaha. Yang tidak dapat diambil manfaatnya adalah yang khusus dimanfaatkan secara keseluruhan, agar seseorang tidak hanya mengharapkan pahala dari usaha orang lain. Seperti halnya hutang yang dilunasi oleh seseorang untuk orang lainnya sehingga dia menjadi terbebas dari tanggungannya, namun dia tidak berhak untuk menuntut pelunasan hutangnya, justru diharapkan dialah yang melunasi hutangnya sendiri.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata: “Adapun berdoa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7 /465)
Imam An-Nawawi setelah menyebutkan rentetan hadits-hadits yang menjadi hujjah sampainya sedekah kepada mayit mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan semua ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-100)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Majmu’ Fatawa, 5/466)
Abu Sulaiman Walid Al Baji  mengatakan: “Maka, Nabi Saw  mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al Muntaqa’ Syarh Al Muwatta’, 4/74)
Ibnu Qudamah mengatakan: “Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)
Khathib Asy Syarbini mengatakan: “Sedekah bagi mayit membawa manfaat baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya.” (Mughni Muhtaj, 3/69-70)
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayit).
Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala sedekah kepada mayit).
Imam An-Nasa’i, dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan bersedekah untuk mayit).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Arab Saudi) berfatwa: “Adapun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka semua ini disyariatkan.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, 1/89)
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin (Ulama Arab Saudi) mengatakan: “Adapun sedekah buat mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh bersedekah (untuknya).” (Fatawa Nur ‘Alad Darb no. 44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang wanita boleh menghajikan wanita lain, (hal ini) berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Fatawa, 26/13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tentang menghajikan orang yang sudah mati atau orang yang tidak kuat badannya, dengan harta yang diambil dari orang yang dihajikan itu sebagai biaya selama haji, maka ini boleh, dengan kesepakatan para ulama. Adapun menghajikan orang yang mengambil upah, (hal ini) masih menjadi perselisihan pendapat di antara para ahli fikih.” (Majmu’ Fatawa, 26/13)
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah, haji dan umrah. Adapun di luar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. Itulah pendapat yang masyhur (populer) dari madzhab Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik.” (Syarah Aqidah At-Thahawiyah, hal. 452 dan Al-Majmu’ Imam An-Nawawi, 15/521)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang telah mati mendapatkan manfaat dengan shalat (jenazah) atasnya, doa untuknya, haji baginya, dan semacamnya, dari segala sesuatu yang manfaatnya telah pasti didapatkan oleh seseorang dengan sebab amal orang lain.” (Tafsir Adhwaul Bayan, Surat An-Najm ayat 39)
Firman Allah dalam Surat An-Najm ayat 39 :
“Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya.”
Berikut ini penjelasan Surat An-Najm ayat 39:
Mengenai ayat di atas seorang shahabat Nabi, ahli tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni Ibnu Abbas ra. berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT: “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya.’ (Tafsir Khazin, IV/213)
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra sebagai penasakh Surat An-Najm ayat 39 itu adalah sebagai berikut : “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur :21)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menafsirkan QS. An-Najm 39: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam sholat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)
Asy-Syaukani berkata menafsirkan Surat An-Najm ayat 39: “Dan makna ayat tersebut, ‘Dia (manusia) hanya mendapatkan balasan usahanya, dan amal seseorang tidak bermanfaat kepada orang lain’, maka keumuman ini dikhususkan dengan firman Allah ta’ala, ‘Kami hubungkan mereka dengan anak cucu mereka’. (Q.S. Ath-Thur: 21), serta dengan ayat semisal itu tentang syafaat para nabi dan para malaikat untuk hamba-hamba (Allah), dan disyariatkannya doa orang-orang yang hidup untuk orang-orang yang telah mati, dan semacamnya. Tidak benarlah orang yang mengatakan  ‘Sesungguhnya ayat itu dihapuskan dengan semisal perkara-perkara ini’, karena sesungguhnya yang khusus tidaklah menghapuskan yang umum, tetapi mengkhususkannya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dalilnya telah tegak bahwa manusia mendapatkan manfaat dengannya, sedangkan itu bukan usahanya, hal itu menjadi pengkhusus keumuman ayat ini.” (Tafsir Fathul Qadir, Surat An Najm ayat 39)
Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya yang lain: “(Ayat) ‘Tidak ada seseorang itu…..’ maksudnya tidak  ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.” (Nailul Authar, IV/102)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Ayat itu hanyalah menunjukkan peniadaan kepemilikan manusia terhadap sesuatu yang tidak diusahakannya. Ayat ini tidak menunjukkan peniadaan bahwa manusia tidak mendapatkan manfaat dengan usaha orang lain.” (Tafsir Adhwaul Bayan, Surat An-Najm ayat 39).
Nabi bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan terputus seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah, bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Berikut penjelasan mengenai hadits tersebut:
Ibnul Qayyim berkata untuk membantah orang yang berargumen menggunakan hadits Muslim “Jika anak Adam mati…” : “Maka ini pengambilan dalil yang tidak pada tempatnya. Sebab Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan ‘terputus pengambilan manfaatnya’, tapi yang diberitahukan adalah ‘terputusnya amal perbuatan’, sedangkan amal perbuatan orang lain adalah milik orang lain. Apabila dia menghadiahkan pahala amal perbuatannya, maka pahala si pelaku tersebut akan sampai kepadanya, bukan pahalanya sendiri. Yang terputus lain hal, sedangkan yang sampai kepadanya lain hal lagi.” (Kitab Ar-Ruuh oleh Ibnul Qayyim)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) menjelaskan: “Dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain (yang masih hidup) maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.” (Syarh Aqidah Thahawiyah: 456)
Yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah adalah masalah mengirimkan pahala bacaan Al Qur’an kepada mayit karena hal ini tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i berpendapat tidak sampai karena tidak ada dalil yang menerangkan hal itu. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat sampainya pahala bacaan Al-Qur'an kepada mayit berdasarkan qiyas. 
 
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar