HADITS ORANG BUTA YANG BERTAWASSUL KEPADA NABI
Telah datang kepada saya sebuah email dari seorang sahabat yang mempertanyakan hal berikut :
Assalaamu’alaykum warohmatullohi wabarokaatuhAkhi, di myQuran ada syubhat tentang tawasul dengan menggunakankeutamaan nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Berikut haditsnya.==================potongan postingan=============Kisah Sayyidina Utsman bin Hunaif رضي الله عنهعن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضريرفشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقالرسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهمإنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلىربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسى، قال عثمان :فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر.(أخرجه الحاكم في الْمُسْتَدْرَكُ عَلَى الصَّحِيحَيْنِ)Dari Utsman bin Hunaif: “Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم,datang pada baginda seorang lelaki yang buta, maka ia mengadu tentang pengelihatannya yang hilang. Maka ia berkata: “Wahai Rasulullah! aku tidak mempunyai pembantu [untuk menuntunnya berjalan] dan aku juga ditimpa kesempitan” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:”Pergilah bilik air dan ambillah wudhu’! (lalu dia berwudhu’) kemudian sholatlah dua rakaat, kemudian bacalah [doa] (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan bertawajjuh kepadaMu dengan nabiMu, Muhammad [صلى الله عليه وسلم] Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat”. Utsman berkata:”Demi Allah maka tiada berpisah kami dan tidak juga lama selepas peristiwa ini berlaku dengan kami sehingga masuk seorang lelaki seolah-olah tidak pernah buta”. (Hadits riwayat al-Hakim di dalam al-Mustadrak ‘ala Shohihain)Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam adz-Dzahabi mengatakatan bahwa hadits ini adalah shahih, demikian juga Imam at-Tirmidhi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih gharib. Dan Imam al-Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasai [didalam Sunan al-Kubra dan 'Amal al-Yaum wa al-Lailah], Ibnu Majah dan Imam Ibn Khuzaimah dalam kitab shahihnya.Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam Musnadnya, Ibn Sunni di dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Imam al-Bukhari didalam Tarikh al-Kabir, al-Baihaqi didalam Dalailun Nubuwwah, ath-Thabarani didalam Mu’jam al-Kabir dan as-Saghir, ‘Abdu bin Humaid didalam Musnadnya, al-Hafidz al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid dan dia menshohihkannya, Abu Bakar ibn Abi Khaithamah didalam Tarikhnya, dandidalam riwayatkan ada tambahan berikut:(وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك)Sekiranya kamu mempunyai hajat, maka lakukan seperti itu – Lihat kitab Intabih Diinuka fi Khatrin oleh al-’Allamah Abu Abdullah ‘Alawi al-Yamani; Raf’ul Minaarat li Takhrij Ahadits at-Tawassul wa az-Ziyaarah –Didalam riwayat Imam at-Tirmidhi:عن ، فقال: ادع الله أنعثمان بن حنيف أن رجلاً ضرير البصر أتى النبييعافني. قال: إن شئت دعوت، وإن شئت صبرت، فهو خير لك » قال: فادعه، قال:فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه ويدعوا بهذا الدعاءاللهم إني أسألك وأتوجهإليك بنبيك محمد، نبي الرحمة، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذهلتقضى لي، اللهم فشفعة فيّ.قال الترمذي: هذا حديث صحيح غريبDari Utsman bin Hunaif bahwasanya seorang lelaki yang buta telah mendatang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم lau berkata: Mohonlah kepada Allah keafiatan untukku. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: Jikalau engkau kehendaki aku doakan dan jika kamu bersabar, maka itu lebih baik bagi kamu. Lelaki itu berkata: Doakanlah kepada Allah. Maka baginda memerintahkan kepadanya berwudhu’ dan memperbaiki wudhu’nya dan berdoa dengan doa ini: Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan bertawajjuh kepadaMu dengan NabiMu, Muhammad [صلى الله عليه وسلم] Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu [yakni sebagai wasilah] kepada Tuhanku pada hajatku ini semoga diperkenankan untukku. Ya Allah berilah baginya padaku”.=============akhir potongan=============Mohon bagi antum yang faham tentang hal ini, semoga Allah bisa menghilangkan keragu-raguan ane terhadap hal ini.Wassalaamu’alaykumwarohmatullohi wabarokaatuh
Sembari bertawassul dengan nama-nama Allâh yang Maha sempurna lagi indah, dan memohon taufiq dan pertolongan dari Allâh, saya berkata :
Pertama : Keshaĥîĥan Ĥadîts
Saya sepakat bahwa ĥadîts kisah orang buta yang diriwayatkan oleh Shaĥâbat ‘Utsmân bin Ĥunaif radhiyallâhu ‘anhu adalah ĥadîts yang shaĥîĥ. Ĥadîts ‘Utsman bin Ĥunaif tersebut –dengan beberapa perbedaan lafazh- dikeluarkan oleh :
- Imâm Aĥmad di dalam Musnad-nya (IV:138)
- At-Tirmidzî dalam Tuĥfatul Aĥwadzî Syarh Jâmi’ at-Tirmidzî (IV:281-2) dan beliau berkata : “ĥadîts ĥasan shaĥîĥ gharîb”
- An-Nasâ`î dalam ‘Amalul Yaum wal Laylah dan as-Sunanul Kubrâ (VI:169)
- Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya (I:418)
- Ibnu Khuzaimah di dalam Shaĥîĥ-nya
- al-Ĥâkim ( I:313) dan beliau berkata : “shaĥîĥ ‘ala syarthil Bukhârî wa Muslim”
Al-Muĥaddits al-Albânî menshaĥîĥkannya
di dalam “Shaĥîĥ at-Targhîb wat Tarhîb”, bâb at-Targhîb fî Sholâtil
Ĥâjah, juz I, hal. 166 [Riyadh : Maktabah al-Ma’ârif, cet. V].
Kesimpulan : Ĥadîts ini shaĥîĥ maqbūl tidak menyisakan keraguan sedikitpun.
Kedua : Mendudukkan Tawassul
Setelah
kita mensepakati akan keshaĥîĥan ĥadîts, tersisa sekarang bagaimana
pemahaman ĥadîts di atas. Ahlu Tashawwuf dan Quburîyun berdalil dengan
ĥadîts di atas akan bolehnya bertawassul dengan jâh (kehormatan) dan kemuliaan atau bahkan dengan dzât Rasūlullah Muĥammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Sedangkan Ahlus Sunnah, menempatkan ĥadîts di atas pada proporsinya,
ĥadîts di atas tidak menunjukkan sama sekali akan bolehnya bertawassul
dengan dzât Nabi ataupun dengan kehormatan beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm.
Sebelumnya, kita fahami dulu, apakah tawassul itu. Tawassul berasal dari kata al-Wasîlah yang artinya adalah al-Qurbah (pendekatan diri). Apabila dikatakan : “wassala Fulânun ilallâhi wasîlatan” maknanya adalah ia melakukan suatu amalan untuk mendekatkan diri kepada Allôh. Jika dikatakan : “tawassala Fulânun ilayhi Ta’âla wasîlatan”,
maka maknanya adalah mendekat kepada Allôh dengan suatu amalan. [Lihat
Lisânul ‘Arob XI:724, al-Qâmus al-Muhîth IV:552, al-Mu’jamul Maqôyis
VI:110].
Bisa juga dikatakan bahwa at-Tawassul bermakna : “Ja’lu asy-Syai’ (al-wasîlah) baina al-Mutawassil wa baina al-Mutawassal ilayhi litaqorrubihi”
yaitu menjadikan sesuatu perantara antara seorang yang bertawassul
dengan yang ditawassuli untuk mendekatkan diri kepadanya. Hal yang sama
juga, seseorang yang menjadikan sesuatu wasilah antara dirinya dengan
Allâh, maka dikatakan dia bertawassul. Misalnya dalam firman Allôh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allôh dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS al-Mâ`idah : 35)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata : “{Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya},
Sufyân ats-Tsaurî berkata, Ayahku memberitakan kepadaku dari Thalĥaĥ
dari ‘Athô` dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata : yaitu dengan cara al-Qurbah (mendekatkan diri kepada Allôh). Demikian pula yang dikatakan oleh Mujâhid, [‘Athô`], Abū Wâ`il,
al-Ĥasan, Qotâdah, Abdullâh bin Katsîr, as-Sudî dan Ibnu Zaid. Qotâdah
berkata : ‘yaitu, bertaqorrub kepada-Nya dengan ketaatan dan amal yang
diridhai-Nya.’.” [Tafsîr al-Qur`ânil ‘Azhîm, Dâr ath-Thayîbah, cet. II,
1420, juz III, hal. 103].
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tawassul adalah ibadah, maka haruslah tidak keluar dari dua syarat, yaitu (1) ikhlâsh, menghadapkan semua ibadahnya hanya bagi Allôh semata, dan (2) mutâba’ah, meneladani Rasūlullâh
di dalam beribadah dan tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada
tuntunan dari beliau. Ibadah yang diamalkan tanpa ada dalil dan
tuntunannya maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Ahlus
sunnah memperbolehkan tawassul yang syar’î, yang tidak mengandung unsur
bid’ah, syirik dan kultus berlebihan di dalamnya, baik terhadap nabi
maupun orang shalih. Diantara bentuk tawassul yang disyariatkan adalah :
Pertama : Tawassul dengan Asmâ`, shifât dan af’âl (perbuatan) Allôh ‘Azza wa Jallâ. Diantara dalilnya adalah :
Firman Allôh ‘Azza wa Jallâ dalam surat al-A’râf ayat 180 :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allôh-lah Nama-Nama yang indah, maka berdo’alah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama Allôh yang indah itu.”
Ĥadîts shaĥîĥ dari Ibnu Mas’ūd radhiyallâhu ‘anhu, tentang do’a tatkala diliputi oleh kesedihan dan kerisauan, diantara lafazhnya adalah :
أسألك بكل اسم هو لك , سميت به نفسك, أو أنزلته في كتابك, أو علمته أحدًا من خلقك, أو استأثرت به في علم الغيب عندك
“Saya
memohon pada-Mu dengan setiap nama milik-Mu, yang Engkau sendiri
menamakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan ilmu-Nya di dalam
Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu,
atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu (sehingga hanya
Allôhlah yang tahu)…” [HR Aĥmad, dishaĥîĥkan oleh Syaikh al-Albânî dan
Syaikh Aĥmad Syâkir).
Diantaranya juga adalah, doa yang berbunyi “Yâ Ĥayyu Yâ Qoyyūm biraĥmatika astaghîtsu” [HR Tirmidzi, dishaĥîĥkan Syaikh al-Albânî]. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Kedua : Tawassul dengan Imân kepada Allôh dan Rasul-Nya
Dalilnya adalah firman Allôh surat al-Mu`minūn ayat 109 :
إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَا آَمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا
“Sesungguhnya ada sekelompok orang dari hamba-hamba-Ku berdoa : ‘Ya Rabb kami, kami telah beriman maka ampuni dan rahmati kami’.”
Demikian pula dengan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imrân ayat 53 :
رَبَّنَا آَمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
”Ya
Rabb kami, kami telah beriman dengan apa yang telah Engkau turunkan dan
kami pun telah mengikuti Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang mempersaksikan (ketauĥîdan Allôh).”
Ketiga : Tawassul dengan kelemahan dan kerendahan diri
Dalilnya adalah firman Allôh surat Maryam ayat 4 yang mengisahkan tentang Zakarîyâ yang mengadu kepada Rabb-nya :
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
”Beliau
berkata : ’Wahai Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan
kepalaku telah dipenuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa
kepada Engkau ya Rabb-ku.”
Hal
serupa juga dibolehkan untuk mengatakan : ”Ya Rabbku, sesungguhnya aku
ini orang yang lemah… orang yang sangat membutuhkan-Mu… orang yang hina…
maka ampunilah aku wahai Rabbku…” dan yang semisal.
Keempat : Tawassul dengan amal shâlih
Dalilnya adalah kisah yang diceritakan oleh Rasūlullâh
dalam ĥadîts shaĥîĥ yang muttafaq ’alaihi, tentang tiga pemuda Bani
Isrâ`il yang bermalam di sebuah gua, kemudian mereka terperangkap ke
dalamnya setelah sebuah batu besar jatuh menutupi mulut gua. Mereka
telah berupaya sekuat tenaga untuk menggeser batu tersebut namun tidak
bisa. Akhirnya mereka pun berdoa kepada Allôh dan bertawassul dengan
’amal shâliĥ mereka.
Orang
pertama dari mereka mengatakan : ”Ya Allôh, saya memiliki dua orang tua
yang telah renta, dan saya senantiasa berbuat baik kepada keduanya.
Apabila minum susu, maka saya dahulukan mereka daripada isteri dan
anak-anakku. Suatu ketika saya menggembala ke tempat yang jauh, dan saya
kembali ke rumah di saat tengah malam. Saya bermaksud memberi mereka
susu, namun mereka telah tertidur pulas, maka saya pegang gelas tersebut
semalam suntuk sampai akhirnya fajar menyingsing dan mereka pun bangun,
lalu aku meminumkan susu tersebut kepada mereka. Ya Allôh, apabila
amalku ini hanya kulakukan untuk mengharap ridha-Mu, maka berikanlah
kami jalan keluar atau selamatkan kami.” Lalu batu tersebut bergeser
sedikit.
Orang
kedua mengatakan bahwa ia memiliki sepupu wanita yang cantik jelita dan
ia sangatlah menyukainya, sedangkan wanita tersebut menolak dirinya.
Pada suatu hari, gadis anak pamannya itu datang kepadanya meminta
bantuannya untuk membantu dirinya dari melepaskan masalahnya. Lelaki itu
mempergunakan kesempatan ini untuk menyerahkan diri wanita itu kepada
dirinya, sebagai syarat bantuannya. Ketika lelaki itu sudah berada di
atas wanita tersebut layaknya suami isteri, wanita tersebut berkata :
”wahai anda, takutlah kepada Allôh dan janganlah kamu mengambil
kehormatan yang bukan hakmu.” Lelaki tersebut terperanjat, lalu ia
berkata, ”Ya Rabb, sesungguhnya saya meninggalkannya bukan karena saya
tidak menginginkannya, namun saya meninggalkannya karena saya takut
kepada-Mu.” Lalu lelaki itu memenuhi apa yang diperlukan wanita
tersebut. Kemudian dia berkata : ”Ya Allôh, apabila yang kuperbuat ini
hanyalah untuk mencari ridha-Mu, maka selamatkanlah kami.” dan batu
itupun bergeser sedikit.
Orang
ketiga mengatakan, ia memiliki buruh-buruh pekerja dan suatu hari ada
salah satu buruhnya yang belum menerima upahnya. Setelah ia mencarinya,
akhirnya ia menggunakan upah buruh itu untuk investasi dan berkembang
menjadi unta, domba, sapi dan seorang budak. Suatu ketika, sang buruh
itu datang meminta kembali upahnya yang dulu, lalu orang ini mengatakan :
”seluruh apa yang anda lihat berupa onta, domba dan budak itu adalah
milik anda.” Buruh tersebut berkata, ”bertakwalah anda kepada Allôh,
apakah anda bermaksud memperolok-olok diriku.” Orang tersebut menjawab.
”demi Allôh tidak, ini semua adalah upah anda terdahulu.” Kemudian buruh
tersebut menerima dan mengambil semua upahnya yang telah berubah
menjadi unta, domba dan budak tersebut. Orang ini lalu berkata : ”Ya
Allôh, apabila semua yang saya lakukan ini untuk mencari ridha-Mu, maka
selamatkanlah kami.” Lalu bergeserlah batu tersebut sehingga akhirnya
mereka dapat keluar dan selamat.
Kelima : Tawassul dengan do’a orang yang shâliĥ yang masih hidup
Dalilnya banyak, diantaranya adalah ĥadîts dari Anas radhiyallâhu ’anhu yang mengisahkan tentang tawassulnya ’Umar kepada ’Abbâs paman Rasūlullâh
radhiyallâhu ’anhumâ di saat musim kemarau. ’Umar radhiyallâhu ’anhu
berkata : ”Ya Allôh, kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami,
lalu Engkau turunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul
kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata :
”Lalu turunlah hujan kepada mereka.” [HR Bukhârî]
Ĥadîts
di atas tidak syak (ragu) lagi menunjukkan bolehnya bertawassul dengan
orang shâliĥ yang masih hidup dan hadir, lalu kita meminta kepadanya
untuk mendoakan kemashlahatan bagi kita
Peringatan : Ĥadîts
ini oleh quburiyun shufiyun dijadikan sandaran bolehnya bertawassul
dengan kehormatan, kedudukan atau kemuliaan orang shâliĥ –walaupun telah
wafat.
Maka
saya jawab, bahkan ĥadîts ini merupakan hujjah bagi kami, bahwa
tawassul dengan orang yang telah meninggal adalah haram hukumnya. Dengan
argumentasi :
- Sekiranya bertawassul dengan mayit dibolehkan, lantas kenapa ’Umar radhiyallâhu ’anhu tidak bertawassul kepada Rasūlullâh yang telah meninggal dunia, namun malah mendatangi paman Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam. Bukankah Rasūlullâh lebih mulia dan lebih shâliĥ dibandingkan paman beliau radhiyallâhu ’anhu? Apabila bertawassul dengan mayit diperbolehkan, niscaya Rasūlullâh lebih utama untuk ditawassuli daripada ’Abbâs, dan ’Umar tidak perlu mendatangi ’Abbas dan mengatakan, ”Ya Allôh, kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.”
- Ĥadîts di atas menunjukkan bahwa ketika Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam masih hidup, ’Umar bertawassul dengan beliau, hal ini tampak pada ucapan beliau ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami” dan setelah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam wafat, beliau tidak bertawassul lagi dengan Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam, namun beliau mendatangi ’Abbas, paman Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Salam dan bertawassul dengan beliau, hal ini tampak pada ucapan beliau ”dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami”.
- Dari riwayat ĥadîts tampak bahwa ’Umar pergi mendatangi ’Abbâs, untuk bertawassul dengan do’a beliau, bukan dengan kehormatan atau kemuliaan ’Abbâs. Kalimat ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami”, pada kalimat ini ada kata yang maĥdzūf (tersembunyi) dan taqdir (perkiraan)-nya bisa jadi ”kemuliaan/kehormatan” [sehingga menjadi : ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan paman Nabi kami”, taqdir semacam ini adalah dari pemahaman kaum shufiyun quburiyun] atau bisa jadi taqdir-nya adalah ”do’a” [sehingga menjadi : ”kami dulu bertawassul kepada-Mu dengan doa Nabi kami” dan ”kami bertawassul kepada-Mu dengan doa paman Nabi kami”] taqdir kedua inilah yang lebih benar, dengan sedikitnya dua alasan :
- Apabila taqdir (perkiraannya) bahwa kata yang maĥdzūf itu adalah ”kehormatan/kemuliaan”, lantas mengapa ’Umar sampai bersusah payah datang kepada ’Abbâs, padahal ia dapat berdo’a dengan kemuliaan ’Abbâs di rumahnya, dengan mengatakan ”Ya Allôh, kami bertawassul kepada-Mu dengan kemuliaan paman Nabi kami”..
- Apabila taqdir (perkiraannya) adalah ”kemuliaan”, niscaya kemuliaan Nabi lebih besar dan agung, sehingga beliau lebih berhak ditawassuli. Sedangkan realitanya, ’Umar tidak bertawassul dengan Nabi, beliau malah mendatangi ’Abbas dan bertawassul dengan beliau.
Pembahasan serupa insya Allôh akan datang pada pemaparan ĥadîts orang buta di bawah.
Ketiga : Menempatkan Ĥadîts
Baiklah, sekarang mari kita mengupas ĥadîts ’Utsman bin Ĥunaif ini.
عن عثمان بن حينف : « أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني . قال : ” إن شئت دعوت لك وإن شئت صبرت فهو خير لك ” فقال : ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه فيصلي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء : ” اللهم
إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهت بك إلى
ربي في حاجتي هذه فتقضى لي ، اللهم فشفعه في وشفعني فيه ، قال : ففعل الرجل فبرأ »
”Dari
’Utsmân bin Ĥunaif : Bahwasanya seorang lelaki yang matanya buta
mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata :
”Berdoalah kepada Allôh agar Ia menyembuhkanku.” Nabi menjawab : ”Jika
kamu mau aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau untuk bersabar maka hal
ini lebih baik.” Lalu orang buta itu berkata : ”berdoalah”. Lantas Nabi
memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan sebaik-baiknya lalu sholatlah
dua roka’at kemudian berdoalah dengan doa ini : ’Ya Allôh, sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad,
Nabi yang penuh raĥmat. Wahai Muĥammad, sesungguhnya saya menghadap
dengan engkau kepada Rabbku untuk memenuhi hajatku ini, maka penuhilah
untukku. Ya Allôh, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah
syafa’atku untuknya.” Dia (’Utsman bin Ĥunaif) berkata : ”Lelaki buta
itu mengamalkannya lalu ia pun sembuh.” [Lafazh Ibnu Mâjah].
Di dalam riwayat al-Ĥâkim, lafazhnya adalah sebagai berikut :
أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، علمني دعاء أدعو به يرد الله علي بصري ، فقال له : « قل اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة ، يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي ، اللهم شفعه في ، وشفعني في نفسي » ، فدعا بهذا الدعاء فقام وقد أبصر تابعه
”Bahwasanya seorang lelaki buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Wahai Rasūlullâh,
ajarkanlah aku sebuah doa yang mana aku berdoa dengannya Allôh berkenan
mengembalikan pengelihatanku. Nabi lantas bersabda padanya : ”Katakan,
Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu
dengan Nabîmu, seorang nabi yang penuh rahmat. Wahai Muĥammad
sesungguhnya aku menghadap denganmu ke hadapan Rabbku. Ya Allôh
terimalah terimalah syafaatnya untukku dan terimalah syafaatku untuk
diriku.”
Serupa dengan lafazh di atas yang diriwayatkan oleh Imâm Aĥmad, an-Nasâ`î, dan selainnya.
Menurut
Ahlus Sunnah, ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul
dengan kehormatan/kemuliaan Nabi, baik di masa hidup maupun wafat
beliau. Demikian pula ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya
bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan selain beliau. Ĥadîts ini hanya
menunjukkan kebolehan bertawassul dengan do’a dan syafa’at Nabî di masa
hidup beliau saja.
Ĥadîts
di atas menunjukkan tawassulnya orang buta tersebut adalah dengan do’a
Nabî, bukan dengan kehormatan/kemuliaan Nabi apalagi dzât beliau
Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah argumentasinya :
- Orang buta itu datang kepada Nabi supaya didoakan kesembuhan, sebagaimana tampak jelas dalam ucapannya : ”Berdoalah kepada Allôh agar Ia menyembuhkanku.” Jadi, maksud orang buta ini datang kepada Nabî adalah minta agar didoakan beliau, bukannya bertawassul dengan dzât atau kemuliaan beliau. Dia bertawassul dengan doa Nabî, dan hal ini adalah termasuk tawassul yang diperbolehkan.
- Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepadanya, apabila ia mau sabar maka hal ini lebih baik, dan apabila ia tetap mau didoakan, maka Nabi berjanji akan mendoakannya dan mengajarinya doa. Jadi, kembalinya adalah bertawassul dengan do’a Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa bersabar adalah lebih utama.
- Ketetapan pilihan orang buta tersebut supaya didoakan kesembuhan dari penyakitnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa orang ini datang untuk minta didoakan kesembuhan. Rasūlullâh pun memenuhi janjinya untuk mendoakan orang tersebut dan mengajarkan do’a kepada orang buta tersebut.
- Orang buta tersebut bertawassul dengan ’amal shâlihnya, yaitu tawassul dengan amal ketaatannya di dalam menerima perintah Nabî untuk sholât dua rakaat dan dengan amal ibadah sholat dua rakaatnya itu sendiri. Telah jelas sebelumnya bahwa tawassul dengan amal shâliĥ kita sendiri adalah dibolehkan.
- Adanya lafazh doa yang diajarkan Nabî, ”Ya Allôh terimalah syafaatnya untukku”, menunjukkan akan batilnya pemahaman tawassul dengan dzât Nabî, karena sangat mustahil kalimat ini dibawa kepada pemahaman tawassul dengan kehormatan ataupun dzât Nabî. Maknanya yang benar dari ”Ya Allôh terimalah terimalah syafaatnya untukku” adalah ”Ya Allôh, terimalah dan kabulkanlah doanya untukku agar pengelihatanku kembali.” Karena syafa’at itu maknanya adalah doa.
- Lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” menunjukkan lebih jelas lagi akan ketidakmungkinan ĥadîts di atas difahami bertawassul dengan dzât atau kehormatan Nabî. Sekiranya difahami bahwa ucapan doa si lelaki buta tadi adalah tawassul dengan dzât Nabî, lantas bagaimana kita menempatkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, apakah Nabî bertawassul pula dengan dzât atau kehormatan si buta? Padahal maknanya yang benar adalah ”dan terimalah syafatku/doaku agar engkau menerima doa/syafaat beliau (Nabî).
- Dalam kalimat ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu”, ada suatu kata yang maĥdzūf (tersembunyi) pada kalimat itu, dan taqdir (perkiraannya) adalah ”doa” [yang maknanya adalah : ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan doa Nabî-Mu”], bukannya ”kehormatan” ataupun ”dzât” [yang maknanya adalah ”Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan dzât atau kehormatan Nabî-Mu”]. Karena apabila ditaqdirkan dengan ”dzât” atau ”jâh” (kedudukan/kemuliaan), lantas untuk apa orang buta itu susah-susah mendatangi Nabî, padahal ia bisa berdoa di rumahnya seraya mengatakan : ”Ya Allôh, dengan kehormatan Nabi-Mu, aku memohon agar Engkau menyembuhkan mataku”…
- Ĥadîts ini disebutkan oleh para ’Ulamâ` di dalam masalah mukjizat-mukjizat Nabî, doa-doa Nabî yang mustajâbah dan keberkahan doa beliau. Imâm Baihaqî memasukkan ĥadîts ini ke dalam bâb Dalâ`ilun Nubūwah. Hal ini menunjukkan kesembuhan orang buta tersebut berkat doa Nabî yang maqbūl. Sekiranya hanya berkat doa orang buta itu semata, niscaya setiap orang buta yang berdoa dengan doa ini dengan ikhlash pasti akan mendapatkan kesembuhan, padahal realitanya tidak demikian. Demikian pula, sekiranya kesembuhannya disebabkan tawassulnya dengan dzât Nabî, niscaya orang-orang buta lainnya yang bertawassul dengan dzât Nabî pastilah sembuh padahal realitanya juga tidak demikian.
Beberapa Syubuhât dan Jawabannya
Syubhat Pertama :
Apabila
mereka berkata : Di dalam riwayat-riwayat yang mu’tabar, tidak
disebutkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, yang ada hanya
sampai lafazh ”terimalah syafaatnya untukku”. Hal ini menunjukkan bahwa
ada kemungkinan bahwa makna tawassul dalam ĥadîts ini adalah tawassul
dengan dzât atau jâh Nabî.
Jawab : Klaim tersebut tidak benar. Karena lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”
adalah lafazh yang mu’tabar dan dikenal di dalam kitab-kitab ĥadîts.
Lafazh ini ada di dalam riwayat Aĥmad dan al-Ĥâkim, dishaĥîĥkan oleh
al-Ĥâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabî.
Banyak
penulis masa kini tidak menyebutkan lafazh terakhir ini dikarenakan
apabila mereka menukilkannya, niscaya penakwilan mereka terhadap ĥadîts
ini kepada tawassul dengan dzât tidak akan dapat dilakukan. Untuk
itulah, mereka seringkali memotong dan meniadakan lafazh ini. Hal ini
menunjukkan ketidakamanatan mereka.
Syubhat Kedua :
Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat lain, dari Hammâd bin Salamah yang dikeluarkan oleh Abū Khaitsamah dalam Târikh-nya, ada tambahan riwayat :
وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك
“Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini.”
Bukankah
hal ini menunjukkan bahwa doa ini boleh dilakukan untuk hajat yang
lain, kapan saja dan dimana saja selama memiliki hajat? Ini artinya,
klaim yang menyatakan bahwa tawassul di sini bermakna tawassul dengan
meminta doa Nabî adalah tidak tepat. Karena, apabila dimaksudkan
bertawassul dengan meminta doa Nabî, mengharuskan dia mendatangi Nabî.
Namun, ĥadîts ini menunjukkan bahwa, orang buta tersebut cukup sekali
saja menemui Nabî, lalu setelah itu ia boleh melakukannya (berdoa)
dimana saja dan kapan saja yang ia mau, padahal telah jelas di dalam
lafazh doa tersebut adalah lafazh ’Ya Allôh, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang
penuh raĥmat’, sehingga lafazh ”dengan Nabi-Mu Muĥammad”, tentu saja
akan bermakna dengan ”kehormatan”, ”jâh” atau ”dzât” Nabi.
Jawab : Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah raĥimahullâh di dalam al-Qâ’idah al-Jalîlah (hal. 102) menerangkan status infirâd
(kesendirian) riwayat Hammâd bin Salamah di dalam meriwayatkan riwayat
tambahan ini. Riwayat ini juga bertentangan dengan riwayat Syu’bah, yang
lebih atsbat dan tsiqoh dibandingkan Hammâd.
Di dalam kaidah ĥadîts yang mu’tabar, seperti dijelaskan oleh al-Ĥâfizh dalam Nukhbatul Fikr,
bahwa riwayat tambahan itu diterima selama tidak bertentangan dengan
riwayat yang lebih tsiqât. Riwayat yang demikian ini dikategorikan
riwayat yang syâdz (ganjil). Al-Muĥaddits al-Ashr, Muĥammad
Nâshiruddîn al-Albânî raĥimahullah juga telah menjelaskan kelemahan
tambahan riwayat ini secara panjang lebar dalam at-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu.
Taruhlah
bahwa tambahan hadîts di atas adalah shaĥîĥ dan diterima. Namun hal ini
juga bukan artinya riwayat di atas dapat diarahkan kepada pengertian
tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh. Karena sabda Nabî “Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini”, maksudnya adalah mendatangi Rasūlullâh di kala beliau hidup, meminta agar beliau sudi mendoakan, sholat dua rakaat kemudian berdoa sebagaimana yang diajarkan Rasūlullâh.
Syubhat Ketiga :
Apabila mereka mengatakan : ”Sesungguhnya ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm ketika mengisyaratkan ĥadîts ini, beliau berkata : ”Lâ yajūzu at-Tawassul ilallôhi Ta’âlâ illa bin Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam in shoĥĥal ĥadîts” [Tidak boleh bertawassul kepada Allôh kecuali bertawassul dengan Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam saja
apabila ĥadîtsnya memang shaĥîĥ], sedangkan telah jelas bahwa ĥadîtsnya
shaĥîĥ. Oleh karena itu, boleh bertawassul dengan (dzat) Nabî.
Jawab : Merujuk
ke pernyataan al-Imâm ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm di atas, tidak ada
dilâlah (penunjukan) yang pasti dari ucapan beliau bahwa yang beliau
maksudkan adalah tawassul dengan dzât Nabî, dan tidak pula ada penjelasan pembolehan beliau dilakukan setelah Rasūlullâh
wafat, karena isyarat beliau dalam ucapannya adalah ĥadîts ’Utsmân bin
Ĥunaif, padahal telah jelas bahwa riwayat tersebut menjelaskan kisah
orang buta yang bertawassul dengan doa Nabî di masa beliau hidup.
Al-Imâm asy-Syaukânî di dalam ad-Durorun Nadhîyah fî Khulâshoti Kalimatit Tauĥîd (termaktub dalam al-Majmū’ul Mufîd min ’Aqîdatit Tauĥîd,
karya Syaikh ’Alî bin Muĥammad bin Sinân, Dârul Kitâb al-Islâmî,
Madînah, cet. V, 1412, hal. 14), setelah memaparkan pendapat al-’Izz bin
’Abdis Salâm dan ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, beliau berkata :
”Manusia
di dalam mengartikan ĥadîts ini ada dua pendapat. Pertama : bahwasanya
tawassul itu sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin al-Khaththâb
radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau berkata : “Ketika di musim kemarau,
kami dahulu bertawassul kepada Nabi-Mu kemudian Engkau turunkan hujan
kepada kami, adapun sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami.”
Hadîts ini terdapat dalam Shaĥîĥ a-Bukhârî dan selainnya. Di ĥadîts ini,
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu menceritakan bahwa mereka (para sahabat)
bertawassul dengan (doa) Nabî di saat hidup beliau untuk meminta hujan,
kemudian mereka bertawassul dengan paman Nabi setelah Nabî wafat untuk
berdoa meminta hujan, kemudian beliau (‘Abbâs) berdoa disertai para
sahabat lainnya yang juga turut berdoa bersama beliau, maka beliau
menjadi wasilah bagi mereka kepada Allôh Ta’âlâ. Nabî Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam dulunya adalah seperti ini juga, yaitu sebagai pemberi
syafaat dan doa.
Pendapat
kedua menyatakan bahwa tawassul boleh dilakukan pada saat beliau hidup
dan wafat, di saat beliau hadir maupun tidak hadir. Padahal tidaklah
tersamar bagi anda bahwasanya telah tetap ijma’ sahabat bahwa tawassul
dengan Nabî hanyalah di saat hidup beliau kemudian mereka bertawassul
dengan selain beliau setelah beliau wafat, hal ini merupakan ijma’
sukutî, pasalnya tidak ada sedikitpun pengingkaran sahabat terhadap
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau bertawassul dengan ‘Abbâs
radhiyallâhu ‘anhu. Menurutku (Imâm Syaukânî), tidak ada sisi
pendalilan yang mengkhususkan kebolehan tawassul hanya kepada Nabî
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam saja, sebagaimana dikira oleh ‘Izzuddin
bin ‘Abdis Salâm, dengan dua sebab : (pertama) dari ijma’ sahabat yang
telah kita ketahui… dst [Perincian lebih jauh silakan baca ad-Durorun Nadhîyah karya Imâm asy-Syaukânî].
Dari
ucapan Imâm asy-Syaukânî ini, tampak bahwa yang dimaksud oleh al-‘Izz
adalah bertawassul dengan Nabî hanya di saat beliau hidup saja. Dan
itupun yang dimaksud adalah dengan doa Nabî, bukanlah dengan dzât atau
kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allôhu a’lâm.
Syubhat Keempat :
Apabila
mereka mengatakan : Orang yang mengingkari bolehnya bertawassul dengan
kemuliaan dan kehormatan Nabî, berarti telah mengingkari kemuliaan dan
kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dikatakan
oleh DR. Al-Būthî di dalam Fiqhus Sîrah, “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan terhadap Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan mengingkari tawassul dengan dzâtnya sepeninggal beliau.”
Jawaban : Ini
adalah tuduhan kosong lagi dusta, yang dikemukakan tanpa hujjah dan
dalîl, hanya diiringi semangat permusuhan dan kedengkian. Hujjah seperti
ini terlontar ketika mereka sudah tidak mampu membantah hujjah ahlus
sunnah, sehingga tuduhan-tuduhan dusta pun keluar. Mereka mengatakan
bahwa kita tidak mencintai Rasūlullâh
hanya karena kita menjelaskan bahwa shalawat yang tidak dituntunkan
Nabî adalah bid’ah, maulid Nabî adalah bid’ah, dan segala amalan semu
yang disandarkan kepada Nabî namun pada hakikatnya adalah bid’ah
kemudian kita katakan bid’ah. Mereka tidak terima, dan sialnya mereka
tidak punya hujjah, maka tuduhan seperti inilah yang keluar.
Adapun
kami, alĥamdulillâh, adalah kaum yang paling mencintai Nabî. Kami
berupaya menghidupkan sunnah beliau dan menumpas bid’ah dan syirik di
dalam agama. Kami senantiasa membela beliau, menghidupkan sunnah beliau,
dan menapaki di atas jalan beliau walau terasa berat dan terasingkan.
Apabila kami mengatakan bahwa tawassul dengan dzât Nabî adalah bid’ah,
maka bukan artinya kami tidak menghormati dan mencintai Nabî. Bahkan
kami sangat mencintai dan menghormati beliau.
Kami
mengakui keutamaan dan kemuliaan beliau dibandingkan manusia lainnya,
bahkan dibandingkan nabi dan rasul lainnya. Kami meyakini beliau
memiliki Syafâ’at al-Uzhmâ, beliau adalah Nabî yang paling utama
dibandingkan Nabî dan Rasul lainnya. Kami meyakini bahwa beliau pemilik ĥaudh
(telaga) yang airnya mengalir jernih, barangsiapa meminumnya niscaya
tidak akan merasa haus selamanya. Kami meyakini, siapa saja yang
menghujat beliau sedikit saja, maka telah kâfir keluar dari Islâm,
termasuk pula siapa saja yang melecehkan sunnah beliau walaupun hanya
satu buah sunnah.
Ketidakcintaan kepada Rasūlullâh
adalah salah satu bentuk kekufuran. Tuduhan DR. Al-Buthî yang
menyatakan bahwa orang yang menolak tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh sebagai sesat tidak mencintai Rasūlullâh, merupakan suatu tuduhan besar. Implikasi dari tidak mencintai Rasūlullâh adalah kekafiran. Apakah DR. Al-Buthî bermaksud menvonis kâfir? Apakah DR. Al-Būthî tidak sadar, bahwa tuduhannya juga menimpa kepada para Imâm Ahlus Sunnah, semisal Imâm Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî?!
Kemudian, bagaimana bisa al-Būthî
menvonis hati orang lain? Ia mengatakan “sungguh telah sesat orang yang
hati mereka tidak merasakan kecintaan…”, bagaimana bisa ia menvonis isi
hati orang lain padahal hanya Allôh-lah yang bisa mengetahui apa yang
ada dan terbetik di dalam hati seorang hamba. Apakah al-Būthî telah mengklaim memiliki perbendaharaan ilmu ghaib?!
Sungguh, apa yang dilontarkan oleh al-Būthî ini, hanyalah tuduhan kosong yang berangkat dari keputusasaannya…
Syubhat Kelima :
Apabila mereka mengatakan : Ya Akhî, ini kan masalah yang mukhtalaf fîhi
(diperselisihkan), tidak selayaknya kita saling mengingkari dalam
masalah ini. Biarlah yang meyakini tawassul dengan dzât Nabî itu
disyariatkan, mereka mengamalkannya, selama mereka berangkat dari hujjah
dan dalil mereka, dan tidak sepatutnya anda mempermasalahkannya apalagi
mengingkarinya.
Jawab : Jika begitu, tentu kita tidak boleh pula mengingkari mereka yang berdalil dengan firman Allôh :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Ĥijr : 99)
Untuk menyatakan bahwa seorang muslim yang telah sampai kepada maqâm al-Yaqîn di dalam keimanan, maka tidak wajib lagi beribadah kepada Allôh.
Bukankah
mereka berdalil dengan al-Qur‘ân? Dan bukankah penafsiran mereka ini
sesuai dengan zhâhir? Dan bukankah pula, masalah ini adalah masalah yang
mukhtalaf fîhi, yaitu yang diperselisihkan ahlus sunnah dan mereka (baca : ahli tashawwuf ekstrem)?
Namun
tentu saja pemahaman mereka ini adalah menyimpang dan sesat, dan wajib
diingkari. Kita wajib menegakkan hujjah kepada mereka dan menyampaikan
hujjah yang paling haq. Namun, ironinya, ketika mereka sudah tidak punya
hujjah lagi akan mengatakan, “ya akhî, ini masalah yang
diperselisihkan, selama ada dalilnya anda tidak boleh mengingkarinya…”
Aduhai,
akan rusak agama ini dengan hujjah semisal ini. Dan sungguh, hujjah
(baca : apologi) seperti ini, hanyalah berangkat dari kejahilan dan
keputusaasaan akibat tidak adanya dalil yang dapat menyokong pemahaman
mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :
“Pendapat mereka bahwa di dalam masalah khilâf tidak
ada pengingkaran adalah tidak benar, karena pengingkaran bisa jadi
ditujukan kepada ucapan dengan penghukuman ataupun amalan. Adapun
yang pertama (yaitu ucapan), apabila ucapan tersebut menyelisihi sunnah
ataupun ijma’ terdahulu, maka wajib mengingkarinya secara sepakat.”
[Lihat Bayânud Dalîl ‘ala Buthlânit Tahlîl karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 210; melalui perantaraan artikel berjudul Qouluhum inna Masa`ilal Khilaf La Inkara Fiha Laysa Bishahih, www.dorar.net]
Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata :
“Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang mukhtalaf fîhâ (yang
diperselisihkan) sedangkan para ahli fikih dari seluruh kalangan telah
menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim
apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah, walaupun keputusan tersebut
selaras dengan pendapat beberapa ulama?” [ Lihat I’lamul Muwaqqi’in karya Imam Ibnul Qoyyim, Juz III hal. 300]
Daftar Bacaan :
Untuk dalil lebih lengkap dalam masalah ini, silakan baca :
- Jâmi’ ar-Rosâ`il (I/7) karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah.
- Ad-Durorun Nadhîd karya al-‘Allâmah Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî [dengan taĥqîq Syaikh ‘Alî bin Sinân dalam al-Majmū’ al-Mufîd min ‘Aqîdatit Tauhîd]
- Ar-Roddu ‘alal Quburiyyin karya al-‘Allâmah Ĥammâd bin Nâshir Alu Mu’ammar [dengan taĥqîq Syaikh ‘Abdūs Salâm Barjas]
- At-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu karya al-Muĥadditsul Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî
- At-Tawassul Aqsâmuhu wa Aĥkâmuhu karya Syaikh Abū Anas ‘Alî bin Ĥusain Abū Luz
- At-Tawassul Ĥaqô`iq wa Syubuhât karya Syaikh Abū Ĥumaid bin ‘Abdillâh al-Fallâsî
- Imâthotul Litsâm wa Kabhul Auhâm [Indonesia : Kuburan Agung, Darul Haq] karya Syaikh Mamduh Farĥan al-Buhairî
Tidak ada komentar:
Posting Komentar