Minggu, 30 Maret 2014

KEBOHONGAN WAHABI, BAHWA AL-IMAM AL-SYAFI’I ANTI BID’AH HASANAH

Foto: ‎KEBOHONGAN WAHABI, BAHWA AL-IMAM AL-SYAFI’I ANTI BID’AH HASANAH

Gambar di atas adalah scan dari perkataan al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau membagi bid’ah menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah saayyi’ah. Scan tersebut diambil dari dua kitab ahli hadits terkemuka, yaitu Hilyah al-Auliya’ karya al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani, dan Siyar A’lam al-Nubala’, karya al-Hafizh al-Dzahabi.

Dalam posting gambar scan sebelumnya yang berjudul JAWABAN AHLUSSUNNAH TERHADAP BEBERAPA SYUBHAT KAUM WAHABI ANTI MAULID, ada pembaca yang menulis komen berupa syubhat tentang Maulid dan bid’ah hasanah. Penulis yang beraliran Wahabi tersebut, sama sekali tidak menjawab atau mematahkan dalil-dalil kami, akan tetapi hanya mengajukan dalil, di antaranya pernyataan bahwa al-Imam al-Syafi’i adalah seorang yang anti bid’ah hasanah, karena pernyataannya, “man istahsana faqad syarra’a.” Dari perkataan tersebut, si Wahabi, sebagaimana kaum Wahabi pada umumnya menyimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i menolak bid’ah hasanah. Berikut catatan kami terhadap komentar si Wahabi tersebut yang kami kemas dalam bentuk dialog.

WAHABI: “JIKA PERASAAN DIGUNAKAN DALAM MEMAHAMI AGAMA”

SUNNI: “Dalil yang dikemukakan oleh para ulama seperti kami kutip, bukan hasil perasaan, akan tetapi pandangan ulama yang memiliki keilmuan yang memadai, selevel al-Imam Abu Syamah, Ibnu Taimiyah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain. Jadi judul syubhat Anda salah alamat.”

WAHABI: “Menambah dzikiran/bacaan baru dalam ibadah yang dianjurkan jelas tidak boleh, berdasarkan hadits ini:  Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)” Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi Beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah" ‘alaa kulli haal (Alhamdulillah dalam segala kondisi). [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan]”

SUNNI: “Perkataan Anda tidak berdasar, dan berarti Anda tidak mengerti hadits Ibnu Umar tersebut. Anda kurang teliti dan kurang banyak menelaah dan mempelajari kitab-kitab hadits serta memahaminya sesuai dengan pemahaman para ulama ahli hadits. Syubhat yang Anda sampaikan untuk menolak bid’ah hasanah, dengan hadits di atas, sangat lemah karena beberapa hal.

Pertama,  pernyataan Ibnu ‘Umar: “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. . Akan tetapi Beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah" ‘alaa kulli haal”. Pernyataan Ibnu Umar ini tidak bermaksud bahwa menambah bacaan dari bacaan yang diajarkan oleh Nabi SAW hukumnya bid’ah dan haram. Akan tetapi Ibnu Umar ingin menjelaskan, antara bacaan yang asli dari Nabi SAW dengan bacaan yang ada tambahan dari pembaca tersebut. Hal ini terbukti, bahwa Ibnu Umar sendiri melakukan tambahaan dalam bacaan Talbiyah, ketika menunaikan ibadah haji. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut:

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ ». قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يَزِيدُ فِيهَا لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

“Dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar RA, bahwa talbiyah Rasulullah SAW adalah: “Labbaikallaahumma labbaik labbaika laa syariika lak labbaik innal hamda wanni’mati laka walmulka laa syariika lak”. Nafi’ berkata; “Abdullah bin Umar selalu menambah bacaan talbiyah tersebut dengan berkata, “Labbaika wa sa’daika wal khoiru biyadaika labbaika warraghbaa’u ilaika wal’amalu.” HR. Muslim 2868.

Dalam riwayat Muslim di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Umar melakukan tambahan terhadap talbiyah Rasulullah SAW. Seandainya maksud perkataan Ibnu Umar dalam riwayat al-Tirmidzi di atas, ketika menanggapi bacaan seseorang yang bersin, adalah larangan melakukan tambahan terhadap dzikir yang datang dari Nabi SAW, tentu Ibnu Umar, tidak akan melakukan tambahan dalam bacaan Talbiyah-nya, atas bacaan Talbiyah Rasulullah SAW. Perlu diingat, riwayat tambahan bacaan Talbiyah, adalah riwayat Muslim, lebih kuat daripada riwayat kasus bersin di atas, riwayat al-Tirmidzi.

Kedua, menambahkan bacaan ke dalam bacaan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tidaklah dilarang, selama tidak bertentangan dengan bacaan yang diajarkan tersebut. Imam al-Bukhari meriwayatkan:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ al-Zuraqi, berkata: “Suatu hari kami menunaikan shalat di belakang Nabi SAW. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata, “sami’allaahu liman hamidah”, lalu seorang laku-laki di belakang beliau berkata: “Robbanaa wa lakal hamdu handan katsiiran thayyiban mubaarokan fiih.” Ketika selesai shalat, Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki tersebut menjawab: “Saya.” Nabi SAW bersabda: “Aku telah melihat tiga puluh lebih para Malaikat yang terburu-buru mencatat pahala bacaan tersebut, siapa di antara mereka yang mencatat terlebih dahulu.” HR al-Bukhari 799.

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه

“Hadits tersebut menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW, apabila tidak menyalahi dzikir yang diajarkan, dan bolehnya mengeraskan suara dengan dzikir dalam shalat, selama tidak mengganggu orang yang bersamanya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari).

Keterangan di atas sangat jelas, bolehnya membaca dzikir baru dalam shalat. Sebelumnya, juga jelas, bahwa Ibnu Umar, menambahkan dzikir baru dalam Talbiyah-nya ketika ibadah haji. Apabila dalam shalat dan haji, boleh menambah dzikir baru, padahal dalam keduanya penuh dengan syarat dan rukun ibadah, apalagi dalam bersin. Bukankah begitu ya ikhwan???

Ketiga,  membaca sholawat ketika bersin, sebagai tambahan dari bacaan Alhamdulillah, kalau hal itu dianggapnya yang sunnah dari Nabi SAW, maka hal itu yang kurang baik. Nah mungkin itu yang dimaksud dari ucapan oleh Ibnu Umar.  Tetapi kalau hal itu, dianggap sebagai tambahan pribadi, dengan arti kalau tidak membaca sholawat dan salam kepada Nabi SAW, hatinya kurang merasa sreg, maka hal tersebut tidaklah dilarang. Kasus yang sama mengenai masalah ini adalah kasus seorang sahabat, yang selalu menambahkan membaca surat al-Ikhlash di dalam shalat, setiap selesai membaca surat, dan ketika dilaporkan kepada Nabi SAW, ternyata Nabi SAW tidak melarangnya, bahkan menjanjikannya, hal tersebut akan mengantarnya masuk surga. Kasus ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dan dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Keempat, tidak sedikit ulama ahli hadits yang menganjurkan membaca shalawat ketika bersin, mereka antara lain al-Imam al-Baihaqi, al-Hafizh Abu Musa al-Madini, Ibnu Qayyimil Jauziyyah dalam Jala’ul Afham  hal. 235, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ hal. 324, dan lain-lain. Hal tersebut didasarkan pada hadits:

وأما الصلاة عليه عند العطاس فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال من عطس فقال الحمد لله على كل حال ما كان من حال وصلى الله على محمد وعلى أهل بيته أخرج الله من منخره الأيسر طائراً يقول اللهم اغفر لقائلها أخرجه الديلمي في مسند الفردوس له بسند ضعيف 

“Adapun membaca shalawat ketika bersin, maka telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang bersin, lalu berkata segala puji bagi Allah karena semua keadaan dan keadaan yang telah berlalu, dan semoga Allah bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya, maka Allah akan mengeluarkan dari lubang hidungnya yang kiri, seekor burung yang berkata: “Ya Allah, ampunilah orang yang membacanya.” HR al-Dailami, dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah.”

وعند ابن بشكوال من حديث ابن عباس مرفوعاً مثله إلى قوله الأيسر وقال بعده طيراً أكبر من الذباب وأصغر من الجراد يرفرف تحت العرش يقول اللهم اغفر لقائلها ، وسنده كما قال المجد اللغوي لا بأس به سوى أن فيه يزيد بن أبي زياد وقد ضعفه كثيرون لكن أخرج له مسلم متابعة والله أعلم.

“Ibnu Basykuwal meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Ibnu Abbas secara marfu’, dengan redaksi yang sama sampai ke “lubang hidung yang kiri”. Dan sesudahnya berkata: “seekor burung yang lebih besar dari lalat, lebih kecil dari belalang yang mengepakkan sayapnya di bawah Arasy, sambil berkata: “Ya Allah, ampunilah orang yang mengucapkannya.” Sanad hadits ini, sebagaimana dikatakan al-Majd al-Lughawi, adalah tidak apa-apa (hasan), hanya saja di dalamnya terdapat Yazid bin Abi Ziyah. Ia telah didha’ifkan oleh banyak ulama, akan tetapi Muslim meriwayatkan haditsnya sebagai penguat.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’, hal. 324)

WAHHABI: “Shahabat Nabi, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu yang telah dijamin masuk Surga berkata : "Setiap bid'ah adalah sesat, MESKIPUN MANUSIA MEMANDANGNYA BAIK." [Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (no. 126), Ibnu Baththah dalam Ibanah (no. 205), Al-Baihaqi dalam Madkhal Ila Sunan (no. 191), dan Ibnu Nashr dalam As-Sunnah (no. 70). Riwayat ini shahih, lihat penjelasannya dalam Ahkam Janaiz (hlm. 258).”

SUNNI: “perkataan Ibnu Umar, “"Setiap bid'ah adalah sesat, MESKIPUN MANUSIA MEMANDANGNYA BAIK." Yang dimaksud manusia di sini adalah orang awam, bukan orang alim. Kalau orang alim, biasanya punya dalil. Jadi, perlu juga Anda pahami maksud perkataan Ibnu Umar tadi dengan baik, agar tidak kontradiksi dengan perbuatan Ibnu Umar sendiri, yang menambah bacaan Talbiyah-nya dalam riwayat Muslim. Anda harus ingat, riwayat Muslim lebih kuat dari pada riwayat al-Lalaka’i, Ibnu Baththah, dan Ibnu Nashr.”

WAHABI: “Bahkan.. Ulama besar, sang pembela sunnah, yakni Al Imam Syafi'i rahimahullah berkata :  "Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at (agama / aturan / tatacara ibadah) baru."
(al-Mankhul, hal. 374)”.

SUNNI: “Maaf, Anda tidak mengerti maksud perkataan Imam Syafi’i tersebut. Perkataan beliau maksudnya bukan menafikan bid’ah hasanah, sebagaimana dalam asumsi Anda kaum Wahabi. Itu maksudnya terori Istihsan, yang dijadikan dasar pengambilan hukum oleh madzhab Hanafi. Kalau Anda memang gentle, mengapa Anda tidak menerima bid’ah hasanah berdasarkan pernyataan Ibnu Mas’ud:

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal tersebut baik juga menurut Allah.”

Mengapa Anda tidak mengutip perkataan Ibnu Mas’ud? Bukankah beliau sahabat Nabi SAW?”

Dan terakhir, al-Imam al-Syafi’i telah menjelaskan konsepnya tentang bid’ah hasanah dalam pernyataan beliau yang diriwayatkan oleh para ulama ahli hadits, antara lain, al-Hafizh Abu Nu’aim, al-Hafizh al-Baihaqi, al-Hafizh al-Dzahabi dan lain-lain sebagaimana dalam posting gambar di atas. Terjemahan kalimat pertama:

“Bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah, adalah terpuji. Sedangkan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah tercela.”

Teks kalimat berikutnya telah kami terjemahkan dalam posting sebelumnya. Semoga bermanfaat.‎

Gambar di atas adalah scan dari perkataan al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau membagi bid’ah menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah saayyi’ah. Scan tersebut diambil dari dua kitab ahli hadits terkemuka, yaitu Hilyah al-Auliya’ karya al-Hafizh Abu Nu’aim al-Ashbihani, dan Siyar A’lam al-Nubala’, karya al-Hafizh al-Dzahabi.

Dalam posting gambar scan sebelumnya yang berjudul JAWABAN AHLUSSUNNAH TERHADAP BEBERAPA SYUBHAT KAUM WAHABI ANTI MAULID, ada pembaca yang menulis komen berupa syubhat tentang Maulid dan bid’ah hasanah. Penulis yang beraliran Wahabi tersebut, sama sekali tidak menjawab atau mematahkan dalil-dalil kami, akan tetapi hanya mengajukan dalil, di antaranya pernyataan bahwa al-Imam al-Syafi’i adalah seorang yang anti bid’ah hasanah, karena pernyataannya, “man istahsana faqad syarra’a.” Dari perkataan tersebut, si Wahabi, sebagaimana kaum Wahabi pada umumnya menyimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i menolak bid’ah hasanah. Berikut catatan kami terhadap komentar si Wahabi tersebut yang kami kemas dalam bentuk dialog.

WAHABI: “JIKA PERASAAN DIGUNAKAN DALAM MEMAHAMI AGAMA”

SUNNI: “Dalil yang dikemukakan oleh para ulama seperti kami kutip, bukan hasil perasaan, akan tetapi pandangan ulama yang memiliki keilmuan yang memadai, selevel al-Imam Abu Syamah, Ibnu Taimiyah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Suyuthi dan lain-lain. Jadi judul syubhat Anda salah alamat.”

WAHABI: “Menambah dzikiran/bacaan baru dalam ibadah yang dianjurkan jelas tidak boleh, berdasarkan hadits ini: Dari Nafi’ : Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)” Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi Beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah" ‘alaa kulli haal (Alhamdulillah dalam segala kondisi). [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan]”

SUNNI: “Perkataan Anda tidak berdasar, dan berarti Anda tidak mengerti hadits Ibnu Umar tersebut. Anda kurang teliti dan kurang banyak menelaah dan mempelajari kitab-kitab hadits serta memahaminya sesuai dengan pemahaman para ulama ahli hadits. Syubhat yang Anda sampaikan untuk menolak bid’ah hasanah, dengan hadits di atas, sangat lemah karena beberapa hal.

Pertama, pernyataan Ibnu ‘Umar: “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. . Akan tetapi Beliau mengajari kami untuk mengatakan : “Alhamdulillah" ‘alaa kulli haal”. Pernyataan Ibnu Umar ini tidak bermaksud bahwa menambah bacaan dari bacaan yang diajarkan oleh Nabi SAW hukumnya bid’ah dan haram. Akan tetapi Ibnu Umar ingin menjelaskan, antara bacaan yang asli dari Nabi SAW dengan bacaan yang ada tambahan dari pembaca tersebut. Hal ini terbukti, bahwa Ibnu Umar sendiri melakukan tambahaan dalam bacaan Talbiyah, ketika menunaikan ibadah haji. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut:

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ ». قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يَزِيدُ فِيهَا لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

“Dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar RA, bahwa talbiyah Rasulullah SAW adalah: “Labbaikallaahumma labbaik labbaika laa syariika lak labbaik innal hamda wanni’mati laka walmulka laa syariika lak”. Nafi’ berkata; “Abdullah bin Umar selalu menambah bacaan talbiyah tersebut dengan berkata, “Labbaika wa sa’daika wal khoiru biyadaika labbaika warraghbaa’u ilaika wal’amalu.” HR. Muslim 2868.

Dalam riwayat Muslim di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Umar melakukan tambahan terhadap talbiyah Rasulullah SAW. Seandainya maksud perkataan Ibnu Umar dalam riwayat al-Tirmidzi di atas, ketika menanggapi bacaan seseorang yang bersin, adalah larangan melakukan tambahan terhadap dzikir yang datang dari Nabi SAW, tentu Ibnu Umar, tidak akan melakukan tambahan dalam bacaan Talbiyah-nya, atas bacaan Talbiyah Rasulullah SAW. Perlu diingat, riwayat tambahan bacaan Talbiyah, adalah riwayat Muslim, lebih kuat daripada riwayat kasus bersin di atas, riwayat al-Tirmidzi.

Kedua, menambahkan bacaan ke dalam bacaan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tidaklah dilarang, selama tidak bertentangan dengan bacaan yang diajarkan tersebut. Imam al-Bukhari meriwayatkan:

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ قَالَ كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ قَالَ أَنَا قَالَ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ al-Zuraqi, berkata: “Suatu hari kami menunaikan shalat di belakang Nabi SAW. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata, “sami’allaahu liman hamidah”, lalu seorang laku-laki di belakang beliau berkata: “Robbanaa wa lakal hamdu handan katsiiran thayyiban mubaarokan fiih.” Ketika selesai shalat, Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki tersebut menjawab: “Saya.” Nabi SAW bersabda: “Aku telah melihat tiga puluh lebih para Malaikat yang terburu-buru mencatat pahala bacaan tersebut, siapa di antara mereka yang mencatat terlebih dahulu.” HR al-Bukhari 799.

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور وعلى جواز رفع الصوت بالذكر ما لم يشوش على من معه

“Hadits tersebut menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW, apabila tidak menyalahi dzikir yang diajarkan, dan bolehnya mengeraskan suara dengan dzikir dalam shalat, selama tidak mengganggu orang yang bersamanya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari).

Keterangan di atas sangat jelas, bolehnya membaca dzikir baru dalam shalat. Sebelumnya, juga jelas, bahwa Ibnu Umar, menambahkan dzikir baru dalam Talbiyah-nya ketika ibadah haji. Apabila dalam shalat dan haji, boleh menambah dzikir baru, padahal dalam keduanya penuh dengan syarat dan rukun ibadah, apalagi dalam bersin. Bukankah begitu ya ikhwan???

Ketiga, membaca sholawat ketika bersin, sebagai tambahan dari bacaan Alhamdulillah, kalau hal itu dianggapnya yang sunnah dari Nabi SAW, maka hal itu yang kurang baik. Nah mungkin itu yang dimaksud dari ucapan oleh Ibnu Umar. Tetapi kalau hal itu, dianggap sebagai tambahan pribadi, dengan arti kalau tidak membaca sholawat dan salam kepada Nabi SAW, hatinya kurang merasa sreg, maka hal tersebut tidaklah dilarang. Kasus yang sama mengenai masalah ini adalah kasus seorang sahabat, yang selalu menambahkan membaca surat al-Ikhlash di dalam shalat, setiap selesai membaca surat, dan ketika dilaporkan kepada Nabi SAW, ternyata Nabi SAW tidak melarangnya, bahkan menjanjikannya, hal tersebut akan mengantarnya masuk surga. Kasus ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dan dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Keempat, tidak sedikit ulama ahli hadits yang menganjurkan membaca shalawat ketika bersin, mereka antara lain al-Imam al-Baihaqi, al-Hafizh Abu Musa al-Madini, Ibnu Qayyimil Jauziyyah dalam Jala’ul Afham hal. 235, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ hal. 324, dan lain-lain. Hal tersebut didasarkan pada hadits:

وأما الصلاة عليه عند العطاس فعن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال من عطس فقال الحمد لله على كل حال ما كان من حال وصلى الله على محمد وعلى أهل بيته أخرج الله من منخره الأيسر طائراً يقول اللهم اغفر لقائلها أخرجه الديلمي في مسند الفردوس له بسند ضعيف

“Adapun membaca shalawat ketika bersin, maka telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang bersin, lalu berkata segala puji bagi Allah karena semua keadaan dan keadaan yang telah berlalu, dan semoga Allah bershalawat kepada Muhammad dan keluarganya, maka Allah akan mengeluarkan dari lubang hidungnya yang kiri, seekor burung yang berkata: “Ya Allah, ampunilah orang yang membacanya.” HR al-Dailami, dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah.”

وعند ابن بشكوال من حديث ابن عباس مرفوعاً مثله إلى قوله الأيسر وقال بعده طيراً أكبر من الذباب وأصغر من الجراد يرفرف تحت العرش يقول اللهم اغفر لقائلها ، وسنده كما قال المجد اللغوي لا بأس به سوى أن فيه يزيد بن أبي زياد وقد ضعفه كثيرون لكن أخرج له مسلم متابعة والله أعلم.

“Ibnu Basykuwal meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Ibnu Abbas secara marfu’, dengan redaksi yang sama sampai ke “lubang hidung yang kiri”. Dan sesudahnya berkata: “seekor burung yang lebih besar dari lalat, lebih kecil dari belalang yang mengepakkan sayapnya di bawah Arasy, sambil berkata: “Ya Allah, ampunilah orang yang mengucapkannya.” Sanad hadits ini, sebagaimana dikatakan al-Majd al-Lughawi, adalah tidak apa-apa (hasan), hanya saja di dalamnya terdapat Yazid bin Abi Ziyah. Ia telah didha’ifkan oleh banyak ulama, akan tetapi Muslim meriwayatkan haditsnya sebagai penguat.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Qaul al-Badi’, hal. 324)

WAHHABI: “Shahabat Nabi, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu yang telah dijamin masuk Surga berkata : "Setiap bid'ah adalah sesat, MESKIPUN MANUSIA MEMANDANGNYA BAIK." [Diriwayatkan oleh Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (no. 126), Ibnu Baththah dalam Ibanah (no. 205), Al-Baihaqi dalam Madkhal Ila Sunan (no. 191), dan Ibnu Nashr dalam As-Sunnah (no. 70). Riwayat ini shahih, lihat penjelasannya dalam Ahkam Janaiz (hlm. 258).”

SUNNI: “perkataan Ibnu Umar, “"Setiap bid'ah adalah sesat, MESKIPUN MANUSIA MEMANDANGNYA BAIK." Yang dimaksud manusia di sini adalah orang awam, bukan orang alim. Kalau orang alim, biasanya punya dalil. Jadi, perlu juga Anda pahami maksud perkataan Ibnu Umar tadi dengan baik, agar tidak kontradiksi dengan perbuatan Ibnu Umar sendiri, yang menambah bacaan Talbiyah-nya dalam riwayat Muslim. Anda harus ingat, riwayat Muslim lebih kuat dari pada riwayat al-Lalaka’i, Ibnu Baththah, dan Ibnu Nashr.”

WAHABI: “Bahkan.. Ulama besar, sang pembela sunnah, yakni Al Imam Syafi'i rahimahullah berkata : "Barangsiapa yang beristihsan (menganggap baik suatu perbuatan tanpa dalil yang sharih lagi shahih) maka ia telah membuat syari'at (agama / aturan / tatacara ibadah) baru."
(al-Mankhul, hal. 374)”.

SUNNI: “Maaf, Anda tidak mengerti maksud perkataan Imam Syafi’i tersebut. Perkataan beliau maksudnya bukan menafikan bid’ah hasanah, sebagaimana dalam asumsi Anda kaum Wahabi. Itu maksudnya terori Istihsan, yang dijadikan dasar pengambilan hukum oleh madzhab Hanafi. Kalau Anda memang gentle, mengapa Anda tidak menerima bid’ah hasanah berdasarkan pernyataan Ibnu Mas’ud:

ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن

“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal tersebut baik juga menurut Allah.”

Mengapa Anda tidak mengutip perkataan Ibnu Mas’ud? Bukankah beliau sahabat Nabi SAW?”

Dan terakhir, al-Imam al-Syafi’i telah menjelaskan konsepnya tentang bid’ah hasanah dalam pernyataan beliau yang diriwayatkan oleh para ulama ahli hadits, antara lain, al-Hafizh Abu Nu’aim, al-Hafizh al-Baihaqi, al-Hafizh al-Dzahabi dan lain-lain sebagaimana dalam posting gambar di atas. Terjemahan kalimat pertama:

“Bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah, adalah terpuji. Sedangkan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah tercela.”

Teks kalimat berikutnya telah kami terjemahkan dalam posting sebelumnya. Semoga bermanfaat.
— bersama Aang Santri Cirebon dan 8 lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar