PERJANJIAN HUDAIBIYAH
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.... 1
B. Rumusan Masalah....... 1
C. Tujuan Makalah .. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perjanjian Hudaibiyah........................................................................ 3
B. Bentrokan-bentrokan Kecil Setelah Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah22
C. Fathul Makkah........................... 27
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................ .. 39
DAFTAR PUSTAKA.. 40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita yakini Rasulullah sebagai sebaik-baiknya suri tauladan (uswatun hasanah), dari berbagai sisi kehidupan beliau. Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga, beliau adalah seorang suami dan ayah ideal. Sebagai seorang yang dititipi amanah, maka satu unsur yang membuat beliau digelari al-amin karena amanah itu dijaga dengan sangat baik. Sebagai penengah perselisihan, maka solusi dari beliau bukan saja mencegah perang saudara antar Quraisy, tapi juga mencari solusi yang menentramkan mereka semua. Di antaranya ketika hajar aswad berpindah dari tempatnya, dan semua pihak merasa paling berhak dalam mengembalikan ke tempat semula.
Begitu pula sebagai pemimpin, beliau adalah sebaik baiknya pelayan umat, pandai berdiplomasi, dan dalam situasi khusus, sebagaimana nabi-nabi yang lain seperti Daud Alaihi Salam, beliau adalah sebaik baiknya pemimpin perang. Allahumma sholi wassalim wabaarik alaihi.
Satu episode perjuangan Rasulullah yang terkenal mengagetkan sahabat-sahabat beliau, yaitu Perjanjian Hudaibiyah. Dari mana hal ini kita pahami? Mari kita selami sekilas tentang perjanjian Hudaibiyah.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).” [QS. al Fath : 1-3]
Kebanyakan Mufassirin menyebutkan ayat ini berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyah. Dan memang ayat ini turun ketika Rombongan Rasulullah kembali ke madinah dan tidak jadi menunaikan ibadah umrah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah terjadinya perjanjian Hudaibiyah?
2. Bentrokan-bentrokan kecil apa saja yang terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah sampai kota Mekkah aman?
3. Bagaimana sejarah pembebasan Kota Makkah?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui sejarah terjadinya perjanjian Hudaibiyah.
2. Mengetahui pemberontakan-pemberontakan kecil sekitar terjadinya perjanjian Hudaibiyah.
3. Mengetahui bagaimana terjadinya fathul Makkah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PERJANJIAN HUDAIBIYAH
1. Sejarah Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyyah (صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H).
Enam tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Madinah. Selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin berkembang.
Setelah terjadinya perang ahzab dan perang khandaq pada tahun ke-5 hijriyah, maka tidak ada lagi kektakutan dipihak kaum muslimin oleh penindasan Quraisy, karena setelah berakhirnya perang Khandaq yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, masuklah dua orang pemimpin Quraiy yang gagah berani ke dalam agama Islam. Yaitu Amr bin Ash Asahmi dan Khalid bin Walid Al Makhzumi. Dan setelah ini, tidak ada lagi peperangan antara kaum muslimin dan kaum Quraisy.
Pada tahun keenam hijriyah itu, Nabi Muhammad saw. beserta pengikut-pengikutnya merasa rindu untuk pergi ke Baitulloh, dan mereka ingin ziarah ke Mekkah mengunjungi sanak famili dan kampung halaman yang sudah lama mereka tinggalkan. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.
Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Nabi mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Zulhijah yang suci.
Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah dengan aman tanpa ada pertempuran. Nabi mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi ada juga dari kabilah-kabilah di luar Muslimin yang masih menunda-nunda, seperti Juhainah dan Muzainah.
Pada hari Senin dalam bulan Zulkaedah tahun ke-6 H sebagai salah satu bulan suci, Nabi berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri. Nabi menunjuk Numailah bin Abdullah al-Laitsi sebagai imam sementara di Madinah. Nabi dan pengikutnya yang berjumlah kurang lebih sekitar 1000 orang (ada sumber yang mengatakan 1400 orang) menuju makkah dengan niat semata-mata melakukan haji dan ‘umrah. Untuk menghilangkan perasangka yang bukan-bukan dari pihak Quraisy, maka kaum muslimin memakai pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban sebanyak 70 ekor unta untuk disembelih di Mina. Mereka tidak memanggul senjata, hanya mambawa pedang dalam sarungnya sekedar menjaga diri dalam perjalanan. Rombongan pun sampai di Dzu’l-Hulaifa, sebuah desa yang berjarak enam atau tujuh mil jauhnya dari Madinah. Rombongan menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah.
Binatang kurban pun dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda. Tiada seorang pun dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi saw yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Ummu Salamah.
Berita tentang Muhammad saw dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa hawatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Madinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab. Walaupun demikian, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.
Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.
Sebaliknya rombongan Nabi meneruskan perjalanannya sampai di ‘Usfan, sebuah desa yang terletak antara Mekah dan Madinah, sekitar 60 km dari Mekah. Di sana Nabi bertemu dengan Bisyr bin Sufyan al-Ka’bi dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.
“Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini,” jawab Bisyr.
“Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang pasukan berkuda sudah maju terus ke daerah Kira’l-Ghamim. (Kira’l-Ghamim adalah sebuah tempat di depan ‘Usfan, sekitar 8 mil (± 12 km).
“Celaka Quraisy!” kata Muhammad.
“Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saya berhubungan dengan orang-orang Arab yang lainnya. Kalaupun orang-orang Arab itu sampai membinasakanku, itulah yang mereka harapkan, dan jika Allah memberi kemenangan kepadaku, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Demi Allah, Quraisy jangan salah. Sesungguhnya aku akan terus memperjuangkan apa yang diutuskan Allah kepadaku sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal.”
Pandangan Nabi sangat jauh, siasatnya lebih dalam dan lebih matang. Beliau berseru kepada orang banyak: “Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain yang tidak mereka lalui?”
Kemudian ada seorang laki-laki dari suku Aslam yang bersedia membawa rombongan Nabi melalui jalan lain yang berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Akhirnya mereka sampai juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Tsaniyatul-Mirar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah. Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.
Ketika kaum Muslimin sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa’ (unta milik Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Nabi berkata: “Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut.” Kemudian dimintanya orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata: “Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air.”
Mendengar itu Nabi mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada Najiyah bin Jundab supaya dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila anak panah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu air pun memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun dari kendaraan. Pihak Quraisy di Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun.
Kedua pihak masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Nabi sendiri tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk ‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran, kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya, tak ada jalan lain iapun harus menghunus pedang.
Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Terpikir oleh mereka mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka. satu sisi untuk menjajagi kekuatannya dan sisi lain untuk merintangi jangan sampai Muhammad dan pasukannya masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemui Nabi ialah Budail bin Warqa’ dari suku Khuza’a. Dia bertanya, apa yang mendorongnya datang. Setelah berbicara panjang lebar dia tahu, bahwa Muhammad datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, diapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: “Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.”
Kemudian Quraisy mengutus orang lain dari golongan Ahabisy. Ahabisy adalah perkampungan di pegunungan. Mereka adalah sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah. Warna kulit mereka hitam sekali. Maka berangkatlah Hulais bin Alqamah pemimpin Ahabisy menuju ke perkemahan Muslimin.
Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan di depan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci.
Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuh puluh ekor itu, beriringan dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan. Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.
“Duduklah,” kata mereka kepada Hulais. “Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa.” Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.
Kemudian terpikir oleh Quraisy hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada ‘Urwa ibn Mas’ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada ‘Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui Nabi.
Ketika Urwah bin Mas’ud tiba di tempat Rasululllah, dia duduk di depan beliau. Dia berkata, “Hai Muhammad, engkau kumpulkan orang banyak, kemudian membawa mereka kepada keluargamu untuk membunuh mereka? Orang-orang Quraisy telah keluar bersama wanita-wanita dan anak-anak mereka dengan memakai kulit-kulit harimau. Mereka bersumpah tidak akan mengizinkanmu masuk ke tempat mereka untuk selama-lamanya. Demi Allah, dengan mereka , sepertinya kami lihat pengikut kalian akan menyingkir darimu besok pagi.”
Abu Bakar ash-Shiddik yang duduk di belakang Rsululah saw berkata, “Isaplah kelentit Lata. Kami akan menyingkir dari beliau.”
Urwah bertanya, “Siapa orang ini, hai Muhammad!”
Beliau menjawab, “Dia anak Abu Quhafah.”
Urwah berkata, “Demi Alah, jika aku tidak berhutang budi padanya, pasti aku balas ucapannya dengan ucapan yang lebih menyakitkan, namun perkataanku ini sudah cukup.”
Kemudian Urwah berusaha memegang jenggot Rasulullah saw. Al-Mughirah bin Syu’bah yang berdiri di depan Rasulullah saw dengan memegang pedang memukul tangan Urwah yang hendak memegang jenggot Rasuullah saw sambil bekata, “Tahan tanganmu dari wajah Rasulullah saw sebelum pedang ini mengenaimu.”
Urwah berkata, “Celaka engkau, betapa kasarnya engkau!”
Rasulullah saw tersenyum.
Urwah bertanya, “Siapa orang ini, hai Muhammad?”
Beliau menjawab, “Dia anak saudaramu, yaitu al-Mughirah ibn Syu’bah.”
Urwah berkata, “Engkau pengkhianat, aku baru saja membersihkan aibmu kemarin.”
Mughirah bin Syu’bah bertindak terhadap Urwah meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, ‘Urwah pernah menebuskan tiga belas diat atas beberapa orang dari Bani Malik yang telah dibunuh oleh Mughirah.
Kemudian ‘Urwah mendapat keterangan dari Nabi sama seperti yang juga diberikan kepada utusan-utusan Quraisy sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Allah.
Sebelum Urwah beranjak dari tempat Rasulullah saw ia melihat apa yang diperbuat para sahabat terhadap beliau. Jika beliau mengambil wudhu, maka sahabat-sahabatnya memperebutkan bekas air wudhu beliau. Jika beliau meludah maka mereka memperebutkannya, dan jika mereka melihat ada rambut beliau yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya.
Setelah Urwah berada kembali di tengah-tengah Quraisy ia berkata, “Saudara-saudara, saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Sungguh aku lihat kaum yang tidak akan menyerahkannya bagaimanapun juga. Oleh karena itu, pikirkanlah kembali baik-baik.”
Kemudian Rasulullah saw mengutus Khirasy bin Umaiyyah al-Khuzai untuk menemui orang-orang Quraisy. Akan tetapi unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan.
Kemudian sejumlah orang Quraisy malam-malam keluar dan melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini sampai empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tetapi oleh Nabi, mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu tanda bahwa Nabi ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiyah, yang juga termasuk daerah suci Mekah.
Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.
Kemudian Nabi saw sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin’l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.
“Rasulullah,” kata Umar. “Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu ‘Adi bin Ka’ab yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman bin ‘Affan.”
Nabi pun segera memanggil Usman bin ‘Affan dan diutusnya kepada Abu Sufyan bin Harb dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Ketika memasuki Mekah, Utsman bertemu Aban bin Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Utsman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: “Utsman, kalau engkau mau bertawaf di Ka’bah, bertawaflah.”
“Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,” jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa hewan qurban, setelah disembelih kami pun akan kembali pulang dengan aman.”
Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan antara ‘Utsman bin ‘affan sebagai utusan Rasulullah saw dengan orang-orang kafir Quraisy menjadi lama, dan lama pula Utsman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat.
Pihak Muslimin di Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka’bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Nabi saw, sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu Rasulullah saw mengatakan: “Kita tidak akan pulang sebelum kita mengalahkan mereka.”
Kemudian, Rasulullah saw memanggil sahabat-sahabatnya sambil beliau berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepada Rasulullah dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepada Rasulullah (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’at ar-Ridhwan.
Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi ‘a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Utsman seolah ia juga turut hadir dalam Bai’at ar-Ridhwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.
Sementara mereka dalam keadaan seperti itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa besar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.
Perundingan antara kedua belah pihak dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail bin ‘Amr dengan pesan: “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”
Sesampainya Suhail ke tempat Rasulullah, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera dibicarakan. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.
Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.
Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin’l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan berkata kepadanya: “Abu Bakr, bukankah beliau utusan Allah?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”
Abu Bakr: “Ya, memang!”
Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia utusan Allah.”
Setelah itu Umar menemui Rasulullah saw. Diulangnya pembicaraan itu kepada Rasulullah dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah: “Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menelantarkanku.”
Kesabaran Rasulullah saw terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Rasulullah saw memanggil Ali b. Abi Talib dan bersabda: “Tulislah: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang).”
“Stop!” kata Suhail. “Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah).”
Kata Rasulullah pula: “Tulislah: Atas namaMu ya Allah.” Lalu sambungnya lagi: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.”
“Stop,” sela Suhail lagi. “Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”
Lalu kata Rasulullah pula: “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad bin Abdillah dengan Suhail bin Amr. Kedua belah pihak tidak akan mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan. Barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan. Untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”
Perjanjian pun ditandatangani. Pihak Khuza’a segera bersekutu dengan Rasulullah saw dan Banu Bakr bersekutu dengan Quraisy. Begitu perjanjian ini ditandatangani tiba-tiba Abu Jandal putra Suhail bin ‘Amr datang dan terus hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan akan pergi bersama-sama pula. Melihat anaknya berbuat demikian, Suhail memukul wajah Abu Jandal dan mencengkeram leher bajunya kemudian menyeretnya ke orang-orang Quraisy. Abu Jandal pun berteriak sekuat-kuatnya: “Saudara-saudara Muslimin. Apakah aku akan dibiarkan dikembalikan kepada orang-orang musyrik kemudian mereka menyiksaku karena agamaku?!” Kejadian itu membuat kaum Muslimin makin sedih dan gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian yang diadakan antara Rasulullah dengan Suhail. Tetapi Rasulullah lalu mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal:
“Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah memberikan jalan keluar buat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas sepertimu. Kita sudah menandatangani persetujuan dengan kaum tersebut, dan ini sudah kita berikan kepada mereka dan merekapun sudah pula memberikan kepada kita dengan nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka.” Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai dengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail lalu pulang ke Mekah.
Setelah urusan perjanjian selesai, . Beliau gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya yang masih merasa berat dan tidak ada satupun yang melakukan rangkaian umra. Kemudian Beliau shalat, dan keadaannya mulai tenang kembali. Beliau berdiri, hewan qurbannya mulai disembelih. Beliau duduk kembali, rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah sudah dimulai. Beliau memerintakan kepada para sahabat-sahabatnya untuk bertahallul dan menyembeli hewan qurban sebagai ranglaian dari umrah. Hati Beliau sudah merasa tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat ketenangannya pula, merekapun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut kepala, sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memendekkan rambut: “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambutnya,” kata Rasulullah. Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang memendekkan rambut, ya Rasulallah ?”
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambutnya,” kata beliau lagi. Orang-orang masih gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang memendekkan rambutnya, ya Rasulallah?”
“Semoga Allah juga merahmati mereka yang memendekkan rambutnya,” kata beliau lagi. “Rasulullah,” kata setengah mereka lagi, “Kenapa doa buat yang bercukur saja yang diulang-ulang, dan tidak untuk yang memendekkannya?”
Rasulullah saw bersabda, “”Karena mereka sudah tidak ragu-ragu.”
Mereka tinggal di Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu, ada pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah demikian itu. Akhirnya mereka berangkat pulang. Di tengah perjalanan antara Mekah dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi berupa Surah al-Fath. Firman Allah itupun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabat-sahabat:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Allah mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, serta akan menyempurnakan karuniaNya kepadamu serta membimbingmu ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath [48]: 1-2) Dan seterusnya sampai pada akhir Surah.
Setelah beberapa hari, Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith berhijrah dari Makkah ke Madinah. Dua saudaranya yaitu Amarah dan Alwalid menyusul dan meminta Rasululloh agar mengembalikan Ummu Kultsum sesuai dengan perjanjian. Tetapi Rasululloh menolaknya, karena perjanjian tersebut hanya berlaku bagi laki-laki dan bukan untuk perempuan, karena dalam perjanjiannya pun tidak dicantumkan untuk perempuan. Lalu turunlah wahyu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dating berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Sesampainya kaum Muslimin di Madinah, datanglah seseorang dari kaum Quraisy yang bernama Abu Bashir yang melarikan diri dari Makkah. Kemudian, datang pula dari Quraisy yang meminta agar agar Abu Basyir dikembalikan. Rasululloh pun memerintahkan agar Abu Basyir untuk pulang ke Mekkah sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah. Walaupun dengan perasaan enggan, akhirnya Abu Basyir pulang bersama dua orang yang menyusulnya. Ketika tiba disuatu tempat yang bernama Dzul Hulaifah, Abu Basyir membunuh salahseorang dari Quraisy yang bersamanya. Salahseorang lagi melarikan diri ke Madinah dan mengadukan hal tersebut kepada Rasululloh. Kemudian Abu Basyir menetap disebuah tempat yang bernama Al-Ish, yaitu jalur pantai yang selalu dilalui Quraisy ke Syam. Mendengar hal tersebut, orang-orang muslim yang masih bertahan bertahan di makkah akhirnya hijrah ke Al-Ish dan menggabungkan diri dengan Abu Basyir yang membentuk kelompok sekitar 70 orang. Mereka selalu menghadang kaum kafir Quraisy yang lewat ke tempat tersebut. Mereka merampas harta dan membunuh kafir Quraisy yang laki-laki. Akhirnya kaum Quraisy meminta Rasululloh agar bersedia menerima dan menarik mereka ke Madinah. Rasululloh pun menarik mereka ke madinah.
Setahun setelah perjanjian ditandatangani dan disepakati, Nabi dan para sahabat dapat memasuki kota Mekah untuk beribadah haji di Ka’bah. Kaum musyrik Quraisy membiarkan mereka tinggal di Mekah selama tiga hari. Kesempatan ini digunakan oleh Nabi dan kaum muslim untuk menunaikan umrah, yang disebut ‘Umrah al-Qada’, pengganti umrah yang tidak terlaksana pada tahun sebelumnya karena dilarang kaum musyrik Quraisy.
Tidak diragukan lagi bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah suatu kemenangan yang nyata. Sejarah pun mencatat bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Musliminpun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji; suatu pengakuan pula dari mereka, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya tidak adanya gencatan senjata selama sepuluh tahun, membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka kesempatan bagi Negara Islam Madinah untuk berkonsentrasi menyebarkan dakwah Islam ke arah utara Jazirah Arab, yakni ke Khaibar, sebuah komunitas Yahudi yang selama ini selalu mengancam keberadaan Negara Islam di Madinah.
2. Isi Dari Perjanjian Hudaibiyah
Berikut adalah isi dari perjanjian Hudaibiyah antara Rasululloh dengan Kafir Quraisy yang diwakili oleh Suhail:
1. Bismikallâhumma.
2. Ini adalah perjanjian damai antara Muhammad bin 'Abdullah dan Suhail bin 'Amr
3. Keduanya telah bersepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun. Masing-masing pihak memberikan keamanan selama jangka waktu tersebut dan menahan diri dari pihak lain.
4. Siapa saja mengunjungi Makkah dari sahabat-sahabatnya Muhammad, baik untuk berhaji ataupun umrah, atau ingin mendapatkan karunia Allah, maka harta dan darahnya aman. Siapa saja yang datang ke Madinah dari orang-orang Quraisy, sebagai persinggahan menuju ke Mesir atau Syam, untuk mendapatkan karunia Allah, maka harta dan darahnya aman.
5. Siapa saja yang mendatangi Muhammad saw. dari orang-orang Quraisy tanpa izin keluarganya, maka ia harus dikembalikan kepada keluarganya. Barangsiapa mendatangi orang-orang Quraisy dari pengikutnya Muhammad, maka ia tidak dikembalikan kepadanya.
6. Kita harus komitmen dengan isi perjanjian damai, tidak ada pencurian rahasia dan pengkhianatan.
7. Siapa saja yang ingin masuk ke dalam Perjanjian Muhammad, dan membuat perjanjian dengannya, maka ia masuk ke dalamnya. Siapa saja yang ingin masuk ke dalam Perjanjian Quraisy, dan membuat perjanjian dengan mereka, maka ia masuk ke dalamnya. (Bani Khuza'ah berdiri dan berkata: Kami masuk ke dalam Perjanjian Muhammad. Bani Bakr juga berdiri dan berkata: Kami masuk ke dalam Perjanjian Quraisy).
8. Engkau (Muhammad) harus kembali dan engkau tidak boleh memasuki Makkah tahun ini. Tahun depan, engkau bisa memasuki Makkah bersama sahabat-sahabatmu, dan bermukim selama tiga hari, dengan pedang yang berada di dalam sarungnya, dan engkau tidak boleh membawa senjata lain. (Hewan kurban yang telah kami dapatkan dan temukan di tempatnya, maka janganlah engkau minta lagi dari kami).
3. Hikmah Dari Perjanjian Hudaibiyah
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, ternyata mendatangkan hikmah yang begitu besar bagi kaum Muslimin, diantaranya adalah:
1. Bebas dalam menunaikan agama Islam.
2. Tidak ada teror dari Quraisy.
3. Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam.
4. Sebagai dasar yang kokoh dalam politik penyebaran Islam.
5. Nabi mempunyai kesempatan yang lebih leluasa dalam mengkonsolidasikan masyarakat Islam.
6. Nabi mempunyai waktu yang leluasa untuk lebih memfokuskan perhatian pada penyebaran Islam kepada kabilah-kabilah Arab lainnya.
7. Mengajak kepada raja-raja dan kaisar-kaisar untuk memeluk Islam dengan cara mengirimkan surat-surat kepada penguasa-penguasa tersebut, seperti kepada Kisra sebagai raja Persia dengan utusan Abdulloh bin Khudzafah, kepada Heraclius penguasa Romawi dengan utusan Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, kepada Mauquqis raja Mesir dengan utusan Khatab bin Abi Balti’a, kepada Najasyi raja habsyah dengan utusan Amr bin Umayyah Add-Dhamri, kepada Al-Harits Al-Ghassani di Syam, dan raja Amman pemilik Yamamah, serta Al-Mundzir sebagai hakim Bahrain. Seluruhnya surat Nabi berjumlah 105 buah surat.
Sebagai pengetahuan, berikut kami cantumkan surat dari Rasululloh kepada Kisra Persia dan kepada Kaisar Romawi:
1. Surat untuk Kisra Persia.
Diriwayatkan dari Ibnu Jarir r.a. dari jalan ibnu Ishaq r.a., sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Bidayah (4/269), dari Zaid Abi Habib, dia berkata, Rosulullah saw mengutus Abdullah bin Huzaifah r.a. untuk menyampaikan surat kepada Kisra bin Hurmuz, Raja Persia. Isi surat itu berbunyi
Bismilaahirrahmaanirrahiim
Dari Muhammad Rosulullah, kepada Kisra pembesar Persia
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan yang beriman kepada Allah dan Rosulnya, serta yang mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Aku mengajakmu sebagaimana yang diserukan Allah, karena sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada setiap orang yang hidup dan untuk menjadi hujjah atas perkataan orang-orang kafir. Jika engkau memeluk Islam maka engkau akan selamat, tetapi jika engkau menolak, maka sesungguhnya dosa-dosa orang Majusi akan dibebankan kepadamu.
2. Surat untuk Kaisar Romawi
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan tidak (pula)sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
B. BENTROKAN-BENTROKAN KECIL
1. Perang Khaibar
Setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, maka Nabi memiliki waktu yang leluasa dan lebih terfokus pada penyebaran Islam selain kepada Suku Quraisy . hal yang segera dilakukan adalah menaklukan Bani Nadhir dari kalangan Yahudi. Ketika Bani Nadhir di usir oleh Rasululloh dari Madinah setelah perang Khandaq, mereka menduduki Khaibar, daerah Hijaz 150 KM dari Madinah. Mereka adalah yahudi yang sangat menentang Islam. Bani Nadhir membujuk Bani Ghatafan untuk bersekutu dengan mereka menyerang kaum muslimin d Madinah. Mereaka menawarkan separuh dari hasil tanaman mereka. Mendengar hal tersebut, Rasulluloh lalu menyiapka pasukan dan beliau sendiri yang memimpin langsung menuju jantung kota Khaibar di oasis Khaibar. Ini adalah benteng pertahanan utama Yahudi. Maka Muhammad menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu pekerjaan yang tidak mudah dilakukan. Pasukan Rom yang lebih kuat pun tidak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengorganisasikan prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na'im. Pasukan perang ditumpukan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan.
Sallam tewas dalam pertempuran itu, tetapi pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Muhammad menugaskan Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya kepemimpinan komando diserahkan pada Ali. Di Khaibar inilah nama Ali menjulang. Keberhasilannya meruntuhkan pintu benteng untuk menjadi perisai selalu dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menembusi pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab-komandan Yahudi setelah Sallam-pun tewas. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam.
Setelah itu benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam. Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Muhammad memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi' yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.
Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan oleh Rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Nasrani terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Nasrani dari kekaisaran Rum akan menghancurluluhkan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Muhammad dalam politik.
Muhammad sempat tinggal beberapa lama di Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab binti Harith menaruh dendam pada Muhammad. Sallam, suaminya, tewas dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Muhammad. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, namun segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat Rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.
Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin terwujud. Dengan demikian, Muhammad dapat lebih menumpukan kepada dakwah membangun moralitas masyarakat. Karena perang ini terjadi di daerah Khaibar, maka perang ini dinamakan perang Khaibar yang terjadi patah tahun ke 7 H.
2. Penaklukan Fadak
Setelah Rasululloh berhasil menaklukan Yahudi Khaibar, Alloh swt memasukkan rasa takut ke hati orang-orang fadak. Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan kepada Rasululloh untuk berdamai dengan ketentuan berbagi dua teradap aset Fadak. Rasululloh pun menerima perdamaian tersebut. Fadak murni menjadi bagian dari Rasululloh agar tidak diserang seperti Yahudi Khaibar.
3. Penaklukan Taima
Setelah kaum Yahudi Taima mendengar perjanjian damai kaum Yahudi Fadak dengan kaum Muslimin Madinah, mereka pun bersedia berdamai dengan ketentuan membayar jizyah dan merekapun dalam keadaan aman.
4. Penaklukan Wadi Al-Qura
Rasululloh mengajak penduduk Wadi Al-Qura untuk memeluk Islam. Namun, mereka menolaknya. Akhirnya Rasulullo menyerang mereka dan berhasil membunuh 11 orang Yahudi Wadi Al-Qura. Setelah penaklukkan selesai, kaum Muslimin membiarkan membiarkan kaum Yahudi Al-Qura untuk mengolah ladang-ladang mereka dan mereka tetap dalam keadaan aman dengan imbalan separuh dari hasil panen.
5. Pengiriman beberapa sariyyah (pasukan kecil).
Ø Sariyah Ghalib bin Abdulloh Al-Laitsy kepada Bani Mulawwah pada bulan Rabi’ul Awwal. Mereka memerangi orang-orang yang menolak berdamai. Lalu turunlah hujan yang menyelesaikan peperangan tersebut dengan kemenangan dipihak muslim.
Ø Umar bin Khattab r.a. yang diutus ke Suku Hawazin pada bulan Sya’ban dengan kekuatan 30 personel. Suku Hawazin melarikan diri dan akhirnya Umar pun pulang kembali.
Ø Basyir bin Sa’ad Al-Anshari beserta beberapa orang pada bulan Sya’ban yang diutus untuk menaklukan Bani Murrah karena mereka berusaha untuk menyerang kaum Muslimin. Namun Bani Murrah tidak ada di rumah-rumah mereka. Namun, ketika basyir hendak pulang, Bani Murrah mengadang mereka dan membunuh orang-orang yang ikut bersama Basyir. Akibat penyerangan tersebut, Basyirpun terluka dan kembali kepada Rasululloh saw.
Ø Ghalib bin Abdulloh Al-Laitsy diutus pada bulan Ramadhan bersama 130 personel ke lembah yang bernama Al-Muifah untuk menyerbu bani ‘Iwal dan bani Abdi bin Tsa’labah (Haraqat). Kaum Muslimin berhasil membunuh sebagian dari mereka dan menangkap sebagian yang lain. Saat itu, Usamah bin Zaid menggiring seorang lelaki bernama Nuhaik bin Mirdas untuk dibunuh setelah sebelumnya Nuhaik bin Mirdas mengucapkan syahadat. Namun Usamah bin Zaid mengira bahwa syahadat yang diucapkan oleh Nuhaik hanya untuk melindungi dirinya. Rasulullo pun menegurnya dan memerintahkan Usamah bin Zaid untuk membebaskan seorang budak sebagai kifarat atas pembunuhan tersebut.
Ø Rasululloh mengutus Basyir bin Sa’ad Al-Anshari bersama 300 personel ke suatu tempat di dekat Khaibar, karena Rasululloh mendengar bahwa Uyainah bin Hasin telah menyiapkan sekumpulan orang dari Kabilah Ghathafan untuk menyerang kaum Muslimin di dekat Khaibar. Kaum muslimin berhasil mendapatkan harta rampasan yang banyak dan berhasil mengislamkan dua orang dari mereka. Rombongan pun kembali ke Madinah.
6. Perang Mut’ah
Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula di daerah dekat Baitul Maqdis yang terletak di perbatasan Syam. setelah adanya perjanjian Hudaibiyah, Nabi mulai menyampaikan dakwahnya kepada kepada raja-raja sekitar jazirah Arab. Salahsatunya kepada Kaisar Romawi yaitu Heraclius. Nabi mengirimkan utusan kepada Heraclius dengan membawa surat dari Nabi yang berisi ajakan untuk memeluk Islam. Utusan ini diterima baik oleh Heraclius, tetapi dia enggan memeluk Islam.
Utusan lain bernama Al-Haris bin Umair Al-Azdary dikirim kepada amir Ghassan, pangeran dibawah Heraclius yang bertempat tinggal di Busra dekat Damaskus. Tetapi utusan ini di tolak secara kasar dan di bunuh oleh suku Ghassan yang lain yang bernama Surahbil bin Amr Al-Ghassani. Ia mengikat Al-Haris dan memenggal kepalanya. Perbuatan yang melanggar hukum internasional ini menyebabkan timbulnya konflik antara umat Islam dengan Romawi. Akhirnya Nabi Muhammad mengirim satu pasukan yang berjumlah 3000 orang yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Kemudian tentara Romawi yang berad di syiria segera menyongsong mereka dan menyiapkan pasukan sebanyak 100.000 orang. Keduanya bertemu di daerah yang bernama Mut’ah. Akhirnya perangan ini dinamakan perang Mut’ah yang terjadi pada tahun ke 8 H.Yang menarik dari perang ini adalah pasukan sejumlah 3000 orang melawan 100.000 orang tentara Romawi. Tidak ada sejarahnya Pasukan romawi bisa dikalahkan atau dipukul mundur. Sekalipun pada dasarnya tidak tuntas dikalahkan, tapi dipukul mundur. Sepulang dari Mu’tah, kabar menggemparkan ini sampai ke seantero jazirah Arab. Hal ini berpengaruh besar terhadap reputasi kaum Muslimin. Tidak sedikit kabilah dan penguasa yang berbondong masuk Islam karena menyimpulkan : “Tidak mungkin ada yang bisa mengalahkan rumawi, kecuali memang dibantu Allah. Dan tidak mungkin dibantu Allah kecuali Muhammad memang hamba dan utusannya”. Ada juga Kabilah-kabilah yang membuat perjanjian dan menjadi sekutu Umat Islam sekalipun mereka tetap dalam agamanya.Tahun itu juga seperti yang telah disebutkan tadi diatas.
7. Setelah perang Mut’ah selesai, Rasululloh mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bersama 300 pasukan berkuda untuk menyerang Kabilah Juhainah di tepi laut yang berusaha menyerang kaum Muslimin. Pasukan Muslim berkemah di tepi laut untuk menunggu musuh selama setengah bulan. Tetapi, musuh tidak juga datang, akhirnya mereka kembali dengan selamat.
C. FATHUL MAKKAH
1. Sejarah terjadinya Fathul Makkah
Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata, “Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab, “Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata, “Wahaimanusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”. Lalu dia naik untanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.” Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
2. Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.Rasululloh saw bersabda tentang Ibnul Harits r.a “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah r.a.”
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan. “Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata, “Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini. ”Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”. Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”. Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.” Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”. Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.” Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.” Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.” Ketika bertemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab, “Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’ad diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah: “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”
(Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.” Akan tetapi Rasululloh mengecualikan beberapa orang yang halal darahnya, yaitu: Abdulloh bin Sa’ad bin Abi Sarah yang telah masuk Islam, tetapi murtad dan memberitakan sesuatu yang tidak benar tentang Rasululloh, Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, Hubar bin Aswad, Al-Haris bin Hisyam, Zuhair bin Umayyah, Ka’ab bin Zuhair, Wahsyi, yang membunuh paman Nabi yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Orang-orang ini melarikan diri ke berbagai daerah. Tetapi setelah beberapa waktu, meka ada yang menyatakan masuk Islam dan ada pula yang meminta maaf kepada Rasul dan menyerahkan diri mereka. Akhirnya Rasululloh memaafkan mereka walaupun mereka tetap dalam agamanya.
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang unta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menghancurkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan. Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah dan mengeluarkan semua sesembahan Jahiliayah dari baitulloh. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda “Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda, “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Kemudian, orang-orang Quraisy membai’at rasululloh dan mereka akan mengikuti Islam. Saat itu juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Quhafah menyatakan diri masuk Islam. Hal ini merupakan salahsatu yang dapat membahagiakan Rasululloh.
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Setelah itu, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan atas perintah Rasululloh. Rasul juga memerintahkan Khalid bin Walid bersama 30 pasukan berkuda untuk menhancurkan berhala Uzza. Amr bin Ash bersama beberapa orang diperintahkan untuk menghancurkan berhala Mannat. Dan pada tahun ke-9 hijriyah, Rasululloh memerintahkan Ali bin Abi Thalib bersama 50 pasukan berkuda untuk menghancurkan berhala Latta.
3. Faktor Penyebab Keberhasilan Fathul Makkah
Adapun Faktor-faktor yang membuat kaum muslimin berhasil menakhlukkan kota Makkah adalah :
1. Hilangnya pengaruh Yahudi. Hal ini disebabkan suku-suku Yahudi, Bani Qainuqa, Bani Nadir dan Bani Quraizah dihukum oleh Nabi Muhammad SAW. karena membelot. Sebelumnya, mereka adalah pembantu utama kaum Quraisy.
2. Kaum Muslimin makin berpengaruh dalam segala seni kehidupan bangsa Arab.
3. Tidak ada lagi suku lain yang bersedia membantu kaum Quraisy dalam menghadapi kaum muslimin.
4. Kondisi kaum Quraisy semakin melemah setelah pemuka-pemuka mereka masuk Islam. Seperti Khalid bin Walid dan Amru bin As.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah mengkaji bagaimana sejarah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, kemudian terjadinya bentrokan-bentrokan kecil setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, sampai kemenangan kota Makkah (Fathul Makkah) seperti yang telah kami paparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Perjanjian Hudaibiyah adalah sebuah perjanjian damai antara Rasululloh dari kaum Muslimin dengan Suhail sebagai wakil dari kaum Kafir Quraisy. Perjanjian ini berjumlah sepuluh poin, salahsatunya adalah bahwa keduanya akan berdamai selama 10 tahun dan tidak saling menumpahkan darah. Akan tetapi Quraisy mengkhianati perjanjian ini dengan memabantu Bani Bakr menyerang bani Khuza’ah.
2. Setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah, terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara kaum Muslimin dengan suku-suku disekitar daerah jazirah Arab seperti penduduk Wadi Al-Qura, bani Mulawwah, Suku hawazin, Bani Murrah, Bani Iwal, Bani Abdi bin Tsa’labah, dan kabilah Ghathafan, yang tidak mau berdamai ataupun menerima dakwah Rasululloh dan mereka berusaha menyerang kaum Muslimin. Selain itu juga, terjadi perang Khaibar antara kaum Muslimin dengan penduduk yahudi yang mendiami daerah Kahibar dan perang Mut’ah antara kaum Muslimin melawan tentara Romawi.
3. Dikarnakan Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah, maka Rasululloh menaklukkan kota Makkah yang disebut dengan Fathul Makkah atau kemenangan kota Makkah tanpa perlawanan sedikitpun dari kafir Quraisy Makkah yang terjadi pada tanggal 20 Ramadhan tahun ke-8 hijriyah.
Alloh tidak akan pernah menyalahi janjinya untuk menolong orang-orang yang beriman dan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin. Sekian kesimpulan dari pemaparan yang ada dalam makalah kami ini,
semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar