Assalamu'alaikum, dalam kaidah usul fiqh ada yang berbunyi : Alhukmu yaduru ma'al illati Wujudan wa 'adaman, "Hukum itu berputar pada ada tidaknya illat" benar kah itu ?.
JAWABAN :
Waalaikum salam warahmatullah. Sebetulnya pertanyaan ini terlalu luas cakupannya, butuh berlembar-lembar tulisan untuk menghasilkan jawaban yang memadai. Jawabannya tentu Qaidah itu benar, dan memang ada kaidah ushul fiqih seperti itu hasil racikan para ulama, hanya kita saja yang mungkin belum tahu maksud dan tujuanya dengan paripurna karena sedikitnya ilmu kita. Sehingga dalam penerapannya masih banyak pertanyaan selanjutnya "Apakah semua hukum mempunyai 'illat..?, Bagaimana menentukan 'illat... dst. Diharapkan agar mempelajari dan mendalaminya kembali pada kitab ushul fiqih yang komplit (tentu dengan pendampingan sang Guru juga), agar kaidah ini tidak disalah artikan, karena hasil diskusi di bawah baru merupakan tahap awal mengenal kaidah ini, agar si penanya sedikit terbuka wawasannya dan tidak penasaran.
Qo'idah yang ke 39 yaitu Hukum berputar bersama Ilatnya, ada dan tidaknya.
Contoh :
Haramnya khomer karena memabukanya, ketika hilang sifat memabukkanya maka halal seperti cuka.
Ketika masuk rumah orang lain atau memakai pakaian orang lain hukumnya haram karena tidak ada ridlo dari sang pemiliknya.
Haram meminum atau memakan racun karena dapat mencelakai namun jika tidak ada sifat mencelakai/tidak berbahaya maka boleh. [mabadil awwaliyyah halaman 46-47].
القاعدة التاسعة والثالثونالأمثلة:منها:حرام الخمر لاسكاره فمتى انتفى الإسكار حل كالخل.منها:دخول بيت الغير أولبس لباسه حرام لعدم رضاه فإذا علم رضاه يجوز.منها:حرام أكل السم لإهلاك فإذا عدم الإهلاك يجوز كالمسهل.
قال النبي صلى الله عليه وسلم: الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله فى كتابه وما سكت عنه فهو مما عفى عنه .رواه الترمذي وابن ماجه.
Pertama yang harus kita ketahui bahwa hukum itu ada yang Ta’abudiy dan Ta’aquliy. Untuk merangsang pemikiran kita, mari kitaulas sedikit tentang contoh hukum yangtergolong dalam Ta’abudiy dan Ta’aquliy.1. Hukum Ta’abudiy
Hukum Ta’abudiy adalah hukum yang tidak bisa diketahui bagaimana proses perumusannya dan Illat apa yang mendasari hingga suatu hukum itu bisa dikatakan halal ataupun haram, atau dalam kata lain hukum yang sudah tidak bias di Ijtihadi lagi karena dalam Ta’abudiy dipastikan kebenaran dan kerelevanannya sampai kapanpun. Namun ahir-ahir ini banyak sekali pemahaman-pemah aman yang menggugat hukum yang bersifat Ta’abudiy karena dianggapnya sudah tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Seperti Iddahnya seorang perempuan yang diThalaq suaminya ketika Mu’taddah tadi dalam kondisi normal (masih haidl) maka Iddahnya adalah tiga kali sucidari haidlnya seperti diterangkan dalam Surah Al Baqoroh ayat 228 :
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya :“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat”Sementara kalau perempuan tadi tidak normal (belum atau sudah tidak haidl lagi) maka masa Iddahnya cukup menanti selama tiga bulan sesuai dengan firman Alloh :وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perem puanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan” (Q.S At- Tholaq : 4). Sedang masa Iddah perempuan yang hamil adalah mulai dari suaminya meninggal dan ketika sudah melahirkan maka habislah masa Iddahnya. Seperti diterangkan dalam AlQur’an :وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampaimereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (Q.S At-Tholaq : 4).Ayat diatas sudah sangat tegas memberi batasan pada masa penantian seorang wanita (mu’taddah), dan tentunya sudah sangat pasti tentang ke-Ta’abudiy-an nya.Kemudian atas dasar apa hingga sebagian orang menganggap bahwa hukum yang diterangkan ayat di atas sudah tidak lagi relevan? Ternyata hanya berdasarkan pertimbangan, bahwa baroatur rahmi (pembersihan rahim) pada saat ini bisa diketahui dengan alat-alat yang canggih sehingga tidak harus menunggu sampai empat bulan sepuluh hari atau yang lainnya. Karena dengan alat modern ini dengansekejap sudah bisa diketahui bersihnyarahim. Perlu ditegaskan bahwa baroatur rohmi bukanlah sebuah Illat yang memberikan konsekwensi sebagai penetapan sebuahhukum, tapi baroatur rohmi hanyamerupakan sebuah hikmah yang bisa dipetikdari ketentuan masa Iddah. Kalau baroaturrohmi dianggap sebagai Illat maka mestinyaAl Qur’an tidak perlu mengklasifikasi mu’taddah dalam beberapa kategori dan mestinya iddah diwajibkan sampai empat tahun sebab ada juga yang mengandung sampai empat tahun.
2. Hukum Ta’aquliy
Hukum Ta’aquliy adalah hukum yang diambildari Al Qur’an dan Hadits yang bisa diketahui proses perumusannya dengan adanya Illat yang mendasari. Kalau hukum itu masih berpijak pada dalil Qiyas, maka setelah Illatnya ditemukan dan masih bisa dikontekstualisasikan dengan kasus yang ada sekarang kitalangsung bisa merumuskan hukum itu. Dantentunya kita harus berani melakukan Ijtihad dalam rangka memutuskan hukum ketika Illatnya dianggap sudah tidak lagi relevan.Artinya langsung merujuk pada Ushul Fiqhdan Qoidah Fiqhnya. Secara garis besar pintuIjtihad akan selalu terbuka dalam permasalahan hukum yang bersufat Ta’aquliy. Pertanyaannya sudah beranikah kita ber-Ijtihad sendiri ?
Artinya : “Menjaga pada suatu hal yang lama (kuno) yang baik, dan mengambil pada hal-hal baru yang lebih baik ”Sebagai pondasi pokok untuk relevansi hukum-hukum Fiqh yang ada, perlu diperhatikan masalah-masalah yang muncul. Karena dalam merumuskan hukum tidak pernah terlepas dari lima unsur dasar yaitu, menjaga agama (Hifdzu Ad Din), menjada harta (Hifdzu Al Mal), menjaga keturunan (Hifdzu An Nasli), menjaga jiwa (Hifdzu An Nafsi), dan menjaga akal (Hifdzu Al Aqly).
Illat hukum dibagi menjadi tiga macam:
1. Illat yang ditetapkan oleh syara’
2. Illat yang ditetapkan berdasarkan maslahah yang diperkirakan ada pada illat tersebut
3. Illat yang diperkirakan adanya pada ketetapan hukum tersebut.
Adapun illat yang ditetapkan oleh syara’ terdiri dari empat macam:
1. Al-Munasibul Mu’sir
2. Al-Munasibul Mulaim
3. Al-Munasibul Mulgha
4. Al-Munasibul Mursal
A. Pengertian ‘Illat
‘Illat dalam pengertian syar‘i adalah: "Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syâri‘ menggantungkan hukum dengannya
بالعلة في الشرعيات مناط الحكم أي ما أضاف الشرع الحكم إليه وناطه به
(Lihat Kitab Al-Mustafa fi ‘Ilmi Al-Usul Halaman 281-283 Syekh Muhammad Bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali)
Contoh tentang menyentuh kemaluan yang menyebabkan batalnya wuduk bahwa menyentuh kemaluan adalah merupakan ‘illat yang mempengaruhi atau suatu indikator atau tanda adanya kewajiban untuk mengulangi wuduk. Sebab, jika tidak karena menyentuh kemaluan, tentu tidak ada perintah yang menuntut untuk mengulangi berwuduk kembali. Dapat ditegaskan bahwa perbuatan atau tindakan menyentuh kemaluan inilah yang menjadi pertanda atau indikator batalnya wuduk sehingga wuduk harus diulangi kembali.
فإن قوله من مس ذكره فليتوضأ يفهم منه السبب وإن لم يناسب بل يلتحق بهذا الجنس كل حكم حدث عقيب وصف حادث سواء كان من الأقوال كحدوث الملك والحل عند البيع والنكاح والتصرفات أو من الأفعال كاشتغال الذمة عند القتل والاتلاف أو من الصفات كتحريم الشرب عند طريان الشدة على العصير وتحريم الوطء عند طريان الحيض فإنه ينقدح أن يقال لا يتجدد إلا بتجدد سبب ولم يتجدد إلا هذا فإذا هو السبب وإن لم يناسب فإن قيل فهذه الوجوه المذكورة تدل على السبب والعلة دلالة قاطعة أو دلالة ظنية قلنا أما ما رتب على غيره بفاء الترتيب وصيغة الجزاء والشرط فيدل على أن المرتب عليه معتبر في الحكم لا محالة
(Lihat Kitab Al-Mustafa fi ‘Ilmi Al-Usul Halaman 309 Syekh Muhammad Bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali)
B. Pembagian ‘Illat Hukum
Pembagian ‘illat dilihat dari segi eksistensi dan penerapannya pada uraian ini, maksudnya adalah untuk melihat bagaimana keberadaan ‘illat dan penerapannya dalam istinbath hukum.
بأن يقول هذا الحكم معلل ولا علة له إلا كذا أو كذا وقد بطل أحدهما فتعين الآخر وإذا استقام السبر كذلك فلا يحتاج إلى مناسبة بل له أن يقول حرم الربا في البر ولا بد من علامة تضبط مجرى الحكم عن موقعه ولا علامة إلا الطعم أو القوت أو الكيل وقد بطل القوت والكيل بدليل كذا وكذا فثبت الطعم لكن يحتج ههنا إلى إقامة الدليل على ثلاثة أمور أحدها أنه لا بد من علامة إذ قد يقال هو معلوم باسم البر فلا يحتاج إلى علامة وعلة فنقول ليس كذلك لأن إذا صار دقيقا وخبزا وسويقا نفى حكم الربا وزال اسم البر فدل أن مناط الربا أمر أعم من اسم البر الثاني أن يكون سبره حاصرا فيحصر جميع ما يمكن أن يكون علة أما بأن يوافقه الخصم على أن الممكنات ما ذكره وذلك ظاهر أو لا يسلم فإن كان يسلم فإن كان مجتهدا فعليه سبر بقدر إمكانه حتى يعجز عن إيراد غيره وإن كان مناظرا فيكفيه أن يقول هذا منتهى قدرتي في السبر فإن شاركتني في الجهل بغيره لزمك مالزمني وإن أطلعت على علة أخرى فيلزمك التنبيه عليها حتى أنظر في صحتها أو فسادها فإن قال لا يلزمني ولا أظهر العلة وإن كنت أعرفها فهذا عناد محرم وصاحبه إما كاذب وإما فاسق بكتمان حكم مست الحاجة إلى إظهار ومثل هذا الجدل حرام وليس من الدين ثم إفساد سائر العلل تارة يكون ببيان سقوط أثرها في الحكم بأن يظهر بقاء الحكم مع انتفائها أو بانتقاضها بأن يظهر انتفاء الحكم مع وجودها النوع الثاني من الاستنباط إثبات العلة بإبداء مناسبتها للحكم والاكتفاء بمجرد المناسبة في إثبات الحكم مختلف فيه وينشأ منه أن المراد بالمناسب ما هو على منهاج المصالح بحيث إذا أضيف الحكم إليه انتظم مثاله قولنا حرمت الخمر لأنها تزيل العقل الذي هو مناط التكليف وهو مناسب لا كقولنا حرمت لأنها تقذف بالزبد أو لأنها تحفظ في الدن فإن ذلك لا يناسب وقد ذكرنا حقيقة المناسب وأقسامه ومراتبه في آخر القطب الثاني من باب الاستحسان والاستصلاح فلا نعيده لكنا نقول المناسب ينقسم إلى مؤثر وملائم وغريب ومثال المؤثر التعليل للولاية بالصغر ومعنى كونه مؤثرا أنه ظهر تأثيره في الحكم بالإجماع أو النص وإذا ظهر تأثيره فلا يحتاج إلى المناسبة بل قوله من مس ذكره فليتوضأ لما دل على تأثير المس قسنا عليه مس ذكر غيره
(Lihat Kitab Al-Mustafa fi ‘Ilmi Al-Usul Halaman 311 Syekh Muhammad Bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali)
C. Syarat-Syarat ‘Illat Hukum
Yang dimaksud dengan syarat-syarat disini ialah ketentuan-ketentuan yang mengikat keabsahan suatu ‘illat hukum. Dengan kata lain, suatu ‘illat dapat diterima atau dijadikan sebagai dasar atau pijakan dalam penetapan hukum bila telah memenuhi sejumlah persyaratan dan kriteria yang sudah ditentukan. Syarat-syarat ‘illat yang ditetapkan ini, sesungguhnya, akan terkait dengan kepentingan pelaksanaan qiyas. Demikian pula, penetapan persyaratan ‘illat ini akan berhubungan pula dengan keabsahan dan eksistensinya sebagai dasar dalam penetapan hukum syara‘. Bila suatu ‘illat tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam penetapan hukum qiyas.
‘Illat-lah yang memastikan adanya hukum, tetapi jika ‘illat terbatas, tidak ada atau terjadi perubahan padanya, meskipun hukum ada, maka ketetapan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipahami alasannya. Adapun ketika terdapat sejumlah ‘illat (ada ‘illat), maka tidak mesti ketiadaan hukum disebabkan ketiadaan ‘illat baik sebagian maupun seluruhnya.
Adanya hukum karena adanya ‘illat dan sebaliknya ketiadaan ‘illat maka hukum menjadi tidak ada. Hal ini adalah suatu hal yang dapat dipahami secara logika. Akan tetapi ketika dihadapkan dengan kenyataan suatu ketetapan hukum yang pasti tetapi ‘illat dan sebabnya tidak dapat dipahami alasannya. Begitu pula bahwa tidak ada hukum karena tidak ada ‘illat, baik sebagian maupun seluruhnya.
( اشتراط العكس في العلة ) اختلفوا في اشتراط العكس في العلل الشرعية وهذا الخلاف لا معنى له بل لا بد من تفصيل وقبل التفصيل فاعلم أن العلامات الشرعية دلالات فإذا جاز اجتماعدلالات لم يكن من ضرورة انتفاء بعضها انتفاء الحكم لكنا نقول إن لم يكن للحكم إلا علة واحدة فالعكس لازم لا لأن انتفاء العلة يوجب انتفاء الحكم بل لأن الحكم لا بد له من علة فإذا اتحدت العلة وانتفت فلو بقي الحكم لكان ثابتا بغير سبب أما حيث تعددت العلة فلا يلزم انتفاء الحكم عند انتفاء بعض العلل بل عند انتفاء جميعها والذي يدل على لزوم العكس عند اتحاد العلة أنا إذا قلنا لا تثبت الشفعة للجار لأن ثبوتها للشريك معلل بعلة الضرر اللاحق من التزاحم على المرافق المتخذة من المطبخ والخلاء والمطرح للتراب ومصعد السطح وغيره فلأبي حنيفة أن يقول هذا لا مدخل له في التأثير فإن الشفعة ثابتة في العرصة البيضاء وما لا مرافق له فهذا الآن عكس وهو لازم لأنه يقول لو كان هذا مناطا للحكم لانتفى الحكم عند انتفائه فنقول السبب فيه ضرر مزاحمة الشركة فنقول لو كان كذلك لثبت في شركة العبيد والحيوانات والمنقولات فإن قلنا ضرر الشركة فيما يبقى ويتأبد فيقول فلتجز في الحمام الصغير وما لا ينقسم فلا يزال يؤاخذنا بالطرد والعكس وهي مؤاخذة صحيحة إلى أن نعلل بضرر مؤونة القسمة ونأتي بتمام قيود العلة بحيث يوجد الحكم بوجودها ويعدم بعدمها وهذا المكان أنا أثبتنا هذه العلة بالمناسبة وشهادة الحكم لها لوروده على وفقها وشرط مثل هذه العلة الاتحاد وشرط الاتحاد العكس فإن قيل ولفظ العكس هل يراد به معنى سوى انتفاء الحكم عند انتفاء العلة قلنا هذا هو المعنى الأشهر وربما أطلق على غيره بطريق التوهم كما يقول الحنفي لما لم يجب القتل بصغير المثقل لم يجب بكبيره بدليل عكسه وهو أنه لما وجب بكبير الجارح وجب بصغيره وقالوا لما سقط بزوال العقل جميع العبادات ينبغي أن يجب برجوع العقل جميع العبادات وهذا فاسد لأنه لا مانع من أن يرد الشرع بوجوب القصاص بكل جارح وإن صغر ثم يخصص في المثقل بالكبير ولا بعد في أن يكون العقل شرطا في العبادات ثم لا يكفي مجرده للوجوب بل يستدعي شرطا آخر
(Lihat Kitab Al-Mustafa fi ‘Ilmi Al-Usul Halaman 337-338 Syekh Muhammad Bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar