Praktik Bid'ah Hasanah yang Dilakukan Sahabat pada Zaman Nabi SAW
Ada beberapa kebiasan yang dilakukan para sahabat berdasarkan ijtihad
mereka sendiri, dan kebiasaan itu mendapat sambutan baik dari Rasulullah
SAW. Bahkan pelakunya diberi kabar gembira akan masuk surga,
mendapatkan rida Allah, diangkat derajatnya oleh Allah, atau dibukakan
pintu-pintu langit untuknya.
1. Misalnya, sebagaimana
digambarkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, perbuatan sahabat Bilal
yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci. Perbuatan ini
disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai
orang-orang yang lebih dahulu masuk surga.
2. Contoh lain
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang sahabat Khubaib
yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum
kafir Quraisy. Kemudian tradisi ini disetujui oleh Rasulullah SAW
setahun setelah meninggalnya.
3. Selain itu, sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Rifa'ah ibn Rafi' bahwa seorang
sahabat berkata: "Rabbana lakal hamdu" (Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala
puja-puji), setelah bangkit dari ruku' dan berkata "Sami'allahu liman
hamidah" (Semoga Allah mendengar siapapun yang memujiNya). Maka sahabat
tersebut diberi kabar gembira oleh Rasulullah SAW.
4. Demikian
juga, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abdur Razaq dan
Imam An-Nasa'i dari Ibn Umar bahwa seorang sahabat memasuki masjid di
saat ada shalat jamaah. Ketika dia bergabung ke dalam shaf orang yang
shalat, sahabat itu berkata: "Allahu Akbar kabira wal hamdulillah
katsira wa subhanallahi bukratan wa ashilan" (Allah Mahabesar
sebesar-besarnya, dan segala puji hanya bagi Allah sebanyak-banyaknya,
dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang). Maka Rasulullah SAW
memberikan kabar gembira kepada sahabat tersebut bahwa pintupintu
langit telah dibukakan untuknya.
5. Hadis lain yang
diriwayatkan oleh At- Tirmidzi bahwa Rifa'ah ibn Rafi' bersin saat
shalat, kemudian berkata: "Alhamdulillahi katsiran thayyiban mubarakan
'alayhi kama yuhibbu rabbuna wa yardha" (Segala puji bagi Allah,
sebagaimana yang disenangi dan diridai-Nya). Mendengar hal itu,
Rasulullah SAW bersabda: "Ada lebih dari tiga puluh malaikat
berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang beruntung ditugaskan untuk
mengangkat perkataannya itu ke langit."
6. Demikian juga hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasa'i dari beberapa
sahabat yang duduk berzikir kepada Allah. Mereka mengungkapkan
puji-pujian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah karena diberi
hidayah masuk Islam, sebagaimana mereka dianugerahi nikmat yang sangat
besar berupa kebersamaan dengan Rasulullah SAW. Melihat tindakan mereka,
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahuku bahwa
Allah sekarang sedang berbangga-bangga dengan mereka di hadapan para
malaikat."
Dari tindakan Rasulullah SAW yang menerima perbuatan para sahabat tersebut, kita bisa menarik banyak pelajaran sebagai berikut:
1. Rasulullah SAW tidak akan menolak tindakan yang dibenarkan syariat
selama para pelakunya berbuat sesuai dengan pranata so sial yang berlaku
dan membawa manfaat umum. Dengan demikian, perbuatan tersebut bisa
dianggap sebagai bentuktaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt yang
bisa dilakukan kapan saja, baik di malam maupun siang. Perbuatan ini
tidak bisa disebut sebagai perbuatan yang makruh, apalagi bid'ah yang
sesat.
2. Orang Islam tidak dipersoalkan karena perbuatan
ibadah yang bersifat mutlak, yang tidak ditentukan waktunya dan
tempatnya oleh syariat. Terbukti bahwa Rasulu1lah SAW telah membolehkan
Bilal untuk melakukan shalat setiap selesai bersuci, sebagaimana
menerlma perbuatan Khubaib yang shalat dua rakaat sebelum menjalani
hukuman mati di tangan kaum kafir Quraisy.
3. Tindakan Nabi SAW
yang membolehkan bacaan doa-doa waktu shalat, dan redaksinya dibuat
sendiri oleh para shahabat, atau juga tindakan beliau yang membolehkan
dikhususkannya bacaan surat-surat tertentu yang tidak secara rutin
dibaca oleh beliau pada waktu shalat, tahajjud, juga doa-doa tambahan
lain. Itu menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut bukanlah bid'ah
menurut syariat. Juga tidak bisa disebut sebagai bid'ah jika ada yang
berdoa pada waktu-waktu yang mustajabah, seperti setelah shalat lima
waktu, setelah adzan, setelah merapatkan barisan (dalam perang), saat
turunnya hujan, dan waktu-waktu mustajabah lainnya. Begitu juga doa-doa
dan puji-pujian yang disusun oleh para ulama dan orang orang shalih
tidak. bisa disebut sebagai bid'ah. Begitu juga zikir-zikir yang
kemudian dibaca secara rutin selama isinya masih bisa dibenarkan oleh
syariat.
4. Dari persetujuan Nabi SAW terhadap tindakan
beberapa sahabat yang berkumpul di masjid untuk berzikir dan menyukuri
nikmat dan kebaikan Allah Swt serta untuk membaca Al-Qur'an, dapat
disimpulkan bahwa tindakan mereka mendapatkan legitimasi syariat, baik
yang dilakukan dengan suara pelan ataupun dengan suara keras tanpa ada
perubahan makna dan gangguan. Dan selama tindakan tersebut bersesuaian
dengan kebutuhan umum dan tidak ada larangan syariat yang ditegaskan
terhadapnya, maka perbuatan tersebut termasuk bentuk mendekatkan diri
kepada Allah, dan bukan termasuk bid'ah menurut syariat.
Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam
bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan
cakupan sabda Rasulullah SAW:
Siapa yang memberikan contoh
perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang
turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit
pun. (HR Muslim)
Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika
mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah.
Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat
tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".
Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan
Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:
"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki
contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata
dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya,
jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang
terpuji. Sebaliknya, jika bid?ah itu bertentangan dengan syariat, maka
ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka
hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum
bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".
Ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat
Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah
Thawaf.
Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat
Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi
pahala Tarawih ahli makkah
b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa
Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab
yang kisahnya sangat terkenal.
Dengan demikian, pendapat orang
yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara
perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi
sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).
Ada
juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika
bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan
Umar sebagaimana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan
haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat
tersebut.
c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk
hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut
dalam kitab Shahih-nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat
Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan
untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan
yang berada di pasar Madinah.
Jika demikian, apakah bisa
dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang
melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang
yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetujuinya
juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?
Di antara contoh bid'ah
terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam
selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an
dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa
dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat
semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan
atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus
mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal
mubah.
Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap
semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak
menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan
shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat
serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-orang yang
berbuat bid'ah dan sesat.
Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"
(IMo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar