Minggu, 02 Februari 2014

Tergantung niat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


“Sesungguhnya semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan rasulNya, maka hijrahnya menuju Allah dan rasulNya. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di tahun 7 H, Rasulullah bersama 1400 pasukan Islam berangkat ke Khaibar untuk memerangi Yahudi yang tengah mempersiapkan upaya menghancurkan Islam. Perang kemudian berlangsung cukup sengit. Namun dengan pertolongan Allah, satu per satu dari delapan benteng besar Khaibar dapat ditaklukkan. Setiap satu benteng takluk, di sana ada ghanimah.

Suatu ketika dalam rangkaian perang Khaibar ini, Rasulullah hendak membagikan ghanimah kepada seorang Muslim Badui. Tetapi ia menolak. “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.”

Mendengar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.”

Tak lama kemudian beberapa shahabat datang kepada Rasulullah membawa jenazah orang tersebut. Lehernya terluka persis seperti yang ia isyaratkan sebelumnya.

“Orang ini jujur kepada Allah,” sabda Rasulullah, “Oleh karenanya, Allah memenuhi niat mulianya.” Lalu Rasulullah pun mengafani dan memakamkannya.

Masih dalam rangkaian perang yang sama, perang Khaibar, seorang pelayan Rasulullah juga meninggal dunia. Laki-laki yang terkena panah ini menurut satu riwayat bernama Mid’am.

Melihat jenazahnya, sebagian sahabat berkata, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.”

Dua orang yang sama-sama berjihad. Yang satu masuk surga, yang satu lagi masuk neraka. Apa yang membedakannya? Orang pertama berjihad ikhlas lillahi ta’ala, maka ia masuk surga. Sementara orang kedua, niatnya terkotori dan ia mencuri, ia korupsi. Maka ia masuk neraka.

Betapa pentingnya masalah niat ini, hingga hadits pertama Shahih Bukhari adalah tentang niat. Hadits pertama Arba'in Nawawi juga tentang niat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


“Sesungguhnya semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan rasulNya, maka hijrahnya menuju Allah dan rasulNya. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hampir sama dengan jihad, hijrah juga amal besar yang membutuhkan pengorbanan besar. Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya meninggalkan tanah air, rumah dan harta benda, tetapi juga meninggalkan keluarga dan beresiko hilangnya nyawa. Tetapi amal sehebat itu menjadi sia-sia, tatkala niatnya melenceng. Bukan karena Allah, tetapi karena ingin mendapatkan dunia atau wanita.

Asbabul Wurud hadits ini, seperti dijelaskan Ibnu Abbas, adalah adanya seorang yang berhijrah, tetapi niatnya berbeda dari para shahabat. Jika para shahabat berniat lillahi ta'ala, orang ini berhijrah agar bisa menikahi Ummul Qais, wanita yang dicintainya. Maka, ia pun mendapatkan sebutan muhajir Ummu Qais.

Niat yang ikhlas dan kejujuran hati dalam menjaga keikhlasan inilah kunci pertama diterimanya amal. Sekaligus kunci bagi amal untuk bisa membawa pelakunya ke surga. Allah menyandingkan ketaqwaan dengan kejujuran ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا


"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar/jujur" (QS. Al Ahzab:70)

Sebagaimana kejujuran dan ketaqwaan disandingkan dalam ayat tersebut, kejujuran dengan keimanan juga identik. Rasulullah menegaskan bahwa seorang Mukmin pasti jujur dan sebaliknya, bukanlah orang mukmin jika ia pembohong.

Oleh salah seorang sahabatnya Rasulullah ditanya, "Apakah mungkin seorang muslim bersifat pengecut?" Beliau menjawad: "Mungkin"

"Apakah mungkin seorang muslim kikir?" Beliau menjawad: "Mungkin"

"Apakah mungkin seorang muslim berdusta?" Beliau menjawab: "Tidak" (HR. Malik)

Kejujuran niat sebagaimana Muslim Badui dalam perang Khaibar, niat itulah yang diijabahi Allah.

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ


“Barangsiapa memohon kepada Allah derajat syahid dengan jujur niscaya Allah akan menyampaikannya ke derajat para syuhada’, meskipun ia meninggal diatas ranjangnya.” (HR. Muslim).

Sebaliknya, meskipun ia mati di medan jihad. Secara fisik ia tampak berjihad. Tetapi jika niatnya busuk dan niat busuk itu melahirkan amal-amal busuk. Kebohongan, terutama dalam hal uang dan harta. Maka jihadnya tiada berguna. Pahala jihadnya terhapus, dan ia justru mendapat siksa api neraka.

Semestinya, kisah dalam perang Khaibar yang ada dalam hadits shahih ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa jika orang yang ikut berjihad saja bisa masuk neraka karena ia berbohong dalam harta, yang hanya berupa mantel. Lalu bagaimana dengan kita yang amalnya tidak sehebat jihad, tetapi masih juga mencuri atau korupsi. Apalagi jika korupsinya bukan hanya seharga mantel. Tetapi mencapai milyaran, bahkan trilyunan. Bukankah neraka akan sangat geram menanti kita dilempar ke dalamnya? Maka tidak ada cara lain kecuali kita mengikhlaskan niat dan menjaga kejujuran; dalam setiap medan, dalam setiap amal.

Wallahu 'Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar