Jumat, 24 Januari 2014

Gaptek Ilmu Nahwu, Ulama Wahabi Mati Kutu

Gaptek Ilmu Nahwu, Ulama Wahabi Mati Kutu debat sunni vs wahabi/salafi Sayyid Ali Bafaqih langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”

Islam datang ke Bali yang mayoritas Hindu itu tampil dengan penuh toleransi dan kedamaian, sehingga masyarakat tidak terusik. Bahkan selama masa perjuangan kedua komunitas agama yang berbeda itu bahu membahu dalam melawan Belanda.

 Tetapi sejak tahun 1934, pulau Bali dijadikan target gerakan puritanisme yang dikomandoi oleh kelompok yang mengaku modernis Islam alias sekte wahabi / salafi. Beberapa tokoh wahabi dikirim dari Solo dan Banyuwangi untuk menancapkan pengaruhnya dengan cara menyerang habis-habisan tradisi Islam yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat. Slogan taklid buta, bid’ah, khurafat dan tahayyul pun mereka jadikan platform perjuangan.

 Mereka juga tak segan-segan menuduh praktek beragama ulama dan masyarakat Muslim Bali sebagai bentuk peribadatan yang telah tercemari oleh perbuatan syirik. Tentu saja masyarakat Islam Bali tidak tinggal diam dengan tuduhan tersebut. Mereka tidak terima jika faham ahlussunnah wal jama’ah yang selama ini diwariskan oleh para ulama mereka dituduh menyimpang, bahkan dianggap mengajarkan ajaran yang sesat. Oleh sebab itu, beberapa kali tokoh-tokoh sekte wahabi / salafi diusir karena dianggap meresahkan dan memancing permusuhan di kalangan masyarakat.

Namun setelah diusir, ada saja utusan baru yang dikirimkan dan mendekati masyarakat dengan strategi yang berbeda. Hingga suatu ketika, salah seorang tokoh sekte wahabi/salafi yang merasa ingin membuktikan kebenaran ajaran yang dipeluknya menantang para ulama Bali untuk membuktikan ajaran siapa yang lebih benar melalui perdebatan bukan dengan kekuatan massa tetapi dengan kekuatan nalar.

 Mendengar berita ini, KH Sayyid Ali Bafaqih yang terkenal sangat tegas segera tampil menerima tantangan dari tokoh sekte wahabi/salafi itu. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, kedua tokoh berseberangan faham itu pun bertemu. Disaksikan oleh masyarakat luas adu argumen pun segera dimulai. Sebagai bentuk penghormatan, tokoh sekte wahabi/salafi pun dipersilahkan untuk terlebih dahulu membuka pembicaraan, memaparkan ajarannya.

 Setelah mengucapkan salam dan hamdalah tokoh sekte wahabi/salafi tersebut mulai berorasi dengan suara lantang. Tapi baru saja ia berkata; “Rasulullah bersabda: “Man kana…”

 “Behenti dulu… Berhenti dulu!!” teriak Sayyid Ali Bafaqih memotong pembicaraan dengan suara lebih lantang seraya mengangkat tangan kanannya. Tentu saja, semua yang ada di tempat kejadian terheran-heran dan berbisik mengenai tindakan Sayyid Ali tersebut.

 Ketika merasa semua orang mulai tenang, Sayyid Ali Bafaqih pun kemudian berkata: “Sebelum tuan meneruskan sabda Rasulullah tersebut saya hendak bertanya,

    ” ‘man’ itu huruf apa dan dalam gramatika Arab kedudukan sebagai apa?”

 Mendengar pertanyaan yang tidak pernah disangkanya, tokoh sekte wahabi/salafi tersebut lantas terdiam. Ia mencoba untuk mengelak namun Sayyid Ali tidak mau meneruskan perdebatan sebelum mendapatkan jawaban. Karena sudah sangat terpojok, sang tokoh sekte wahabi/salafi pun mengaku tidak mengetahui jawabannya. Tapi ia berjanji akan memberikan jawaban di luar masalah huruf ‘man’.

 Setelah mendengar pengakuan rivalnya itu, Sayyid Ali langsung berkata: “Jangan sekali-kali tuan berani mengartikan Al-Qur’an dan Hadis Nabi jika tuan sendiri tidak memahami bahasa Arab dengan benar!”

 Akhirnya, dalam perdebatan tersebut, Sayyid Ali berhasil memenangkan perdebatan nya tanpa harus bersusah payah. Sementara rivalnya sekte wahabi/salafi sendiri tertunduk malu dan meninggalkan arena tanpa daya. (Sumber NU Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar