Minggu, 16 Maret 2014

Hukum Azan Kedua pada Shalat Jum’at

Pertanyaan: Apa hukum azan kedua pada shalat Jum’at?
Jawaban: Allah mensyariatkan azan sebagai sarana untuk memberitahu orang-orang tentang masuknya waktu shalat dan untuk mengingatkan mereka agar melakukannya. Adapun iqamat disyariatkan agar mereka langsung bangkit untuk melaksanakan shalat. Untuk setiap kali shalat wajib, disyariatkan satu kali azan.
Azan pertama kali disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Hal itu seperti dipaparkan dalam hadits tentang mimpi Abdullah bin Zaid r.a. dan Umar bin Khattab r.a. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Sejak masa Nabi saw. sampai masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pada setiap satu shalat wajib hanya terdapat satu azan dan satu iqamat, begitu pula pada shalat Jum’at. Lalu pada masa Utsman r.a., dia menambahkan azan kedua karena adanya keperluan disebabkan jumlah masyarakat semakin banyak. Dari sini dipahami bahwa azan adalah perkara yang disyariatkan, dan tidak ada halangan untuk menambah azan lain jika diperlukan. Itu pulalah yang dipahami oleh Bilal r.a. ketika dia melakukan shalat sunnah wudhu padahal hal itu tidak pernah diperintahkan dengan dalil khusus.
Kisah penambahan azan kedua oleh Utsman r.a tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Diriwayatkan oleh as-Saib bin Yazid r.a., dia berkata, “Pada masa Nabi saw., Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., panggilan pertama (azan) untuk shalat Jum’at dilakukan ketika khatib telah duduk di mimbar. Ketika masa Utsman r.a., dan masyarakat telah menjadi ramai, dia menambah panggilan ketiga (azan pertama) yang dikumandang di Zawra`.” Azan pertama dalam riwayat ini dinamakan panggilan ketiga, karena perawi menamakan iqamat dengan istilah azan.
Apa yang dilakukan oleh Utsman bukanlah suatu perbuatan yang menyimpang, karena hal itu disetujui oleh para sahabat lainnya. Bahkan, hal itu tetap dilakukan pada masa setelahnya, yaitu sejak zaman Ali bin Abi Thalib r.a. sampai hari ini.
Imam Bukhari kembali meriwayatkan atsar di atas dari jalur lain. Dalam redaksi itu disebutkan, “Dari Zuhri, dia berkata, “Saya mendengar as-Saib bin Yazid r.a. berkata, “Pada masa Nabi saw., Abu Bakar dan Umar, azan pertama untuk shalat Jum’at dilakukan ketika imam (khatib) telah duduk di atas mimbar. Ketika masa Khalifah Utsman, dan umat Islam semakin banyak, dia menambah panggilan azan ketiga yang dikumandang di Zawra`. Lalu hal itu terus dilakukan.”
Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bârî berkata, “Secara eksplisit, ketika itu semua orang di seluruh wilayah negara Islam mengambil pendapat Utsman, karena dia adalah seorang khalifah yang ditaati.” Ibnu Hajar juga mengatakan, “Segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw. adalah perbuatan bid’ah, tapi ada yang bid’ah hasanah dan ada yang tidak demikian. Dari kisah yang diriwayatkan dalam atsar di atas, nampak jelas bahwa Utsman melakukan perbuatan yang baru itu (bid’ah) guna memberitahu masyarakat tentang masuknya waktu shalat. Hal ini diqiyaskan dengan azan untuk shalat-shalat lainnya, sehingga shalat Jum’at dimasukkan ke dalamnya. Lalu dia tetap mempertahankan kekhasan shalat Jum’at itu dengan azan yang dilakukan ketika khatib telah menaiki mimbar. Dalam kasus ini terdapat penyimpulan sebuah makna dari sebuah dalil tanpa membatalkan dalil tersebut.”
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa azan kedua adalah sunah yang dilakukan oleh Utsman r.a., dimana Nabi saw. pernah bersabda,
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
Barang siapa dari kalian yang masih hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim).
Utsman r.a. adalah salah satu dari para khalifah yang mendapat petunjuk itu (al-khulafâ` al-mahdiyyîn ar-râsyidîn). Dan dari zaman para sahabat sampai hari ini, telah tercapai ijmak amali (bersifat perbuatan) atas penerimaan azan yang kedua. Sehingga, barang siapa yang menyalahkan azan kedua itu, berarti dia telah menyalahkan ijmak dan syiar-syiar Islam yang diridhai oleh para ulama sepanjang sejarah. Orang yang menganggap azan kedua sebagai bid’ah maka dia telah menyimpang dari hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. bahwa umat ini tidak akan bersepakat dalam kesesatan.
Wallahu subhânahu wa ta’âlâ a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar