Rabu, 19 Februari 2014

Ketika Nabi Lapar

Shalat kali ini lebih lama dari pada biasanya. Usai shalat, Umar yang begitu khawatir dengan kondisi Rasulullah mendatangi beliau. Berhati-hati dia duduk di sebelah Nabi SAW dan serta-merta disambutnya kedatangan Umar dengan senyum. “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah engkau menanggung penderitaan yang amat berat. Sakitkah Engkau, ya Rasul?”

Nabi SAW tersenyum sembari menggeleng, “Tidak, wahai Umar. Alhamdulillah, aku sehat.” Umar menahan kata-katanya, supaya tidak terburu-buru jadinya. “Mengapa setiap kali Engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi di tubuhmu bergesekan?” Ekspresi Umar memperlihatkan rasa prihatin, penuh sayang, dan rasa khawatir. “Kami yakin Engkau sedang sakit.”

Nabi SAW tersenyum lagi. Wajah Nabi memang terlihat sedikit pucat hari ini. Toh, senyum tetap menjadi pelipur lara terbaik bagi sesuatu yang tidak beliau katakan, meski bagi Umar, sesuatu yang tidak dikatakan beliau, ia tahu.

Karena merasa jawaban “tidak” atau “baik-baik saja” sudah tak mencukupi lagi, Nabi SAW lantas berdiri, mengangkat jubah, hingga bagian perut beliau terlihat nyata. Ternyata Nabi mengganjal perut dengan kerikil-kerikil untuk menahan lapar. Kerikil-kerikil yang menimbulkan suara berisik ketika mengimami shalat. Kerikil-kerikil yang memancing keingin tahuan Umar dan menyangka dirimu sedang dalam kondisi sakit yang serius.

“Ya, Rasul,” suara Umar bergetar oleh rasa iba dan penyesalan, “Apakah jika Engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya makanan, kami tidak menyediakan untuk Engkau?”

Nabi SAW menutup lagi perutnya dengan helai jubahmu yang menjuntai. Kemudian menatap Umar dengan pancaran cinta yang utuh, “Tidak, Umar. Aku tahu, apa pun akan kalian korbankan demi aku. Akan tetapi, apa yang harus aku katakan di hadapan Allah nanti jika sebagai pemimpin aku menjadi beban bagi umatku?”

Nabi SAW mengedarkan pandangan ke sahabat-sahabatnya yang lain, “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat.”

Siapapun yang mendengar kalimatmu seketika terdiam. Ada yang terdengar merambat ke bola mata mereka. Beberapa terisak oleh haru. Umar maklum bahwa dia tak akan sanggup melangkah lebih jauh, memaksa Nabi untuk mengikuti kehendaknya. Dia pun hanya terdiam membiarkan detik-detik berjalan satu per satu.


Pengemis Tua Yahudi yang Buta

Renta, buta, pengemis, dan dia seorang Yahudi. Lelaki tua itu menundukkan badan ringkihnya seperti kain usang yang teronggok. Kepalanya bergerak-gerak, telinga menjadi matanya.

Seperti biasanya di hari-hari kemarin, jarang ada yang menghampirinya dan melemparkan sejumlah receh untuknya menyambung hidup. Dia menunggu seseorang yang setiap pagi menjadi yang pertama mendatanginya. Pengemis tua itu yakin, pagi ini pun tidak akan ada yang berubah.

Dia datang... Dia datang... Pengemis itu mengenali seseorang yang ajeg mendatanginya setiap pagi. Dia bersiap untuk mengulangi mantra yang dia rapal setiap hari, setiap kali ada orang yang menghampirinya dan memberi keping receh untuk menyambung nafasnya.

“Janganlah engkau mendekati Muhammad karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir! Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya.”

Rapalan mantranya dimulai. Ini pengulangan setiap hari, setiap ada orang yang menghampirinya. Rutinitas yang tak pernah terganti. Seseorang itu akan menyuapkan makanan lunak kepada pengemis renta dengan mulutnya sendiri. Perlahan dan penuh kelembutan.

Seperti induk burung yang menyuapi anaknya melalui paruhnya. Makanan selembut apa pun akan sulit di kunyah oleh pengemis renta itu. Apa yang dilakukan seorang yang senantiasa mengunjunginya setiap pagi sama saja dengan surga.

Dia (pengemis buta) tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya mengangakan mulutnya, makanan yang halus siap telan berpindah ke rongga mulutnya. Orang itu mengunyahkan makanan untuk dia dengan mulutnya sendiri. Perlahan-lahan, sampai tandas seluruh makanan yang dibawa. “Jangan engkau mendekati Muhammad,” si tua buta mengulang kalimatnya.

Seolah, dia mendapat layanan ekstra dari orang yang tak dikenalnya itu karena kalimat-kalimat yang ia ucapkan, “Jangan...karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir! Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya.”

Orang itu tersenyum. Tidak bersuara. Dia bangkit perlahan setelah memastikan si tua selesai dengan makanannya. Lelaki itu bangkit lalu langkahnya menderap meninggalkan si pengemis tua yang buta. Langkahnya tegap dan terukur. Ritmis dan berpendar wibawa.

Lelaki itu... Rasulullah Muhammad Al-Mustafa. Dan pengemis tua yang buta tak tahu bahwa yang dihujatnya, yang diolok-olok, yang dihinanya setiap hari adalah orang yang menyuapinya dengan kelembutan, setiap pagi. 

Doa Yang Dilangitkan

Thaif menjulang dengan congkaknya. Melekatlah ingatan Rasulullah saw tentang hari yang terik 10 tahun lalu. Sesaat sebelum hijrah ke Madinah, beliau seorang diri mendaki terjalnya perbukitan Thaif untuk menawarkan iman yang benderang kepada suku Tsaqif, penghuni Thaif.
Namun, apa yang diperoleh jauh dari harapan. Beliau tak mendapatkan apapun walau hanya seteguk air. Mereka menghina, memperlakukannya lebih buruk dibanding Quraisy. Caci maki mereka lontarkan, para budak mereka kerahkan. Mengejar Sang Pemimpin Islam dengan lemparan batu. Rangkaian waktu yang menyedihkan itu akhirnya mempertemukan beliau dengan Addas, pemuda Kristen yang berbaik hati memberi sepiring anggur.

Kini, jalan-jalan menuju Thaif telah sedikit berubah, ketika tiba di Liyyah, Nabi saw menghentikan pasukan. “Masjid yang tidak terlalu luas harus selesai dibangun di sini sebelum Dhuhur,” titahnya. Batu-batu Masjid itu beliau susun sendiri, dan para sahabat dengan cepat menyuplai logistik. Dhuhur pun tiba dan sujud jamaah shalat menjadi pemandangan yang memperkuat tekad.

Derap kaki kembali menyebarkan debu, ketika rombongan Rasulullah melalui istana megah, kemegahan yang dimiliki pemimpin Hawaz; Malik bin Auf. Istana megah yang kosong ditinggalkan penghuninya. Malik kini bersembunyi dibalik kekukuhan benteng Thaif. Namun, Rasulullah saw tidak tergoda harta dan menduduki istana kosong tersebut. Beliau malah membakarnya.

Benteng Thaif pun semakin dekat. Saat Rasulullah mendengar kabar tentang pemanah-pemanah Thaif yang mulai beraksi, beliau pun memerintahkan pasukannya mundur, mencari tempat tinggi yang baik untuk pengepungan.

Setelah setengah bulan berlalu sejak Nabi saw tiba di Thaif, beliau pun melancarkan serangannya. Pasukannya mengepung Thaif dari luar tembok-tembok kota yang menjulang dan tak terkira tebalnya. Dari ketinggian Benteng-benteng itu, berjaga para pemanah ulung yang akan merentangkan busur-busur mereka begitu ada pasukan yang mendekati kaki benteng mereka.

Ketika daya terkumpul untuk merobohkan benteng, tiada dikira, persenjataan Thaif telah melesat jauh dengan besi bola api. Putra sahabat tercinta Rasulullah gugur dalam upaya menembus Benteng Thaif, ia Abdullah putra Abu Bakar.

Pasukan Rasulullah saw benar-benar tak sanggup lebih dekat dari itu. Tak bisa masuk Kota Thaif, tetapi sebaliknya puluhan orang keluar dari benteng itu. Mereka adalah para budak yang mendengarkan pengumuman Rasul. Bahwa setiap budak Tsaqif yang bergabung dengan pasukan Nabi saw akan memperoleh kemerdekaan mereka.

Para budak itu datang ke kemah Nabi saw, lalu menyatakan keimanannya kepada Islam. Tak seberapa lama setelah itu, Rasulullah bermimpi di hadapannya terdapat mangkuk kacang, lalu seekor burung menyambarnya kemudian menaburkan kacang-kacang itu.

Abu Bakar mengutarakan pendapatnya setelah diberitahu Rasulullah perihal mimpi itu. “Saya berpikir, engkau tidak akan mendapatkan apa yang engkau inginkan dari mereka hari ini, Ya, Rasulullah.”
Rasulullah saw mengangguk, membenarkan dugaan Abu Bakar. Thaif tak akan ditaklukkan kali ini. Umar lalu datang menghampiri Rasulullah saw, “Benarkah Thaif tak ditaklukkan hari ini? Jika demikian, apakah kita akan kembali?” Rasulullah pun mengangguk.

Dalam perjalanan mundur menuju Ja’ranah, sambil menoleh ke Thaif di belakang, beberapa orang mulai bergumam mengenai ketidaksukaan mereka terhadap penghuni Thaif. “Ya Rasulullah kutuklah penduduk Thaif. Karenanya, saudara-saudara kita gugur di bawah benteng-benteng mereka.”

Rasulullah tak menjawab, sedangkan kedua tangannya terangkat. “Ya Allah, bimbinglah Tsaqif dan bawalah mereka kepada kami.” Bukan kutukan, itu doa yang dilangitkan.

Seiring jejak langkah pasukan mundur dari pertempuran, bayangan Benteng-benteng di atas gunung pun kian tertinggal di belakang. 

Kala Rasul Gundah

Para Ahli Kitab (kaum Yahudi) di kala itu terkenal dengan ilmu pengetahuannya yang melebihi bangsa (kaum) lain. Golongan orang yang terkenal seperti itu sudah tentu didengarkan dan diterima segala perkataannya oleh orang banyak, walaupun mereka mengatakan hal-hal atau urusan yang tidak benar.

Namun segala sesuatu yang dikatakan oleh para Ahli Kitab itu sebenarnya berlainan atau berbeda dengan apa yang telah dipercayai oleh mereka sendiri. Karena sesungguhnya, mereka itu sudah mengerti akan kebenaran Nabi Muhammad, juga sudah mengetahui tentang urusan kiblat bahwa semuanya itu dari wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya (Muhammad SAW).

Para pendeta dan pemuka agama Yahudi, senantiasa mencela, mencerca, dan memperolok-olok Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya, dengan bermacam-macam celaan dan cercaan. Mereka mengemukakan alasan-alasan yang dikatakan kepada orang banyak bahwa perkataan-perkataan mereka itu diambilkan dari kitab mereka. Mereka hanya bermaksud mengelabuhi orang banyak agar dipercaya segala fitnah yang dikatakannya.

Pribadi Nabi SAW sebagai seorang manusia, karena senantiasa mendengar dan menerima berita-berita fitnah dari pendeta-pendeta Yahudi, timbullah kegundahan atau kesedihan hati karena banyaknya syubhat yang didatangkan oleh golongan Ahli Kitab terhadap diri dan agama yang dibawanya.

Untuk membasmi segala fitnah yang disiarkan oleh mereka, terutama yang berkenaan dengan urusan peralihan kiblat, maka Allah menyatakan dengan tegas kedustaan mereka dalam firman-Nya (Al Baqarah: 144) yang diturunkan kepada Nabi SAW.

Sebelum Nabi SAW menerima peringatan itu, beliau juga pernah diberi peringatan yang serupa, karena di kala itu merasa kesal dan pedih hati melihat dan merasakan orang-orang Ahli Kitab yang memalingkan muka.

Pada mulanya, kaum Yahudi di Kota Madinah dan di sekelilingnya memang mempunyai harapan penuh kepada Nabi SAW dan kaum muslimin, untuk dijadikan alat menghantam agama Nasrani yang sudah mulai berkembang di sekitar Jazirah Arab. Dengan demikian, mereka suka berdamai dan berlunak-lunak kepada Nabi SAW. Sebaliknya, kaum Nasrani berusaha dan mencari jalan pulang yang sama pula, dengan tujuan memperalat Nabi SAW dan kaum muslimin.

Maka, kaum Nasrani dari Najran mengirimkan utusan sebesar 60 orang dengan menyampaikan hadiah kepada Nabi SAW, karena ada tujuan tertentu. Mereka datang ke Madinah pada saat Nabi berselisih dengan kaum Yahudi tentang berbagai hal, terutama tentang peralihan kiblat ke Mekah.

Oleh sebab itu, dengan tegas Nabi SAW diperintahkan oleh Allah supaya memberitakan kepada mereka sesungguhnya petunjuk dan tuntunan Allah itulah yang sebenar-benar petunjuk dan tuntunan. 

Sebagai Penggembala

Sejak 2 bulan dalam kandungan ibunya, Nabi SAW telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Ketika wafat, ayahnya tidak meninggalkan harta benda yang banyak, kecuali lima ekor unta, beberapa ekor kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian menjadi perawat dan pengasuh pribadi beliau yang amat setia di rumah ibunya. Beliau lahir ke dunia sudah tidak berayah lagi atau yatim.

Oleh sebab itu, sejak kecil, beliau tidak pernah memiliki harta benda dan perhiasan dunia sebagaimana kebiasaan anak-anak bangsawan Quraisy lainnya.

Ketika Nabi Muhammad SAW berusia kurang lebih empat tahun, saat berada di bawah asuhan Halimah di dusunnya, dengan kehendak sendiri telah ikut menggembala kambing milik ibu susuannya, bersama-sama dengan anak Halimah sendiri.

Sepulang dari dusun Banu Sa’ad di kota Mekah, Nabi SAW menggembala kambing lagi. Adapun kambing-kambing yang digembalanya, bukan kambing sendiri, bukan kambing dari peninggalan ayahnya dan bukan pula kambing milik ibu dan kakeknya, melainkan milik penduduk Mekah.

Setelah beliau ditinggal wafat oleh ibunya. Meskipun waktu itu ada dalam pemeliharaan kakeknya, sementara kakeknya itu seorang ketua dan yang memegang kekuasaan di Mekah, Nabi tidak merasa malu untuk bekerja menggembala kambing atau lebih tegas buruh menggembala kambing milik orang Mekah degan menerima upah yang tidak seberapa banyaknya.

Riwayatnya pekerjaan Nabi SAW sebagai penggembala kambing milik orang Mekah itu, “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dia pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya, “Dan engkau, ya rasulullah.”Beliau bersabda.”Dan,aku sudah pernah juga menggembala kambing milik orang Mekah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyak.”

Dalam riwayat lain, beliau bersabda “Nabi Musa diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan Nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan aku diutus menggembala kambing ahliku (keluargaku) di kampung Jiyad.”

Selanjutnya setalah berusia dua belas tahun, sebagaimana telah diuraikan, beliau ikut pamannya, Abu Thalib, untuk berniaga ke negeri Syam. Tetapi, karena ada hal-hal yang sangat mencemaskan, pamannya tidak lagi berangkat ke negeri Syam untuk berniaga.

Singkatnya, sesudah pribadi Nabi SAW remaja dan beranjak dewasa, pada waktu itu beliau belumlah mempunyai pekerjaan yang tentu atau pasti. yang hasilnya dapat dipergunakan untuk bekal hidupnya sehari-hari.

Naskah: Dian Laksana | Sumber: Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar