Islam kaffah hingga kini masih multi tafsir dalam pandangan para mufassir Al-Quran. Ada sebagian yang memahami isla kaffah sebagai pelaksanaan syariat islam secara total termasuk melabelkan negara dengan islam. Mereka beranggapan kelompok yang tidak sehaluan, dituduh tidak islami dan menolak syariat islam. Salah dalil yang kerap dijadikan legistimasi basis teologinya adalah Al-Quran surat Al Baqarah ayat 208.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. ( Al Baqarah ayat 208)
Berikut kami paparkan secara ensiklopedis pendapat para ahli tafsir memahami ayat tersebut. Metode pembahasannya memakai kerangka sebagai berikut. Pertama kita mengkajinya dari aspek histories dari turunnya ayat tersebut (asbabu an nuzul). Kedua aspek linguistiknya (kabahasaan). Ketiga, bagaimana alhi tafsir dalam memahami ayat di atas.
Menurut As-Suyuti ayat di atas sengaja ditulis kepada tiga kelompok.
Pertama, kelompok ahli kitab yang setelah masuk islam masih menyakini kepada ajaran-ajaran agamanya, seperti memuliakan hari Sabtu dan enggan memakan daging onta dan lain sebagainya.
Kedua, pada orang munafik yang secara dahir menerima islam, tetapi tidak mengakui Muhammad sebagai Nabi.
Ketiga, ditujukan kepada orang-orang islam agar menjalankan syari’at islam secara total.
Dari sudut linguistik ada dua kata yang perlu dianalisa, yaitu kata silmi dan kaffah.
Mengenai makna silmi para alhi tafsir berbeda pendapat.
Pertama pendapat yang mengatakan silmi adalah islam, seperti pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah dan Qatadah. Kedua, ada yang menafsiri silmi berarti ta’at (kepatuhan) tidak terkait dengan makna islam, seperti pendapat Ibnu Abbas, Abi ‘Aliyah dan Rabi’.
Sedangkan kata kaffah menurut ahli tafsir artinya bermakna keseluruhan (al-jami’).
Bedasarkan uraian ini, para ahli tafsir dalam memaknai kalimat ‘udkhulu fi as-silmi kaffah berbeda pendapat.
Pendapat pertama memaknai kalimat tersebut dengan: “masuklah kalian semua ke dalam syariat islam secara total”. Dengan alasan kata silmi artinya adalah syariat islam.
Pendapat kedua memaknai dengan: “masuklah kalian semua ke dalam kepatuhan secara total”. Dengan alasan kata silmi adalah ketaatan atau kepatuhan (ta’at).
Pendapat ketiga memaknai dengan: “masuklah kalian semua ke dalam kedamaian dan keselamatan secara total dan tinggalkan peperangan”. Karena kelompok ini membaca silmi dengan salmi, seperti pendapat ibnu katsir dan yang lain. Oleh sebab itu makna dari kata silmi bukan syari’at, malainkan perdamaian atau kesematan.
Dari sini kita dapat melihat bahwa kata silmi memiliki arti yang beragam. Di samping penafsiran di atas Al-Ausi juga memberikan penafsiran yang berbeda terhadap kalimat: ‘udkhuluni fi as-silmi kaffah. Menurutnya maksud dari ayat itu adalah “masuklah kalian semua ke dalam makna ajaran islam secara keseluruhan”.
Kalau islam kaffah itu kemudian di maknai dengan keharusan untuk mendirikan Negara islam, maka sebenarnya nabi sendiri secara eksplisit tidak pernah memerintahkan atau mewariskan konsep Negara tertentu. Ayat di atas juga tidak menegaskan bahwa berislam secara kaffah tidak harus dengan mendirikan sebuah Negara yang berlabel islam. Tidak berarti kelompok yang menolak berdirinya Negara islam dianggap anti syariat islam, kalau umpamanya kita sepakat dengan pendapat orang yang memaknai udkhuni fi as-silmi kaffah dengan menyimbolkan ajaran agama islam dalam bentuk Negara, hal ini juga mensyaratkan harus tidak adanya perpecahan dan perselisihan. Sebab masih ada kalimat setelahnya yang berupa wa la tattabi’ khutuwati as-syaitan. Kalimat khutuwat as-syaitan oleh Al-Baidawai ditafsiri dengan perpecahan dan pertikaian. Jadi menurut Al-Baidawi ayat di atas artinya: ”masuklah kalian semua kedalam ajaraan islam secara total, dan jangan mengikuti langkah-langkah syaitan (yang memecah belah).
Oleh sebab itu usaha untuk menformalkan ajaran islam ke dalam bentuk Negara dalam konteks Indonesia jelas berlawanan dengan ayat di atas. Sebab tidak hanya bermasalah tetapi juga akan menimbulkan konflik sosial dan agama. Persatuan dan kesatuan yang lama diikat oleh pancasila dalam bentuk Negara kesatuan akan terancam. Yang terpenting untuk konteks Indonesia, meminjam istilah KH Hasyim Muzadi, bagimana syariat islam jalan, namun NKRI utuh.
Kalau al-Ghazali berpendapat bahwa agama harus dimasukkan ke dalam Negara, ini harus dipahami dalam konteks hubungan simbolis mutualis(saling menguntungkan). Sebab menurut al-Ghazali Negara hanyalah sekedar sebagai instrument (penjaga) yang memberi jaminan berlakunya agama islam. Kebebasan dalam menjalankan ajaran agama dalam konteks Indonesia sudah dijamin, sehingga tidak perlu membentuk system baru yang belum jelas maslahatnya
Wallahu 'Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar