Senin, 31 Maret 2014

SHOLAT : POSISI TANGAN SAAT I'TIDAL


PERTANYAAN :
Kang Muhammad 'Ali Mawardy
Apakah nabi mengamalkan / menganjurkan / pernah melakukan tangan bersedekap sehabis ruku' ? Jika tidak ? Bagaimana hukumnya jika kita bersedekap setelah ruku' dikarenakan turut kepada guru ?
JAWABAN :
Masaji Antoro
POSISI TANGAN SAAT I'TIDAL. Terjadi perbedaan pendapat tentang kesunnahan bersedekap atau tidaknya tangan sewaktu I’tidal karena tidak terdapatkannya satu hadits yang secara pasti mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini.
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ
"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR. Bukhari].
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ
"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Saw meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR. Bukhari].
Kedua hadits di atas tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan sedekap, dan perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal sedang memurut Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm dan dalam literatur kitab-kitab Fiqh Syafi'iyyah yang lain posisi tangan sewaktu i'tidal yang lebih utama dilepas (tidak bersedekap) kecuali bila dikhawatirkan terjadi 'abats (mengganggu konsentrasi dalam sholat). Wallahu A'lam. Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=129555857086020
Kalangan Syafi'iyyah lebih cenderung memilih melepaskan kedua tangan lurus kebawah saat i'tidal
أما زمن الاعتدال فلا يجمعهما تحت صدره بل يرسلهما سواء كان في ذكر الاعتدال أو بعد الفراغ من القنوت ا ه ع ش
"Sedang saat I’tidal maka janganlah mengumpulkan kedua tangan dibawah dada tapi lepaskan keduanya baik saat membaca doa/dzikiran I’tidal atau setelah rampung dari membaca Doa Qunut". [ Hasyiyah al-Jamal ‘ala al-Manhaj II/38 ]. Wallaahu A'lamu Bis showaab
Mbah Jenggot II
Saya mendapatkan keterangan seperti ini
1. Imam ibnu Hajar secara shareh dan terang menjelaskan dalam kitab beliau Tuhfatul Muhtaj jilid 2 hal 67 bahwa yang disunatkan adalah melepaskan tangan/irsal. Dan dalam halaman 72 beliau juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa yang sunat ketika i`tidal adalah bersedekap. Diantara seluruh kitab Imam Ibnu Hajar bila terjadi pertentangan maka yang lebih didahukan adalah kitab Tuhfatul Muhtaj kemudian Fathul Jawad kemudian Al Imdad kemudian Al Fatawa dan Syarah Al `Ubab .
2. Imam Muhammad Ramli, pendapat beliau dapat kita lihat dalam kitab beliau yang paling utama yaitu kitab Nihayatul Muhtaj jilid 1 hal 501 cet. Dar Kutub Ilmiyah. Imam Ali Syibra Malasy dalam mengomentari Kitab Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj dalam penjelasan Imam Ramli tentang sunat meletakkan tangan dibawah dada, Imam Ali Syibra Malasy (jilid 1 hal 549 cet. Dar Kutub Ilmiyah) menngomentari bahwa hukum tersebut berlaku ketika sedang berdiri hingga rukuk, tidak berlaku ketika i`tidal, karen aketik a i`tidal tangan disunatkan dilepas/irsal.
3. Imam Nawawy Al Bantany, pendapat beliau dapat kita lihat dalam beberap akitab beliau: Nihayatuz Zain. Dalam kitab tersebut setelah beliau menerangkan rukun ke 6 dalam shalat adalah i`tidal, kemudian beliau menyatakan :
( و ) يسن ( بعد انتصاب ) أن يرسل يديه ويقول ( ربنا لك الحمد )“
dan disunatkan seetelah tegak berdiri bahwa ia melepaskan kedua tangannya...
4. Imam Sulaiman Al-Bujairimy, pendapat beliau dapat kita lihat dalam kitab beliau Hasyiah Bujairimy `ala syarah Manhaj. Dalam kitab tersebut jilid 1 hal 274 cet. Dar kutub Ilmiyah beliau menukil tanpa menolak nash kitab Tuhfatul Muhtaj yang menyatakan bahwa yang disunatkan ketik a i`tidal adalah melepaskan tangan/irsal, sedangkan pendapat yang mengatakan sunat meletakkan tangan dibawah dada adalah pendapat yang tertolak/mardud.
Abdullah Afif
Link asal, yaitu,http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/464202840269196/?comment_id=465558820133598&offset=0&total_comments=31
menyebutkan:
Cara yang dipilih oleh imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar adalah, seperti halnya meletakkan kedua tangan setelah membaca Takbîrat al-Ihrâm.
الفتاوى الفقهية الكبرى الجزء 1 صحـ : 140 مكتبة الإسلامية( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ وَمَتَّعَ بِوُجُودِهِ الْمُسْلِمِينَ هَلْ يَضَعُ الْمُصَلِّيْ يَدَيْهِ حِينَ يَأْتِيْ بِذِكْرِ اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ أَوْ يُرْسِلُهُمَا ( فَأَجَابَ ) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ النَّوَوِيِّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ فِي اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ وَعَلَيْهِ جَرَيْتُ فِي شَرْحِيْ عَلَى اْلإِرْشَادِ وَغَيْرِهِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ اهـ
Telah ditanya Ibnu Hajar Al Haitami, (semoga Allah memberikan kemanfaatan dengan ilmu beliau dan keberkatan kepada kaum muslimin dengan keberadaan beliau)Apakah orang yang shalat itu meletakkan kedua tangannya ketika melakukan dzikir I’tidal sebagaimana meletakkannya setelah takbiratul ihram, ataukah menggantungkannya lurus ke bawah ?
Beliau menjawab:Yang ditunjukkan penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Syarh al Muhaddzab, sesungguhnya orang shalat tersebut meletakkan kedua tangannya di waktu berdiri I’tidal, sebagaimana meletakkannya setelah takbiratul ihram.Dan dengan ini aku berpendapat dalam kedua syarah Irsyad saya dan yang lainnya.Wallaahu Subhaanahuu wa Ta'aalaa A'lamu Bishshawaab. Selesai
Catatan:Imam Ibnu Hajar dalam kitab al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra memang menulis demikian.
Bisa dilhat link berikut:http://www.kl28.net/knol6/?p=view&post=1033081dan:http://islamport.com/d/2/ftw/1/3/20.html
http://islamport.com/d/2/ftw/1/3/20.htmllihat 2/3
Tapi dihalaman 150 (Maktabah Syamilah) beliau memu'tamadkan tidak bersedekap.... ta'birnya sebagai berikut :
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ ذَكَرَ الشَّيْخُ زَكَرِيَّا رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في شَرْحِ الْبَهْجَةِ أَنَّهُ إذَا اسْتَوَى مُعْتَدِلًا بَعْدَ رُكُوعِهِ أَرْسَلَ يَدَيْهِ إرْسَالًا خَفِيفًا إلَى تَحْتِ صَدْرِهِ فَقَطْ وقال غَيْرُهُ بِإِرْسَالِهِمَا فما الْمُعْتَمَدُ من ذلك فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ إنَّ الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يُرْسِلُهُمَا وَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ وَعِبَارَةُ شَرْحِي لِلْعُبَابِ بَعْدَ قَوْلِهِ فإذا انْتَصَبَ أَرْسَلَهُمَا وَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ هُنَا بَلْ صَرِيحُهُ أَنَّهُ لَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ
sumber : http://www.kl28.net/knol6/?p=view&post=1033090&page=129
dan : http://islamport.com/d/2/ftw/1/3/21.html2/54
وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ ذَكَرَ الشَّيْخُ زَكَرِيَّا رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في شَرْحِ الْبَهْجَةِ أَنَّهُ إذَا اسْتَوَى مُعْتَدِلًا بَعْدَ رُكُوعِهِ أَرْسَلَ يَدَيْهِ إرْسَالًا خَفِيفًا إلَى تَحْتِ صَدْرِهِ فَقَطْوقال غَيْرُهُ بِإِرْسَالِهِمَا فما الْمُعْتَمَدُ من ذلك
Imam Ibnu Hajar (semoga Allah memberi manfaat dengan beliau) yang mana teks nya Syeikh Zakariya Rahimahullaahu Ta'alaa menuturkan dalam Syarah al Bahjah bahwasanya orang shalat ketika i'itidal setelah ruku dia menurunkan kedua tangannya dengan menurunkan yang ringan ke bawah dadanya saja.
Sementara selain Syeikh Ibnu Hajar berkata dengan menurunkannya (tanpa diletakkan dibawah dada.Pen) Pendapat mana yang mu'tamad dari hal tersebut ?
فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ إنَّ الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يُرْسِلُهُمَا وَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ وَعِبَارَةُ شَرْحِي لِلْعُبَابِ بَعْدَ قَوْلِهِ فإذا انْتَصَبَ أَرْسَلَهُمَا وَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ هُنَا بَلْ صَرِيحُهُ أَنَّهُ لَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ
Beliau menjawabSesungguhnya yang mu'tamad adalah dia menurunkan kedua tangannya dan tidak meletakkan keduanya dibawah dadanya.
Ibarot Syarah saya untuk kitab al 'Ubaab setelah ucapan Mushannif :ketika berdiri tegak mushalli menurukan kedua tangannyaMenurut zahirnya bahkan sharihnya ucapan ulama disini bahwasanya mushalli tidak meletakkan kedua tangannya dibawah dadanya.
Ta'bir al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra yang terakhir sama dengan ta'bir Tuhfatul Muhtaaj juz I halaman 153. Berikut ta'birnya:
و ) الصحيح سن ( رفع يديه ) في جميع القنوت والصلاة والسلام بعده للاتباع وسنده صحيح أو حسن وفارق نحو دعاء الافتتاح والتشهد بأن ليديه وظيفة ثم لا هنا ومنه يعلم رد ما قيل : في السنة في الاعتدال جعل يديه تحت صدره كالقيام
sumber link:http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?bk_no=20&ID=18&idfrom=919&idto=1147&bookid=20&startno=41
adapun ta'bir al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra yang pertama sama dengan Hasyiyah Asy Syarqawi 'alaa Tuhfatiththullaab juz I halaman 199Ta'birnya:
فإذا استوى قائما أرسلهما إرسالا خفيفا تحت صدره
Sayyid Mushthafa ibn Hanafi Adzdzahabi dalam pentaqriran atas hasyiyah Syarqawi menulis :
قوله تحت صدرههو قول ض رده حج والمعتمد كما فيه وفي م ر و ع ش عليه أنه يرسلهما إلى جنبيه
Wallaahu A'lam

I’tidal adalah posisi tegak kembali pada keadaan semula seperti saat sebelum ruku’ (apabila sebelum ruku’ seseorang sholat dengan berdiri maka I’tidalnya berdiri kembali, apabila sebelum ruku’ sholatnya dengan duduk maka i’tidalnya berarti duduk kembali)

Dalil yang mengharuskan I’tidal :
Sabda Nabi Muhammad SAW "Allah tidak akan melihat kepada sholat seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku' dan sujudnya." (HR Ahmad, dengan isnad shahih)
Nabi bersabda pada orang-orang yang tidak baik sholatnya “Bangunlah, sehingga kamu berdiri tegak” (HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah Ra “Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu" (HR. Muslim)

Menurut madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali I’tidal tergolong rukunnya sholat yang apabila tidak dikerjakan (dengan kesengajaan) berakibat batalnya sholat (berdasarkan hadits diatas) sedang menurut Maszhab Hanafi I’tidal tidak termasuk rukunnya sholat tapi termasuk wajibnya sholat dalam arti apabila I’tidal tidak dikerjakan sholatnya tetap sah hanya saja berdosa karena meninggalkan barang wajib.

Syarat sempurnanya I’tidal ;
1. Hendaknya semua rukun yang telah dikerjakan ( sebelum I’tidal ) harus dikerjakan dengan sempurna ( sah )
2. Tidak bangkit dari ruku’ selain untuk I’tidal,
3. Thuma’ninah saat I’tidal.
4. Thuma’ninah harus dikerjakan dengan yakin, artinya seorang yang mengerjakan sholat ia harus benar-benar yakin, bahwa ia telah tenang sejenak saat I’tidal
5. I’tidal dilakukan dengan meluruskan secara sempurna tulang puggung kita
6. Menurut menurut madzhab Imam Syafi’i, tidak boleh berlama-lama dalam I’tidal, selain membaca do’a yang telah di syariatkan, kecuali pada roka’at akhir, karena disitu disyariatkan membaca do’a qunut dan kadar/batas lamanya I’tidal tidak boleh lebih lama dari membaca surat al-fatihah.

Bacaan-bacaan Doa yang disunnahkan dalam i’tidal
Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala beliau bangkit dari ruku’, beliau mengucapkan

“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH” “Allah mendengar orang yang memujinya”

Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau yang membaca:

‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
“Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala pujian yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.”

Maka tatkala Rasulullah saw selesai mengerjakan shalat, beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah saw berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu Khuzaimah).

Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah saw ketika bangun dari ruku’ (i’tidal) beliau mengucapkan:

“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
“Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang mampu menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang mampu memberikan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu dapat menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)

Posisi tangan sewaktu I’tidal
Terjadi perbedaan pendapat tentang kesunnahan bersedekap atau tidaknya tangan sewaktu I’tidal karena tidak terdapatkannya satu hadits yang secara pasti mejelaskan tentang sedekap ketika i'tidal, kecuali dua hadits yang dipergunakan sebagian ulama untuk menunjukkan sunnahnya perbuatan ini.

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِيْ الصَّلاَةِ

"Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat". [HR. Bukhari].

كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

"Apabila mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku'), maka beliau Saw meluruskan (badannya) hingga semua rangkaian tulang belakangnya kembali ke posisinya". [HR. Bukhari].

Kedua hadits di atas tidak secara jelas menunjukkan hukum perbuatan tersebut. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat dalam mensikapi permasalahan sedekap, dan perbedaan pendapat ini sudah berlangsung sejak zaman Imam Ahmad bin Hambal sedang memurut Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm dan dalam literatur kitab-kitab Fiqh Syafi'iyyah yang lain posisi tangan sewaktu i'tidal yang lebih utama dilepas (tidak bersedekap) kecuali bila dikhawatirkan terjadi 'abats (mengganggu konsentrasi dalam sholat). Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar