Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ،
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ
فِي النَّارِ
“Tiga
perkara yang sesiapa memilikinya, ia akan merasa manisnya iman. Iaitu
Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling dicintainya dari selain
keduanya, mencintai seseorang kerana Allah semata-mata, dan benci jika
dikembalikan kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam
api neraka.” (Shahih al-Bukhari, no. 16)
Pertanyaan: Ada yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi saw termasuk orang-orang musyrik, dan keduanya masuk neraka. Apakah benar demikian?
Jawaban: Pada kesempatan lalu kita telah jelaskan bahwa “cinta Nabi” adalah salah satu jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kita juga telah membahas tentang cinta Nabi ini. Untuk mengetahui keutamaan cinta Nabi, cukuplah hadis Nabi berikut sebagai dalil, “Demi Dzat yang jiwaku dalam gengaman-Nya, seorang di antara kalian belum dianggap beriman, sampai ia mencintaiku melebihi cintanya pada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Ahmad)
“Sungguh, orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, akan dilaknat oleh Allah di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan menyediakan siksa yang menghinakan bagi mereka.” (QS. Al-Ahzab: 57)
Secara jelas, Allah telah melarang kita menyakiti Nabi saw. dan menyamakan orang yang menyakiti Nabi saw. dengan kaum yahudi – semoga Allah melaknat mereka. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian seperti mereka (Bani Israil) yang menyakiti Musa (dengan ucapan dan tuduhan). Lalu, Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan. Dan Musa di sisi Allah adalah seorang yang terhormat.” (QS. Al-Ahzab: 69)
Al-Qadhi Iyadh mengatakan, “Kita tidak akan mengatakan apapun selain apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Kami tidak akan lancang dengan kedudukan Nabi saw yang mulia atau menyakiti beliau dengan perkataan yang tidak diridhai oleh beliau.”
Patut diketahui, bahwa jika ada orang tua atau kakek Nabi Saw. yang secara zahir berbuat syirik, namun sebenarnya mereka bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Karena pada masa mereka tidak ada rasul yang diutus. Seluruh pengikut Ahlussunnah wa Al-Jama’ah meyakini bahwa siapapun yang berlaku syirik dan mengganti syariat tauhid selama masa senggang (fatrah) antara dua nabi, maka tidak diazab. Dalil tentang masalah ini cukup banyak. Di antaranya adalah firman Allah,
“Kami bukan penyiksa (siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
“Yang demikian itu (diutusnya para rasul) adalah karena Tuhanmu tidak pernah membinasakan kota-kota disebabkan kezaliman penduduknya, sedangkan mereka dalam kondisi lalai.” (QS. Al-An’am: 131)
“Kami tidak membinasakan sebuah negeri, melainkan setelah ada pemberi peringatan bagi mereka.” (QS. As-Syu’ara: 208)
“(Kami mengutus mereka sebagai) rasul-rasul pembawa berita gembira dan peringatan, agar manusia tidak dapat membantah Allah sesudah (datangnya) para utusan itu..” (QS. An-Nisa: 165)
Maka tidak ada alasan untuk menghukumi manusia kecuali setelah diutusnya para rasul. Tanpa diutusnya rasul, manusia tidak akan dihukum, karena adanya keutamaan dan rahmat Allah Swt.
Ayat-ayat tersebut menjadi dalil bagi keyakinan pengikut Ahlussunnah, bahwa Allah, dengan rahmat dan kemurahan-Nya, tidak akan mengazab seorang pun sebelum diutus seorang pemberi peringatan.
Mungkin ada yang berkata, bisa jadi Allah telah mengutus rasul kepada kedua orang tua Nabi saw., dan mereka berbuat syirik setelah sampainya risalah. Namun hal ini tidak didukung oleh dalil naqli. Teks-teks yang ada justru membantah pendapat tersebut dan menguatkan hal yang sebaliknya, seperti firman Allah,
“Dan kami tidak pernah memberikan kepada mereka (yakni kaum musyirikin arab) satu kitab pun yang dapat mereka baca (sebelum datangnya Al-Quran). Dan tak sekalipun kami mengirim pemberi peringatan sebelummu (Nabi Muhammad Saw).” (QS. Saba: 44)
“…supaya engkau memberi peringatan kepada kaum (arab) yang belum didatangi seorang pun pemberi peringatan sebelummu; kiranya mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 46)
“Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus seorang Rasul di ibukotanya, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka. Dan tidaklah kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya adalah orang-orang zalim.” (QS. Al-Qashash: 59)
Teks-teks tersebut menjadi dalil bahwa kedua orang tua Nabi Saw. tidak diazab bukan karena menjadi orang tua Nabi, tapi karena keduanya termasuk golongan ahli fatrah sebagaimana telah kami jelaskan. Status mereka adalah seperti apa yang berlaku bagi orang muslim.
Imam Al-Syatibi mengatakan, “Sunatullah berlaku pada setiap makhluk-Nya, bahwa tak seorangpun yang durhaka dihukum, melainkan setelah diutusnya para rasul. Ketika risalah Allah telah ditegakkan bagi manusia, maka siapapun, boleh beriman atau kafir. Dan semua akan menerima balasan sesuai amalnya.”
Dalam tafsirnya atas surat Al-Isra: 16,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Kami bukan penyiksa (siapapun), sampai kami mengutus seorang Rasul (kepada mereka).” (QS. Al-Isra: 15)
Al-Qashimy mengatakan: “Apa yang benar dan berlaku bagi Kami, bahkan mustahil dalam hukum Kami (Allah), adalah mengazab suatu kaum tanpa mengutus kepada mereka seorang rasul, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, dan menyelamatkan mereka dari kesesatan; untuk menegakkan hujjah (Allah atas mereka-ed.) dan menolak alasan apapun.”
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Al-Quran dan Hadis dengan jelas menunjukkan bahwa Allah tidak mengazab siapapun kecuali setelah sampainya risalah. Jika risalah itu memang tak sampai sama sekali, maka ia tidak berhak diazab. Namun, jika risalah itu sampai secara global tanpa adanya beberapa perincian, maka dia hanya diazab atas pengingkaran hal yang sampai kepadanya.”
Adapun dalil tentang keselamatan kedua orang tua Nabi Saw. secara khusus, dan bukan dalil umum yang mencakup tentang keselamatan “ahli fatrah”, adalah firman Allah, وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Dan kegiatanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Al-Syu’ara: 219)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa “orang-orang yang sujud” adalah nenek moyang Nabi, yaitu Adam, Nuh, dan Ibrahim sampai lahirlah Nabi Saw.
Diriwayatkan dari Watsilah ibn Al-Asqa’, bahwa Nabi Saw. bersabda, “Allah memilih Ismail dari keturunan Ibrahim, memlilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, memilih suku Quraisy dari keturunan Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan dari Bani Hasyim, Allah memilihku.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abbas – paman Nabi, bahwa Nabi bersabda, “Allah menciptakan makhluk, dan menjadikanku yang terbaik, dari generasi yang terbaik. Lalu Allah memilih kabilah-kabilah, dan menjadikanku dari kabilah terbaik. Lalu Allah memilih rumah-rumah dan menjadikanku berada dalam rumah terbaik. Jadi, aku adalah jiwa terbaik dan berada dalam rumah terbaik di antara mereka.”
Rasulullah mensifati keturunannya dengan kesucian dan kebaikan. Dua sifat itu tak mungkin ada bersamaan dengan kekufuran dan syirik. Allah mensifati orang-orang musyrik dalam firmannya,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sungguh, orang-orang musyrik itu najis…” (QS. At-Taubah: 28)
Sementara mereka yang berbeda pendapat, berdalil dengan dua hadis ahad yang bertentangan dengan ayat-ayat qath’i. Keduanya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Pertama, sabda Nabi, “aku meminta izin pada Allah agar aku bisa memohonkan ampun untuk ibuku, namun Allah tidak mengizinkanku. Maka aku pun meminta kepada-Nya agar aku boleh berziarah ke kuburnya, dan Ia mengizinkan.”
Kedua, seseorang bertanya, “wahai Rasulullah, di manakah ayahku?” Nabi menjawab, “di neraka.” Setelah itu, Nabi memanggilnya dan bersabda, “ayahku dan ayahmu di neraka.”
Maka, dapat dibantah bahwa dalam hadits yang pertama tidak ada penjelasan bahwa ibu Nabi Saw. di dalam neraka. Tidak adanya izin dari Allah untuk beristigfhfar bukan berarti bahwa ibu Nabi Saw. adalah musyrik. Karena jika demikian, maka Allah tidak akan mengizinkan Nabi untuk berziarah ke kubur ibunya. Karena seorang muslim tidak boleh menziarahi kubur orang musyrik.
Pada hadis kedua, ada kemungkinkan bahwa yang dimaksud Nabi adalah pamannya. Karena Abu Thalib meninggal setelah Nabi diangkat menjadi rasul dan tidak diketahui keislamannya. Orang arab biasa menyebut paman dengan ‘ayah’, sebagaimana firman Allah Swt. tentang Nabi Ibrahim,
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, yaitu Azar, “pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?..” (QS. Al-An’am: 74)
Padahal ayah Nabi Ibrahim adalah Tarih atau Tarikh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan para ahli tafsir.
Namun jika mereka masih saja menolak takwil di atas, dan tetap berpegang teguh pada zahir teks hadis kedua – karena zahir redaksi pada hadis pertama tidak cukup untuk mendukung pendapat mereka – maka kami katakan, bahwa, anggaplah menurut kedua hadis tersebut orang tua Nabi tidak selamat dari neraka. Namun, hal tersebut membuat kami menolak dua hadis tersebut, karena bertentangan dengan ayat-ayat qath’i yang jelas-jelas menunjukkan pemahaman yang berbeda. Inilah pendapat para imam dan ulama selama berabad-abad.
Dalam masalah ini, Al-Khatib Al-Baghdadi telah merumuskan sebuah kaidah: apabila seorang tsiqah, yang terpercaya meriwayatkan hadis dengan sanad bersambung, riwayatnya ditolak karena beberapa sebab, di antaranya adalah menyelisihi teks Al-Quran atau hadis mutawatir. Jika demikian, riwayatnya dianggap tak mempunyai sumber yang jelas, atau mansukh (dihapus hukumnya-pen).
Para ahli hadis seperti Al-Bukhari dan Al-Madiny, menolak hadis, “Allah menciptakan bumi pada hari sabtu. Menciptakan gunung pada hari ahad. Menciptakan pohon pada hari senin. Menciptakan keburukan pada hari selasa. Menciptakan cahaya pada hari rabu. Menebar binatang di bumi pada hari kamis. Dan Allah menciptakan Nabi Adam setelah asar di hari jumat sebagai ciptaan terakhir pada saat terakhir di hari jumat diantara asar menjelang malam.” (HR. Muslim), mereka menolak hadis tersebut karena bertentangan dengan Al-Quran, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Sungguh, Tuhan kalian adalah Allah, yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari…” (QS. Al-A’raf: 54)
Begitu juga imam Nawawi yang menolak zahir hadis Aisyah, “sholat (dulunya) diwajibkan dua rakaat dua rakaat, baik di rumah atau dalam perjalanan. Kemudian (dua rakaat itu) ditetapkan untuk sholat safar (dalam perjalanan). Lalu (jumlah rakaat) itu ditambah untuk sholat hadhar (tidak dalam perjalanan).”
Meskipun hadis tersebut telah disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim, Imam Nawawi tetap menolak makna zahirnya. Beliau mengatakan, “secara zahir, hadis tersebut bermakna bahwa dua rakaat adalah shalat yang asli, bukan yang diqashar, dan shalat hadhar itu ditambah. Ini bertentangan dengan teks Al-Quran dan ijma’ tentang penamaan shalat qashar. Saat hadis ahad bertentangan dengan teks Al-Quran dan ijmak, maka wajib meninggalkan makna zahirnya.”
Oleh karena itu, bagi yang berbeda pendapat, agar memilih dari dua opsi. Pertama, takwil. Ini lebih baik supaya tidak ada pembatalan dalil apapun. Kedua, menolak hadis ahad, karena bertentangan dengan dalil qath’i dari Al-Quran yang sudah jelas. Inilah jalan tempuh para Imam besar.
Apapun itu, bisa jadi – dan semoga – sudah ditetapkan bahwa kedua orang tua Nabi Saw. selamat dari neraka, bahkan seluruh nenek moyang Nabi Saw. Semoga Allah menganugerahi kita cinta yang tulus pada Nabi Saw. dan menganugerahi kita pengetahuan sejati akan kedudukan Nabi Saw. Wallahu a’lam. (Ahmad Nurzein/mosleminfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar