Aneka Ragam Golongan Ingkar Sunnah (1)
Sungguhpun As Sunnah telah jelas kehujahannya, namun tetap saja ada golongan yang membuat kaidah tersendiri terhadap sunnah sehingga menjadi tertolaknya sebagian sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh mereka yang menolak hadits-hadits yang tidak bersumber dari Ahlul Bait dan tidak bersumber dari imam-imam mereka. Siapakah mereka? Ada yang menyebut mereka adalah kaum Syi’ah. Secara umum, di luar konteks periwayatan, ulama Syi’ah itu condong membatasi ahlul bait dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain serta sembilan keturunan Husain dengan istrinya[1].
Kemudian Ahlul Bait yang populer mereka jadikan sumber periwayatan adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dengan kaidah seperti itu, maka pasti akan hilang atau tertolak sebagian besar dari sunnah Nabi saw. Karena mereka mengabaikan para sahabat lain yang jika dijumlah akan jauh lebih banyak periwayatannya serta memuat hal-hal yang sangat penting dan pokok dalam agama.
Adapun pengertian Ahlul Bait menurut ulama Ahlus sunnah adalah mereka segenap kerabat Nabi saw yang diharamkan menerima sedekah, mulai dari Nabi saw beserta keluarga beliau, Ja’far dan keluarga beliau, Aqil dan keluarga beliau, Abbas dan keluarga beliau, dan lain-lain.[2] Ulama Ahlu Sunnah memasukkan segenap istri Nabi saw dalam kelompok ahlul bait berdasar surat Al Ahzab ayat 33.[3]
Golongan lain yang ingkar sunnah adalah Mu’tazilah. Mereka juga membuat kaidah tersendiri terhadap sunnah. Mereka menghilangkan kredibilitas para sahabat yang terlibat dalam konflik politik (al fitnah). Artinya golongan Mu’tazilah tidak percaya dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang terlibat konflik tersebut. Sebenarnya konflik tersebut merupakan perbedaan ijtihad saja. Perbedaan ijtihad tidak selayaknya dikaitkan dengan periwayatan, karena para sahabat Nabi saw tersebut adalah orang yang adil dan tsiqah atau terpercaya. Dan dalam periwayatan, yang dipentingkan adalah kejujuran dan ketelitian atau akurasi.
Di samping itu golongan Mu’tazilah juga mensyaratkan hadits-hadits yang diterima haruslah mencapai derajat mutawatir. Padahal hadits mutawatir jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan hadits ahad.[4]
Masih ada lagi yang termasuk ingkar sunnah, yaitu kaum rasionalis yang enggan menerima hadits-hadits yang tidak diterima akal. Padahal yang dimaksud akal oleh mereka sesungguhnya adalah pengalaman dan fenomena kehidupan yang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan zaman tempat mereka berada. Harus diingat bahwa sesuatu yang dikatakan mustahil pada zamannya bisa menjadi hal yang biasa di zaman berikutnya. Jadi kaum rasionalis itu terjebak pada batas capaian kemampuan peradaban manusia di zamannya.
Sebagai contoh yaitu hadits tentang lalat yang jatuh ke minuman. Berdasar hadits, minuman itu tak perlu dibuang, namun justru dengan menenggelamkan lalat tersebut ke dalam minuman dan setelah itu lalat dibuang, kemudian minuman tersebut bisa diminum kembali. Hadits itupun sesungguhnya telah menerangkan permasalahannya, “Pada salah satu sayap itu terdapat penyakit. Akan tetapi pada sayap yang lain terdapat penawarnya“.[5]
Kaum rasionalis tergesa-gesa menolak hadits tersebut karena berpijak pada informasi kesehatan yang sederhana bahwa lalat itu pembawa kuman penyakit. Padahal jika mereka tidak apriori dan kemudian mencari pengetahuan yang lebih kredibel akan terbukti bahwa ketika lalat itu ditenggelamkan maka sayap satunya sebagai penawar akan bereaksi dan menawarkan (membuat tawar) penyakit. Dan kasus ini telah diuji di laboratorium di Eropa dan membenarkan hadits tersebut.[6]
[1] Yaitu putri Yazdajir Kaisar Persia yang ditaklukkan tentara Islam di zaman Umar bin Khathab ra.
[2] Selengkapnya bisa dilihat di buku “Hukum Zakat” karya DR Yusuf Qardhawi, pada bab Golongan yang tidak berhak menerima zakat.
[3] “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS Al Ahzab: 33)
[4] Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
[5] Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Apabila lalat jatuh ke dalam bejanamu (wadah airmu/minumanmu), makan benamkanlah kemudian buanglah, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat penawar”. (HR Bukhari)
[6] Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh DR Daud Rasyid, MA., di lembar Prakata dalam bukunya Sunnah di Bawah Ancaman, Syaamil, 2006.
Aneka Ragam Golongan Ingkar Sunnah (2)
Masih ada lagi yang termasuk enggan menerima sunnah, yaitu sebagian dari kaum kontekstualis. Mereka berpikiran bahwa sebuah perilaku yang sudah dilarang dalam sunnah Nabi saw, namun jika larangan itu ditaati di suatu tempat dapat menghambat ruang gerak Muslim bahkan merugikan, maka harus ada upaya pemikiran untuk memahami zhahir (tekstual) hadits dengan yang sebaliknya. Dengan itu tidak akan ada benturan dengan situasi dan tuntutan hidup yang ada.
Kontekstualisasi hadits itu sebenarnya bisa saja dilakukan tetapi hanya bagi mereka yang memiliki keahlian dalam bidang ini, agar kaum muslimin tidak jatuh ke dalam kekeliruan yang memprihatinkan serta merusak kehidupan mereka.
Jika kontektualisasi itu berangkat dari keengganan dan kemudian menempatkan diri pada keterpaksaan seolah tak ada pilihan lain, maka ini merupakan pilihan atau kecenderungan yang merusak. Apalagi kontektuslisasi hadits hanya berangkat dari ketidaksukaannya dengan simbol-simbol Islam, dia hanya gemar dengan yang substansial saja, tak suka beramal dan hanya gemar pada aktivitas intelektual semata. Seharusnya seorang muslim jika berhadapan dengan benturan dalam hidupnya bertanya kepada ahlinya, bukan condong kepada dirinya yang tak memiliki ilmu alat yang memadai untuk menetapkan hukum (ijtihad) dalam persoalan itu.
Ada lagi sekelompok orang yang secara tidak langsung tergolong ke dalam kelompok yang mengingkari sunnah. Dikatakan tidak langsung karena mereka itu sebenarnya menerima sunnah dan mengamalkannya, namun metodologi penerimaan sunnah mereka mengada-ada, tidak ada standar ilmiahnya sehingga salah kaprah. Mereka mensyaratkan hadits tersebut harus bersambung sanadnya, dari Nabi saw hingga ke pemimpin jama’ah mereka. Inilah yang mereka sebut sebagai “sanad manqul” atau sanad yang bersambung. Maka konsekuensinya adalah jama’ah ini tidak menerima dan tidak mengakui hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah yang dipelajari oleh seorang yang tak mendapat rekomendasi jama’ah mereka. Jadi untuk menerima keshahihan sebuah hadits dan mengamalkannya haruslah dengan talaqqi (menerima langsung) hadits dari pemimpin jama’ah yang telah mengklaim bahwa sanad haditsnya bersambung sampai kepada Nabi saw.
Kalau pengertian manqul sendiri menurut mereka adalah, “Jika tidak ada ketaatan berarti belum baiat, jika belum baiat berarti tidak ada amir/imam, jika belum memiliki amir berarti belum jama’ah, kalau belum jama’ah sama dengan belum Islam, jika belum Islam berarti masih kafir”.
Kemudian ilmu manqul menurut mereka adalah semua ilmu agama atau ilmu belajar mengajar agama baru dianggap syah atau benar jika terlebih dahulu ditashih di depan guru jama’ah mereka. Paradigma seperti itu akan bisa mengkafirkan semua orang di luar jama’ah mereka, dan hal ini merupakan paham pemikiran yang berbahaya. Jadi mereka telah berani menolak hadits-hadits yang terdapat kitab-kitab sunnah jika tidak disampaikan oleh jama’ah mereka, yang pernah dikenal dengan nama Darul Hadits atau Islam Jama’ah, yang dipimpin oleh seorang amir/imam bernama Nur Hasan Ubaidah. Dirinya mengklaim sebagai satu-satunya ulama Indonesia yang memiliki sanad bersambung hingga ke Nabi saw. Selainnya dianggap tak memiliki sanad, sehingga dianggap tidak benar dan tak diizinkan menimba ilmu kepada mereka.
Konon, orang ini telah talaqqi (belajar secara langsung) dengan syaikh Umar bin Hamdan, seorang ulama besar di Mekah. Riwayatnya berasal dari Ahmad al Barzanji, dari Sayid Ismail al Barzanji. Dengan demikian sanadnya sampai kepada Nabi saw, Malaikat Jibril dan Allah Ta’ala.
Hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran mereka bahwa penerimaan agama atau hadits harus melalui riwayat dengan cara manqul tersebut adalah dalih mereka sebagaimana ucapan Imam Abdullah bin Mubarak bahwa “periwayatan adalah bagian dari agama”. Dan memang Imam Muslim juga telah menjadikan tema tersebut sebagai judul sebuah bab dalam kitab shahihnya. Namun pada prakteknya kelompok ini sesungguhnya telah menjadikan ucapan Imam Abdullah bin al Mubarak tersebut sebagai hadits Nabi. Mereka lupa atau mungkin mengabaikan bahwa penulisan hadits itu telah selesai. Kita sekarang sudah tidak memerlukan lagi sanad atau rawi untuk menyampaikan hadits-hadits Nabi saw. Semua sudah termuat di dalam kitab-kitab shahih seperti Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad dan lainnya. Para imam hadits tersebut telah mentakhrij/mengeluarkan hadits dalam periwayatan yang utuh mencakup para rawi sejak disusunnya hadits tersebut oleh para imam hadits hingga ke Nabi saw. Jadi penulisan dan penyusunan hadits sudah ditutup dan selesai.
Adapun pengetahuan tentang kedudukan suatu hadits telah tersedia perangkatnya yaitu ilmu musthalahul hadits. Sehingga penerimaan dan penolakan hadits dengan metode manqul hanyalah mengada-ada, tidak memiliki dasar atau argumentasi yang kuat sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Catatan :
Ikuti Al Qur'an, Hadis, Ijma' dan Qiyah
Yang bernaung pada AZWAJA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar