Rabu, 22 Januari 2014

Doa Sebelum Hubungan Suami-Istri

DOA itu untuk segala sesuatu yang baik. Perbuatan dan baik akan paripurna dengan didahului oleh doa. Begitu juga dengan hubungan suami istri. Utuk meraih keberkahan dalam hubungan intim pada pasutri, di antaranya adalah dengan berdo’a ketika hendak mendatangi istri. Keampuhan do’a ini akan memberikan kebaikan pada keturunan yang dihasilkan, itu di antaranya. Juga tentunya hubungan intim yang sesuai ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan semakin menambah kemesraan karena keberkahan yang hadir ketika itu.

 Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا . فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا


“Jika salah seorang dari kalian ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).

Kapan Do’a Tersebut Dibaca?

Ash Shon’ani berkata bahwa hadits tersebut adalah dalil bahwa do’a tersebut dibaca sebelum bercumbu yaitu ketika punya keinginan. Karena dalam riwayat Bukhari lainnya disebutkan,

أَمَا لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ يَقُولُ حِينَ يَأْتِى أَهْلَهُ


“Adapun jika salah seorang dari mereka mengucapkan ketika mendatangi istrinya …”

(HR. Bukhari no. 5165). Makna kata “ketika” (حِينَ) dalam riwayat ini bermakna “berkeinginan”.

(Subulus Salam, 6: 91).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9: 228) berpendapat bahwa do’a ini dibaca sebelum hubungan intim.

Begitu pula pendapat Syaikh ‘Abdul Qodir Syaibah dalam Fiqhul Islam, 7: 61-64.

Intinya, do’a ini diucapkan sebelum memulai hubungan intim dan bukan di pertengahan atau sesudahnya. Hukum membaca do’a ini adalah sunnah (mustahab) (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 190). Dan jika lihat dari tekstual hadits di atas, do’a ini dibaca oleh suami.

Berkah dari Berdo’a Sebelum Hubungan Intim

Pertama: Mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini sudah merupakan berkah tersendiri. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ


”Aku tidaklah biarkan satu pun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang”

(HR. Bukhari no. 3093 dan Muslim no. 1759).


Kedua: Setan tidak akan turut serta dalam hubungan intim tersebut karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan “bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah berkata,

أَنَّ الَّذِي يُجَامِع وَلَا يُسَمِّي يَلْتَفّ الشَّيْطَان عَلَى إِحْلِيله فَيُجَامِع مَعَهُ


“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya”

(Fathul Bari, 9: 229). Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan kala itu.


Ketiga: Kebaikan do’a ini pun akan berpengaruh pada keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim tersebut. Buktinya adalah riwayat mursal namun hasan dari ‘Abdur Razaq di mana disebutkan,

إِذَا أَتَى الرَّجُل أَهْله فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقَتْنَا وَلَا تَجْعَل لِلشَّيْطَانِ نَصِيبًا فِيمَا رَزَقْتنَا ، فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلْت أَنْ يَكُون وَلَدًا صَالِحًا


“Jika seseorang mendatangi istrinya (berhubungan intim), maka ucapkanlah ‘Ya Allah, berkahilah kami dan keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini, janganlah jadikan setan menjadi bagian pada keturunan kami’. Dari do’a ini, jika istrinya hamil, maka anak yang dilahirkan diharapkan adalah anak yang sholeh” (Fathul Bari, 9: 229).


Keempat: Keturunan yang dihasilkan dari hubungan intim ini akan selamat dari berbagai gangguan setan. Jika dipahami dari tekstual hadits, yang dimaksud dengan anak tersebut akan selamat dari berbagai bahaya adalah umum, yaitu mencakup bahaya dunia maupun agama. Namun Al Qodhi ‘Iyadh berkata bahwa para ulama tidak memahami seperti itu. (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied berkata, “Bisa dipahami dari do’a ini bahwa setan juga tidak akan membahayakan agama anak dari hasil hubungan intim tersebut. Namun bukan berarti anak tersebut ma’shum, artinya selamat dari dosa” (Fathul Bari, 9: 229).

Syaikh Ibnu Baz memahami bahwa yang dimaksud dalam hadits bahwa anak tersebut akan tetap berada di atas fithroh yaitu Islam. Setan bisa saja menggoda anak tersebut, namun segera ia akan kembali ke jalan yang lurus. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ


“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’rof: 201) (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 349).

Kelima: Keberkahan do’a ini berlaku bagi wanita yang akan hamil dengan hubungan intim tersebut, atau yang tidak karena lafazhnya umum. Inilah pendapat Al Qodhi ‘Iyadh (Fathul Bari, 9: 229).

Jadikanlah Kebiasaan

Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hendaklah seorang muslim bersemangat mengamalkan do’a ini ketika berhubungan intim hingga menjadi kebiasaan. Hendaklah ia melakukannya dalam rangka mengamalkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan demi menghasilkan keturunan yang terjaga dan terlindungi dari gangguan setan, juga supaya mendapatkan keberkahan dari do’a ini” (Minhatul ‘Allam, 7: 348).

Ibnu Hajar berkata, “Faedah yang ditunjukkan dalam do’a ini adalah disunnahkannya membaca bismillah dan berdo’a serta merutinkannya hingga pada hal yang nikmat semacam dalam hubungan intim”. (Fathul Bari, 9: 229).

Hadits yang kita ulas kali ini menunjukkan bahwa setan akan mengganggu manusia dalam segala kondisi. Ketika tidur, ketika bangun dari tidur, setan akan terus memberikan was-was. Jika seseorang lalai dari mengingat Allah, maka setan akan mengganggu. Namun jika mengingat Allah, setan akan lari bersembunyi. Oleh karena itu, hendaklah kita membiasakan untuk terus berdzikir, membaca ta’awudz, berdo’a, supaya kita terlindungi dari gangguan setan (Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan dalam Minhatul ‘Allam, 7: 349).

Ya Allah, lindungilah kami dari gangguan setan dalam segala keadaan kami.

Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

    Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
    Fiqhul Islam Syarh Bulughul Marom min Jam’i Adillatil Ahkam, ‘Abdul Qodir Syaibah Al Hamd, terbitan Muassasah ‘Ulumul Qur’an, cetakan ketujuh, 1432 H.
    Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1430 H.
    Subulus Salam Al Mawshulah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, Tahqiq: Muhammad Shobhi Hasan Hallaq, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1432 H.
    Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
    Waktu Yang Baik Untuk Hubungan Intim Suami-Istri
    mawar 300x225 Waktu Yang Baik Untuk Hubungan Intim Suami IstriTIDAK dapat dielakkan lagi, hubungan intim suami-istri yang baik sangat mempengaruhi keharmonisan dalam hubungan rumah tangga.
    Untuk menuju ke arah itu, pasangan suami-istri hendaknya memperhatikan waktu-waktu yang baik dalam berhubungan intim, di antaranya adalah;
    1. Waktu Sepi. Waktu ini sangat mendukung dalam kegiatan ’penuh makna’ ini. Jangan sampai Anda melakukannya pada saat sedang ada hajatan di rumah. Selain karena banyak tamu, perasaan mood Anda akan terganggu. Jangan lupa matikan HP yang mungkin akan memecah konsentrasi.
    Sebagian orang memilih malam hari, karena waktu tersebut biasanya sepi. Pastikan orang lain di rumah Anda sudah tidur lelap. Perkecualian jika Anda memboyong istri ke hotel sendirian.
    2. Waktu Luang. Hubungan suami istri yang baik adalah hubungan yang penuh kasih sayang. Bukan sekadar hubungan biasa seperti kebanyakan hewan lakukan. Jangang heran jika slogan Pak JK dalam pilpres lalu yang berbunyi ’Lebih Cepat Lebih Baik’ tidak sukai perempuan.
    Maka, dalam ajaran Islam orang laki-laki yang melakukan hubungan dengan istrinya tanpa ’pemanasan’ disebut lelaki durjana. Pastikan waktu yang luang agar tidak seperti ’bebek adus kali’
    3. Waktu Sehat. Mengapa harus waktu sehat? Ya, karena pada saat itu badan sedang semangat, kuat dan perkasa.. Bayangkan jika Anda sedang memakai infus atau sedang sakit batuk lalu berhubungan. Sangat mengganggu sekali.
    Walaupun dalam Islam disunahkan melakukannya pada malam Jum’at atau Senin, tanpa memperhatikan waktu di atas akan tentu akan sangat-sangat mengecewakan. Semua waktu dalam Islam itu tentu baik, tetapi dengan memperhatikan segala kondisi dan situasi, hubungan istri insyaAllah bisa tercapai dengan tanpa rasa bosan, walau pun sudah mengarungi bahtera rumah tangga puluhan tahun lamanya. DALAM Islam, salah satu unsur terpenting ketika melakukan jima (hubungan suami istri) adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Karena dianggap sangat penting inilah, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).
    Ciuman Suami Istri
    Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.
    Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
    Rayuan Yang Membangkitkan Gairah
    Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
    Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’.
    “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
    Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah , ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
    Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”
    Jima Tanpa Sehelai Benang
    blanket on a bed 90135 300x192 Jima Tanpa Sehelai Benang
    TAK ada yang tak diatur oleh Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam mencakup kehidupan pribadi dan masyaakat, rumah tangga dan negara hingga tata cara pergaulan antara suami dan istri dalam berhubungan seks. Rasulullah saw adalah sosok manusia yang memiliki kepribadian lengkap dalam setiap nafas kehidupannya sehingga menjadi contoh (qudwah) bagi umatnya yang menginginkan kebaikan di dunia dan akherat. Firman Allah swt,”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)
    Islam menjelaskan secara gamblang tentang hubungan seksual antara suami dan isteri demi menumbuhkan dan meningkatkan kasih sayang diantara mereka, termasuk dalam hal bolehkah suami dan isteri tidak mengenakan sehelai pakaian pun dalam bersetubuh?
    Makruh hukumnya bagi pasangan suami istri dalam persetubuhannya menanggalkan seluruh pakaian (bertelanjang bulat), sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Jika seseorang diantara kamu menyetubuhi istrinya, hendaklah memakai kain penutup dan janganlah sama-sama bertelanjang sebagaimana telanjangnya dua ekor keledai.” (HR. Ibnu Majah) – al Fiqhul Islami juz IV hal.2646.
    Sabda Rasulullah saw yang lainnya dari Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah kamu bertelanjang karena ada malaikat yang senantiasa tidak berpisah denganmu kecuali diwaktu buang air dan ketika seorang laki-laki menyetubuhi istrinya. Karena itu, hendaklah kamu merasa malu dan hormatilah mereka.” (HR. Tirmidzi dia berkata hadits ghorib)
    Jadi diperbolehkan bagi pasangan suami isteri dalam persetubuhan mereka tanpa mengenakan sehelai pakaian pun, namun demikian, sebaiknya mereka tidak sepenuhnya telanjang.

    Ketika Istri Sedang Haid

    Kebutuhan batin sering kali tidak mengenal waktu. Terutama pada diri laki-laki. Sebagai seorang Muslim, kebutuhan itu tentu saja hanya disalurkan dengan pasangan yang sah dan halal. Kebutuhan seks pada orang dewasa dan yang sudah menikah—sama halnya akan kebutuhan akan makan, minum, dan tidur. Itu sebabnya Rasulullah saw mengajurkan kepada seorang istri untuk selalu memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Namun bagaimana jika istri sedang dalam keadaan haid?
    Walaupun haid merupakan ketetapan Allah yang khusus mengenai wanita, akan tetapi ini tidak berarti lelaki boleh lalai dan tidak peduli terhadap hukum-hukum wanita yang haid. Hal itu karena di antara hukum-hukum tersebut ada yang berkenaan dengan dirinya, terkhusus jika dia adalah seorang suami yang tentu saja istrinya akan mengalami haid setiap bulannya. Maka penting sekali baginya untuk mengetahui hukum-hukum haid, dan agar ketika ada masalah mengenai haid istrinya maka istrinya tidak perlu repot-repot keluar rumah untuk bertanya kepada orang lain.
    “Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian,” (QS. Al-Baqarah: 222).
    Surat Al Baqarah ayat 222 diturunkan karena pada saat itu orang-orang Yahudi dan Arab Jahiliyah menganggap wanita haid adalah najis, tidak mau bergaul dengan istrinya yang haid, tidak mau makan minum bersama, dan tidak mau bersama-sama serumah dengan mereka, bahkan menyentuh pun tidak mau. Sementara bagi Nasrani waktu itu, seorang wanita haid tidaklah suatu masalah. Mereka bergaul biasa saja dengan perempuan haid, tidak ada perbedaan antara yang haid ataupun tidak. Mereka menggaulinya secara bebas dan berbuat sesuka hatinya.
    Hal tersebut disebutkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa orang Yahudi bila istrinya sedang haid mereka tidak mau makan bersama, tidak mau serumah dengan dia. Maka seorang sahabat Rasulullah menanyakan hal itu, lalu turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu boleh kamu perbuat dengan istrimu yang sedang haid selain bersetubuh.”
    Jika berhubungan ketika istri dalam keadaan haid
    Secara medis, berhubungan badan ketika istri tengah haid pun, sangat dilarang. Setidaknya ada tiga hal yang harus diwaspadai jika melakukan hubungan seks saat wanita sedang menstruasi, yaitu:
    Endometriosis. Saat melakukan hubungan suami istri, wanita akan mengalami orgasme dan pada saat itu rahim akan berkontraksi yang menyebabkan darah kotor dari menstruasi bisa masuk ke dalam perut melalui saluran telur. Hal ini bisa menyebabkan timbulnya endometriosis pada tubuh wanita.
    Infeksi. Hubungan suami istri biasanya akan menimbulkan luka dan endometriumnya mengalami peluruhan, darah menstruasi atau sperma yang tidak steril bisa masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan infeksi.
    Bisa menyebabkan luka trauma di mulut rahim yang diakibatkan adanya infeksi. Hampir semua praktisi kesehatan sebaiknya pasangan menunggu hingga haid wanita selesai. Setelah wanita sudah ‘bersih’, barulah pasangan tersebut bisa melakukan hubungan seks seperti biasa.

Pada saat haid, terjadi pelepasan lapisan dalam dinding rahim (uterus) untuk kemudian diganti dengan lapisan baru.

Solusinya?

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:tDari Abu Hurairah:  “Barangsiapa mendatangi seorang dukun kemudian membenarkan apa yang dia katakan, atau mendatangi seorang wanita yang sedang haid, atau mendatangi (jima’ dengan) wanita lewat duburnya, maka dia telah berlepas diri dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad,” (HR. Abu Daud no. 3405 dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah  no. 1294).

Dari Aisyah  radhiallahu anha dia berkata: “Jika salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk bermesraan dengannya, maka beliau menyuruhnya  untuk mengenakan sarung guna menutupi tempat keluarnya darah haid (kemaluan), lalu beliau pun mencumbuinya.” Aisyah berkata, “Hanya saja, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menahan,” (HR. Al-Bukhari no. 302).

Dari Ummu Salamah -radhiallahu anha- dia berkata: “Ketika aku berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, lantas aku keluar secara perlahan-lahan untuk mengambil pakaian khusus untuk masa haid. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, “Apakah kamu sedang nifas (haid)?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau memanggilku, lalu aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut,” (HR. Al-Bukhari no. 298 dan Muslim no. 444).

Dari hadis-hadis di atas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.

Pertama: Persentuhan dengan wanita haid di luar bagian antara pusar dan lutut.

Hadis riwayat Aisyah ra: “Apabila salah seorang di antara kami sedang haid, Rasulullah saw. memerintahkan untuk memakai izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah), kemudian beliau menggaulinya (tanpa senggama),” (Shahih Muslim No.440). Hadis riwayat Maimunah ra: “Rasulullah saw biasa menggauli (tanpa senggama) istri-istri beliau yang sedang haid dari luar izaar (kain bawahan menutupi bagian tubuh dari pusar ke bawah),” (Shahih Muslim No.442).

Kedua, tidur bersama wanita haid di dalam satu selimut.

Hadis riwayat Ummu Salamah: “Ketika aku sedang berbaring bersama Rasulullah saw. dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, maka aku keluar dengan pelan-pelan lalu mengambil pakaian khusus waktu haid. Rasulullah saw. bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau haid?’ Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau memanggilku dan aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut. Zainab binti Ummu Salamah berkata: “Dia(Ummu Salamah) dan Rasulullah saw mandi jinabat bersama dalam satu bejana,”(Shahih Muslim No.444).

Jadi dalam hal ini jelaslah sudah bahwa Islam sama sekali tidak menyulitkan pemeluknya. Untuk urusan biologis inipun, jika istri sedang berhalangan alias haid, maka banyak cara yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri dengan tanpa mengabaikan hukum dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah swt.

Jika Bercinta Di Kamar Mandi

PADA dasarnya, hubungan badan antara suami dan istri yang sah menurut Islam boleh dilakukan di mana saja, sepanjang memenuhi tuntutan syariat. Begitu juga jika melakukannya di kamar mandi, misalnya. Mengapa di kamar mandi? Tidak di dapur, di ruang tamu, dan ruang lainnya? Ini dikarenakan, kamar mandi bisa disebut menjadi bagian rumah pribadi yang ada di kamar tidur suami-istri (orang tua). Selain itu, banyak hadist yang menyebutkan tentang mandi bersama Rasulullah dengan istrinya.

Berhubungan badan di kamar mandi sesungguhnya merupakan sebuah variasi. Variasi bercinta diperlukan bagi pasangan suami-isteri untuk terus menjaga gairah bercinta dan sikap saling menyayangi diantara keduanya. Dan diantara variasi yang mungkin bisa dilakukan adalah bagaimana bercinta di kamar mandi.

Meskipun bercinta dilakukan kamar mandi, namun suasana keindahan, kenyamanan dan kebersihan tetaplah harus diperhatikan. Untuk menambah gairah diantara keduanya bisa terlebih dahulu memberikan pengharum kamar mandi dan saling memberikan wangi-wangian ke tubuh pasangannya terlebih dahulu. Ingat, tujuan utamanya kan bukan untuk mandi seperti biasanya tetapi untuk bercinta.

Aisyah ra berkata, “Aku memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw kemudian dia menggilir para isterinya, kemudian pada pagi harinya dia mengenakan pakaian ihram.” (HR. Bukhori)

Ibnu Hajar mengatakan, “Perkataan menggilir isterinya adalah istilah untuk bersenggama yang mewajibkannya mandi. Dan disebutkan di dalam hadits itu bahwa Aisyah memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw sebelumnya dan pada pagi harinya beliau sudah mengenakan ihram.” Ia menambahkan , “Ibnu Bathol mengatakan, ’Disunnahkan bagi laki-laki dan wanita untuk memakai parfum / wewangian saat bersetubuh.” (Fathul Bari juz I hal 458)

Pada saat mandi, suami isteri bisa saling menciduk air secara bergantian dan menyirami tubuh pasangannya dan membersihkannya. Atau suami isteri juga bisa berada didalam satu wadah yang bisa menampung keduanya, seperti bak mandi atau bathup, tidak mengapa kalaupun saling melihat aurat diantara mereka berdua. Dan hendaklah menghindari kemubadziran didalam penggunaan air.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Nabi saw dalam satu bejana yang disebut al Farq.” (HR. Bukhori). 1 farq = 16 kati = ±18 liter.

Ad Dawudi menggunakan hadits ini sebagai dalil diperbolehkannya seorang laki-laki melihat aurat isterinya atau sebaliknya. Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya dia ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat kemaluan isterinya maka dia menjawab, “Saya bertanya (tentang hal yang sama) kepada Atho’. Maka dia menjawab,’Aisyah pernah bertanya (tentang hal ini) maka beliau menyebutkan hadits ini.” Artinya hadits ini menjadi dalil dalam permasalahan ini. (Fathul Bari juz I hal 438)

Diriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdurrahman mengatakan, “Telah berkata Aisyah, ‘Aku mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bejana dan kami sama-sama dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)

Dari Aisyah ra berkata, “Aku pernah mandi bersama Nabi saw dari satu bejana, tangan kami saling bergantian menciduknya.” (HR. Muslim)

Jadi meskipun bercinta dilakukan di kamar mandi hendaklah suami isteri tetap memperhatikan kepuasan masing-masing pasangannya, tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Orang-orang barat menyebut seks dengan istilah bercinta dan jika kita lihat dari kaca mata islam sepertinya pengistilahan tersebut sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat. Seks cenderung dilakukan terburu-buru dan ingin cepat selesai tanpa memperhatikan pemanasana (mula’abah) dan kepuasan pasangannya, sebaliknya dengan bercinta.
Adab Ketika Jima’

HUBUNGAN suami istri adalah sesuatu yang sakral dalam Islam—selain juga sangat pribadi untuk setiap Muslim. Selain fungsi untuk mendapatkan keturunan, hubungan badan antara suami dan istri dilakukan dengan membuat kedua pihak nyaman dan terlindungi.

Dalam Islam, setiap kali hubungan dilakukan, tidak boleh ada yang merasa diperlakukan dengan satu arah saja. Terutama untuk pihak istri. Bahkan Islam menempatkan seorang perempuan begitu aman dalam setiap kali berhubungan dengan suaminya dengan berbagai adab yang telah disebutkan oleh Rasulullah Muhammad saw.

Berikut ini adalah adab-adab yang perlu dilakukan oleh seorang Muslim ketika berhubungan.

1. Jima dalam ruang tertutup, tidak di tempat terbuka

Jima adalah hubungan yang sangat pribadi. Jika dilakukan di tempat terbuka, tentu bisa Jima’ di tempat tertutup lebih baik.

2. Melakukan cumbu rayu saat jima dan bersikap romantis

Islam mengajarkan jima yang disertai dengan pendahuluan ungkapan perasaan kasih sayang seperti ucapan romantis, ciuman dan cumbu rayu dan tidak mengajarkan  langsung hajar tanpa pendahuluan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul Allâh SAW: “Siapa pun diantara kamu, janganlah menyamai isterinya seperti seekor hewan bersenggama, tapi hendaklah ia dahului dengan perentaraan. Selanjutnya, ada yang bertanya: Apakah perantaraan itu ? Rasul Allâh SAW bersabda, “yaitu ciuman dan ucapan-ucapan romantis,” (HR. Bukhâri dan Muslim).

Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu,” (HR. At-Tirmidzi).   Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu,” (HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

3. Boleh, memberikan rangsangan dengan meraba, melihat, mencium  kemaluan isteri

Suami boleh melihat, meraba, mencium kemaluan isteri begitu juga sebaliknya, meskipun boleh  mencium kemaluan itu lebih baik jika tidak dilakukan  karena yang demikian itu lebih bersih.

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki,” (QS. 2:223) “Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…,” (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Menggunakan selimut sebagai penutup saat berjima

Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar. (HR Ibnu Majah)

5.  Jima boleh dari mana saja asal tidak  lewat jalan belakang (sodomi)

Jima dengan isteri boleh dilakukan darimana arah mana saja  dari depan, samping, belakang (asal tidak sodomi)  atau  posisi  berdiri, telungkup, duduk, berbaring dll. “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki,” (QS. 2:223).  Dari Abi Hurairah Radhiallahu’anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Dilaknat orang yang menyetubuhi wanita di duburnya,” (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).

6. Diperbolehkannya Azl

Dari Jabir berkata: ”Kami melakukan ’azl di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam  dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya,” (HR muslim). Azl adalah mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri. Wallhu alam bi shawwab.
Bolehkah Ketika Haid Membaca Al-Quran?

Yang namanya lagi haid atau menstruasi bagi perempuan itu, seperti kita tahu, kadang-kadang suka bikin repot atau malah membuat kita santai sekali. Repotnya coba kalo mau olahraga atau aktivitas lain yang menguras energi, kita diharuskan menyiapkan “bekal” yang banyak. Santainya, kita perempuan tak harus bangun shubuh-shubuh, dan pada waktu-waktu tertentu lainnya, waktu kita demikian teramat longgar.

Nah, salah satu yang menjadi banyak pertanyaan, adalah membaca Quran. Jika tengah haid bagaimana hukumnya sehubungan dengan membaca Al-Quran?

Ali bin Abi Thalib berkata: “Rasulullah saw membacakan Al-Quran kepada kami selagi beliau tidak dalam keadaan junub,” (HR Ahmad, Abu Daud, At Turmudzi, An-Nasai dan Ibn Majah). Lebih lanjut Ali ra berkata: “Aku melihat Rasulullah saw mengambil air wudhu seraya membaca Al-Quran, kemudian bersabda: ‘Demikian ini bagi orang yang tidak junub, adapun orang yang sedang junub maka jangan membawa dan membaca ayat (Al-Quran),’” (HR Abu Ya’la).

Atas dasar dua hadits tersebut, para ahli fiqh dalam Madzab Empat berpendapat bahwa orang junub haram membaca Al-Quran. Tetapi mereka berbeda pendapat jika yang dibaca beberapa ayat saja.

Menurut madzab Maliki, orang junub boleh membaca Al-Quran asalkan sedikit saja dengan niat membentengi diri, seperti membaca ayat Kursi, surat Al Ikhlas dan Al Mu’awidzatain. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, orang junub boleh-boleh saja membaca satu ayat semisalnya.

Imam Abu Hanifah membolehkan orang junub membaca sebagian dari ayat. Menurut madzab Syafi’i, boleh membaca ayat dengan niat dzikir seperti Basmallah, Hamdalah dan Istirja’ (inna illahi…) dan tidak berniat membaca Al-Quran. Pendapat dalam madzab Syafi’I ini adalah pendapat yang moderat.

Ketentuan-ketentuan hukum (termasuk vaariasinya) bagi orang junub, berlaku juga bagi orang yang berhadats besar lainnya seperti haid, nifas, jimak dan wiladah. Kedudukan hukum haid sama dengan hukum orang haid sebagaimana hadits: “Orang junub dan orang haid tidak boleh membaca sesuatu dari ayat Al-Quran,” (HR Ahmad, At Turmudzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar).

Atas dasar hadits itulah para ahli fiqh dalam Madzab empat berpendapat bahwa orang haid haram membaca Al-Quran. Demikian pula bagi orang yang nifas, wiladah dan jimak. Wallaho alam bi shawwab.
Ketika Jauh Dengan Istri

bantal 490x326 Ketika Jauh Dengan Istri

SETIAP orang tentu saja mempunyai kecenderungan yang berbeda. Termasuk juga soal kebutuhan biologis. Ada yang merasa cukup dengan ritme sederhana. Namun ada juga yang agak berlebihan. Semuanya tidak masalah asalkan sesuai dengan batasan syariat Islam.

Satu pertanyaan yang banyak masuk ke meja redaksi adalah bagaimana cara mencari solusi ketika pasangan suami istri sah dalam Islam berjauhan. Mungkin karena sedang bekerja, ataupun karena studi. Jarak yang memisahkan bukan hanya dalam hitungan hari atau pekan, tapi mungkin sudah dalam hitungan bulan dan tahun. Untuk perempuan, sepertinya hal ini tidak begitu bermasalah. Namun untuk seorang suami, ini menjadi persoalan besar.

Seperti kita ketahui, di luar sekarang ini, begitu “banyak pemandangan” yang mau tidak mau membuat kita harus banyak beristighfar. Perempuan-perempuan yang tidak lagi menutup auratnya, berlenggangan dimana-mana, sehingga menjadikan para laki-laki tergugah birahinya.

Pertanyaannya, bolehkah kemudian seorang suami melakukan seks “mandiri” ketika berjauhan dengan istri dalam waktu yang sangat lama? Onani atau dalam bahasa Arabnya disebut istimna, banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.

Yang mengharamkan onani, umumnya para ulama, berpegang kepada firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas,” (Al-Muminun: 5-7).

Mereka menggolongkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah:

Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami, “Wahai para pemuda, apabila siapa di antara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung,”  (HR Muttafaqun alaih).

Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shanani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa. Sedangkan Imam Asy-Syafi’i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun  “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.” Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.

Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum tazir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.

Ulama yang membolehkan istimna antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik daripada zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.

Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,”Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani”. Ibnu Abbas berkata,”Itu lebih baik daripada zina, tetapi menikahi budak lebih baik daripada itu (onani).”

Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan.” Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal.

Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah. Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan sebagian Hanabilah (pengikut mazhab Imam Ahmad)—sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105—membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa sebagai dasar diharamkannya onani.

Berbeda dengan ulama Syafi’iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih. Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.

Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:

1. Karena takut berbuat zina.

2. Karena tidak mampu kawin.

Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang lelaki yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.

Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah saw terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu’min. Untuk itu Rasuluilah saw bersabda sebagai berikut:  ”Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung,” (Riwayat Bukhari). Wallahu a’lam
Hukum Onani Dalam Islam

lelaki tutup muka 490x326 Hukum Onani Dalam Islam

DEWASA ini, dalam bidang medis, onani atau masturbasi banyak dianjurkan untuk para pemuda-pemudi yang belum menikah. Jika pun tidak dianjurkan, tapi dibolehkan.  Alasannya, untuk kesehatan. Ada saja dalih-dalih yang dipergunakan. Mulai dari mencegah kanker, menjaga imunitas tubuh, sampai melepaskan stress, dan sebagainya. Tapi sesungguhnya bagaimana hukumnya dalam Islam?

Masturbasi atau Onani (dalam bahasa Arab disebut dengan Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Dalam Islam—menurut mayoritas para fuqaha—onani adalah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an: “Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan seksual) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang menginginkan selain yang demikian, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas,” (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7).

Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik diperkuat pula oleh riwayat berikut: “Di hari akhirat Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: ‘Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah 1). Orang-orang homoseksual, 2). Orang yang bersetubuh dengan hewan, 3). Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama dan, 4). Orang yang kerap melakukan onani, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri, (maka tidak lagi akan dihukum,” (Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, 59, tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya).

Mengapa masturbasi dan onani diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melakukan hubungan seksual yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati laki-laki atau wanita yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.

Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, badan lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu. Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi berbagai organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah. Melazimkan diri dengan onani telah membuat pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta akhlak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.

Namun, sebagaian ahli fiqh berpendapat bahwa onani-masturbasi dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat karena luapan syahwat dan dia berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan dapat pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina atau pelacuran. Setelah tentunya ia melakukan berbagai tindakan preventif seperti puasa, dzikir dan shalat, (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).

Membolehkannya para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi didasarkan kepada kaidah usul fiqh yang menyatakan: “Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat menghindari bahaya yang lebih berat.” Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar pertentangan dengan perintah dan nilai-nilai agama.

Dan barang siapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebut dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang tidak mungkin tergambarkan.

Sederhananya, jika hati dan nurani kita merasa tidak nyaman dengan apa yang kita lakukan, itulah tandanya bahwa ada sesuatu yang salah dengan yang sedang kita perbuat. Wallohu alam bishawwab.
Adab Setelah Jima’

BIASANYA, pasangan suami-istri yang sah, setelah melakukan jima, tentunya akan merasa telah mendapatkan anugerah dari Allah swt. Dalam Islam, tidak serta-merta jima selesai, maka selesai pula semuanya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan setelah jima. Ini di antaranya:

1.  Tidak langsung meninggalkan suami / isteri setelah jima’ (berdiam diri)

Setelah melakukan hubungan intim hendaknya tidak langsung meninggalkan pasangan, hendaknya tetap memberikan perhatian seperti mencium kening, memeluk atau tidur berbaring di samping pasangan sambil bercanda gurau sampai kondisinya kembali normal dan akan memulai aktivitas selanjutnya.

2. Mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulang Jima’

Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)

3. Bersyukur atau bertasbih

Tidak diragukan bahwa jima’ termasuk di antara nikmat yang harus disyukuri dan kita memuji Allah karenanya. Hanya saja yang perlu diingat adalah, jangan sampai meyakini hamdalah atau ucapan syukur itu sebagai zikir/doa khusus setelah jima’, karena pada dasarnya tidak ada doa/zikir di waktu itu.

 4. Mandi besar / Mandi janabah setelah jima’

“Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allâh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, ”Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu’ dan lalu shalat”. Abu `Abd Allâh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-29). Wallhu alam bi shawwab.
Adab Sebelum Jima’

kucing 490x326 Adab Sebelum Jima’

BETAPA luar biasanya Islam. Tak ada satupun institusi di dunia ini yang mengatur kehidupan ini begitu rinci selain Islam. Termasuk juga soal hubungan suami-istri. Inilah yang membedakan Islam dengan kepercayaan lainnya. Dalam Islam, berhubungan tidak hanya sekadar melepaskan hajat, tapi juga sebagai salah satu bentuk ibadah.

Islam mengatur tiga hal yang berhubungan dengan jima; sebelum, tengah, dan setelah. Berikut ini adalah adab-adab sebelum melakukan jima.

1. Menikah

Menikah adalah syarat mutlak untuk dapat melakukan hubungan intim secara Islam, Menikah juga harus sesuai syarat dan rukunnya agar sah menurut islam. Syarat dan Rukun  pernikahan adalah :  Adanya calon suami dan istri, wali,  dua  orang  saksi,  mahar serta terlaksananya Ijab dan Kabul. Mahar  harus sudah diberikan kepada isteri terlebih dahulu sebelum  suami menggauli isterinya sesuai dengan sabda Rasullullah SAW:

“.Ibnu Abbas berkata: Ketika Ali menikah dengan Fathimah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab: Aku tidak mempunyai apa-apa. Beliau bersabda: “Mana baju besi buatan Huthomiyyah milikmu?” (HR Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim).

Ini artinya  Ali harus memberikan mahar dulu sebelum “mendatangi”  Fathimah.

Dalam  Islam, setiap Jima’ yang dilakukan secara sah antara  suami dengan isteri  akan mendapat pahala  sesuai dengan  Sabda Rasullullah sallahu alaihi wassalam: “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala,” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

2. Memilih Hari dan Waktu yang baik / sunnah  untuk jima’

Semua hari baik untuk jima’  tapi hari yang terbaik untuk jima’ dan  ada  keterangannya dalam hadist adalah  hari Jumat sedangkan hari lain yang ada manfaatnya dari hasil penelitian untuk jima’ adalah hari Kamis. Sedangkan waktu yang disarankan oleh Allah SWT untuk jima adalah setelah sholat Isya sampai sebelum sholat subuh dan  tengah hari   sesuai firman Allah dam surat An Nuur ayat 58.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat  bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu . Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:58)

Melihat kondisi diatas  maka hari dan waktu terbaik  untuk jima adalah : Hari  Kamis Malam  setelah Isya dan Hari Jumat  sebelum sholat subuh dan tengah hari sebelum sholat jumat. Hal ini didasarkan pada Hadist berikut:

Barang siapa yang menggauli isterinya pada hari Jumat dan mandi janabah serta bergegas pergi menuju masjid dengan berjalan kaki, tidak berkendaraan, dan setelah dekat dengan Imam ia mendengarkan khutbah serta tidak menyia-nyiakannya, maka baginya pahala untuk setiap langkah kakinya seperti pahala amal selama setahun,yaitu pahala puasa dan sholat malam didalamnya (HR Abu Dawud, An nasai, Ibnu Majah dan sanad hadist ini dinyatakan sahih) 

Dari Abu Hurairah radliyallhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850). 

3. Disunahkan mandi sebelum jima’

Mandi sebelum jima’ dan  bersikat gigi  bertujuan agar memberikan kesegaran  dan  kenikmatan saat jima’.  Mandi akan  menambah nikmat jima karena badan akan terasa segar  dan bersih  sehingga mengurangi  gangguan saat jima’. Jangan lupa jika setelah selesai jima’  dan masih ingin mengulangi lagi sebaiknya kemaluan dicuci kemudian berwudhu. 

Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab, “Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) 

4. Sebaiknya sholat sunnah 2 rakaat sebelum jima’

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku memberi nasehat kepada seorang pria yang hendak menikahi pemudi yang masih gadis, karena ia takut isterinya akan membencinya jika ia mendatanginya, yaitu perintahkanlah (diajak)  agar ia melaksanakan sholat 2 rakaat dibelakangmu dan berdoa  : Ya Allah berkahilah aku dan keluargaku dan berkahilah mereka untukku. Ya Allah satukanlah kami sebagaimana telah engkau satukan kami karena kebaikan dan pisahkanlah kami jika Engkau pisahkan untuk satu kebaikan  (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani dngan sanad Sahih 

5. Menggunakan parfum yang disukai suami/ isteri sebelum jima’

Menggunakan parfum oleh perempuan sebelum jima di sunahkan  karena akan lebih lebih meningkatkan gairah  suami isteri sehingga meningkatkan kualitas dalam berhubungan suami isteri. Hal ini didasarkan pada hadist  berikut : Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad, 4/418; shahihul jam’: 105)

“Perempuan manapun yang memakai parfum kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi janabat” (HR Ahmad2/444, shahihul jam’ :2073.)

Penggunaan parfum oleh wanita diperbolehkan atau disunatkan tergantung dari tujuannya, jika tujuannya untuk merangsang suami dalam jima’ disunahkan tapi jika digunakan untuk merangsang kaum laki-laki akan berdosa.

6. Berpakaian dan berdandan yang disukai suami / isteri sebelum jima’

Seorang isteri sebaiknya berdandan dan memakai pakaian yang disukai suami untuk menyenangkan dan memudahkan suami berjima’. Berpakaian seksi dikamar tidur dimana hanya suami atau isteri yang melihatnya diperbolehkan dalam islam karena dapat meningkatkan kualitas hubungan suami isteri (Hadist menyusul)

7. Berdoa meminta perlindungan Allah sebelum Jima’ :

Berdoa sangat penting sebelum melakukan jima’ terutama adalah doa memohon perlindungan kepada Allah terhadap gangguan setan dalam pelaksanaan jima. Berdoa dimulai dengan mengucapkan:

“ Bismillah. Allahumma jannabnasyoithona  wa jannabisyaithona  maa rojaktanaa”

Artinya :  Dengan nama Allâh. Ya Allâh, hindarkanlah  kami dari syetan dan jagalah apa yang engkau rizkikan kepada kami dari syetanRasulullah saw. bersabda: Apabila salah seorang mereka akan menggauli istrinya, hendaklah ia membaca: “Bismillah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari  setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Sebab jika ditakdirkan hubungan antara mereka berdua tersebut membuahkan anak, maka setan tidak akan membahayakan anak itu selamanya. (Shahih Muslim No.2591)

Bagaimana Rasul Bermandi Junub?

 KONDISI junub, pastilah akan terjadi pada setiap orang dewasa. Mungkin sehabis jima, perempuan yang baru selesai haid, ataupun bermimpi basah. Satu hal yang juga pasti adalah tentu saja wajibnya seorang Mukmin dewasa untuk membersihkan badannya. Bukan sembarang bersih-bersih. Ini adalah mandi junub. Bagaimana gerangan Rasul Muhammad saw melakukan mandi junub?

Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kalian junub maka bersucilah (mandilah),” (QS. Al-Maidah: 6).

Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata: “Kebiasaan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika beliau mandi junub adalah: Beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri lalu mencuci kemaluanya, kemudian beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jemarinya ke semua pangkal rambut. Sampai setelah beliau memandang bahwa airnya sudah merata mengenai semua rambut beliau, beliau lalu menyiram kepalanya sebanyak tiga kali tuangan, kemudian beliau mencuci seluruh tubuh beliau, kemudian akhirnya mencuci kedua kaki beliau,” (HR. Al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316).

Dari Maimunah bintu Al-Harits -radhiallahu anha- dia berkata: “Aku pernah membawa air mandi untuk junub kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Lalu beliau memulai dengan membasuh dua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah berisi air, lalu menuangkan air tersebut pada kemaluan beliau, dan beliau mencucinya (kemaluan) dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau menggosokkan tangan kiri ke tanah dengan gosokan yang kuat. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala beliau sebanyak tiga kali sepenuh telapak tangan, lalu beliau mencuci seluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergerak mundur dari tempat beliau berdiri, lalu beliau mencuci kedua kakinya. Kemudian aku mengambilkan handuk untuk beliau, tetapi beliau menolaknya,” (HR. Al-Bukhari pada banyak tempat, di antaranya no. 259 dan Muslim no. 723).

Kalimat [berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat], diterangkan dalam riwayat lain, “Kemudian beliau berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung, kemudian beliau mencuci wajahnya dan kedua lengannya (tangannya sampai siku).”

Para ulama menyebutkan bahwa tata cara mandi junub ada 2 cara, dan bisa dipilih salah satunya:

1. Cara yang sempurna, yaitu mengerjakan semua rukun, wajib dan sunnah dalam mandi junub. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah di atas.

2. Cara yang mujzi’ (yang mencukupi), yaitu hanya melakukan yang merupakan rukun dalam mandi junub. Seperti yang diisyaratkan dalam ayat di atas. Imam Ibnu Hazm berkata dalam Al-Muhalla (2/28) menjelaskan ayat di atas, “Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi) maka dia telah menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan padanya.”

Masalah lain yang bisa dipetik dari dalil-dalil di atas adalah:

1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin menyatakan tidaknya wajib berwudhu setelah mandi junub berdasarkan ayat di atas. Karena Allah Ta’ala telah menyatakan mandi itu sebagai thaharah dan wudhu termasuk thaharah.

2. Hukum gerakan wudhu yang ada di  pertengahan mandi junub adalah sunnah, karena pada mandi junub yang cukup tidak disinggung masalah wudhu.

3.  Bolehnya ada jarak antara mencuci anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya dalam wudhu, selama anggota wudhu sebelumnya belum kering. Pada hadits Maimunah beliau mengundurkan mencuci kaki dari semua gerakan wudhu sebelumnya.

4. Sebaiknya tidak menggunakan handuk atau yang semacamnya untuk membasuh tubuh setelah mandi junub, akan tetapi hendaknya menggunakan tangan sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat lain hadits Maimunah.

5. Menggunakan tangan kiri ketika akan menyentuh sesuatu yang najis.

Jima Saat Istri Hamil

Jima Saat Istri HamilSESUNGGUHNYA, dalam Islam tidak ada yang menyusahkan. Begitu pula urusan tempat tidur, termasuk ketika istri sedang mengandung atau hamil. Namun tentu saja, pelaksanaannya agak berbeda dibandingkan dengan ketika kondisi istri biasa saja.

Tidak ada larangan syariat dalam hubungan badan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya yang sedang hamil selama kondisinya benar-benar sehat dan baik. Sedangkan yang dilarang syari’at adalah ketika hubungan badan (jima’) itu dilakukan pada saat wanita dalam keadaan haidh atau nifas, sebagaimana firman Allah swt:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri,” (QS. Al Baqarah : 222).

Dalam sebuah hadits tentang berhubungan saat wanita sedang haidh disebutkan ,”Lakukanlah (apa saja) kecuali nikah (memasukkan kelamin pria kedalam kelamin wanita),” (HR. Bukhori).

Jumhur ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi suami menyetubuhi (memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin) istrinya yang sedang dalam keadaan haidh dan dibolehkan baginya bersenang-senang dengan bagian tubuh yang ada diantara pusar dan lutut, sebagaimana firman Allah swt,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh,” (QS. Al Baqarah : 222)

Namun apabila kondisi istri yang sedang hamil itu tidak sehat atau memiliki riwayat dalam kehamilan sebelumnya, seperti ; pernah mengalami keguguran, pendarahan selama berhubungan atau kelahiran dini maka ada baiknya untuk berhati-hati dalam berhubungan.

Dan jika berhubungan itu dapat membawa mudharat (bahaya) padanya maka ada baiknya untuk tidak berhubungan dahulu karena menghindari berhubungan dalam keadaan istri tertekan atau khawatir akan membawa bahaya pada dirinya adalah bagian dari menggaulinya secara baik, sebagaimana firman Allah swt

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya : “dan bergaullah dengan mereka secara patut,” (QS. An Nisaa : 19).

Dalam menggauli istrinya yang sedang hamil hendaklah seorang suami melakukannya dengan tenang, pelan, tidak kasar, memperhatikan keadaan kejiwaannya dan juga mencari posisi berhubungan yang tepat terutama saat usia kehamilan masih muda atau sudah tua (menjelang kelahiran).

Jika memang berhubungan dengan istri yang sedang hamil tua akan berbahaya terhadap janinnya karena mungkin apabila tidak hati akan mengakibatkan keguguran maka ada baiknya menunda dahulu berhubungan dengannya hingga selesai melahirkan. Allohu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar