Fatwa oleh: Prof. Dr. Syekh Ali Gomah Mantan Mufti Republik Arab Mesir
Pertanyaan: Apa hukumnya memelihara jenggot?
Jawaban:
Di dalam beberapa hadis telah disebutkan tentang perintah memelihara dan memanjangkan jenggot, diantaranya sabda Nabi SAW:
خالفوا المشركين، وفروا اللحى، واحفوا الشوارب. رواه البخاري و مسلم.
“Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan dalil ini para ahli fikih berbeda pendapat, apakah hadis tersebut merupakan perintah wajib ataukah sunnah?
Jumhur
ulama berpendapat bahwa hal itu hukumnya wajib, sedangkan ulama
Syafiiyah berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah. Banyak teks ulama
Syafiiyah yang menjelaskan tentang hukum ini. Diantaranya, perkataan
Syaikhul Islam, Zakariya Al-Anshari:
و يكره (نتفها) اي اللحية اول طلوعها ايثارا للمرودة و حسن الصورة.
“Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, demi terlihat tidak berjenggot (amrod) dan berpenampilan menawan.” (Asna al-Mathalib, 1/551).
Imam Al-Ramli mengomentari perkataan Syaikhul Islam tersebut dalam ‘Hasyiyah’nya terhadap kitab Asna al-Mathalib:
(وقوله: و يكره نتفها) اي اللحية الخ، ومثله حلقها. فقول الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته و لا حاجبيه، ضعيف.
“Perkataannya
(makruh mencabut jenggot dst), demikian juga dengan mencukurnya.
Perkataan al-Hulaimi “Seseorang tidak boleh mencukur jenggot dan
alisnya” adalah pendapat lemah.” (Hasyiyah Asna al-Mathalib, 1/ 551).
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah– berkata:
(فرع) ذكروا هنا في اللحية و نحوها خصالا مكروهة، منها: نتفها، وحلقها وكذا الحاجبان.
“Mereka
(ulama) menyebut dalam persoalan jenggot dan semisalnya, beberapa
perkara makruh, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot, juga kedua
alis.” (Tuhfah al-Minhaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Ibnu Qasim Al-Abbadi dalam Hasyiahnya terhadap Tuhfah al-Muhtaj, beliau berkata:
قوله: (أو يحرم كان خلاف المعتمد) في شرح العباب فائدة قال الشيخان يكره حلق اللحية.
“Perkataannya
(atau diharamkan, maka itu menyalahi pendapat yang mu’tamad), dalam
Syarah al-‘Ubab, asy-Syaikhan (Nawawi dan Rafi’i) mengatakan makruh
mencukur jenggot.” (Hasyiyah Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Al-Allamah Al-Bujairami dalam kitabnya al-Iqna’ berkata:
إن حلق اللحية مكروه حتى من الرجل و ليس حراما.
“Sesungguhnya mencukur jenggot itu hukumnya makruh bagi laki-laki, dan bukan haram.” (al-Iqna’, 4/ 346).
Penyebutan
kata ‘laki-laki’ (ar-Rajul) dalam teks tersebut, bukan lawan dari
perempuan, akan tetapi lawan dari anak kecil. Karena konteksnya adalah
makruh mencukur jenggot atau mencabutnya di awal tumbuhnya untuk anak
kecil. Oleh karena itu, al-Bujairami mengomentari bahwa “awal tumbuhnya
jenggot” bukan merupakan landasan kemakruhannya, namun hukum makruh itu
juga berlaku untuk pria dewasa.
Dan selain ulama
Syafiiyah ada juga ulama yang berpendapat makruhnya mencukur jenggot,
diantaranya adalah Imam Qadhi ‘Iyadh pengarang kitab Asy-Syifa’, salah
seorang ulama Malikiyah, dia berkata:
يكره حلقها و قصها و تحريقها.
“Makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot.” (Dinukil oleh al-Hafidz al-Iraqi dalam Tarh at-Tasyriib, 2/ 83, dan asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, 1/ 143).
Tampaknya, para ulama yang berpendapat wajibnya memanjangkan jenggot, dan haram mencukurnya, melihat ada alasan lain di luar
teks sabda Nabi SAW, yaitu mencukur jenggot itu merupakan aib, dan
menyelisihi kebiasaan lelaki di zaman mereka. Saat itu lelaki yang
mencukur jenggotnya akan dicela dan menjadi bahan gunjingan di jalanan.
Dalam pembahasan tentang ta’zir (hukuman jerah), imam ar-Ramli berkata bahwa ta’zir tidak dikenakan sebab mencukur jenggot.
(و قوله : لا لحيته . قال شيخنا : لأن حلقها مثلة له، و يشتد تعييره بذلك، بل قد يعير بما ذكر اولاده).
“Perkataannya:
(Tidak boleh mencukur jenggot), guru kami berkata, karena mencukurnya
itu merupakan bentuk dari mutilasi, sehingga hal itu sangat tercela.
Bahkan terkadang anak-anaknya pun terkena imbas celaan tersebut.” (Hasyiyah Asna Mathalib, 4/ 162).
Keterkaitan
teks ‘perintah’ dengan adat-istiadat merupakan sebuah qarinah (alasan)
untuk mengalihkan sebuah perintah yang asalnya bermakna wajib, ke makna
sunah, dan jenggot merupakan adat-istiadat. Para ahli fikih menyatakan
akan kesunahan banyak hal yang terdapat teks jelas perintah dari Nabi
SAW, karena berkaitan dengan sebuah adat. Contohnya hadis:
غيروا الشيب ولا تتشبهوا بأعدائكم من المشركين، وخير ما غيرتم به الشيب الحناء والكتم. رواه البخاري ومسلم.
“Ubahlah
uban dan jangan sampai menyerupai musuh kalian dari kaum musyrikin.
Benda terbaik untuk mengubah uban kalian adalah tumbuhan inai (pacar)
dan tumbuhan katam.” (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk
perintah dalam hadis di atas tidak kalah tegas dari hadis memanjangkan
jenggot. Akan tetapi ketika mengubah warna uban itu tidak diingkari oleh
masyarakat, baik dilakukan maupun tidak, maka ahli fikih berpendapat
hukumnya sunnah, dan tidak wajib.
Para ulama Islam
senantiasa berpijak pada metodologi berpikir seperti itu. Oleh
karenanya, mereka melarang keras memakai topi dan berpakaian ala Eropa.
Mereka berpendapat akan kekufuran orang yang memakai topi dan pakaian
ala Eropa. Itu bukan karena perbuatan tersebut merupakan bentuk asli
dari sebuah kekufuran, namun karena di zaman itu perbuatan tersebut
menunjukkan akan kekufuran. Ketika berbusana ala Eropa sudah menjadi
adat-istiadat, maka tidak ada seorang pun ulama yang mengatakan
pelakunya adalah kafir.
Sesungguhnya hukum memanjangkan jenggot di zaman salaf saleh –seluruh penduduk bumi baik kafir maupun muslim
memanjangkannya, karena tidak ada alasan untuk mencukurnya—merupakan
masalah yang diperselisihkan oleh para ulama (baca: masalah khilafiyah).
Jumhur ulama menyatakan wajib memanjangkannya, sedangkan ulama
Syafiiyah memandangnya sebagai sebuah sunnah dan orang yang mencukurnya
tidak berdosa.
Oleh
karena itu, kami berpendapat harus mengamalkan pendapat Syafiiyah di era
sekarang ini, karena adat-istiadat telah berubah. Mencukur jenggot
hukumnya makruh dan memanjangkannya adalah sunnah, seorang muslim yang
melakukannya akan mendapatkan pahala. Dalam memanjangkan jenggot harus
memperhatikan kebagusan tampilan, dan senantaisa merapikannya, sehingga
sesuai dengan wajah orang yang bersangkutan. Wallahu a’la wa a’lam.
(Yusuf Syakir/ diterjemahkan dari kitab al-Bayân
al-Qawîm/mosleminfo.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar