Reposisi Fatwa di Tengah Badai Kepentingan
M. Hidayatulloh
Prolog
Agama Islam didaulat sebagai agama paripurna yang senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman; shâlihun li kulli zamân wa makân. Meskipun teks-teks wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam jumlahnya terbatas, namun Islam memiliki
cara atau instrumen tersendiri dalam menjawab berbagai persoalan umat
manusia di mana dan kapan pun itu. Instrumen ini
bernama ijtihad. Ijtihad diartikan sebagai sebuah upaya penggalian
hukum syariat dari dua sumber utama; Al-Quran dan Hadis. Ijtihad sangat
erat kaitannya dengan fatwa. Karena fatwa merupakan salah satu produk
dari aktivitas ijtihad yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid.
Seiring
berjalannya waktu, persoalan di dunia ini terus mengalami perkembangan,
sehingga banyak hal baru yang muncul dan belum memiliki status hukum
yang spesifik dalam syariat Islam. Persoalan-persoalan baru inilah yang
kerap mendorong khalayak umum untuk bertanya kepada seorang ulama demi
mendapatkan status hukumnya, yang kemudian disebut dengan fatwa. Namun
dalam perjalanannya fatwa tidak lepas dari berbagai kepentingan
tertentu. Lantas dimanakah posisi fatwa di tengah badai kepentingan
seperti saat ini?
Pengertian Fatwa
Sebelum
kita terlalu jauh membahas mengenai berbagai persoalan yang terjadi di
dunia fatwa, kita harus lebih dahulu mengetahui makna fatwa itu sendiri.
Dengan mengetahui maknanya, kita akan memiliki persepsi yang benar dan
utuh tentang fatwa, sehingga tidak salah kaprah dalam mengklasifikasikan
vonis status hukum dalam agama yang mirip namun berbeda makna dan
konsekuensinya.
Secara
bahasa, Ibnu Mandzur dalam Lisân al-Arab menjelaskan bahwa makna iftâ’
adalah memberikan penjelasan atas sebuah perkara dan menghilangkan
persoalan pelik di dalamnya. Sedangkan fatwa sendiri diartikan sebagai
jawaban seorang mufti.
Secara
istilah, Mayyarah mendefenisikan fatwa adalah pemberitahuan akan status
hukum syariat yang sifatnya tidak mengikat. (al-Itqân wa al-Ihkâm, 1/8)
Al-Bahuti
dalam Syarh Muntaha al-Iradât mendefinisikannya sebagai sebuah
penjelasan akan hukum syariat bagi orang yang bertanya. (3/483).
Al-Munawi dalam at-Ta’arîf lebih simpel dalam memberikan definisi fatwa, yaitu jawaban seorang mufti.
Dari
pengertian secara bahasa dan istilah di atas dapat kita ambil sebuah
kesimpulan bahwa tujuan fatwa adalah memberikan penjelasan status hukum
syariat terhadap sebuah perkara dan sifatnya tidak mengikat. Hal ini
berbeda dengan qadha’, yaitu keputusan hukum seorang hakim dalam sebuah
perkara, maka ini sifatnya mengikat kepada orang yang bersangkutan.
Dengan demikian, tugas seorang mufti hanya sebatas menyampaikan status
hukum perkara yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa),
dan mustafti masih memiliki peluang untuk menjalankan atau tidak
keputusan hukum yang telah diambil oleh mufti tersebut.
Bahaya Fatwa
Fatwa merupakan produk Islam yang sangat tinggi
nilainya, sehingga tidak semua orang boleh mengeluarkan pendapat atas
nama fatwa. Fatwa hanya boleh dikeluarkan oleh orang-orang yang telah
memenuhi kualifikasi ketat, baik dalam sisi kapabilitas maupuan
kredibilitas. Seorang mufti harus memiliki kapabilitas keilmuan agama
yang mumpuni, dengan penguasaan yang baik akan berbagai disiplin ilmu
dalam Islam. Dia juga harus merupakan sosok yang memiliki kredibilitas unggul sehingga terlepas dari prilaku-prilaku yang kurang terpuji.
Begitu
ketatnya kualifikasi untuk menjadi seorang mufti, sehingga banyak ulama
yang tidak berani untuk maju ke zona bahaya yang bernama ‘fatwa’ ini.
Mereka memilih untuk tidak bermain api di zona ini. Karena hakikat
berfatwa adalah penyampaian hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apalagi
jauh hari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
yang artinya: “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah
orang yang paling berani masuk neraka.”
Imam
Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwasanya fatwa itu sangat berbahaya,
besar urusannya, dan banyak keutamaannya. Karena seorang mufti adalah
pewaris para nabi shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihim, juga seorang yang
menunaikan fardhu kifayah. Akan tetapi dia sangat rentan untuk terjatuh
pada kesalahan. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa seorang
mufti penyambung keputusan Allah Ta’ala.” (Adabul Fafwa, hlm. 13).
Ibnu
al-Qayyim berkata: “Hendaklah seorang mufti mengetahui siapa yang dia
wakili dalam fatwanya. Hendaklah dia berkeyakinan bahwa dirinya kelak
akan ditanya di hadapan Allah Ta’ala (akan fatwanya).” (I’lâm
Muwaqqi’în, 1/10-11).
Para
ulama salaf senantiasa berhati-hati dalam memberikan sebuah fatwa,
bahkan mereka sering memberikan saran kepada orang yang meminta fatwa
agar bertanya kepada orang selain dirinya. Abdurrahman bin Abi Laila
pernah berkata: “Aku pernah mendapati 120 sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari kalangan Anshar. Saat salah seorang mereka
bertanya mengenai suatu permasalahan, maka sahabat yang ini melempar
pertanyaan kepada sahabat yang lain, dan diapun melemparnya kepada
sahabat yang lain lagi, hingga akhirnya pertanyaan tersebut kembali
kepada orang pertama.” (Târikh Bagdâd, 13/412).
Imam
Malik bin Anas pernah berkata: “Barangsiapa menjawab sebuah pertanyaan,
maka sebelum menjawabnya, hendaklah dia mengingat surga dan neraka
serta bagaimana kelak nasibnya di akhirat. Setelah itu barulah dia
menjawab pertanyaan tersebut.” (Adabul Mufti wal Mustafti, hlm. 79-80).
Fatwa dan Kepentingan
Dari
paparan di atas, tampak begitu berat konsekuensi sebuah fatwa. Oleh
karenanya para ulama tidak serta merta menjawab seluruh pertanyaan
keagamaan yang dilontarkan kepada mereka. Mereka sadar betul bahwa
jawabannya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Namun demikian, seorang ulama juga tidak boleh bersembunyi
dari realitas yang ada. Menyembunyikan ilmu yang telah dianugerahkan
oleh Allah Ta’ala karena takut salah dalam memberikan keputusan hukum
juga merupakan tindakan kurang terpuji. Menyembunyikan ilmu ini pun juga
memiliki ancaman tersendiri. Jadi, idealnya adalah bersikap apa adanya
sesuai kapasitas yang dimiliki dengan terus berharap mendapatkan taufik
dari Allah Ta’ala. Seorang ulama yang diberi pertanyaan tentang status
hukum sebuah perkara, lantas dia menjawabnya sesuai prosedur dan standar
keilmuan Islam yang berlaku, maka jika dia salah akan mendapatkan satu
pahala dan jika benar akan mendapatkan dua pahala. Karena dengan
demikian berarti dia telah berijtihad. Dan dalam konsep pahala ijtihad,
jika benar mendapatkan dua dan jika salah mendapatkan satu.
Seiring
dengan meningkatnya rasa keingintahuan masyarakat terhadap Islam, fatwa
mulai bergeser dari peranannya semula. Jika semula fatwa hanya
bertujuan untuk memberikan penjelasan dengan sebenar-benarnya mengenai
status hukum syariat atas sebuah perkara yang bersifat tidak mengikat,
kini fatwa seakan dijadikan instrumen untuk kepentingan-kepentingan
tertentu. Di tangan seorang ekonom, fatwa akan dijadikan justifikasi
keabsahan atau kehalalan akan produk-produk bisnis atau
transaksi-transaksi keuangan yang dia tawarkan. Di tangan seorang
politisi, fatwa akan digunakan sebagai jargon politik atau alat untuk
meraup dukungan massa sebanyak-banyaknya. Demikian pula, fatwa akan
ditarik-tarik dan dikait-kaitkan oleh pihak selain mereka, demi
memberikan segel ‘halal’ pada aktivitas atau produk yang mereka
ciptakan.
Di
titik ini, fatwa sudah tidak lagi menjadi sekedar penjelasan status
hukum, namun justru berubah menjadi obyek studi yang perlu dijelaskan
hukumnya sendiri. Artinya, kita akhirnya perlu bertanya lagi kepada para
ulama tentang hukum berfatwa demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Fatwa berbalut kepentingan inilah yang kerap menimbulkan perang fatwa
antar ulama dan membuat kondisi sosial masyarat menjadi tidak kondusif.
Alih-alih masyarakat mendapatkan pencerahan dan kemaslahatan dari sebuah
fatwa yang telah dikeluarkan oleh seorang ulama, mereka justru akan
saling lempar cacian bahkan baku hantam demi membela ulama idolanya.
Tentunya ini akan melahirkan persoalan baru dan sangat bertentangan
dengan konsep dan spirit yang terkandung dalam fatwa itu sendiri.
Perang
fatwa mungkin jarang kita temukan di tengah masyarakat muslim
Indonesia. Karena perlu kita akui bahwa di negara kita belum ada yang
berani untuk berfatwa, kalau tidak ingin dikatakan memang belum ada
sosok yang layak untuk mengeluarkan fatwa. Penulis teringat sebuah
statemen dari guru penulis Dr. Amr Wardani, salah seorang ulama staf
fatwa di Dar el-Fatwa (Lembaga Pusat Fatwa) Republik Arab Mesir. Pasca
kunjungan beliau ke Indonesia, beliau mengatakan bahwa di Indonesia
belum ada seorang mufti, yang ada hanyalah para fuqaha (ahli fikih). Hal
itu beliau dasarkan pada fakta bahwa para ulama Indonesia sering
terjebak pada ijtihad-ijtihad ulama klasik dalam memberikan hukum pada
persoalan-persoalan baru. Padahal bisa jadi empat aspek dalam proses
fatwa sudah berbeda; asykhâs (personal), ahwâl (kondisi), makân
(tempat), dan zamân (waktu).
Namun
beda halnya jika kita melihat kasus yang terjadi di dunia Arab. Meski
sebagian besar ulama telah menggulirkan ide agar dibuat lembaga khusus
yang menjadi kiblat fatwa, karena sulitnya ditemukan sosok mufti yang
memenuhi kualifikasi, tapi tetap saja fatwa individu banyak kita
temukan. Fakta terbaru, betapa perang fatwa di Mesir betul-betul
tersajikan dengan sangat panas, antara para mufti dari kalangan Ikhwanul
Muslimin, Salafi, dan Al-Azhar. Konflik ‘kepentingan’ yang terjadi di
Mesir ini pun mempengaruhi bahkan menciptakan konflik serupa di
belantika dunia Islam lainnya yang selama ini berkiblat kepada Mesir
dalam keilmuannya. Hal serupa juga terjadi lebih dahulu di Suriah. Dan
untuk saat ini di dunia Arab sendiri sedang mengalami kerancuan
pemahaman terkait fatwa ini. Masyarakat awam –dan sebagian civitas
akademika– sering salah dalam memahami statemen para ulama yang
mengandung keputusan hukum syariat. Mereka hampir tidak bisa membedakan
antara fatwa dengan ra’yun fiqhi (pandangan fikih). Semua statemen ulama
mereka anggap sebagai sebuah fatwa, padahal kenyataannya tidak
demikian.
Penutup
Dengan
melihat uraian singkat di atas, merupakan sebuah keniscayaan untuk
mengembalikan lagi fatwa pada posisi semula. Posisinya yang permanen
sebelum ditarik ke kanan dan ke kiri demi mengukuhkan sebuah
kepentingan. Dengan demikian fatwa tidak lagi dijadikan alat justifikasi
sebuah kepentingan yang hanya cenderung menguntungkan pihak tertentu.
Jika pun ada kepentingan yang harus dibela oleh sebuah fatwa, maka
kepentingan itu bernama ‘kebenaran’. Kebenaran yang didasarkan pada
prinsip-prinsip baku dalam Islam. Akhirnya penulis ingin mengajak
seluruh pihak untuk lebih hati-hati dalam persoalan fatwa ini.
Kemaslahatan publik harus menjadi misi utama dalam urusan fatwa,
sehingga kondisi sosial masyarakat menjadi lebih kondusif. Dengan
demikian, pikiran dan tenaga umat dapat lebih disinergiskan dan
dioptimalkan sehingga menghasilkan karya-karya nyata yang produktif.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar