BENARKAH DALAM MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?
Keputusan hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) I
di Surabaya pada 13 Rabi’uts Tsani 1345 H/ 12 Oktober 1926 M sering dijadikan
senjata oleh sebagian pihak terhadap Nahdliyin untuk melarang Tahlilan.
Dikatakan bahwa NU pada masa awal didirikannya dan pada masa kepemimpinan KH.
Hasyim Asy’ari memutuskan bahwa tahlilan itu bid’ah yang dilarang dalam Islam.
Hal ini didasarkan atas keputusan Muktamar NU I yang juga termuat dalam kitab I’anat
ath-Thalibin.
Padahal kalau mereka mau menelusuri dengan
seksama hasil keputusan Muktamar NU I maupun mendalami lebih jauh apa yang
tertulis dalam kitab I’anat ath-Thalibin yang menjadi dasar keputusan
itu maka akan didapatkan jawaban yang berseberangan atas tuduhan golongan
sepihak itu.
Tanpa mau mempelajari lebih detail tentang
hasil keputusan Muktamar NU I ini, dengan serta merta dan membabi buta,
golongan sepihak yang anti-Tahlil membuat kesimpulan sendiri. Mereka menyatakan
bahwa NU melarang Tahlilan atau pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari melarang umat
Islam untuk Tahlilan. Alasannya Tahlilan itu bid’ah yang tercela. Benarkah
demikian? Ternyata apa yang dituduhkan golongan anti-Tahli adalah tidak
benar. Buktinya Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
tidak melarang Tahlilan. Beliau mengatakan:
فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ أَنَّ مَا قِيْلَ
أَنَّهُ بِدْعَةٌ كَاتِّخَاذِ السَّبْحَةِ وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَةِ
وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ
عَنْهُ وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَإِنَّ مَا
أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ وَاللَّعْبِ بِالْكُوْرَةِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ - رسالة أهل السنة والجماعة صـ 8
“Jika Anda mengetahui apa yang telah disebutkan
(tentang 5 macam Bid’ah), maka Anda akan mengetahui tentang tuduhan “Ini adalah
bid’ah”, seperti menggunakan tasbih, mengucapkan niat, tahlil ketika sedekah
untuk mayit dengan menghindari hal-hal yang dilarang, ziarah kubur dan
sebagainya, bukanlah bid’ah. Sedangkan memungut uang dari orang-orang di pasar
malam dan permainan kerasukan adalah bid’ah yang paling buruk.” (Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah halaman
8).
Namun oknum Salafi-Wahabi tetap saja mencoba
mendatangkan dalil-dalil larangan khususnya Tahlilan, dimana dalil-dalil khusus
tentang pelarangan Tahlil tersebut tidak pernah ada, dan dibuat buat
seolah-olah memang ada. Ketidakshahihan dalil pelarangan ini dibuat sedemikian
rupa dengan cara apapun termasuk berbohong, mencatut bahkan memotong-motong
fatwa dimana pengertiannya sudah jauh dari pada referensi yang diambilnya.
Celakanya banyak orang-orang awam yang
ikut-ikutan hanya dengan belajar dan membaca di internet atau buku-buku
terjemah saja langsung menelan mentah-mentah dan membebek (taklid buta) ikut
mengcopy paste sambil berteriak-teriak bid’ah dan melarang yang sebenarnya tak
ada larangan yang shahih dari agama tentang Tahlilan ini.
Jawaban
Bantahan:
1.
Muktamar NU I di Surabaya tanggal 13 Rabiuts
Tsani 1345 H/21 Oktober 1926
Kutipan:
_________________
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts
Tsani 1345 H /21 Oktober 1926 di Surabaya mengatakan bahwa Tahlilan adalah Bid’ah
Mungkarah merujuk kepada kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 165-166.
_________________
Jawaban
Bantahan:
Perlu diluruskan di sini bahwa dalam Muktamar NU
I Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsani 1345 H /21 Oktober 1926
di Surabaya tidak ada yang membahas soal Tahlilan. Yang dibahas dalam Muktamar itu
ada ada 27 soal. Salah satu soalnya, yakni soal ke-18, yang dibahas adalah
masalah “Keluarga Mayyit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah”. Di
dalamnya dijelaskan antara lain bahwa: “Bid’ah dhalalah jika prosesi
penghormatan kepada mayyit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi”
atau “memuji secara berlebihan.” Antara “Tahlilan” dengan “Meratapi” jelas
sangat jauh berbeda pengertiannya.
2.
Kitab I’anat ath-Thalibin Juz 2 Halaman 165-166
Kutipan: Setidaknya
ada 5 pernyataan yang mereka comot dari kitab I’anat ath-Thalibin secara
tidak jujur dan memelintir maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan
Tahlilan. Ini banyak dicantumkan di situs-situs mereka dan dikutip oleh sesama
mereka secara serampangan pula.
_________________
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام،
من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul
di rumah keluarga si mayit dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah,
yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya. Dengannya Allah akan
kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan Muslimin.” (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 165).
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة
مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل
الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang
hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan adalah
bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara
itu. Karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Ra.: “Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah
termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.”
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد
الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
“Dalam kitab al-Bazaz dikatakan: “Dibenci menyediakan makanan pada hari
pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan
secara musiman.”
“Dan
diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa
dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara
hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 145-146).
“Dan
tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini
adalah menghidupkan sunnah Nabi Saw., mematikan bid’ah, membuka seluas-luasnya
pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan. Karena orang-orang
memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang
diharamkan.” (I’anat
ath-Thalibin juz 2 halaman 145-146).
_________________
Jawaban
Bantahan:
Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil
pernyataan ulama dari kitab muktabar secara serampangan (mengguting-gunting
kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk
telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah ulama yang
perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab ulama dan juga telah menipu
kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan.
Mengatasnamakan Madzhab Syafi’i untuk menjatuhkan amalan Tahlil.
1.
Kedustaan Pertama
Nukilan di atas merupakan bentuk
ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di
tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah
termasuk bid’ah munkarah. Padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat
tersebut. Mereka telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut
sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur.
Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan
yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka nukil dimulai
dengan kata “na’am” (iya). Berikut teks lengkapnya:
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل
الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد
الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص
أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم
ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم
أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من
الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك
بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال:
اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengenai
pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah tentang apa yang
dilakukan oleh keluarga mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku
perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai
keduanya; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat
para mufti yang mulia di Negeri al-Haram, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat
mereka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (‘urf)
yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para
pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya.
Lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu
telah meliputi keluarga mayyit maka mereka membebani diri dengan beban yang
sempurna. Dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk
pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah
bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan
rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan
tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada as-Sunnah
yang lurus, yang berasal dari manusia yang terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau
Saw., saat ia bersabda: “Sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar.” Apakah
pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu)?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى
الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك
الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من
البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به
الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang
telah ditanyakan, (ya Allah kumohon kepadaMu supaya memberikan petunjuk
kebenaran). Iya, apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul di tempat keluarga
mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi
pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya
kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam.”
Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan di atas
telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan
ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidakjujuran ini yang mereka
dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama kitab I’anat ath-Thalibin.
Dalam pertanyaan dan jawaban di atas, yang
sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah munkarah adalah kebiasaan pentakziyah
menunggu makanan di tempat keluarga yang terkena mushibah kematian. Akal sehat
pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk dihentikan.
Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti Mekkah menyatakan kebiasaan tersebut
sebagai bid’ah munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan
mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari mufti tersebut tidak berani
untuk menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan
sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, mufti tersebut kemungkinan akan
berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus
yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan keluarga
mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit
dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.
Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang
ke rumah ahlu mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas
kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu
mengadakan Tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih
mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit
sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain
atau keluarga mayyit itu sendiri ?
Keinginan keluarga mayyit untuk mengadakan Tahlilan
dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan
pertanda keluarga mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan. Sementara
para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa keluarga mayyit
untuk mengadakan Tahlilan. Keluarga mayyit mengetahui akan dirinya sendiri
bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya
yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan
memenuhi undangan keluarga mayyit.
Sungguh betapa sangat menyakitkan hati keluarga
mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan
tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan
yang “dianggap makruh” dengan menghibur keluarga mayyit sehingga membuat hati mereka
senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati mereka?
Tentu saja akal yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang
dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan
menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di sisi yang lain antara keluarga mayyit dan
yang diundang sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana keluarga mayyit telah
melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendoakan anggota keluarga
yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit dan menghormati tamu dengan cara
memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang diundang pun sama-sama melakukan
amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendoakan mayyit, berdzikir bersama,
menemani dan menghibur keluarga mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang
diharamkan? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan
hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan
atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.
Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang
dilakukan oleh orang awam yang sangat membebani dan menyusahkan karena ketidak
mengertiannya dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan
untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi
tahu atau diajari bukan dihukumi.
2.
Kedustaan Kedua
Kata yang seharusnya merupakan status hukum
namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut
menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti “akrahu” (saya
membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah
munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang
tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap
jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram
mutlak. Padahal dalam kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh”
untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayyit dan dihidangkan makanan,
terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti takziyah, hukum mendoakan,
bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.
Bacalah terjemahan mereka yang sudah dituliskan
di atas. Padahal teksnya yang benar adalah:
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة
مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل
الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari keluarga mayyit membuat
makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah
(bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu. Sesuai dengan
hadits shahih dari Jarir Ra.: “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke keluarga
mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) adalah
bagian dari meratap.”
Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status
hukum “makruh” pada kalimat di atas. Dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk
tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena
penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud
bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.
Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5)
status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Syarah
Shahih Muslim juz 7 halaman 105:
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam;
bid’ah yang wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.”
Bila ingin memahami perkataan para ulama
Madzhab Syafi’i, maka harus faham juga istilah-istilah yang ada dan digunakan
di dalam Madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini
mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan
kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah. Dan untuk menghidarinya, satu-satunya
jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung
dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa
dipastikan keliru.
Status hukum yang disebutkan pada kalimat di atas
adalah “makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram, yaitu
mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan.
Makruh yang disebutkan di atas juga terlepas dari hukum takziyah itu sendiri.
Kemudian persoalan “an-Niyahah”
(meratap) yang disebut dalam hadits shahih di atas, dimana hadits tersebut juga
dikeluarkan oleh Ibnu Majah. An-Niyahah memang perbuatan yang dilarang
dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau
menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw.
saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat beliau
Saw. mencucurkan air mata, sahabat Sa’ad Ra. Bertanya:
فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ
رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ
مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
“Ya Rasulullah, apakah ini?” Jawab Rasulullah Saw.: “Ini (kesedihan ini)
adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hambaNya, Allah hanya merahmati
hamba-hambaNya yang mengasisihi.” (HR. Imam Bukhari no. 1284).
Rasulullah Saw. juga menangis saat menjelang
wafatnya sang putra yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Abdurrahman bin ‘Auf Ra.:
فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ
ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى
رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Abdurrahmah bin ‘Auf bertanya kepada Rasulullah
Saw.: “Dan anda wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Ibnu
‘Auf, sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata
“sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata dan hati bersedih, dan kami tidak
mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah. Sesungguhnya aku adalah
orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim.” (HR. Imam Bukhari no.
1303).
Rasulullah Saw. juga menangis di makam ibundanya
sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan dalam
hadits-hadits shahih. (Lihat dalam Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’aniy
Alfadz al-Minhaj juz 1 halaman 356 karya Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini,
cet. Dar el-Fikr).
Maka meratap yang sebenarnya dilarang
(diharamkan) yang disebut sebagai “an-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan
suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan
seperti memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.
Kembali kepada status hukum “makruh” di atas,
sebagaimana juga dijelaskan di dalam kitab al-Mughniy juz 2 halaman 215:
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على
مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Maka adapun bila keluarga mayyit membuat
makanan untuk orang maka itu makruh. Karena bisa menambah atas mushibah mereka,
menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan jahiliyah.”
Makruh bukan haram, dan status hukum makruh bisa
berubah menjadi mubah (boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam
kitab tersebut di tulisan selanjutnya:
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من
القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab)
hajat, maka itu diperbolehkan. Karena barangkali diantara yang datang ada yang
berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap di rumah
mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti dijamu (diberi
hidangan).”
3.
Kedustaan Ketiga
Penukilannya juga tidak tepat dan keluar dari
konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan
mereka juga menterjemahkan status hukum yang ditetapkan dalam kitab al-Bazaz
secara keliru. Berikut teks lengkapnya yang benar:
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في
السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله،
قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز:
ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر
في المواسم إلخ
“Dan (juga) berkata: “Dan dimakruhkan
penyediaan jamuan besar dari keluarga mayyit, karena untuk mengadakan kegembiraan,
dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan
isnad yang shahih dari Jarir bin Abdullah Ra.: “Kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke
(tempat) keluarga mayyit dan menyediakan makanan bagian dari meratap.” Dan
dalam kitab al-Bazaz: “Dimakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama,
ketiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang
dibawa) ke kuburan pada musiman.”
Apa yang dijelaskan dalam kitab al-Bazaz
adalah sebagai penguat pernyataan makruh sebelumnya (masih terkait dengan apa
yang disampaikan sebelumnya). Namun sayangnya, mereka menukil separo-separo
sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng. Parahnya lagi mereka
gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan
tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.
Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar
untuk tamu (adh-Dhiyafah) yang dilakukan oleh keluarga mayyit untuk
kegembiraan. Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah
menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mughniy di
atas.
4.
Kedustaan Keempat
Mereka menampilkan teks secara tidak utuh. Berikut
adalah teks lengkapnya yang benar:
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة
والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن
كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
“Dan di dalam kitab Hasiyat al-Jamal ‘ala Syarh
al-Minhaj: “Dan sebagian dari bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya, yaitu
apa yang dilakukan orang dari berduka cita, berkumpul dan 40 harian. Bahkan semua
itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta)
mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa
menimbulkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.”
Begitu jelas ketidakjujuran yang mereka lakukan
dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan
buku-buku mereka. Kalimat yang seharusnya dilanjutkan, di potong oleh
mereka. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama
yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama”
(penipuan yang direncanakan/disengaja) demi tercapainya tujuan mereka yaitu
melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah-olah tujuan mereka didukung oleh
pendapat ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang
mengatasnamakan ulama.
5.
Kedustaan Kelima:
Kalimat yang mereka terjemahkan sebenarnya
masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, yang harus dipahami secara
keseluruhan. Berikut ini adalah kelanjutannya:
وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال
من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص
من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل
بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح،
فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا
للشر، مغلاقا للخير.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Bilal bin
Harits Ra.: “Wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku
setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang
mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang
mengamalkan). Dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah
dimana Allah dan RasulNya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana
orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.”
Dan Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya
kebaikan itu memiliki khazanah-khazanah. Khazanah-khazanah itu ada
kunci-kuncinya (pembukanya). Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah
jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka,
celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan
dan pengunci kebaikan.”
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة،
وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس
يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
“Dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia
dari bid’ah munkarah ini, padanya termasuk menghidupkan sunnah, mematikan
bid’ah, membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci banyak pintu
keburukan. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu
hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”
Jika hanya membaca sepintas nukilan dari
mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia
dan makan hidangan di tempat keluarga mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang
telah mereka nukil secara tidak jujur. Atau bahkan ketidakjelasan mengenai
bid’ah munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya sudah dijelaskan
dan status hukumnya adalah makruh. Meskipun bisa mengantarkan pada perkara yang
haram jika membebani dengan beban yang banyak, yaitu jika (dibiayai) dari harta
yang terlarang, atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau
(dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya. (Disarikan dari mejlisrasulullah.org,
generasisalaf.wordpress.com dan elhooda.net).
Tulisan dari
pihak Wahabi selengkapnya silakan baca di sini: TahlilanHaramMenurutKeputusanMuktamarNU-I
Sya’roni
As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 07 Maret 2014
Share this article :