Minggu, 16 Maret 2014

Hukum Mengeraskan Suara saat Berzikir


Fatwa oleh: Prof. Dr. Syekh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab Mesir
Pertanyaan: Apakah mengeraskan suara saat berzikir itu bid’ah?
Jawaban: Dianjurkan untuk bersuara sedang (tidak lirih dan tidak keras) saat bertasbih dan berzikir lainnya, menurut mayoritas ahli fikih, berdasarkan firman Allah SWT  yang artinya: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (al-Israa: 110). Nabi Muhammad SAW pernah melakukan hal itu. Dalam sebuah hadis dijelaskan:
عن أبي قتادة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم خرج ليلة فإذا هو بأبى بكر رضى الله عنه يصلى يخفض من صوته . قال : و مر بعمر رضى الله عنه و هو يصلى رافعا صوته. قال : فلما اجتمعا عند النبى صلى الله عليه و سلم. قال   يا أبا بكر مررت بك و أنت تصلى تخفض صوتك. قال : قد أسمعت من ناجيت يا رسول الله . قال : فارفع قليلا . ثم قال لعمر : مررت بك و أنت تصلى رافعا صوتك ؟  فقال يا رسول الله أوقظ الوسنان و أطرد الشيطان. قال : إخفض من صوتك شيئا.
“Diriwayatkan dari Abu Qatâdah R.A bahwasanya Rasulullah SAW pernah keluar pada suatu malam. Lantas beliau mendapati Abu Bakar R.A sedang shalat dengan melirihkan suaranya. Beliau juga mendapati Umar R.A sedang shalat dengan mengeraskan suaranya. Tatkala mereka berdua berkumpul bersama Nabi SAW, Nabi bersabda: “Wahai Abu Bakar, aku melewatimu saat kamu shalat dengan suara lirih.” Abu Bakar berkata: “Sungguh suaraku terdengar oleh Dzat yang menjadi obyek munajatku wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Keraskanlah sedikit suaramu!.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada Umar R.A: “Aku berjalan melewatimu saat kamu shalat dengan mengeraskan suara.” Umar berkata: “Wahai Rasulullah, aku ingin membangunkan orang yang kantuk dan mengusir setan.” Rasulullah SAW bersabda: “Pelankanlah sedikit suaramu!.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hal ini, sebagian ulama salaf menganjurkan untuk mengeraskan suara ketika takbir dan zikir setelah shalat-shalat wajib (Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya –penj). Mereka berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas: “Aku mengetahui mereka telah usai menunaikan shalat ketika aku mendengar bacaan zikir mereka.” (HR. Bukhari). Karena mengeraskan suara ketika takbir dan zikir adalah perbuatan yang sering diamalkan oleh para sahabat dan lebih mengena untuk direnungkan (tadabur), serta dapat membangunkan hati orang-orang yang lalai. Argumentasi terbaik dalam hal ini adalah perkataan pengarang kitab “Murâqi Al-Falâh” dalam menggabungkan hadis-hadis Nabi SAW dan perkataan para ulama yang berselisih tentang mana yang lebih utama antara melirihkan dan mengeraskan suara ketika berzikir dan berdoa. Beliau berkata dalam kitabnya:
أن ذلك يختلف بحسب الأشخاص و الأحوال و الأوقات و الأغراض. فمتى خاف الرياء أو تأذى به أحد كان اللإسرار أفضل. و متى فقد ما ذكر كان الجهر أفضل.
“Hal itu berbeda sesuai perbedaan orang, keadaan, waktu, dan tujuan masing-masing. Ketika seseorang khawatir berbuat riya’ atau menggangu orang lain, maka melirihkan suaranya (ketika dzikir atau doa) adalah lebih utama. Namun jika tidak ada kekhawatiran tersebut maka mengeraskan suara adalah lebih utama.”
Berdasarkan penjelasan ini, sesungguhnya mengeraskan suara ketika berzikir itu bukanlah bid’ah, dan tidak mengandung sedikitpun perkara bid’ah. Terkadang berzikir dengan keras lebih dapat membuat seseorang berkosentrasi, dengan syarat ia tidak bermaksud riya’. Wallahu a’lam. (Ahmad Dzulfikar/ mosleminfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar