MASIH ADA HARAPANKAH MENGIRIM
PAHALA AMAL SHOLIH BUAT MAYIT ?
Inkar Sunnah beranggapan bahwa
seseorang tidak boleh bersedekah, berhaji, berpuasa yang pahalanya diberikan
kepada orang lain karena pahalanya tidak akan sampai. Mereka berdalil dengan
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits berikut:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya.” (QS.
An Najm: 39)
“Barang siapa mengerjakan amal sholih, maka itu
adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka
itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabb-mulah kamu
dikembalikan.” (QS.
Al Jaatsiyah: 15)
Nabi
bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan
terputus seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah, bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab
Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Mereka yang
berpegang pada zhohir ayat di atas maka akan menolak banyak hadits Nabi tentang
mengirimkan manfaat untuk orang lain seperti bersedekah, berhaji, atau berpuasa
untuk orang lain. Hadit-hadits tersebut antara lain:
a.
Dalam
Kitab Shohih Bukhari, Abdullah bin Abbas menceritakan bahwa ibunda Sa’ad bin
Ubadah wafat di saat Sa’ad sedang tidak ada di dekatnya. Sa’ad kemudian datang
kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam seraya berkata: ”Rasulullah, ibu saya telah wafat ketika saya sedang tidak ada di
dekatnya. Apakah bermanfaat untuknya jika bersedekah atas namanya?” Beliau
membenarkan. Sa’ad berkata: ”Saksikanlah
bahwa kebun saya yang berbuah lebat ini menjadi sedekah atas namanya.” (HR.
Bukhari dalam Al-Washaya 5/453)
b.
Abu
Hurairah dalam Kitab Shohih Muslim menuturkan bahwa ada seseorang berkata
kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam: ”Ayah
saya telah wafat. Ia meninggalkan sejumlah harta, tetapi tidak sempat
berwasiat. Apakah cukup bermanfaat untuknya jika saya bersedekah atas namanya?”
Beliau menjawab: ”Benar.” (HR. Muslim dalam Al-Washiyyah 3/1454)
c.
Ibnu
Abbas bercerita: Seseorang datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam lantas berkata: ”Rasulullah, ibu saya meninggal dunia, dan
ia mempunyai hutang puasa selama satu bulan. Mestikah saya mengqadha puasa
untuknya?” Beliau menjawab: ”Ya, sebab hutang kepada Allah lebih patut
untuk dilunasi.” (HR. Bukhari dalam Ash-Shaum 1817, Muslim dalam Ash-Shaum
1946, Ahmad dalam Al-Musnad 1868)
d. Dari Aisyah Nabi shollallahu ’alaihi
wasalam bersabda: ” Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa,
maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)
e. Dalam Kitab Shohih Bukhari dari Ibnu Abbas
menuturkan bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap Nabi shollallahu
’alaihi wasalam. Si wanita lantas berkata: ”Ibu
saya pernah bernazar untuk menunaikan ibadah haji. Namun ia belum sempat
menunaikannya lantaran keburu meninggal dunia. Bolehkah saya menunaikan ibadah
haji atas namanya?” Beliau berkata:”Silakan engkau menunaikan ibadah
haji atas namanya. Menurutmu seandainya ibu engkau itu masih mempunyai hutang,
apakah kamu akan melunasi hutangnya itu? Hendaklah kalian melunasi hutang
kepada Allah, sebab Dia paling berhak mendapat pelunasan.”
Orang yang
mengingkari hadits-hadits di atas, sebenarnya tidak konsisten dengan prinsip
yang mereka anut. Mengapa? Karena mereka menolak sebagian, tetapi mengimani
sebagian yang lain. Mereka menganggap bahwa mendoakan orang tua, saudara,
keluarga, maupun kaum muslimin itu bermanfaat.
“Dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah:
103)
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku
dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya
hisab (hari kiamat)." (QS. Ibrahim: 41)
“Apabila kalian mensholati mayat, hendaklah
kalian mengikhlaskan doa untuknya.” (HR. Ibnu Majah dalam Al-Janaiz 4801 dan Abu
Dawud dalam Al-Janaiz 3/2073)
Mendoakan orang
tua, saudara, maupun kaum mukminin sangat bermanfaat bagi orang yang didoakan,
padahal mendoakan bukanlah amalan sendiri tetapi amalan orang lain.
Mereka juga
menganggap bahwa mensholati jenazah itu akan bermanfaat bagi si mayit.
Nabi bersabda:
“Tidaklah seorang mayit disholatkan oleh sekelompok orang Islam yang jumlah
mereka mencapai 100, semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan syafa’at
itu akan diberikan pada dirinya.” (HR. Muslim no. 947, 58)
Bukankah sholat
jenazah ini merupakan amalan orang lain bukan amalan si mayit, tetapi ternyata
amalan orang lain ini bermanfaat bagi si mayit.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang Surat An-Najm 39 dan hadits Muslim “Jika anak Adam mati…” : Apakah hal itu
mengharuskan bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka tidak akan ada satupun
dari amal kebajikan yang sampai kepadanya?
Maka Ibnu Taimiyyah menjawab:
“Alhamdulillahirabbil
‘alamin. Tidak disebutkan dalam ayat dan hadits di atas bahwa orang yang sudah
meninggal dunia tidak dapat mengambil manfaat dari doa yang dipanjatkan
untuknya dan amal kebajikan yang dilakukan baginya. Seluruh umat Islam sepakat
bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari itu semua.
Hal ini termasuk yang diketahui dalam agama Islam secara pasti dan telah
dibuktikan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Barang siapa yang menyalahinya,
maka dia termasuk ahli bid’ah. Allah berfirman:
“(Malaikat-malaikat) yang
memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji
Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau
meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat
dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang
menyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara
bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah
mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari
(pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan
rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. Al Mu’min: 7-9)
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan bahwa para malaikat mendoakan ampunan, penjagaan
dari siksa dan masuk surga bagi kaum mukminin. Doa malaikat bukan merupakan
amal perbuatan manusia.” (Majmu’ Fatawa oleh
Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidaklah mesti setiap hal yang bisa diambil manfaatnya
atau menjadi sebab rahmat oleh orang yang sudah meninggal dunia atau orang yang
masih hidup berasal dari usahanya sendiri. Bahkan bayi-bayi kaum muslimin akan
masuk surga bersama ayah-ayah mereka dengan tanpa usaha. Yang tidak dapat
diambil manfaatnya adalah yang khusus dimanfaatkan secara keseluruhan, agar
seseorang tidak hanya mengharapkan pahala dari usaha orang lain. Seperti halnya
hutang yang dilunasi oleh seseorang untuk orang lainnya sehingga dia menjadi
terbebas dari tanggungannya, namun dia tidak berhak untuk menuntut pelunasan hutangnya,
justru diharapkan dialah yang melunasi hutangnya sendiri.” (Majmu’ Fatawa oleh
Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Ibnu Katsir dalam
kitab tafsirnya berkata: “Adapun berdoa dan bersedekah, maka keduanya telah
disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar
dalam nash syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7 /465)
Imam An-Nawawi setelah
menyebutkan rentetan hadits-hadits yang menjadi hujjah sampainya sedekah kepada
mayit mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit
dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai
kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan
semua ini adalah ijma’
(kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Do’a dan
sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.” (Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah masalah ke-100)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai
kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan budak.”
(Majmu’ Fatawa, 5/466)
Abu Sulaiman
Walid Al Baji mengatakan:
“Maka, Nabi Saw mengizinkan bersedekah
darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa
yang bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al Muntaqa’ Syarh Al Muwatta’, 4/74)
Ibnu Qudamah mengatakan:
“Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh
manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu
membawa manfaat bagi mayit itu.” (Al
Mughni, hal. 567-569)
Khathib Asy
Syarbini mengatakan: “Sedekah bagi mayit membawa manfaat baginya, wakaf
membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya.” (Mughni Muhtaj, 3/69-70)
Imam Bukhari dalam
kitab Shahih-nya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An
Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang
dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar
si mayit).
Imam Muslim, dalam
kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab
Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala sedekah
kepada mayit).
Imam An-Nasa’i, dalam
kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat
‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan bersedekah untuk mayit).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Arab
Saudi) berfatwa: “Adapun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka
semua ini disyariatkan.” (Fatawa Nur
‘Alad Darb, 1/89)
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin (Ulama Arab
Saudi) mengatakan: “Adapun sedekah buat mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh
bersedekah (untuknya).” (Fatawa
Nur ‘Alad Darb no. 44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang wanita boleh menghajikan wanita lain,
(hal ini) berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Fatawa, 26/13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tentang menghajikan orang yang sudah mati atau
orang yang tidak kuat badannya, dengan harta yang diambil dari orang yang
dihajikan itu sebagai biaya selama haji, maka ini boleh, dengan kesepakatan
para ulama. Adapun menghajikan orang yang mengambil upah, (hal ini) masih
menjadi perselisihan pendapat di antara para ahli fikih.” (Majmu’ Fatawa,
26/13)
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan
oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah,
haji dan umrah. Adapun di
luar itu tidak
sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. Itulah pendapat
yang masyhur (populer) dari madzhab Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik.” (Syarah
Aqidah At-Thahawiyah, hal. 452 dan Al-Majmu’ Imam An-Nawawi, 15/521)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang telah mati
mendapatkan manfaat dengan shalat (jenazah) atasnya, doa untuknya, haji
baginya, dan semacamnya, dari segala sesuatu yang manfaatnya telah pasti
didapatkan oleh seseorang dengan sebab amal orang lain.” (Tafsir Adhwaul Bayan,
Surat An-Najm ayat 39)
Firman Allah
dalam Surat An-Najm ayat 39 :
“Bahwa seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh
manusia selain dari yang diusahakannya.”
Berikut ini
penjelasan Surat An-Najm ayat 39:
Mengenai ayat di
atas seorang shahabat Nabi, ahli tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara
khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni Ibnu Abbas ra. berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan)
hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT: “Kami hubungkan dengan
mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan
yang dibuat oleh bapaknya.’ (Tafsir Khazin, IV/213)
Firman Allah yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas ra sebagai penasakh Surat An-Najm ayat 39 itu adalah
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka
mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan
mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang
terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur :21)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam
menafsirkan QS. An-Najm 39: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa
mendapat manfaat dari orang lain, namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak
atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang
lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan
kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia
berhak menerimanya seperti dalam sholat jenazah dan
doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh
kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)
Asy-Syaukani berkata menafsirkan Surat An-Najm ayat 39: “Dan makna ayat tersebut, ‘Dia (manusia) hanya mendapatkan balasan
usahanya, dan amal seseorang tidak bermanfaat kepada orang lain’, maka keumuman
ini dikhususkan dengan firman Allah ta’ala, ‘Kami
hubungkan mereka dengan anak cucu mereka’. (Q.S. Ath-Thur: 21), serta
dengan ayat semisal itu tentang syafaat para nabi dan para malaikat untuk
hamba-hamba (Allah), dan disyariatkannya doa orang-orang yang hidup untuk
orang-orang yang telah mati, dan semacamnya. Tidak benarlah orang yang
mengatakan ‘Sesungguhnya ayat itu
dihapuskan dengan semisal perkara-perkara ini’, karena sesungguhnya yang khusus
tidaklah menghapuskan yang umum, tetapi mengkhususkannya. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang dalilnya telah tegak bahwa manusia mendapatkan manfaat
dengannya, sedangkan itu bukan usahanya, hal itu menjadi pengkhusus keumuman ayat
ini.” (Tafsir Fathul Qadir, Surat An Najm ayat 39)
Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya yang lain: “(Ayat)
‘Tidak ada seseorang itu…..’ maksudnya tidak
ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.” (Nailul Authar, IV/102)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Ayat itu hanyalah menunjukkan peniadaan kepemilikan
manusia terhadap sesuatu yang tidak diusahakannya. Ayat ini tidak menunjukkan
peniadaan bahwa manusia tidak mendapatkan manfaat dengan usaha orang lain.”
(Tafsir Adhwaul Bayan, Surat An-Najm ayat 39).
Nabi bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan terputus
seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah,
bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Berikut penjelasan mengenai hadits tersebut:
Ibnul Qayyim berkata untuk membantah orang yang berargumen
menggunakan hadits Muslim “Jika anak Adam
mati…” : “Maka ini pengambilan dalil yang tidak pada tempatnya. Sebab
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan ‘terputus pengambilan manfaatnya’, tapi yang diberitahukan adalah ‘terputusnya amal perbuatan’, sedangkan
amal perbuatan orang lain adalah milik orang lain. Apabila dia menghadiahkan
pahala amal perbuatannya, maka pahala si pelaku tersebut akan sampai kepadanya,
bukan pahalanya sendiri. Yang terputus lain hal, sedangkan yang sampai
kepadanya lain hal lagi.” (Kitab Ar-Ruuh oleh Ibnul Qayyim)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) menjelaskan: “Dalam hadits
tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata
‘amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain (yang masih hidup) maka itu adalah milik orang
yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan
sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu
adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.” (Syarh Aqidah Thahawiyah: 456)
Yang menjadi
perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah adalah masalah mengirimkan pahala
bacaan Al Qur’an kepada mayit karena hal ini tidak terdapat dalam Al Qur’an dan
As Sunnah. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i berpendapat tidak
sampai karena tidak ada dalil yang menerangkan hal itu. Sedangkan Imam Ahmad
berpendapat sampainya pahala bacaan Al-Qur'an kepada mayit berdasarkan qiyas.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar