Minggu, 30 Maret 2014

KAMI PENYEMBAH KUBURAN, ATAU MEREKA (WAHABI) PENGAGUM ABU JAHAL DAN LAHAB?



JAWABAN TERHADAP TANGGAPAN USTADZ WAHABI DI BLOG MEREKA, YANG BERJUDUL “Istighaatsah An-Naabighah Al-Ja’diy ?”.

SETELAH KAMI MENULIS JAWABAN TERHADAP USTADZ WAHABI, MUSMULYADI LUKMAN DAN FIRANDA, YANG MEMBELA KEBATILAN IBNU TAIMIYAH TENTANG ISTIGHATSAH, JAWABAN KAMI TIDAK MENDAPAT TANGGAPAN, DARI KEDUA USTADZ TERSEBUT. Sepertinya mereka mengakui kebenaran hujjah kami. BELAKANGAN, SEORANG USTADZ WAHABI LAIN, MENULIS DI BLOGNYA DI INTERNET, TANGGAPAN TERHADAP JAWABAN KAMI. SAYANG SEKALI TANGGAPANNYA, HANYA SEPOTONG DAN SECUIL, DARI SEKIAN BANYAK DATA DAN DALIL KEBOLEHAN DAN ANJURAN ISTIGHATSAH YANG KAMI KEMUKAKAN. DAN ITUPUN TANGGAPAN USTADZ WAHABI TADI JUGA BANYAK MENGANDUNG KESALAHAN. BERIKUT TANGGAPAN KAMI, DENGAN FORMAT DIALOG, AGAR MUDAH DIFAHAMI.

WAHABI: “Mengapa Anda membela ajaran penyembah kuburan, yang kerjanya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat?”

SUNNI: “Maaf, komentar Anda menandakan bahwa Anda belum mengerti makna ibadah/menyembah secara syar’i. Sehingga dengan mudah Anda membuat stigma penyembah kuburan kepada mayoritas kaum Muslimin yang mengamalkan ajaran kaum salaf, dari generasi Sahabat, tabi’in, ahli hadits, yaitu ajaran istighatsah. Bukankah ajaran istighatsah itu telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, para sahabat, kaum Salaf yang Saleh dan ahli hadits??? Kalau Anda memang tidak mengerti makna ibadah/menyembah yang sebenarnya, berikut akan saya jelaskan, semoga hidayah Allah datang kepada Anda.

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M) – pakar bahasa Arab dan tafsir– berkata:

الْعِبَادَةُ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ الطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْعِ.

“Ibadah dalam bahasa Arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah”.

Al-Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal yang dikenal dengan al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H/1108 M) -pakar bahasa dan tafsir- berkata dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an:

الْعِبَادَةُ غَايَةُ التَّذَلُّلِ.

“Ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah”.

Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki (683-756 H/1240-1355 M) –pakar fiqih, bahasa dan tafsir– ketika menafsirkan ayat:

إياك نعبد

“Hanya Engkaulah yang kami sembah”. (QS. al-Fatihah : 5).
berkata:

أَيْ نَخُصُّكَ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ هِيَ أَقْصَى غَايَةِ الْخُشُوْعِ وَالْخُضُوْعِ.

“Yakni, kepada-Mulah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak dari rasa kekhusyukan dan kerendahan diri”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan ketundukan, kepatuhan, puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian ini, tentu hanya diberikan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.

Oleh karena itu memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, ber-istighatsah, berziarah ke makam wali untuk tujuan tabarruk (mendapat barakah), meminta sesuatu yang secara umum tidak mampu dilakukan oleh manusia, dan meminta pertolongan kepada selain Allah bukanlah termasuk ibadah kepada selain Allah, dan sudah barang tentu juga bukan termasuk perbuatan syirik yang dilarang oleh agama. Oleh karena itu, memberikan stigma penyembah kuburan kepada seorang Muslim yang mengamalkan istighatsah, sangat tidak tepat, haram dan termasuk dosa besar. Umat Islam yang Anda vonis sebagai penyembah kuburan, akan menjadi musuh Anda kelak di hari kiamat di hadapan pengadilan Allah SWT. Bertaubatlah dari ajaran Wahabi, dan ikutilah ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah jika Anda ingin selamat kelak di akhirat.”

WAHABI: “Dalil yang Anda gunakan untuk membolehkan istighatsah, yang berupa atsar yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 6/60 no. 3879; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1423 H, adalah lemah sekali. Atsar tersebut sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ زِيَادٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا

Atsar tersebut melalui jalur Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, seorang yang majhuul [lihat : Hilyatul-Auliyaa’, 10/141]. Walhaasil, riwayat ini lemah. Apalagi ditambah laki-laki mubham (tidak disebut namanya) – seandainya kita ingin berhujjah dengan perbuatan dan syair yang diucapkannya, semakin menambah kelemahannya.”

SUNNI: “Ada dua tanggapan berkaitan pernyataan Anda tersebut. Pertama, tanggapan Anda ini membuktikan bahwa larangan beristighatsah datang dari Ibnu Taimiyah secara pribadi, Syaikhul-Islam kaum Wahabi. Sedangkan sebelum Ibnu Taimiyah, tidak ada ulama yang melarang apalagi mensyirikkan istighatsah dan menganggapnya sebagai penyembah kuburan. Sebelumnya telah saya tegaskan sebagai berikut, dan Anda tidak mampu memberikan tanggapan, bukti bahwa ajaran Anda adalah dari Abu Jahal dan Abu Lahab, (sebagaimana akan kami buktikan di akhir tulisan ini).

Ibnu Taimiyah sendiri ketika disidang oleh para ulama tentang istighatsah, ternyata dia tidak melarang istihgatsah dengan makna di atas, akan tetapi melarang istighatsah dengan makna ibadah. Dalam hal ini al-Hafizh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi pengikut Tanduk Syetan, dan al-Hafizh Ibnu Rajab bercerita:

في شوال من السنة المذكورة: اجتمع جماعة كثيرة من الصوفية، وشكواه الشيخ إلى الحاكم الشافعي، وعقد له مجلس لكلامه من ابن عربي وغيره، وادعى عليه ابن عطاء بأشياء، ولم يثبت منها شيئاً، لكنه اعترف أنه قال: لا يستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، استغاثة بمعنى العبادة، ولكن يتوسل به، فبعض الحاضرين قال: ليس في هذا شيء. ورأى الحاكم ابن جماعة: أن هذا إساءة أدب، وعنفه على ذلك، فحضرت رسالة إلى القاضي: أن يعمل معه ما تقتضيه الشريعة في ذلك، فقال القاضي: قد قلت له ما يقال لمثله. ثم إن الدولة خيروه بين أشياء، وهي الإِقامة بدمشق، أو بالإسكندرية، بشروط، أو الحبس، فاختار الحبس

“Pada bulan Syawal tahun tersebut banyak kelompok dari kaum Shufi berkumpul dan mengadukan Ibnu Taimiyah kepada Qadhi (Hakim) bermadzhab al-Syafi’i. Lalu dibuatlah majlis untuk menyidang Ibnu Taimiyah, karena perkataannya tentang Ibnu ‘Arabi dan lainnya. Ibnu ‘Atha’ mendakwanya dengan beberapa persoalan, ternyata tak satupun darinya yang terbukti. Akan tetapi Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dia berpendapat, tidak boleh ber-istighatsah dengan Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, akan tetapi boleh beristighatsah dengan makna bertawasul. Maka sebagian orang yang hadir berkata: “Pendapat Ibnu Taimiyah yang ini tidak bisa dituntut. Dan Hakim Ibnu Jama’ah berkata: “Bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut merupakan etika yang buruk kepada Rasulullah SAW,” dan beliau menegurnya atas hal tersebut. Lalu datang surat kepada Qadhi, agar Ibnu Taimiyah ditindak sesuai dengan tuntutan syari’at mengenai etikanya yang buruk itu. Lalu Qadhi berkata: “Aku telah berkata kepadanya, apa yang dikatakan kepada yang sesamanya. Kemudian negara memberinya pilihan, yaitu tinggal di Damaskus, atau di Iskandariyah dengan beberapa syarat, atau masuk penjara. Lalu Ibnu Taimiyah memilih masuk penjara.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 14, hal 51, dan Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Dzail ‘ala Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 329).

Dalam fakta sejarah di atas, jelas sekali bahwa di hadapan persidangan para ulama, Ibnu Taimiyah hanya melarang beristighatsah dengan Nabi SAW dalam arti beribadah kepada beliau, bukan dalam arti bertawasul, sebagaimana kami jelaskan. Kemudian meskipun perkataan Ibnu Taimiyah tersebut tidak bisa diajukan sebagai dakwaan, tetapi para ulama menganggapnya sebagai etika yang buruk (su’ul adab) kepada Rasulullah SAW, dan dia harus mendekam di penjara. Tampaknya, dalam persidangan tersebut, Ibnu Taimiyah berusaha mengelak dari pendapatnya dalam kitab-kitabnya yang kemudian diusung oleh kaum Wahabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, adakalanya karena ia merasa tidak punya hujjah untuk mempertahankannya, atau memang merasa bersalah dengan pendapatnya. Atau ia sadar akan kesalahannya, tetapi masih diikuti oleh kaum Wahabi.

Di sini perlu saya tambahkan, seandainya sebelum Ibnu Taimiyah ada seorang ulama saja, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali, tentu Ibnu Taimiyah akan menyebutkan di hadapan persidangan para ulama, untuk mempertahankan fatwanya yang batil itu. Ternyata dalam persidangan tersebut Ibnu Taimiyah, tidak mengaku mengeluarkan fatwa larangan istighatsah, dan bahkan mengaku bahwa yang dilarangnya adalah beristighatsah dengan arti ibadah. Bukti bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada ulama yang melarang istighatsah. Pertanyaan kami kepada para Ustadz Wahabi, yang pakar hadits, “mengapa tulisan di atas tidak kalian tanggapi?”

Kedua, berkaitan dengan atsar di atas yang Anda nilai lemah, dengan alasan “Abu Ishaaq Al-Qurasyiy, seorang yang majhuul [lihat : Hilyatul-Auliyaa’, 10/141]. Walhaasil, riwayat ini lemah. Apalagi ditambah laki-laki mubham (tidak disebut namanya) – seandainya kita ingin berhujjah dengan perbuatan dan syair yang diucapkannya, semakin menambah kelemahannya”. Komentar kami sebagai berikut:

1) Seandainya atsar di atas memang lemah, Anda tidak bisa menyalahkan kami ketika mengutip atsar di atas dari al-Baihaqi yang meriwayatkannya dalam Syu’ab al-Iman. Sepertinya Anda tidak membaca kitab Syu’ab al-Iman dari mukaddimah pengarangnya, al-Imam al-Baihaqi dan tujuan kitab tersebut ditulis. Al-Imam al-Baihaqi berkata:

وأنا على رسم أهل الحديث أحب أيراد ما أحتاج إليه من المسانيد والحكايات بأسانيدها والاقتصار على ما لا يغلب على القلب كونه كذبا.

“Dan aku mengikuti aturan ahli hadits, ingin menyajikan apa yang aku butuhkan berupa hadits-hadits musnad dan hikayat-hikayat dengan sanad-sanadnya, serta membatasi pada apa yang menurut dugaan kuat tidak dusta.” (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 1, hal. 84).

Jadi al-Baihaqi meriwayatkan atsar tersebut, sudah sesuai dengan komitmen yang dijanjikannya, yaitu menyampaikan hadits musnad atau atsar bersanad, yang tidak ada kemungkinan besar palsu atau dusta. Kisah-kisah lemah, sangat ditoleransi dalam bab fadhail al-a’mal, siyar, manaqib dan sejenisnya, sebagaimana dijelaskan dalam mushthalah hadits ahli hadits Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan mushthalah hadits Wahabi pengikut al-Albani.

2) Anda sangat bagus dalam menyalahkan saya, bahwa Abu Ishaq al-Qurasyi yang ada dalam atsar di atas, bukan Abu Ishaq maula ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal al-Hasyimi. Tetapi Anda salah, ketika menyatakan bahwa Abu Ishaq di atas adalah perawi majhul, tidak diketahui kualitasnya, dan merujuk kepada Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’, juz 10 hal. 141. Dalam hal ini Anda hanya bermodal taklid kepada pen-tahqiq kitab Syu’ab al-Iman, Mukhtar al-Nadwi yang cenderung Wahabi. Mengapa Anda saya salahkan, karena Anda tidak mengkaji kitab Syu’ab al-Iman secara utuh.

Dalam kitab Syu’ab al-Iman, al-Baihaqi meriwayatkan atsar dari Abu Ishaq al-Qurasyi sebanyak dua kali. Yang pertama, di juz 6 hal. 60, dalam atsar istighatsah yang tidak ditahqiq dengan sempurna oleh pen-tahqiq nya yang beraliran Wahabi. Mengapa saya katakan tidak sempurna?? Karena dalam ta’liq-ta’liq sebelum dan sesudah atsar tersebut, Mukhtar an-Nadwi selalu memberi penilaian terhadap sanad, shahih atau tidaknya. Sementara atsar Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut, sengaja tidak ia ta’liq, karena berkaitan dengan istighatsah.

Kedua, pada juz 12 hal. 121, berikut ini, al-Baihaqi meriwayatkan astar dari Abu Ishaq al-Qurasyi melalui jalur gurunya al-Hakim yang berkata:

سمعت أبا عبد الله الشيباني يقول سمعت أبي يقول سمعت أبا إسحاق القرشي : و سئل عن السفلة فقال مثل الذي لا يبالي ما قال و ما قيل فيه

“Aku mendengar Abu Abdillah al-Syaibani berkata: “Aku mendengar ayahku berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq al-Qurasyi, ketika ditanya tentang safalah, maka ia berkata: “Perumpamaan seseorang yang tidak peduli ada yang dikatakannya dan yang dikatakan orang mengenainya.” (Syu’ab al-Iman, juz 12 hal. 121, cetakan Wahabi).

Ketika men-takhrij atsar tersebut, Mukhtar al-Nadwi berkata:

إسناده جيد، أبو إسحاق القرشي لعله ابراهيم بن محمد بن العباس الشافعي المكي عم الامام الشافعي

“Sanad atsar tersebut jayyid (istimewa/istilah lain dari shahih). Abu Ishaq al-Qurasyi, barangkali Ibrahim bin Muhammad bin al-‘Abbas al-Syafi’i al-Makki, paman al-Imam al-Syafi’i.”

Dalam takhrij barusan, Mukhtar al-Nadwi menilai atsar tersebut jayyid/istilah lain dari shahih, padahal dalam sanadnya terdapat Abu Ishaq al-Qurasyi, yang sebelumnya dikesankan sebagai perawi yang majhul. Sementara pada takhrij sebelumnya (juz 6, hal. 60), Mukhtar al-Nadwi tidak menjelaskan bahwa perawinya semuanya dipercaya, dan mengalihkan pembaca untuk mengetahui kualitas Abu Ishaq al-Qurasyi, agar menelaah kitab Hilyah al-Auliya’ (juz 10 hal. 141), yang tidak memberikan informasi memadai tentang para perawi, sehingga pembaca yang lugu seperti Ustadz Abul Jauzaa’, akan langsung menilainya sebagai perawi majhul. Jadi menurut Mukhtar al-Nadwi, pen-tahqiq Syu’ab al-Iman , Abu Ishaq al-Qurasyi itu bernilai ganda. Ketika membawakan atsar yang berkaitan dengan istighatsah, ia perawi yang majhul. Tetapi ketika membawakan atsar yang tidak berkaitan dengan istighatsah, beliau seorang perawi yang dipercaya. Penilaian ganda semacam ini adalah termasuk Sunnah Sayyi’ah atau bid’ah sayyi’ah nya Syaikh al-Albani dalam kitab-kitabnya. Misalnya, perawi yang bernama Sa’id bin Zaid, haditsnya bernilai hasan ketika meriwayatkan hadits tentang hukum gadai (al-Albani, dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, juz 5 hal. 338). Tetapi Sa’id bin Zaid, haditsnya akan bernilai lemah, ketika meriwayatkan hadits tentang tawasul dan tabaruk dengan makam Rasulullah SAW (al-Albani, dalam kitab al-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu , hal. 126). Karakter al-Albani ini sepertinya menular kepada Mukhtar al-Nadwi, pengagum al-Albani. Ustadz Abul Jauzaa’, dan teman-temannya kasihan, menjadi korban penipuan orang-orang seperti al-Albani.

3) Atsar Abu Ishaq al-Qurasyi di atas yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi menjadi bukti yang sangat kuat bahwa istighatsah dengan Rasulullah SAW dan sahabat yang sudah wafat adalah ijma’ ulama salaf yang saleh. Dalam riwayat tersebut dijelaskan:

قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ الْقُرَشِيَّ، يَقُولُ: كَانَ عِنْدَنَا رَجُلٌ بِالْمَدِينَةِ إِذَا رَأَى مُنْكَرًا لا يُمْكِنُهُ أَنْ يُغَيِّرَهُ أَتَى الْقَبْرَ، فَقَالَ:
أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُونَا

... “Aku mendengar Abu Ishaaq Al-Qurasyiy berkata : Dulu di sisi kami ada seorang laki-laki di Madiinah apabila ia melihat kemunkaran yang tidak bisa dirubahnya, ia mendatangi kubur (Nabi) seraya berkata : “Wahai kubur Nabi dan dua shahabatnya (Abu Bakr dan ‘Umar), wahai penolong kami seandainya engkau mengetahui kami”.

Dalam atsar tersebut sangat jelas, bahwa seorang laki-laki yang berkata: “Wahai kubur Nabi dan dua shahabatnya (Abu Bakr dan ‘Umar), wahai penolong kami seandainya engkau mengetahui kami”, di tengah-tengah penduduk Madinah, tanpa ada seorangpun yang menyalahkan, memusyrikkan, dan menganggapnya sebagai penyembah kuburan. Bukti bahwa istighatsah tidak ada yang melarang sebelum datangnya si narapidana, Ibnu Taimiyah. Wallahu a’lam.

WAHABI: “Klaim Anda bahwa syair yang diucapkan laki-laki tak dikenal dalam riwayat di atas adalah syair Nabiighah Al-Ja’diy adalah klaim kosong lagi memaksakan diri.
Pertama, kalau kita mencermati riwayat yang dibawakan Al-Baihaqiy, maka dhahir syair itu diucapkan oleh laki-laki tak dikenal yang semasa dengan Abu Ishaaq Al-Qurasyiy. Jelas, laki-laki itu bukan An-Naabighah atau orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.

Kedua, sumber yang dipakai Anda untuk menyatakan syair yang diucapkan laki-laki itu adalah syair yang pernah diucapkan oleh An-Naabighah radliyallaahu ‘anhu adalah kitab Al-Isti’aab karangan Ibnu ‘Abdil-Barr. Riwayat yang dibawakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah tersebut berasal dari Al-Haitsam bin ‘Adiy, seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk [lihat : Ta’riifu Ahlit-Taqdiis/Thabaqaatul-Mudallisiin oleh Ibnu Hajar hal. 146 no. 151]. Dan tidak mungkin Al-Haitsam bin ‘Adiy melihat An-Naabighah dan Abu Muusaa Al-Asy’ariy, karena ia terpaut jaman yang cukup jauh dengan generasi para shahabat. Al-Haitsam wafat tahun 207 H. Kesimpulan riwayatnya ?. Jawab : Sangat lemah.”

SUNNI: “Pernyataan di atas, sepertinya membuktikan bahwa pengetahuan agama Anda sangat minim dan tidak berhati-hati dalam menulis.

Pertama) Anda terlalu kalap dan gegabah menanggapi pernyataan saya. Dalam tulisan sebelumnya, saya tidak menegaskan bahwa laki-laki tak dikenal dalam atsar tersebut adalah sahabat an-Nabighah al-Ja’di. Anda jangan ngawur. Anda harusnya menggunakan hati dan pikiran yang tenang dan jernih, agar tidak terlalu banyak salahnya.

Kedua) laki-laki mubham/tak dikenal dalam atsar di atas, tidak menjadi soal dalam substansi dan nilai atsar tersebut, karena para ulama Madinah, termasuk Abu Ishaq al-Qurasyi, membiarkan dan tidak menganggapnya syirik atau penyembah kuburan, sebagaimana dalam madzhab Wahabi yang Anda ikuti.

Ketiga) sedangkan pernyataan Anda, bahwa “sumber riwayat syair tersebut yang berasal dari al-Haitsam bin Adi, yang bernilai seorang yang tertuduh melakukan kedustaan lagi matruuk”, agaknya ini membuktikan bahwa Anda masih kurang banyak membaca kitab-kitab rijal al-hadits dan sejarah. Mengapa demikian?

1) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang al-Haitsam bin Adi:

قلت كان أخباريا علامة روى عن هشام بن عروة وعبد الله بن عياش المنتوف ومجالد قال ابن عدي ما أقل ماله من المسند إنما هو صاحب أخبار

“Aku berkata: al-Haitsam bin Adi seorang pakar sejarah dan sangat alim. Ia meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, Abdullah bin Ayyasy al-Mantuf dan Mujalid. Sedikit sekali hadits nya yang musnad. Beliau hanya ahli sejarah.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 6 hal. 209, terbitan India).

2) Oleh karena al-Haitsam bin Adi seorang ahli sejarah dan sangat alim, para ulama yang menulis sejarah dan biografi para sahabat, banyak yang mengutip riwayat dari al-Haitsam bin Adi dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab, al-Hafizh al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah. Tidak sedikit dari nama dan biografi sahabat Nabi SAW, informasinya hanya dari jalur al-Haitsam bin Adi. Silahkan Anda baca ketiga kitab yang ana sebutkan barusan wahai Ustadz Abul Jauzaa’, Ustadz Muslmulyadi, Ustadz Firanda.com, Ustadz Abu Unaisah dan lain-lain.

3) Anda para ustadz wahabi, jangan terlalu kritis menanggapi perawi al-Haitsam bin Adi. Bersikaplah secara adil dan jujur. Karena kaum Anda, sangat membela mati-matian perawi seperti Saif bin Umar al-Tamimi dan al-Waqidi. Silahkan Anda, dalami sendiri orang-orang seperti Saif bin Umar al-Tamimi, dalam kitab yang pasti sangat Anda kagumi, yaitu kitab Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah, tulisan Dr Muhammad Amhazun. Atau Anda teliti catatan kaki, Muhibbuddin al-Khathib terhadap kitab al-‘Awashim yang terzhalimi dan dipalsu oleh Wahabi.

4) Kisah tentang sahabat an-Nabighah al-Ja’di, yang ber-istighatsah dengan Nabi SAW, adalah kisah sejarah sahabat, bukan hadits Nabi SAW. Oleh karena itu, para ulama selevel al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, masih toleran dan menerima riwayat dari al-Haitsam bin Adi. Lagi pula sebelum Ibnu Taimiyah, tidak ada ulama yang mensyirikkan atau memvonis istighatsah sebagai memyembah kuburan. Anda harus faham itu wahai para ustadz wahabi. Ajaran Anda yang anti istighatsah, itu ajaran sesat, ajaran Abu Jahal dan Abu Lahab, bukan ajaran ulama Salaf. Anda harus faham. Semoga Anda bisa memahami dengan baik, amin.

WAHABI: “Jadi,... rajut-merajut kisah ala Muhammad Idrus Ramli di atas batal dari awal hingga akhir, kekeliruan di atas kekeliruan.”

SUNNI: “Pembaca bisa menilai, saya atau si Wahabi yang keliru terus?”

WAHABI: “Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat kemunkaran yang tidak sanggup diubah adalah jelas, yaitu melalui sabdanya :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa yang melihat kemunkaran, hendaknya ia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ia rubah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, At-Tirmidziy no. 2172, Abu Daawud no. 1140 & 4340, An-Nasaa’iy no. 5008-5009, Ibnu Maajah no. 1275 & 4013, dan yang lainnya dari shahabat Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu].

Tak ada dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam perintah mendatangi kubur beliau atau kubur orang shaalih sepeninggal beliau untuk meminta tolong dan berkeluh-kesah.”

SUNNI: “Dalam hadits di atas dan hadits-hadits lain, tidak ada larangan Rasulullah SAW atau vonis syirik dan penyembah kuburan, bagi orang yang mendatangi kubur beliau atau kubur orang shaalih sepeninggal beliau untuk meminta tolong dan berkeluh-kesah. Anda melarang dan mensyirikkan, jelas melanggar ajaran Rasulullah SAW. Dalam catatan saya sebelumnya, telah saya sampaikan data dan fakta istighatsah kaum salaf, sahabat dan ahli hadits. Tetapi tidak Anda tanggapi secara menyeluruh. Justru tanggapan Anda, hanya melokalisir persoalan pada sosok pribadi an-Nabighah al-Ja’di dan astar Abu Ishaq al-Qurasyi.”

WAHABI: “Syair an-Nabighah al-Ja’di, diriwayatkan Ibnul-Jauziy dalam Al-Aghaaniy no. 127 lengkap dengan sanadnya sebagai berikut :

أَخْبَرَنِي أَبُو الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَالِحٍ، وَهَاشِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْخُزَاعِيُّ أَبُو دُلَفَ، قَالا: حَدَّثَنَا الرِّيَاشِيُّ، قَالَ: قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ عَدِيٍّ، قَالَ: " رَعَتْ بَنُو عَامِرٍ بِالْبَصْرَةِ فِي الزَرْعِ، فَبَعَثَ أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِيُّ فِي طَلَبِهِمْ، فَتَصَارَخُوا يَا آلَ عَامِرٍ يَا آلَ عَامِرٍ، فَخَرَجَ النَّابِغَةُ الْجَعْدِيُّ وَمَعَهُ عُصْبَةٌ لَهُ، فَأُتِيَ بِهِ إِلَى أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ، فَقَالَ لَهُ: مَا أَخْرَجَكَ؟ قَالَ: سَمِعْتُ دَاعِيَةَ قَوْمِي، قَالَ: فَضَرَبَهُ أَسْوَاطًا، فَقَالَ النَّابِغَةُ:
رَأَيْتُ الْبَكْرَ بَكْرَ بَنِي ثَمُودٍ وَأَنْتَ أَرَاكَ بَكْرَ الأَشْعَرِينَا
فَإِنْ يَكُنِ ابْنُ عَفَّانَ أَمِينَا فَلَمْ يَبْعَثْ بِكَ الْبَرَّ الأَمِينَا
فَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَصَاحِبَيْهِ أَلا يَا غَوْثَنَا لَوْ تَسْمُعَونَا
أَلا صَلَّى إِلَهَكُمْ عَلَيْكُمْ وَلا صَلَّى عَلَى الأُمَرَاءِ فِينَا "

SUNNI: “Tulisan yang sangat memalukan. Sepertinya Ustadz Abul Jauzaa’ mengutip pernyataan di atas dari Syaikh Google. Mengapa?? Semua orang yang berilmu tahu dan faham, bahwa kitab al-Aghani bukan karangan Ibnul-Jauziy, akan tetapi karangan Abul-Faraj al-Ashbihani. Keduanya berbeda dalam profesi, masa, generasi, madzhab, akidah dan lain-lain. Hanya saja kedua-duanya sama-sama dipanggil dengan nama Abul-Faraj. Sepertinya menurut Abul Jauzaa’, setiap orang yang kun-yah nya Abul-Faraj adalah Ibnu Jauzi. Jangan kalap Ustadz, untuk menanggapi tulisan saya. Santai saja.

Terakhir, mengapa kaum Wahabi saya katakan sebagai pengagum ajaran Abu Jahal dan Abu Lahab??? Jelas, karena kaum Wahabi meyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih mantap tauhidnya dan lebih bersih imannya daripada kaum Muslim yang bertawasul dan beristighatsah. Sebagaimana dijelaskan oleh Si Tanduk Syetan Besar Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, dan diteruskan oleh si Tanduk Setan kecil Muhammad bin Ahmad Basymil dalam buku sampahnya yang berjudul Kaifa Nafhamu al-Tauhid hal. 16. Kitab ini disebarluaskan oleh para ustadz di Indonesia alias kaum Wahabi secara gratis.

DEMIKIAN TANGGAPAN KAMI KEPADA ABUL JAUZAA’. BEBERAPA TULISAN DI DALAMNYA, DAN KOMENTAR MUSMULYADI LUKMAN, BAHWA IBNU TAIMIYAH, TAHU SEGALA-GALANYA, TIDAK PERLU SAYA KOMENTARI, KARENA ITU HANYA PERNYATAAN PARA PENGAGUMNYA SAJA. LAGI PULA, KAMI SUDAH MEMBUKTIKAN KESALAHAN, DAN KEBOHONGAN IBNU TAIMIYAH, TERNYATA SAMPAI SEKARANG MUSMULYADI, ABUL-JAUZA’ DAN FIRANDA, TIDAK BISA MEMBELA SYAIKHUL ISLAMNYA. SEBAGAIMANA TELAH KAMI TULIS DALAM CATATAN SEBELUMNYA DI FP INI.

Sekian tanggapan saya terhadap komentar Ustadz Abul-Jauzaa’, yang ditunggu-tunggu oleh sebagian kaum Wahabi. Astaghfirullaahal ‘azhiim min kulli dzanbin ‘azhiim. Mohonmaaf atas keterlambatan tanggapan ini, karena beberapa hari ini banyak kesibukan. Wallaahu a’lam.

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
— bersama M Hafizh Irfan Manaf dan 29 lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar